Suara langkah kaki di atas ubin dingin mengalihkan pandanganku dan Zihan. Kami sama-sama terbelalak melihat siapa yang datang.
"Ibu." Zihan buru-buru berjalan menghampiri ibu mertuaku.
Bapak, Ibu, dan adiknya Ana berkunjung. Aku tertegun. Apa yang harus kujelaskan pada mereka.
Zihan mencium tangan wanita berkerudung lusuh itu dengan takzim. "Ibu baru datang?"
"Ana di mana, Mbak Zihan?"
"Zihan belum dapat kabar, Bu. Tapi Zihan pasti cari tahu terus."
"Bagaimana keadaan Bu Santi?"
"Kurang baik, Bu."
"Ya Allah."
Mereka terus berjalan ke sini. Detik demi detik terasa membeku. Aku diimpit rasa bersalah. Petuah Mas Radit kemarin terekam dalam ingatan. "Yang kamu perlakukan dengan tidak manusiawi itu anak orang, Adrian. Di keluarganya dia disayangi, kamu malah memperlakukan dengan tak layak. Apa yang akan orang tuanya katakan?"
Aku menunduk begitu jarak dengan keluarga Ana hanya tinggal beberapa langkah. Aku menyalami bapak mertua. Pria tua itu tidak menolak uluran tanganku tapi juga tidak bicara apa pun. Mereka langsung masuk ke kamar rawat.
Mulanya mertua dan ibuku bercengkerama layaknya besan yang berduka karena ditimpa musibah. Basa basi memberi motivasi. Setelah itu membahas urusan yang lebih pelik. Di mana Ana berada?
"A--Na--hah--hah--da." Ibu bicara dengan sangat kesulitan. Air matanya berderai. Kami tidak tahu benar apa yang Ibu katakan. Hanya saja ini pasti seputar Ana.
"Apa Ana pulang ke kampung, Bu?" tanya Mbak Yuki.
"Justru itu, Mbak Yuki. Kita juga tidak tahu Ana di mana. Kami tidak mendapat kabar sama sekali. Tidak biasanya Ana seperti ini."
Suara desis tak sopan mengalihkan perhatian kami. Indira tersenyum miring dengan raut sangat judes. "Mana mungkin Mbak Ana ngabarin. Tiap ngabarin dizalimi suaminya aja Ibu suruh sabar-sabar mulu." Anak SMA itu memandangku dengan tak sopan.
"Indira!" Bapak menarik tangan Indira untuk duduk di sofa. Adik iparku itu menolak. Dia tetap berdiri dengan melipat tangan di dada.
"Mbak Ana gak akan ngabarin Bapak sama Ibu. Soalnya tiap curhat juga dibilang sabar-sabar terus. Sabarnya manusia mah ada batasnya."
"Indira, diam." Pak Abdul melihat Ibu dengan sungkan.
"Diam mulu. Dari dulu disuruh diam mulu. Napa sih, Pak? Karena kita miskin? Mbak Ana kabur, Bapak Ibu nangis semaleman terus kita di sini cuma buat nengok orang sakit gitu? Kita aja belum dapat kejelasan kabar Mbak Ana gimana."
Kami semua diam. Tidak ada yang bicara.
"Gara-gara Mbak Ana nikah hidup kita jadi belangsak. Mbak Ana lagi kerja disuruh berhenti. Mbak Ana jadi gak bisa bantu kita lagi. Bapak harus kerja siang malam ngurus sawah punya orang lain yang gak ada hasilnya. Ibu kalau rematiknya kumat aja harus gusur-gusur kaki bantu di sawah. Kalau Mbak Ana dibahagiain di sini sih gak masalah. Ini mah udah ngambil anak orang dari ayah ibunya. Ngambil kakak dari adiknya. Diperlakukan semaunya pula. Kalian pikir kakakku hewan ternak yang bisa kalian perlakukan semena-mena."
Perkataan Indira membuat ibu terisak-isak. Ibu tampak kesulitan bernapas. Kami langsung memanggil perawat, memperbaiki letak posisi oksigennya. Sementara Ibu mertua membawa Indira ke luar kamar.
*
Beberapa hari kemudian, aku kembali ke kantor. Di lobi, Ketrin sudah menungguku.
"Kenapa baru masuk?" Ketrin berjalan mengiringi langkahku.
"Ana kabur," seruku pelan mengingat kondisi lobi cukup padat.
"Kabur?" Aku bisa mendengar nada bahagia dari pertanyaannya. Saat kulirik, wanita dengan rambut keriting bagian bawahnya itu sedang tersenyum miring.
"Bagus dong."
"Ibu syok dan terkena stroke." Kami bicara sambil terus berjalan.
"Ha? Serius? Kok kamu gak bilang sih?"
"Mau apa? Mau nengok? Bisa meninggal ibuku kalau lihat kamu."
"Kesel deh. Ibu kamu itu suka banget sama cewek kampungan itu. Dia punya apa sih?"
Aku menggeleng pelan. "Semua kacau. Aku masih mencari Ana."
"Biarin aja sih. Dia ini yang milih pergi kan?"
"Dia lagi hamil, bawa anak aku."
"Ya anak dia juga kan? Lagian itu juga salah dia, ganjen godain kamu udah tahu kamu gak pernah cinta juga. Ya, tanggung sendiri lah resikonya."
Wanita yang tingginya nyaris sama denganku ini terus mengimbangi langkah. Kami masuk lift dan naik ke lantai tujuan.
"Pekerjaan kamu udah numpuk. Pak Hartono terus nanyain kamu. Tahu lagi banyak PHK juga."
Aku menggeleng saja. Bagaimana lagi, kondisinya sedang darurat.
Aku sekantor dan satu divisi dengan Ketrin. Hari ini kami bekerja seperti biasa. Pak Hartono memanggilku sebelum makan siang. Aku segera menemui kepala HRD itu.
"Adrian, ini gimana absensikau? Berturut-turut tiga hari tak masuk. Sebelumnya sudah banyak merah pula."
"Maaf, Pak. Ibu saya mendadak stroke."
"Alasan saja kau, Adrian. Ibu sakit, istri sakit, nenek sakit, sama buyut kau sakit terus. Kalau baru kali ini bisa lah kumaklumi. Kalau sering macam begini rugi lah perusahaan mempekerjakan kau.
"Jangan kau pikir aku tak tahu gosip yang beredar. Kau pacaran terus dengan Ketrin."
Aku diam saja. Sebenarnya tidak pantas dia mengomentari urusan pribadiku.
"Bereskan pekerjaanmu segera. Tamat riwayat kau di perusahaan ini."
"Pak. Tidak bisa begini dong, Pak. Saya sudah ijin cuti."
"Kau bolos dulu baru minta cuti. Kau pikir perusahaan ini punya nenek moyang kau. Asal kau tahu, banyak yang butuh kerja. Tak perlu lah kupertahankan manusia macam kau."
"Pak." Aku mulai frustrasi. Bagaimana ini, aku tidak bisa kehilangan pekerjaan. "Pak, jangan begini, please. Ibu saya terkena stroke."
"Pergi lah cepat. Aku masih banyak kerjaan."
"Pak!"
Pak Hartono menolak. Aku meninggalkan ruangan kepala HRD itu dengan kalut.
Bagaimana ini? Ana pergi, ibu sakit, dipecat pula. Kalau aku menganggur, Ketrin pun bisa ikut kabur.
Bersambung ....
"Apa? Dipecat?" Ketrin terbelalak. Wanita berlensa biru ini tampak murka. "Tuh kan, ini gara-gara cewek kampung pembawa sial itu."Perkataan Ketrin membuatku semakin stres. Aku mondar-mandir dekat dinding kaca yang tinggi. Dari mana aku bisa makan kalau tidak punya upah. Cicilan pun banyak, Oh Tuhan."Mas, sebaiknya kamu sekarang temui Pak Rafasya. Minta pengertian." Ketrin menyebutkan nama CEO perusahaan.Aku menggeleng kecil. Tidak yakin dengan cara itu. "Sulit, Ketrin.""Coba saja dulu. Kalau ditolak pun gak ada resikonya kan. Tapi kalau berhasil?Ayolah, Mas. Jangan patah semangat. Kita punya mimpi yang besar. Sekarang cari kerja susah."Aku mengusap kening. Betul juga kata Ketrin. Kalau usaha ini gagal juga toh aku tetap dikeluarkan. Mana tahu berhasil."Oke, akan kucoba.""Nah gitu dong. Bilang kalau Ibu lagi sakit. Pak Rafasya biasanya lebih manusiawi."Seperti saran dari Ketrin, aku menemui CEO perusahaan di ruangannya. Sayangnya aku ditolak oleh sekretarisnya. Tidak bisa semb
Aku duduk di sofa sambil melipat tangan. Kaki terjulur ke atas meja. Di depan sana televisi menyiarkan pertandingan bola. Akalku bukan terletak pada si bundar yang melambung-lambung, tetapi pada rumah ini yang kehilangan warnanya.Setahun berlalu, ternyata Ana sudah menguasai rumah ini, sehingga pada saat dia pergi rumah ini terasa aneh. Jika aku pulang kerja, Ana biasanya langsung mencium tangan. Dia akan mengambil sepatu yang baru kulepas asal dan menyimpannya di tempat khusus. Setelahnya aku akan duduk di kursi ini, lalu Ana akan melepas kaus kakiku sambil duduk di lantai.Dia akan bertanya. “Mas Adrian mau makan dulu atau mandi dulu. Ana sudah masak dan Ana sudah siapkan air hangat kalau Mas mandi.”“Dari jam berapa kamu masak air?” Air panas di rumahku mati jadi harus merebus dulu kalau mau mandi dengan air panas. Aku tidak pernah bilang jam berapa akan pulang. Kadang kemalaman karena jalan dengan Ketrin dulu. Kalau tiap aku pulang air hangat sudah tersedia pastinya dia merebus s
“Mas ... Mas Adrian. Tolong ....” Anaya menggoyang-goyangkan tubuhku. Suaranya terdengar memelas membuatku semakin kesal.“Diam, Ana! Mas mau tidur.” Aku bergumam sambil memejamkan mata, berharap dia menyerah.“Tapi Ana ingin banget rujak, Mas. Rasanya udah di lidah. Tolong dong, Mas. Ana mau sekarang.”“An, ini udah malam. Mana ada yang jual rujak malam-malam begini?”“Coba aja cari dulu, ya.”Aku memutar badan, membelakangi Ana. Malam ini dia benar-benar menyebalkan. Aku hanya ingin tidur, tapi dia terus mengganggu dengan rengekannya. Aku tahu ini soal ngidam, tapi tetap saja, mana mungkin ada yang jual rujak sekarang?“Mas, Ana mohon. Sekali ini aja, ya? Demi baby....”Aku mendengus kesal. Suaranya semakin panas di telingaku. Nada melasnya terasa seperti paku yang menghunjam kepala. Jantungku berdegup kencang, tapi bukan karena kasih sayang, melainkan amarah.Tanpa sepatah kata, aku bangkit dari tempat tidur. Meraih jaket dan kunci motor di atas meja.“Mau ke mana, Mas?” tanya Ana
“Mas, Ana pergi. Ana sekarang sadar bahwa Mas Adrian tidak pernah dan tidak akan mungkin mencintai Ana. Ana tidak ingin semakin banyak dosa atas hubungan yang tidak Mas inginkan ini. Ana izin membawa pergi buah hati kita. Ana akan mencukupkan cinta kasih untuknya. Semoga Mas menemukan kebahagiaan yang selama ini Mas harapkan.”Aku terpaku membaca pesan itu. Tangan dan kaki mendadak lemas. Dadaku tiba-tiba nyeri dan berat. Beberapa ketakutan membayang dalam pelupuk mata.Bagaimana kalau Ana kenapa-napa, bukannya rujak super pedas itu mengenai matanya? Bagaimana dengan kehamilannya? Bagaimana kalau Ibu tahu Ana kabur? Bagaimana kalau ... kalau Ana pergi untuk selamanya?Tidak. Semoga Ana hanya menggertak saja.Aku segera menelepon Ana, tapi nomornya sudah tidak aktif. Aku beranjak ke luar rumah dan bertanya pada tetangga. Barang kali Ana bersembunyi di salah satu rumah. Namun jawaban mereka sama, tidak ada yang melihat Ana.Ana memang tidak punya banyak teman di sekitar sini. Setelah me
Aku kembali ke rumah. Ibu sudah berdiri di depan gerbang. Aku segera turun dari mobil, menyapa dan mencium tangan ibu."Ibu gak bilang dulu mau berkunjung.""Gak bilang gimana, Adrian? Ibu telepon Ana berkali-kali, nomornya tidak aktif."Setiap kali mendengar nama Ana hatiku rasanya gak enak. Bagaimana aku mengatasi masalah kepergiannya.Aku segera membuka gerbang. Berjalan ke depan rumah dan membuka pintu."Ana ke mana, Adrian? Tadi ibu lihat murid-murid ngajinya mencari."Aku mempersilahkan Ibu masuk lebih dulu.Ibu dan Ana terlibat dalam satu kajian yang sama. Mereka berkenalan di sana. Dari situlah Ibu menyukai Ana dan menjodohkannya denganku. Ibuku sangat menyayangi Ana. Ibu juga punya hipertensi dan kolesterol. Bisa bahaya kalau tahu menantunya kabur."Ana lagi nungguin temannya di rumah sakit, Bu." Aku mengarang saja."Ana lagi hamil, kok kamu izinin sih. Di rumah sakit banyak penyakit.""Ya ... Ana mau nolong orang, masa aku larang sih, Bu."Ibu duduk di kursi dan menyimpan ta
Aku duduk di sofa sambil melipat tangan. Kaki terjulur ke atas meja. Di depan sana televisi menyiarkan pertandingan bola. Akalku bukan terletak pada si bundar yang melambung-lambung, tetapi pada rumah ini yang kehilangan warnanya.Setahun berlalu, ternyata Ana sudah menguasai rumah ini, sehingga pada saat dia pergi rumah ini terasa aneh. Jika aku pulang kerja, Ana biasanya langsung mencium tangan. Dia akan mengambil sepatu yang baru kulepas asal dan menyimpannya di tempat khusus. Setelahnya aku akan duduk di kursi ini, lalu Ana akan melepas kaus kakiku sambil duduk di lantai.Dia akan bertanya. “Mas Adrian mau makan dulu atau mandi dulu. Ana sudah masak dan Ana sudah siapkan air hangat kalau Mas mandi.”“Dari jam berapa kamu masak air?” Air panas di rumahku mati jadi harus merebus dulu kalau mau mandi dengan air panas. Aku tidak pernah bilang jam berapa akan pulang. Kadang kemalaman karena jalan dengan Ketrin dulu. Kalau tiap aku pulang air hangat sudah tersedia pastinya dia merebus s
"Apa? Dipecat?" Ketrin terbelalak. Wanita berlensa biru ini tampak murka. "Tuh kan, ini gara-gara cewek kampung pembawa sial itu."Perkataan Ketrin membuatku semakin stres. Aku mondar-mandir dekat dinding kaca yang tinggi. Dari mana aku bisa makan kalau tidak punya upah. Cicilan pun banyak, Oh Tuhan."Mas, sebaiknya kamu sekarang temui Pak Rafasya. Minta pengertian." Ketrin menyebutkan nama CEO perusahaan.Aku menggeleng kecil. Tidak yakin dengan cara itu. "Sulit, Ketrin.""Coba saja dulu. Kalau ditolak pun gak ada resikonya kan. Tapi kalau berhasil?Ayolah, Mas. Jangan patah semangat. Kita punya mimpi yang besar. Sekarang cari kerja susah."Aku mengusap kening. Betul juga kata Ketrin. Kalau usaha ini gagal juga toh aku tetap dikeluarkan. Mana tahu berhasil."Oke, akan kucoba.""Nah gitu dong. Bilang kalau Ibu lagi sakit. Pak Rafasya biasanya lebih manusiawi."Seperti saran dari Ketrin, aku menemui CEO perusahaan di ruangannya. Sayangnya aku ditolak oleh sekretarisnya. Tidak bisa semb
Suara langkah kaki di atas ubin dingin mengalihkan pandanganku dan Zihan. Kami sama-sama terbelalak melihat siapa yang datang."Ibu." Zihan buru-buru berjalan menghampiri ibu mertuaku.Bapak, Ibu, dan adiknya Ana berkunjung. Aku tertegun. Apa yang harus kujelaskan pada mereka.Zihan mencium tangan wanita berkerudung lusuh itu dengan takzim. "Ibu baru datang?""Ana di mana, Mbak Zihan?""Zihan belum dapat kabar, Bu. Tapi Zihan pasti cari tahu terus.""Bagaimana keadaan Bu Santi?""Kurang baik, Bu.""Ya Allah."Mereka terus berjalan ke sini. Detik demi detik terasa membeku. Aku diimpit rasa bersalah. Petuah Mas Radit kemarin terekam dalam ingatan. "Yang kamu perlakukan dengan tidak manusiawi itu anak orang, Adrian. Di keluarganya dia disayangi, kamu malah memperlakukan dengan tak layak. Apa yang akan orang tuanya katakan?"Aku menunduk begitu jarak dengan keluarga Ana hanya tinggal beberapa langkah. Aku menyalami bapak mertua. Pria tua itu tidak menolak uluran tanganku tapi juga tidak b
Aku kembali ke rumah. Ibu sudah berdiri di depan gerbang. Aku segera turun dari mobil, menyapa dan mencium tangan ibu."Ibu gak bilang dulu mau berkunjung.""Gak bilang gimana, Adrian? Ibu telepon Ana berkali-kali, nomornya tidak aktif."Setiap kali mendengar nama Ana hatiku rasanya gak enak. Bagaimana aku mengatasi masalah kepergiannya.Aku segera membuka gerbang. Berjalan ke depan rumah dan membuka pintu."Ana ke mana, Adrian? Tadi ibu lihat murid-murid ngajinya mencari."Aku mempersilahkan Ibu masuk lebih dulu.Ibu dan Ana terlibat dalam satu kajian yang sama. Mereka berkenalan di sana. Dari situlah Ibu menyukai Ana dan menjodohkannya denganku. Ibuku sangat menyayangi Ana. Ibu juga punya hipertensi dan kolesterol. Bisa bahaya kalau tahu menantunya kabur."Ana lagi nungguin temannya di rumah sakit, Bu." Aku mengarang saja."Ana lagi hamil, kok kamu izinin sih. Di rumah sakit banyak penyakit.""Ya ... Ana mau nolong orang, masa aku larang sih, Bu."Ibu duduk di kursi dan menyimpan ta
“Mas, Ana pergi. Ana sekarang sadar bahwa Mas Adrian tidak pernah dan tidak akan mungkin mencintai Ana. Ana tidak ingin semakin banyak dosa atas hubungan yang tidak Mas inginkan ini. Ana izin membawa pergi buah hati kita. Ana akan mencukupkan cinta kasih untuknya. Semoga Mas menemukan kebahagiaan yang selama ini Mas harapkan.”Aku terpaku membaca pesan itu. Tangan dan kaki mendadak lemas. Dadaku tiba-tiba nyeri dan berat. Beberapa ketakutan membayang dalam pelupuk mata.Bagaimana kalau Ana kenapa-napa, bukannya rujak super pedas itu mengenai matanya? Bagaimana dengan kehamilannya? Bagaimana kalau Ibu tahu Ana kabur? Bagaimana kalau ... kalau Ana pergi untuk selamanya?Tidak. Semoga Ana hanya menggertak saja.Aku segera menelepon Ana, tapi nomornya sudah tidak aktif. Aku beranjak ke luar rumah dan bertanya pada tetangga. Barang kali Ana bersembunyi di salah satu rumah. Namun jawaban mereka sama, tidak ada yang melihat Ana.Ana memang tidak punya banyak teman di sekitar sini. Setelah me
“Mas ... Mas Adrian. Tolong ....” Anaya menggoyang-goyangkan tubuhku. Suaranya terdengar memelas membuatku semakin kesal.“Diam, Ana! Mas mau tidur.” Aku bergumam sambil memejamkan mata, berharap dia menyerah.“Tapi Ana ingin banget rujak, Mas. Rasanya udah di lidah. Tolong dong, Mas. Ana mau sekarang.”“An, ini udah malam. Mana ada yang jual rujak malam-malam begini?”“Coba aja cari dulu, ya.”Aku memutar badan, membelakangi Ana. Malam ini dia benar-benar menyebalkan. Aku hanya ingin tidur, tapi dia terus mengganggu dengan rengekannya. Aku tahu ini soal ngidam, tapi tetap saja, mana mungkin ada yang jual rujak sekarang?“Mas, Ana mohon. Sekali ini aja, ya? Demi baby....”Aku mendengus kesal. Suaranya semakin panas di telingaku. Nada melasnya terasa seperti paku yang menghunjam kepala. Jantungku berdegup kencang, tapi bukan karena kasih sayang, melainkan amarah.Tanpa sepatah kata, aku bangkit dari tempat tidur. Meraih jaket dan kunci motor di atas meja.“Mau ke mana, Mas?” tanya Ana