Aku kembali ke rumah. Ibu sudah berdiri di depan gerbang. Aku segera turun dari mobil, menyapa dan mencium tangan ibu.
"Ibu gak bilang dulu mau berkunjung."
"Gak bilang gimana, Adrian? Ibu telepon Ana berkali-kali, nomornya tidak aktif."
Setiap kali mendengar nama Ana hatiku rasanya gak enak. Bagaimana aku mengatasi masalah kepergiannya.
Aku segera membuka gerbang. Berjalan ke depan rumah dan membuka pintu.
"Ana ke mana, Adrian? Tadi ibu lihat murid-murid ngajinya mencari."
Aku mempersilahkan Ibu masuk lebih dulu.
Ibu dan Ana terlibat dalam satu kajian yang sama. Mereka berkenalan di sana. Dari situlah Ibu menyukai Ana dan menjodohkannya denganku. Ibuku sangat menyayangi Ana. Ibu juga punya hipertensi dan kolesterol. Bisa bahaya kalau tahu menantunya kabur.
"Ana lagi nungguin temannya di rumah sakit, Bu." Aku mengarang saja.
"Ana lagi hamil, kok kamu izinin sih. Di rumah sakit banyak penyakit."
"Ya ... Ana mau nolong orang, masa aku larang sih, Bu."
Ibu duduk di kursi dan menyimpan tas jinjingnya. Beliau mengeluarkan sebotol madu dari dalam tas dan menyimpannya di atas meja. "Ini madu buat Ana. Tumben sekali Ana tidak mengaktifkan HP, memangnya di rumah sakit tidak ada casan. Kamu tidak bohong kan, Adrian?"
"Ibu tuh selalu lebih sayang sama mantu dari pada sama aku. Sama anak sendiri gak percaya."
"Ana itu istrimu. Seharusnya kamu senang kalau ibu sayang sama dia. Ibu tidak percaya sama kamu, karna kamu suka bohong."
Ibu kembali berdiri. "Ibu kebelet mau ke toilet dulu." Wanita berkerudung lebar itu menuju dapur.
Aku membereskan rumah yang agak berantakan.
"Adrian!" Ibu memanggil cukup keras. "Ini apa?"
"Apa, Bu." Aku menghampiri Ibu di kamar mandi.
Ibu sedang mengangkat pakaian yang digunakan Ana kemarin malam. Pakaian itu teronggok di ember cucian dalam keadaan penuh dengan sambal rujak.
"Oh, itu Bu ... Ana semalam menumpahkan rujak. Jadi bajunya kotor."
Ibu mengernyit tajam. Tampaknya tak percaya.
"Jam berapa Ana pergi?"
"Pagi! Tadi pagi."
"Awas ya, Adrian, kalau kamu bohong."
Ibu kembali duduk di sofa. Beliau mengeluarkan ponsel. Aku mengeluarkan beberapa stoples camilan dari lemari dapur.
"Assalamualaikum, Zihan."
Jantungku seperti jatuh ketika mendengar nama itu. Rupanya ibuku menelepon Zihan. Semoga saja Zihan tidak bilang kalau Ana kabur.
Ibu berbicara pelan sampai tidak terdengar. Saat aku kembali ke ruang tamu, wajah ibuku sudah berbeda.
"Tadi kamu menemui Zihan, Adrian?"
Aku termangu.
"Kamu juga tidak tahu ke mana Ana pergi?"
Jantungku berdebar semakin cepat. "An ... Ana hanya sedang marah, Bu."
"Marah karena apa, Adrian? Marah karena apa sampai Ana kabur begini?" Ibu berdiri. "Jelaskan sama Ibu, kenapa ada banyak cabe di baju Ana?!"
Aku terdiam. Tidak bisa bicara apa-apa.
"Kamu apain Ana, Adrian?!" Ibu mengernyit. "Jelaskan sama Ibu apa yang kamu lakukan sama Ana!"
"Maaf, Bu. Ini hanya salah paham."
"Apa, Adrian? Katakan!"
"Aku tidak sengaja menumpahkan rujak, Bu."
Ibu menepuk-nepuk dadanya. "Kamu harus cari Ana, Adrian. Kamu harus cari dia ....
"Ana lagi hamil, Adrian! Hamil anakmu!"
Ibu tampak kesulitan bernapas. Beliau limbung dan terjatuh di sofa.
"Bu... Ibu kenapa?"
Dengan panik segera kugendong Ibu masuk ke dalam mobil. Secepatnya kupacu kendaraan bahkan tanpa menutup pintu dan gerbang. Sepanjang jalan aku berdoa semoga ibuku baik-baik saja.
Sesampainya di rumah sakit, dokter dan perawat memberi penanganan dengan sigap. Alat-alat medis dipasang dan diberi tindakan.
Dalam keadaan kalut aku mengabari semua keluarga. Dua kakakku datang beberapa menit kemudian.
"Kamu bikin ulah apa lagi, Adrian?" Mbak Yuri langsung mendorong dadaku begitu tiba.
"Bukan aku, Mbak."
"Omong kosong! Dari dulu kamu selalu bikin ulah." Air mata Mbak Yuri berderai. Dia tidak bisa melihat Ibu karena Ibu sedang diberi tindakan.
Suaminya menenangkan Mbak Yuri. Kakak tertuaku itu dibawa ke sebuah kursi besi dan duduk di sana. "Aku memang udah gak enak hati hari ini. Tapi Ibu maksa ke rumah Dia!" Mbak Yuri menunjukku.
"Ibu itu sudah tua, Adrian! Kalau Ibu kenapa-napa gimana?"
Aku hanya bisa menunduk.
"Aku benci banget sama dia. Dari dulu dia selalu bikin ulah ... Kamu itu anak yang paling disayang sama Ibu tahu enggak?! Tapi kamu terus saja menyusahkan Ibu!"
Kakak keduaku menepuk punggung layaknya seorang laki-laki yang memberi penguatan.
"Masalah apa yang buat ibu kayak gini?" Mas Radit bertanya.
"Ana, Mas. Ana pergi."
"Gara-gara masalah apa?"
Aku menggeleng. Tak bisa memberi jawaban.
"Sudah dihubungi?"
Aku menggeleng lagi. Tidak mau menjawab.
Mas Radit mengangguk. Dia kembali menepuk punggungku.
Beberapa saat kemudian, dokter mengabari kalau Ibu terkena stroke. Sebelah tubuhnya tidak bisa digerakkan secara optimal. Aku sangat miris saat melihat ibu berbaring di ruang rawat dengan raut wajah berbeda. Bibir, pipi, dan matanya miring.
Mbak Yuri histeris menangisi kondisi Ibu.
Di atas kursi besi yang dingin, aku duduk lemas. Orang-orang terus berdatangan menengok Ibu. Sesekali coba kutelepon Ana.
"Ana, please. Ibu membutuhkanmu." Sejak kondisinya buruk, ibu terus saja memanggil Ana.
Mas Radit duduk di dekatku. Dia tidak bicara apa pun. Kami hanya diam menenangkan kekalutan masing-masing.
"Kamu masih punya hutang penjelasan sama aku, Adrian." Mas Radit tiba-tiba bicara.
Aku menjelaskan semua yang terjadi kemarin malam. Aku berharap Mas Radit memaklumi kalau pada saat itu aku hanya sedang emosi. Maksudku, permintaan Ana tidak di waktu yang tepat.
"Setahuku, Ana tidak pernah banyak permintaan sama kamu. Dia minta pasti karena mendesak. Perempuan ngidam memang begitu. Masa kamu tidak bisa maklum. Minimalnya jangan lempar anak orang pake rujak. Yang dikandung Ana itu anakmu."
"Aku khilaf, Mas."
"Adrian, Adrian ... Aku gak ngerti kamu maunya apa. Apa sih kurangnya Ana?"
"Maksudku ... Soleha, iya. Cantik, iya. Sayang sama keluarga juga. Mau apa lagi sih? Ibu tuh jodohin kamu sama Ana karena ngelihat hidupku yang berantakan. Punya istri wanita karier, suka sosialita, dan tak tahu ilmu agama itu menyiksa, Adrian. Kamu pikir kamu akan bahagia kalau menikah dengan Ketrin. Pegang ucapanku, kamu tidak akan bahagia."
*
Esok harinya. Rombongan pengajian Ibu datang menengok. Termasuk Zihan. Zihan tidak tahu kalau keterangannya kemarin membuat ibu seperti ini. Zihan hanya mengatakan kalau aku juga mencari Ana.
"Beri tahu Ana kalau ibu sedang sakit, dia pasti datang ke sini," pintaku pada Zihan.
"Aku tidak tahu Ana di mana. Aku juga udah coba menghubungi dia tapi gak aktif."
Suara langkah kaki di atas ubin dingin mengalihkan pandanganku dan Zihan. Kami sama-sama terbelalak melihat siapa yang datang.
Bersambung....
Suara langkah kaki di atas ubin dingin mengalihkan pandanganku dan Zihan. Kami sama-sama terbelalak melihat siapa yang datang."Ibu." Zihan buru-buru berjalan menghampiri ibu mertuaku.Bapak, Ibu, dan adiknya Ana berkunjung. Aku tertegun. Apa yang harus kujelaskan pada mereka.Zihan mencium tangan wanita berkerudung lusuh itu dengan takzim. "Ibu baru datang?""Ana di mana, Mbak Zihan?""Zihan belum dapat kabar, Bu. Tapi Zihan pasti cari tahu terus.""Bagaimana keadaan Bu Santi?""Kurang baik, Bu.""Ya Allah."Mereka terus berjalan ke sini. Detik demi detik terasa membeku. Aku diimpit rasa bersalah. Petuah Mas Radit kemarin terekam dalam ingatan. "Yang kamu perlakukan dengan tidak manusiawi itu anak orang, Adrian. Di keluarganya dia disayangi, kamu malah memperlakukan dengan tak layak. Apa yang akan orang tuanya katakan?"Aku menunduk begitu jarak dengan keluarga Ana hanya tinggal beberapa langkah. Aku menyalami bapak mertua. Pria tua itu tidak menolak uluran tanganku tapi juga tidak b
"Apa? Dipecat?" Ketrin terbelalak. Wanita berlensa biru ini tampak murka. "Tuh kan, ini gara-gara cewek kampung pembawa sial itu."Perkataan Ketrin membuatku semakin stres. Aku mondar-mandir dekat dinding kaca yang tinggi. Dari mana aku bisa makan kalau tidak punya upah. Cicilan pun banyak, Oh Tuhan."Mas, sebaiknya kamu sekarang temui Pak Rafasya. Minta pengertian." Ketrin menyebutkan nama CEO perusahaan.Aku menggeleng kecil. Tidak yakin dengan cara itu. "Sulit, Ketrin.""Coba saja dulu. Kalau ditolak pun gak ada resikonya kan. Tapi kalau berhasil?Ayolah, Mas. Jangan patah semangat. Kita punya mimpi yang besar. Sekarang cari kerja susah."Aku mengusap kening. Betul juga kata Ketrin. Kalau usaha ini gagal juga toh aku tetap dikeluarkan. Mana tahu berhasil."Oke, akan kucoba.""Nah gitu dong. Bilang kalau Ibu lagi sakit. Pak Rafasya biasanya lebih manusiawi."Seperti saran dari Ketrin, aku menemui CEO perusahaan di ruangannya. Sayangnya aku ditolak oleh sekretarisnya. Tidak bisa semb
Aku duduk di sofa sambil melipat tangan. Kaki terjulur ke atas meja. Di depan sana televisi menyiarkan pertandingan bola. Akalku bukan terletak pada si bundar yang melambung-lambung, tetapi pada rumah ini yang kehilangan warnanya.Setahun berlalu, ternyata Ana sudah menguasai rumah ini, sehingga pada saat dia pergi rumah ini terasa aneh. Jika aku pulang kerja, Ana biasanya langsung mencium tangan. Dia akan mengambil sepatu yang baru kulepas asal dan menyimpannya di tempat khusus. Setelahnya aku akan duduk di kursi ini, lalu Ana akan melepas kaus kakiku sambil duduk di lantai.Dia akan bertanya. “Mas Adrian mau makan dulu atau mandi dulu. Ana sudah masak dan Ana sudah siapkan air hangat kalau Mas mandi.”“Dari jam berapa kamu masak air?” Air panas di rumahku mati jadi harus merebus dulu kalau mau mandi dengan air panas. Aku tidak pernah bilang jam berapa akan pulang. Kadang kemalaman karena jalan dengan Ketrin dulu. Kalau tiap aku pulang air hangat sudah tersedia pastinya dia merebus s
“Mas ... Mas Adrian. Tolong ....” Anaya menggoyang-goyangkan tubuhku. Suaranya terdengar memelas membuatku semakin kesal.“Diam, Ana! Mas mau tidur.” Aku bergumam sambil memejamkan mata, berharap dia menyerah.“Tapi Ana ingin banget rujak, Mas. Rasanya udah di lidah. Tolong dong, Mas. Ana mau sekarang.”“An, ini udah malam. Mana ada yang jual rujak malam-malam begini?”“Coba aja cari dulu, ya.”Aku memutar badan, membelakangi Ana. Malam ini dia benar-benar menyebalkan. Aku hanya ingin tidur, tapi dia terus mengganggu dengan rengekannya. Aku tahu ini soal ngidam, tapi tetap saja, mana mungkin ada yang jual rujak sekarang?“Mas, Ana mohon. Sekali ini aja, ya? Demi baby....”Aku mendengus kesal. Suaranya semakin panas di telingaku. Nada melasnya terasa seperti paku yang menghunjam kepala. Jantungku berdegup kencang, tapi bukan karena kasih sayang, melainkan amarah.Tanpa sepatah kata, aku bangkit dari tempat tidur. Meraih jaket dan kunci motor di atas meja.“Mau ke mana, Mas?” tanya Ana
“Mas, Ana pergi. Ana sekarang sadar bahwa Mas Adrian tidak pernah dan tidak akan mungkin mencintai Ana. Ana tidak ingin semakin banyak dosa atas hubungan yang tidak Mas inginkan ini. Ana izin membawa pergi buah hati kita. Ana akan mencukupkan cinta kasih untuknya. Semoga Mas menemukan kebahagiaan yang selama ini Mas harapkan.”Aku terpaku membaca pesan itu. Tangan dan kaki mendadak lemas. Dadaku tiba-tiba nyeri dan berat. Beberapa ketakutan membayang dalam pelupuk mata.Bagaimana kalau Ana kenapa-napa, bukannya rujak super pedas itu mengenai matanya? Bagaimana dengan kehamilannya? Bagaimana kalau Ibu tahu Ana kabur? Bagaimana kalau ... kalau Ana pergi untuk selamanya?Tidak. Semoga Ana hanya menggertak saja.Aku segera menelepon Ana, tapi nomornya sudah tidak aktif. Aku beranjak ke luar rumah dan bertanya pada tetangga. Barang kali Ana bersembunyi di salah satu rumah. Namun jawaban mereka sama, tidak ada yang melihat Ana.Ana memang tidak punya banyak teman di sekitar sini. Setelah me
Aku duduk di sofa sambil melipat tangan. Kaki terjulur ke atas meja. Di depan sana televisi menyiarkan pertandingan bola. Akalku bukan terletak pada si bundar yang melambung-lambung, tetapi pada rumah ini yang kehilangan warnanya.Setahun berlalu, ternyata Ana sudah menguasai rumah ini, sehingga pada saat dia pergi rumah ini terasa aneh. Jika aku pulang kerja, Ana biasanya langsung mencium tangan. Dia akan mengambil sepatu yang baru kulepas asal dan menyimpannya di tempat khusus. Setelahnya aku akan duduk di kursi ini, lalu Ana akan melepas kaus kakiku sambil duduk di lantai.Dia akan bertanya. “Mas Adrian mau makan dulu atau mandi dulu. Ana sudah masak dan Ana sudah siapkan air hangat kalau Mas mandi.”“Dari jam berapa kamu masak air?” Air panas di rumahku mati jadi harus merebus dulu kalau mau mandi dengan air panas. Aku tidak pernah bilang jam berapa akan pulang. Kadang kemalaman karena jalan dengan Ketrin dulu. Kalau tiap aku pulang air hangat sudah tersedia pastinya dia merebus s
"Apa? Dipecat?" Ketrin terbelalak. Wanita berlensa biru ini tampak murka. "Tuh kan, ini gara-gara cewek kampung pembawa sial itu."Perkataan Ketrin membuatku semakin stres. Aku mondar-mandir dekat dinding kaca yang tinggi. Dari mana aku bisa makan kalau tidak punya upah. Cicilan pun banyak, Oh Tuhan."Mas, sebaiknya kamu sekarang temui Pak Rafasya. Minta pengertian." Ketrin menyebutkan nama CEO perusahaan.Aku menggeleng kecil. Tidak yakin dengan cara itu. "Sulit, Ketrin.""Coba saja dulu. Kalau ditolak pun gak ada resikonya kan. Tapi kalau berhasil?Ayolah, Mas. Jangan patah semangat. Kita punya mimpi yang besar. Sekarang cari kerja susah."Aku mengusap kening. Betul juga kata Ketrin. Kalau usaha ini gagal juga toh aku tetap dikeluarkan. Mana tahu berhasil."Oke, akan kucoba.""Nah gitu dong. Bilang kalau Ibu lagi sakit. Pak Rafasya biasanya lebih manusiawi."Seperti saran dari Ketrin, aku menemui CEO perusahaan di ruangannya. Sayangnya aku ditolak oleh sekretarisnya. Tidak bisa semb
Suara langkah kaki di atas ubin dingin mengalihkan pandanganku dan Zihan. Kami sama-sama terbelalak melihat siapa yang datang."Ibu." Zihan buru-buru berjalan menghampiri ibu mertuaku.Bapak, Ibu, dan adiknya Ana berkunjung. Aku tertegun. Apa yang harus kujelaskan pada mereka.Zihan mencium tangan wanita berkerudung lusuh itu dengan takzim. "Ibu baru datang?""Ana di mana, Mbak Zihan?""Zihan belum dapat kabar, Bu. Tapi Zihan pasti cari tahu terus.""Bagaimana keadaan Bu Santi?""Kurang baik, Bu.""Ya Allah."Mereka terus berjalan ke sini. Detik demi detik terasa membeku. Aku diimpit rasa bersalah. Petuah Mas Radit kemarin terekam dalam ingatan. "Yang kamu perlakukan dengan tidak manusiawi itu anak orang, Adrian. Di keluarganya dia disayangi, kamu malah memperlakukan dengan tak layak. Apa yang akan orang tuanya katakan?"Aku menunduk begitu jarak dengan keluarga Ana hanya tinggal beberapa langkah. Aku menyalami bapak mertua. Pria tua itu tidak menolak uluran tanganku tapi juga tidak b
Aku kembali ke rumah. Ibu sudah berdiri di depan gerbang. Aku segera turun dari mobil, menyapa dan mencium tangan ibu."Ibu gak bilang dulu mau berkunjung.""Gak bilang gimana, Adrian? Ibu telepon Ana berkali-kali, nomornya tidak aktif."Setiap kali mendengar nama Ana hatiku rasanya gak enak. Bagaimana aku mengatasi masalah kepergiannya.Aku segera membuka gerbang. Berjalan ke depan rumah dan membuka pintu."Ana ke mana, Adrian? Tadi ibu lihat murid-murid ngajinya mencari."Aku mempersilahkan Ibu masuk lebih dulu.Ibu dan Ana terlibat dalam satu kajian yang sama. Mereka berkenalan di sana. Dari situlah Ibu menyukai Ana dan menjodohkannya denganku. Ibuku sangat menyayangi Ana. Ibu juga punya hipertensi dan kolesterol. Bisa bahaya kalau tahu menantunya kabur."Ana lagi nungguin temannya di rumah sakit, Bu." Aku mengarang saja."Ana lagi hamil, kok kamu izinin sih. Di rumah sakit banyak penyakit.""Ya ... Ana mau nolong orang, masa aku larang sih, Bu."Ibu duduk di kursi dan menyimpan ta
“Mas, Ana pergi. Ana sekarang sadar bahwa Mas Adrian tidak pernah dan tidak akan mungkin mencintai Ana. Ana tidak ingin semakin banyak dosa atas hubungan yang tidak Mas inginkan ini. Ana izin membawa pergi buah hati kita. Ana akan mencukupkan cinta kasih untuknya. Semoga Mas menemukan kebahagiaan yang selama ini Mas harapkan.”Aku terpaku membaca pesan itu. Tangan dan kaki mendadak lemas. Dadaku tiba-tiba nyeri dan berat. Beberapa ketakutan membayang dalam pelupuk mata.Bagaimana kalau Ana kenapa-napa, bukannya rujak super pedas itu mengenai matanya? Bagaimana dengan kehamilannya? Bagaimana kalau Ibu tahu Ana kabur? Bagaimana kalau ... kalau Ana pergi untuk selamanya?Tidak. Semoga Ana hanya menggertak saja.Aku segera menelepon Ana, tapi nomornya sudah tidak aktif. Aku beranjak ke luar rumah dan bertanya pada tetangga. Barang kali Ana bersembunyi di salah satu rumah. Namun jawaban mereka sama, tidak ada yang melihat Ana.Ana memang tidak punya banyak teman di sekitar sini. Setelah me
“Mas ... Mas Adrian. Tolong ....” Anaya menggoyang-goyangkan tubuhku. Suaranya terdengar memelas membuatku semakin kesal.“Diam, Ana! Mas mau tidur.” Aku bergumam sambil memejamkan mata, berharap dia menyerah.“Tapi Ana ingin banget rujak, Mas. Rasanya udah di lidah. Tolong dong, Mas. Ana mau sekarang.”“An, ini udah malam. Mana ada yang jual rujak malam-malam begini?”“Coba aja cari dulu, ya.”Aku memutar badan, membelakangi Ana. Malam ini dia benar-benar menyebalkan. Aku hanya ingin tidur, tapi dia terus mengganggu dengan rengekannya. Aku tahu ini soal ngidam, tapi tetap saja, mana mungkin ada yang jual rujak sekarang?“Mas, Ana mohon. Sekali ini aja, ya? Demi baby....”Aku mendengus kesal. Suaranya semakin panas di telingaku. Nada melasnya terasa seperti paku yang menghunjam kepala. Jantungku berdegup kencang, tapi bukan karena kasih sayang, melainkan amarah.Tanpa sepatah kata, aku bangkit dari tempat tidur. Meraih jaket dan kunci motor di atas meja.“Mau ke mana, Mas?” tanya Ana