Share

Bab 2: Kamu di Mana

Author: Nendia
last update Last Updated: 2025-03-20 07:02:47

“Mas, Ana pergi. Ana sekarang sadar bahwa Mas Adrian tidak pernah dan tidak akan mungkin mencintai Ana. Ana tidak ingin semakin banyak dosa atas hubungan yang tidak Mas inginkan ini. Ana izin membawa pergi buah hati kita. Ana akan mencukupkan cinta kasih untuknya. Semoga Mas menemukan kebahagiaan yang selama ini Mas harapkan.”

Aku terpaku membaca pesan itu. Tangan dan kaki mendadak lemas. Dadaku tiba-tiba nyeri dan berat. Beberapa ketakutan membayang dalam pelupuk mata.

Bagaimana kalau Ana kenapa-napa, bukannya rujak super pedas itu mengenai matanya? Bagaimana dengan kehamilannya? Bagaimana kalau Ibu tahu Ana kabur? Bagaimana kalau ... kalau Ana pergi untuk selamanya?

Tidak. Semoga Ana hanya menggertak saja.

Aku segera menelepon Ana, tapi nomornya sudah tidak aktif. Aku beranjak ke luar rumah dan bertanya pada tetangga. Barang kali Ana bersembunyi di salah satu rumah. Namun jawaban mereka sama, tidak ada yang melihat Ana.

Ana memang tidak punya banyak teman di sekitar sini. Setelah menikah, Ibu memintanya berhenti bekerja. Ana menurut tanpa banyak bicara. Dia hanya mengajar ngaji anak-anak di mushola dekat rumah. Lingkar sosialnya sangat kecil, hanya Ibu dan beberapa teman kajian. Jika mengingat pesan terakhir Ana, aku yakin dia tidak akan pergi ke rumah ibuku.

Matahari sudah naik ketika aku memutuskan untuk mengambil cuti hari ini. Pikiran tentang ke mana Ana pergi terus menghantui, membuat kepalaku terasa berat. Aku duduk di ruang tamu dan meresapi rumah yang terlalu sepi ini.

Aku memang tidak pernah mencintai Ana. Tapi kepergiannya membuatku sadar kalau dia punya posisi tersendiri di rumah ini.

Aku memandangi pintu yang menjadi saksi kepergian Ana. Berharap Ana tiba-tiba muncul dan semuanya kembali normal.

Aku menyusuri jalanan ibukota tanpa tujuan. Asap kendaraan dan hiruk-pikuk kota pagi ini terasa lebih mencekik dari biasanya. Aku berusaha memutar otak, mencari kemungkinan ke mana Ana pergi. Akhirnya, aku memutuskan pergi ke kantor lama Ana untuk mencari temannya. Satu-satunya nama yang kuingat adalah Zihan, teman yang pernah hadir di pernikahan kami.

Di meja resepsionis, aku minta bertemu dengan Zihan.

“Saya ingin bertemu dengan Zihan dari divisi akuntansi,” kataku dengan nada pelan.

Resepsionis menelepon sebentar, lalu mengarahkan aku ke ruang tunggu. Tak lama kemudian, Zihan datang dengan raut wajah bingung.

“Mas Adrian? Ada apa ya?” tanyanya sambil duduk di depanku.

“Zihan, maaf mengganggu waktumu. Apa Ana sempat menemuimu atau menghubungi?” tanyaku hati-hati.

“Tidak, Mas. Memangnya kenapa? Ada masalah?” Wanita berkerudung lebar itu malah kembali bertanya.

“Oh, tidak, ya,” jawabku cepat, mencoba terlihat tenang.

Zihan menatapku dengan tatapan curiga. “Sudah tiga hari Ana tidak menghubungi. Biasanya kalau mau ada kajian saja kami saling chat.”

Aku menelan ludah, bingung harus berkata apa.

“Sebenernya ... kami sedang ada masalah. Ana sedang marah ... lalu dia kabur dari rumah.”

Sebelum sempat melanjutkan, ponselku berdering. Nama Ketrin muncul di layar. Aku menekan tombol jawab dengan enggan.

“Kamu di mana? Kok gak masuk kantor?”

“Maaf, Ketrin. Aku sedang ada urusan.”

“Urusan apa lagi sih? Sama si Kampungan? Dia sakit? Kontrol? Aduh, Mas, istrimu itu manja banget. Kerjaan kamu di sini banyak loh!”

Aku melirik Zihan yang sedang memperhatikanku. Dia menyilangkan tangan di dada sambil tersenyum miring. Senyum itu penuh sindiran. Aku merasa diriku makin kecil.

“Maaf, Ketrin. Aku tidak bisa bicara sekarang,” jawabku sambil memutus panggilan.

Zihan menghela napas panjang, tampak kesal.

“Mas Adrian, kalau mau tanya tentang Ana, saya tidak tahu. Harusnya Mas lebih tahu. Kan Mas suaminya,” katanya dengan nada dingin.

“Tapi... aku benar-benar tidak tahu ke mana dia pergi."

“Itu karena Mas Adrian tidak pernah memperlakukan Ana dengan baik. Harusnya bagus dong kalau Ana pergi. Kalian bisa saling membebaskan.”

“Tidak seperti itu, Zihan.” Melihat Zihan yang tampaknya tahu banyak tentang rumah tanggaku, aku yakin dia tahu di mana keberadaan Ana. “Kamu pasti tahu Ana di mana kan?”

“Kalau saya tahu, saya tidak akan sudi menemui Mas Adrian di sini.” Zihan berdiri, mengakhiri percakapan tanpa basa-basi. “Saya permisi, Mas.”

“Zi. Zihan! Tolong bilang ke Ana jangan pergi dengan cara seperti ini.”

Zihan terus berjalan menjauh.

“Zihan. Ibuku akan mencarinya.”

Aku hanya bisa memandangi punggung Zihan yang terus menjauh. "Zihan. Ana bawa anak kami."

*

Setelah gagal mendapatkan petunjuk dari Zihan, aku memutuskan menghubungi ibu mertuaku.

“Assalamualaikum, Bu,” sapaku ragu-ragu.

“Oh, Adrian. Kok kamu yang telepon? Ana mana?” tanyanya heran. Selama menikah, aku memang tidak pernah menelepon ibu mertua.

Aku terdiam beberapa saat, bingung harus berkata apa. Kalau ibu mertua malah menanyakan keberadaan Ana, itu berarti Ana tidak ada di sana. Dia benar-benar pergi tanpa meninggalkan jejak.

“Adrian? Ana kenapa? Kehamilannya baik-baik saja, kan? Kenapa kamu diam saja?” suara ibu mertua terdengar khawatir.

Aku mencoba menguasai diri. “Iya, Bu. Ana sehat kok. Semuanya baik-baik saja. Ya....” Aku meyakinkan.

“Alhamdulillah. Dari kemarin perasaan Ibu enggak enak. Untunglah kalau kalian sehat. Jadi ada apa, Adrian?”

Aku menggigit bibir, berpikir cepat. “Ini, Bu. Saya dapat bonus kerja, jadi mau berbagi buat Ibu. Bisa minta nomor rekeningnya, Bu?” Pertama kalinya dalam hidup aku harus memberi uang pada mertua. Ini karena kepepet saja, tak ada ide lain.

“Masya Allah, kamu baik sekali. Nanti Ibu kirimkan nomornya, ya. Terima kasih sebelumnya,” jawab Ibu mertua dengan nada amat bahagia.

Aku menghela napas lega setelah menutup telepon. Aku tahu itu bukan cara yang benar, tapi setidaknya aku berhasil menutupi masalah untuk sementara waktu.

*

Sore hari, pencarianku masih belum membuahkan hasil. Aku bahkan tidak tahu lagi harus ke mana. Ketika aku sedang duduk di dalam mobil, ponselku berbunyi. Kali ini dari ibuku.

“Adrian, kamu masih kerja? Kenapa rumah sepi? Ana tidak di rumah?”

Aku menepuk kening. “Waduh, bagaimana ini? Kalau Ibu tahu Ana kabur, bisa gawat,” pikirku panik.

Bersambung ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 3: Istri yang Sempurna

    Aku kembali ke rumah. Ibu sudah berdiri di depan gerbang. Aku segera turun dari mobil, menyapa dan mencium tangan ibu."Ibu gak bilang dulu mau berkunjung.""Gak bilang gimana, Adrian? Ibu telepon Ana berkali-kali, nomornya tidak aktif."Setiap kali mendengar nama Ana hatiku rasanya gak enak. Bagaimana aku mengatasi masalah kepergiannya.Aku segera membuka gerbang. Berjalan ke depan rumah dan membuka pintu."Ana ke mana, Adrian? Tadi ibu lihat murid-murid ngajinya mencari."Aku mempersilahkan Ibu masuk lebih dulu.Ibu dan Ana terlibat dalam satu kajian yang sama. Mereka berkenalan di sana. Dari situlah Ibu menyukai Ana dan menjodohkannya denganku. Ibuku sangat menyayangi Ana. Ibu juga punya hipertensi dan kolesterol. Bisa bahaya kalau tahu menantunya kabur."Ana lagi nungguin temannya di rumah sakit, Bu." Aku mengarang saja."Ana lagi hamil, kok kamu izinin sih. Di rumah sakit banyak penyakit.""Ya ... Ana mau nolong orang, masa aku larang sih, Bu."Ibu duduk di kursi dan menyimpan ta

    Last Updated : 2025-03-20
  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 4: Semakin Runyam

    Suara langkah kaki di atas ubin dingin mengalihkan pandanganku dan Zihan. Kami sama-sama terbelalak melihat siapa yang datang."Ibu." Zihan buru-buru berjalan menghampiri ibu mertuaku.Bapak, Ibu, dan adiknya Ana berkunjung. Aku tertegun. Apa yang harus kujelaskan pada mereka.Zihan mencium tangan wanita berkerudung lusuh itu dengan takzim. "Ibu baru datang?""Ana di mana, Mbak Zihan?""Zihan belum dapat kabar, Bu. Tapi Zihan pasti cari tahu terus.""Bagaimana keadaan Bu Santi?""Kurang baik, Bu.""Ya Allah."Mereka terus berjalan ke sini. Detik demi detik terasa membeku. Aku diimpit rasa bersalah. Petuah Mas Radit kemarin terekam dalam ingatan. "Yang kamu perlakukan dengan tidak manusiawi itu anak orang, Adrian. Di keluarganya dia disayangi, kamu malah memperlakukan dengan tak layak. Apa yang akan orang tuanya katakan?"Aku menunduk begitu jarak dengan keluarga Ana hanya tinggal beberapa langkah. Aku menyalami bapak mertua. Pria tua itu tidak menolak uluran tanganku tapi juga tidak b

    Last Updated : 2025-03-20
  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 5: Ibu Pulang

    "Apa? Dipecat?" Ketrin terbelalak. Wanita berlensa biru ini tampak murka. "Tuh kan, ini gara-gara cewek kampung pembawa sial itu."Perkataan Ketrin membuatku semakin stres. Aku mondar-mandir dekat dinding kaca yang tinggi. Dari mana aku bisa makan kalau tidak punya upah. Cicilan pun banyak, Oh Tuhan."Mas, sebaiknya kamu sekarang temui Pak Rafasya. Minta pengertian." Ketrin menyebutkan nama CEO perusahaan.Aku menggeleng kecil. Tidak yakin dengan cara itu. "Sulit, Ketrin.""Coba saja dulu. Kalau ditolak pun gak ada resikonya kan. Tapi kalau berhasil?Ayolah, Mas. Jangan patah semangat. Kita punya mimpi yang besar. Sekarang cari kerja susah."Aku mengusap kening. Betul juga kata Ketrin. Kalau usaha ini gagal juga toh aku tetap dikeluarkan. Mana tahu berhasil."Oke, akan kucoba.""Nah gitu dong. Bilang kalau Ibu lagi sakit. Pak Rafasya biasanya lebih manusiawi."Seperti saran dari Ketrin, aku menemui CEO perusahaan di ruangannya. Sayangnya aku ditolak oleh sekretarisnya. Tidak bisa semb

    Last Updated : 2025-03-20
  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 6: Puncak Harga Diri Laki-laki

    Aku duduk di sofa sambil melipat tangan. Kaki terjulur ke atas meja. Di depan sana televisi menyiarkan pertandingan bola. Akalku bukan terletak pada si bundar yang melambung-lambung, tetapi pada rumah ini yang kehilangan warnanya.Setahun berlalu, ternyata Ana sudah menguasai rumah ini, sehingga pada saat dia pergi rumah ini terasa aneh. Jika aku pulang kerja, Ana biasanya langsung mencium tangan. Dia akan mengambil sepatu yang baru kulepas asal dan menyimpannya di tempat khusus. Setelahnya aku akan duduk di kursi ini, lalu Ana akan melepas kaus kakiku sambil duduk di lantai.Dia akan bertanya. “Mas Adrian mau makan dulu atau mandi dulu. Ana sudah masak dan Ana sudah siapkan air hangat kalau Mas mandi.”“Dari jam berapa kamu masak air?” Air panas di rumahku mati jadi harus merebus dulu kalau mau mandi dengan air panas. Aku tidak pernah bilang jam berapa akan pulang. Kadang kemalaman karena jalan dengan Ketrin dulu. Kalau tiap aku pulang air hangat sudah tersedia pastinya dia merebus s

    Last Updated : 2025-03-20
  • Rujak Pedas di Muka Istriku   BAB 1: RUJAK PEDAS DI MUKA ISTRIKU

    “Mas ... Mas Adrian. Tolong ....” Anaya menggoyang-goyangkan tubuhku. Suaranya terdengar memelas membuatku semakin kesal.“Diam, Ana! Mas mau tidur.” Aku bergumam sambil memejamkan mata, berharap dia menyerah.“Tapi Ana ingin banget rujak, Mas. Rasanya udah di lidah. Tolong dong, Mas. Ana mau sekarang.”“An, ini udah malam. Mana ada yang jual rujak malam-malam begini?”“Coba aja cari dulu, ya.”Aku memutar badan, membelakangi Ana. Malam ini dia benar-benar menyebalkan. Aku hanya ingin tidur, tapi dia terus mengganggu dengan rengekannya. Aku tahu ini soal ngidam, tapi tetap saja, mana mungkin ada yang jual rujak sekarang?“Mas, Ana mohon. Sekali ini aja, ya? Demi baby....”Aku mendengus kesal. Suaranya semakin panas di telingaku. Nada melasnya terasa seperti paku yang menghunjam kepala. Jantungku berdegup kencang, tapi bukan karena kasih sayang, melainkan amarah.Tanpa sepatah kata, aku bangkit dari tempat tidur. Meraih jaket dan kunci motor di atas meja.“Mau ke mana, Mas?” tanya Ana

    Last Updated : 2025-03-20

Latest chapter

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 6: Puncak Harga Diri Laki-laki

    Aku duduk di sofa sambil melipat tangan. Kaki terjulur ke atas meja. Di depan sana televisi menyiarkan pertandingan bola. Akalku bukan terletak pada si bundar yang melambung-lambung, tetapi pada rumah ini yang kehilangan warnanya.Setahun berlalu, ternyata Ana sudah menguasai rumah ini, sehingga pada saat dia pergi rumah ini terasa aneh. Jika aku pulang kerja, Ana biasanya langsung mencium tangan. Dia akan mengambil sepatu yang baru kulepas asal dan menyimpannya di tempat khusus. Setelahnya aku akan duduk di kursi ini, lalu Ana akan melepas kaus kakiku sambil duduk di lantai.Dia akan bertanya. “Mas Adrian mau makan dulu atau mandi dulu. Ana sudah masak dan Ana sudah siapkan air hangat kalau Mas mandi.”“Dari jam berapa kamu masak air?” Air panas di rumahku mati jadi harus merebus dulu kalau mau mandi dengan air panas. Aku tidak pernah bilang jam berapa akan pulang. Kadang kemalaman karena jalan dengan Ketrin dulu. Kalau tiap aku pulang air hangat sudah tersedia pastinya dia merebus s

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 5: Ibu Pulang

    "Apa? Dipecat?" Ketrin terbelalak. Wanita berlensa biru ini tampak murka. "Tuh kan, ini gara-gara cewek kampung pembawa sial itu."Perkataan Ketrin membuatku semakin stres. Aku mondar-mandir dekat dinding kaca yang tinggi. Dari mana aku bisa makan kalau tidak punya upah. Cicilan pun banyak, Oh Tuhan."Mas, sebaiknya kamu sekarang temui Pak Rafasya. Minta pengertian." Ketrin menyebutkan nama CEO perusahaan.Aku menggeleng kecil. Tidak yakin dengan cara itu. "Sulit, Ketrin.""Coba saja dulu. Kalau ditolak pun gak ada resikonya kan. Tapi kalau berhasil?Ayolah, Mas. Jangan patah semangat. Kita punya mimpi yang besar. Sekarang cari kerja susah."Aku mengusap kening. Betul juga kata Ketrin. Kalau usaha ini gagal juga toh aku tetap dikeluarkan. Mana tahu berhasil."Oke, akan kucoba.""Nah gitu dong. Bilang kalau Ibu lagi sakit. Pak Rafasya biasanya lebih manusiawi."Seperti saran dari Ketrin, aku menemui CEO perusahaan di ruangannya. Sayangnya aku ditolak oleh sekretarisnya. Tidak bisa semb

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 4: Semakin Runyam

    Suara langkah kaki di atas ubin dingin mengalihkan pandanganku dan Zihan. Kami sama-sama terbelalak melihat siapa yang datang."Ibu." Zihan buru-buru berjalan menghampiri ibu mertuaku.Bapak, Ibu, dan adiknya Ana berkunjung. Aku tertegun. Apa yang harus kujelaskan pada mereka.Zihan mencium tangan wanita berkerudung lusuh itu dengan takzim. "Ibu baru datang?""Ana di mana, Mbak Zihan?""Zihan belum dapat kabar, Bu. Tapi Zihan pasti cari tahu terus.""Bagaimana keadaan Bu Santi?""Kurang baik, Bu.""Ya Allah."Mereka terus berjalan ke sini. Detik demi detik terasa membeku. Aku diimpit rasa bersalah. Petuah Mas Radit kemarin terekam dalam ingatan. "Yang kamu perlakukan dengan tidak manusiawi itu anak orang, Adrian. Di keluarganya dia disayangi, kamu malah memperlakukan dengan tak layak. Apa yang akan orang tuanya katakan?"Aku menunduk begitu jarak dengan keluarga Ana hanya tinggal beberapa langkah. Aku menyalami bapak mertua. Pria tua itu tidak menolak uluran tanganku tapi juga tidak b

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 3: Istri yang Sempurna

    Aku kembali ke rumah. Ibu sudah berdiri di depan gerbang. Aku segera turun dari mobil, menyapa dan mencium tangan ibu."Ibu gak bilang dulu mau berkunjung.""Gak bilang gimana, Adrian? Ibu telepon Ana berkali-kali, nomornya tidak aktif."Setiap kali mendengar nama Ana hatiku rasanya gak enak. Bagaimana aku mengatasi masalah kepergiannya.Aku segera membuka gerbang. Berjalan ke depan rumah dan membuka pintu."Ana ke mana, Adrian? Tadi ibu lihat murid-murid ngajinya mencari."Aku mempersilahkan Ibu masuk lebih dulu.Ibu dan Ana terlibat dalam satu kajian yang sama. Mereka berkenalan di sana. Dari situlah Ibu menyukai Ana dan menjodohkannya denganku. Ibuku sangat menyayangi Ana. Ibu juga punya hipertensi dan kolesterol. Bisa bahaya kalau tahu menantunya kabur."Ana lagi nungguin temannya di rumah sakit, Bu." Aku mengarang saja."Ana lagi hamil, kok kamu izinin sih. Di rumah sakit banyak penyakit.""Ya ... Ana mau nolong orang, masa aku larang sih, Bu."Ibu duduk di kursi dan menyimpan ta

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   Bab 2: Kamu di Mana

    “Mas, Ana pergi. Ana sekarang sadar bahwa Mas Adrian tidak pernah dan tidak akan mungkin mencintai Ana. Ana tidak ingin semakin banyak dosa atas hubungan yang tidak Mas inginkan ini. Ana izin membawa pergi buah hati kita. Ana akan mencukupkan cinta kasih untuknya. Semoga Mas menemukan kebahagiaan yang selama ini Mas harapkan.”Aku terpaku membaca pesan itu. Tangan dan kaki mendadak lemas. Dadaku tiba-tiba nyeri dan berat. Beberapa ketakutan membayang dalam pelupuk mata.Bagaimana kalau Ana kenapa-napa, bukannya rujak super pedas itu mengenai matanya? Bagaimana dengan kehamilannya? Bagaimana kalau Ibu tahu Ana kabur? Bagaimana kalau ... kalau Ana pergi untuk selamanya?Tidak. Semoga Ana hanya menggertak saja.Aku segera menelepon Ana, tapi nomornya sudah tidak aktif. Aku beranjak ke luar rumah dan bertanya pada tetangga. Barang kali Ana bersembunyi di salah satu rumah. Namun jawaban mereka sama, tidak ada yang melihat Ana.Ana memang tidak punya banyak teman di sekitar sini. Setelah me

  • Rujak Pedas di Muka Istriku   BAB 1: RUJAK PEDAS DI MUKA ISTRIKU

    “Mas ... Mas Adrian. Tolong ....” Anaya menggoyang-goyangkan tubuhku. Suaranya terdengar memelas membuatku semakin kesal.“Diam, Ana! Mas mau tidur.” Aku bergumam sambil memejamkan mata, berharap dia menyerah.“Tapi Ana ingin banget rujak, Mas. Rasanya udah di lidah. Tolong dong, Mas. Ana mau sekarang.”“An, ini udah malam. Mana ada yang jual rujak malam-malam begini?”“Coba aja cari dulu, ya.”Aku memutar badan, membelakangi Ana. Malam ini dia benar-benar menyebalkan. Aku hanya ingin tidur, tapi dia terus mengganggu dengan rengekannya. Aku tahu ini soal ngidam, tapi tetap saja, mana mungkin ada yang jual rujak sekarang?“Mas, Ana mohon. Sekali ini aja, ya? Demi baby....”Aku mendengus kesal. Suaranya semakin panas di telingaku. Nada melasnya terasa seperti paku yang menghunjam kepala. Jantungku berdegup kencang, tapi bukan karena kasih sayang, melainkan amarah.Tanpa sepatah kata, aku bangkit dari tempat tidur. Meraih jaket dan kunci motor di atas meja.“Mau ke mana, Mas?” tanya Ana

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status