"Mmh?" Rose membuka matanya, sempat terheran ketika melihat langit - langit ruangan yang terasa asing baginya, dia kemudian terduduk dengan tangan yang menyentuh kepalanya "Dimana ini?" herannya.
"Rumah sakit?"
"Sudah bangun?" suara seseorang membuat Rose kemudian menoleh, dilihatnya El yang tengah duduk elegan di sofa.
Sekarang Rose ingat kenapa dia bisa berada di sana, seorang Black Rose pingsan setelah seorang pria melamarnya? Wtf? Apa kata dunia? Mau ditaruh dimana mukanya jika hal itu sampai diketahui banyak orang.
Tak lama El beranjak dan berjalan menghampiri Rose lalu duduk di tepi ranjang tempat Rose berbaring.
Tap!
Tiba - tiba El memegang kedua tangan Rose "Tolong bantu aku." ucapnya dengan tatapan penuh harap.
Rose menarik tangannya dengan raut wajah yang tidak bisa digambarkan melalui kata - kata "A-apa yang bisa aku bantu?" tanyanya.
"Menikah denganku."
"Kau becanda ya? Aku tidak mau." tolak Rose, dia menyibakkan selimut yang membalut tubuhnya kemudian menurunkan kaki.
"Tunggu dulu Rose!" El memegang pergelangan tangan Rose untuk menahan kepergiannya.
"Jangan memanggilku dengan nama itu!"
"Baiklah, Lina, dengarkan aku." ia menarik Rose kembali duduk "Bagaimana dengan pernikahan kontrak? 1 tahun, aku janji hanya 1 tahun." tambahnya.
Rose menatap pria itu, walaupun dia tidak memahami betul tentang sesuatu bernama 'pernikahan' itu, tapi dia tahu, pernikahan bukan sesuatu yang bisa dipermainkan.
"Bagaimana kalau setengah tahun? Selama itu juga aku akan menanggung semua biaya hidupmu beserta keluargamu, bagaimana?" tawarnya
Lagi, Rose menepis tangan El kemudian beranjak "Aku tidak tertarik, lagian aku tidak punya keluarga. Kau cari wanita lain saja, sampai jumpa."
Ia berjalan namun ketika hendak membukakan pintu, El mengatakan sesuatu "Hari ini tidak perlu kembali ke kantor, pulang dan beristirahatlah." ucapnya.
Rose tersenyum dingin "Hm. Baiklah." dia membuka pintu dan keluar.
Dia berjalan menuju elevator. Didalam, seorang pria berpakaian hitam dengan masker serta topi hitam mendekatinya, dengan sengaja dia menyenggol bahu Rose sampai membuatnya menoleh.
Mata Rose membulat "Kak Eight~"
"Ssssttt." pria itu menaruh jari telunjuknya di ujung bibirnya. Pria itu bernama Eight, salah satu orang kepercayaan paman. Kemunculannya di tempat itu apa hanya kebetulan semata? Atau paman memang menyuruhnya diam - diam mengikuti Rose?
Ting!
Pintu lift terbuka, Rose membuntuti Eight, mereka berjalan menuju satu mobil berwarna merah, keduanya kemudian masuk ke mobil itu.
Eight duduk di kursi kemudi sementara Rose duduk di sebelahnya. Mobil pun melaju pergi.
"Huuuh." Rose menghela nafas panjang.
"Kak Eight, apa yang kau lakukan di tempat ini?" tanya Rose.
"Mmm ... T-tidak ada." gelagat yang sungguh mencurigakan, sudah pasti kalau dia dikirim paman untuk mengawasi Rose.
Kak Eight ini, pria berambut silver dengan model mohak bawah, dia pria yang sangat baik dan bisa dipercaya. Dia memiliki mata dengan pupil berwarna hijau cerah, penglihatannya setajam mata elang.
Ada satu lagi pria yang bisa dibilang baik, dia bernama Nathan. Pria dengan perawakan tinggi serta berkulit putih dengan wajah cukup tampan.
Kak Nathan berambut blonde, telinga sebelah kirinya ditindik hitam. Salah satu pria yang kabarnya menaruh rasa pada Rose dan dia selalu memberikan perhatian lebih.
"Rose." panggil Eight.
"Hm?"
"Sebenarnya aku disuruh paman mengawasimu." akhirnya mengaku juga, begitu kiranya pikir Rose saat ini.
"Jadi kak Eight menungguku untuk membawaku pulang?"
"Hmm."
"Kak Eight mendengar pembicaraanku dengan pria itu?"
"Hm."
"Mengenai pernikahan?"
"Hm."
"Terus, kak Eigth memberitahukannya pada paman?"
"H-hm."
"Jangan marah Rose! Ini juga demi misi, paman mengkhawatirkanmu jadi dia mengirimku mengawasimu. Apa kau tahu? Kak Lily ... Dia dibunuh seseorang tidak dikenal."
"Apa? Kak Lily di~ tidak mungkin kak, dia tidak mungkin semudah itu di bunuh!" Rose terkejut bukan main.
"Itu kenyataannya, aku yakin, selain paman ada orang yang juga mengetahui tentang kunci itu. Kau seorang Black Rose yang terkenal, jangan dengan mudah mengekpos diri." ia memberi peringatan.
Rose mengangguk pelan, tidak menyangka kakak senior Lily telah tiada. "Sial! Siapa yang berani membunuhnya?!" Pekik Rose dalam hati.
Tak lama merekapun sampai di markas Arkansas. Kabar duka menyimuti mereka. Karna kak Lily yang paling tua diantara para Assassin wanita, dia sangat dihormati dan memiliki posisi satu tingkat dibawah paman.
Kreek!
Kak Eight membuka pintu ruangan paman lalu mempersilahkan Rose masuk. Di sana paman menundukkan kepalanya dengan kedua tangan menyentuh kepalanya.
"Paman, kak Lily~" Rose menghentikan ucapannya, mungkin bukan saatnya membicarakan hal itu.
Paman mendongakkan kepalanya "Ah Rose, duduklah."
"Lily itu ceroboh, aku sudah melarangnya untuk tidak pergi tapi tidak dia dengar. Salah paman juga, tidak mengawasinya dengan benar."
"Paman jangan menyalahkan diri sendiri, kak Lily itu kuat, lawannya pasti lebih kuat." ucap Rose kemudian duduk.
"Hmm. Oh ya, aku yakin kau sudah tahu kalau aku mengirim Eight untuk mengawasimu. Mengenai pernikahan itu~"
"Aku menolak! Aku tidak mau menikah dengannya."
Paman menghela nafas panjang "Sebenarnya Rose, kau harus menerima tawaran pernikahan itu. Bisa lebih dekat dengannya maka lebih baik. Jadi Rose, terima tawaran pernikahan itu."
"Aku tidak mau!" tolak Rose lagi.
Anak yang satu ini memang sangat keras kepala, mungkin paman terlalu memanjakannya "Apa sebenarnya kau memiliki perasaan pada Nathan?" tanya paman membuat Rose tertegun.
"A-apa yang paman katakan? Kenapa bisa berpikir seperti itu?" ia memonyongkan bibirnya seraya membuang muka.
"Oh? Ya sudah, paman tidak akan kasih tahu hal menarik." dia menggoda Rose.
"Jangan kasih tahu kalau begitu."
Beberapa saat kemudian.
"Katakan! Kalau ada yang mau dibicarakan katakan saja!" masih berusaha mempertahankan gengsinya.
"Menikahlah dengan pria itu, bukankah hanya setengah tahun? Itu waktu yang cukup untukmu mendapatkan kunci itu, setelah itu bercerai."
"Enteng sekali mulut orang tua itu," gerutu Rose dalam hati sembari menatap kesal pada pria tua berjenggot lebat itu.
"Aku tidak mau jadi janda di usia muda." bersikeras.
"Baiklah, tidak ada pilihan lain lagi. Misi rank S ini paman akan serahkan pada Hera." kesal sekali saat paman menyebut namanya, padahal dia tahu kalau Hera adalah rival Rose.
Brak!
Rose menggebrak meja "Aku terima, aku akan menikah dengannya." dia pun mengalah.
Paman tersenyum puas "Keponakan kesayangan paman memang tidak mengecewakan, ingat kata - katamu itu ya."
"Tch." mendengus sembari berjalan menuju pintu, udara disana sangat pengap terlebih karna asap rokok yang hampir memenuhi ruangan.
"Oh ya." ucap paman menghentikan langkah Rose.
"Malam ini, dia kembali." tambahnya dengan melempar tatapan tajam pada Rose, orang yang paman maksud itu kemungkinan Nathan.
Brak!
Rose menutup pintu dengan membantingnya keras.
Paman menghela nafas kasar lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi "Rose, jangan mengecewakan paman."
Malam tiba.. Paman mengadakan perjamuan makan malam untuk semua anggota Arkansas dalam menyambut kepulangan Nathan, perjamuan tersebut di adakan di kediaman paman sendiri. 3 tahun sudah berlalu sejak kepergian Nathan ke LA karna mengurus suatu urusan penting. Jika bertanya tentang perasaan, Rose tidak tahu bagaimana perasaannya pada Nathan. Dia baik dan super perhatian, tapi bagi Rose, Nathan sudah seperti kakaknya. Malam itu pukul 6.30, satu jam setengah sebelum acara makan malam berlangsung, Rose terbangun dari tidurnya. Ia menatap jam dinding, kemudian beranjak dan pergi ke kamar mandi. Sebelumnya paman sudah mengatakan akan mengirim Four untuk menjemputnya 30 menit sebelum acara dimulai. "Huuuuh." Rose menghela nafas kasar sembari bercermin. Wajah yang kurang terurus karna sibuk menyelesaikan misi, untung memiliki body yang mendukung. Rose keluar dari kamar mandi kemudian bersiap diri. Sekalipun belum pernah, anggota Arkans
Esoknya di kantor. Tidak seperti biasanya, pagi itu El sudah stand by di ruangannya. Rose yang baru tiba kemudian menyapanya dan langsung duduk di tempatnya. Suasana menjadi sangat canggung diantara mereka. Rose jadi bingung bagaimana dia membicarakan tentang pernikahan itu, tentang dia yang menerima tawarannya tersebut. "Apa dia berubah pikiran dan tidak tertarik lagi dengan perjanjian itu? Ataukah sudah menemukan wanita lain?" pikir Rose bergelut, tapi dia tidak boleh gagal dalam misi itu. Bagaimanapun caranya harus menikah dengannya dan mendapatkan kunci itu secepatnya, kalau tidak paman akan menarik Rose dan memberikan misi itu pada Hera. Rose melirik El, mengintipnya dari ujung sudut komputernya. Pria itu terlihat tenang, tapi entah bagaimana dengan hatinya. "Hanya setengah tahun, Rose kau pasti bisa." gumamnya dalam hati. Tak lama Rose berdiri, dengan penuh keyakinan menatap El. El yang melihat sikap aneh Rose hanya melem
El menatap Rose yang bisa - bisanya berekspresi datar setelah mengatakan hal itu. Sebagai pria yang nyaris sempurna dari segala sisi, pertama kali baginya mendapatkan tawaran konyol seperti itu. Bagaimana tidak? Ratusan bahkan ribuan wanita harus bersusah payah melakukan segala cara untuk bisa naik ke ranjang pria muda nan mapan tersebut, tapi lain lagi dengan gadis di depannya itu? "Gadis yang sangat menarik." batinnya sambil tersenyum menyeringai. Tak lama dia mengulurkan tangannya, mengajaknya saling berjabat tangan sebagai tanda terjalinnya kesepakatan. "Perjanjian hitam di atas putih lengkap dengan materi akan segera aku siapkan. Untuk pernikahannya akan diadakan satu pekan dari sekarang." ucapnya. "Aku ingin acara yang sederhana dan tidak diumumkan pada publik." Rose menyambut uluran tangan El yang besar dan kekar. "Setuju!" ucap mereka bersamaan. Tercapailah kesepakatan perjanjian pernikahan, dari pernikahan tersebut keduanya mendapatka
Pagi yang sama, beberapa saat sebelumnya. Rose keluar dari kamar kost dengan pakaian yang sudah rapi, namun di depan pintu kamarnya dia mendapati Nathan tengah berdiri tegak menghadap pintu. "Selamat pagi, Rose." sapanya pagi itu. Senyum yang sama seperti 3 tahun lalu, Nathan tampaknya tak banyak berubah. "Pagi, kak Nathan kau disini pagi - pagi sekali, apa ada sesuatu?" tanya Rose, dia membalikkan badan membelakangi Nathan lalu menutup dan mengunci pintu kamar kostnya. "Mm ... Paman menyuruhku mengantarmu ke kantor." ucapnya dengan nada bersemangat. Rose membalikkan tubuhnya berhadapan dengan Nathan "Aku bisa ke kantor sendiri, kak Nathan baru beberapa hari kembali, lebih baik banyak - banyak istirahat saja." balasnya. Dia mengangkat kakinya hendak melangkahkan kaki, namun Nathan menghalanginya dengan tangannya kemudian tubuhnya lebih mendekat pada Rose. "Sementara ini aku tidak menerima misi apapun, jadi memiliki waktu yang c
Rose menatap sepasang netra pria itu, dengan raut wajah datar dia kemudian memalingkan wajahnya seraya berjalan menuju tempat duduknya, "aku rasa aku tidak berkewajiban menjawab pertanyaanmu itu," ucapnya dingin. El memejamkan mata, kedua alisnya mengkerut sambil menggertakkan gigi, baru pertama kali mendapatkan perlakuan demikian dari seorang gadis, tak lama dia juga berjalan menuju meja kerjanya. Ia mengambil bolpoint lalu berpura-pura menulis sesuatu, mengenai pemberitahuan undangan makan malam yang ibunya ajukan pada Rose, El tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. "Malam ini ibuku mengadakan makan malam keluarga dan memintaku untuk mengundangmu datang, aku harap kau bersedia datang memenuhi undangan ibuku," ucap El akhirnya memulai pembicaraan. "Mm, baiklah," semudah itu Rose langsung menyetujui undangan El. El menatap heran gadis itu, bisa-bisanya masih bisa bersikap tenang seperti itu, "Baiklah, aku akan menjemputmu jam 7 malam
Ruang tengah kediaman El. Jam dinding sudah menunjukan pukul 8 malam namun Rose belum juga tiba. Sambil duduk El terus menatap layar ponselnya, dia mengkerutkan dahi tak kala Rose malah tidak bisa dihubungi.Ibu yang duduk di samping El kemudian mendekat lalu menepuk lutut El pelan, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Dengan nada lirih ibu berkata, "Apa masih tidak bisa dihubungi? El pergi saja jemput dia. Takutnya, sesuatu yang buruk terjadi padanya." El menoleh ke arah ibu, dia mengerti kekhawatirannya.Sementara adiknya-Sylvina, yang duduk di samping ibu terdengar mendengus, "Tch ... Tidak tahu aturan sekali, berani membuat kami menunggu begitu lama. Kakak, apa kau yakin tidak salah memilih calon istri?" tanyanya dengan kedua tangan dilipat didepan dada dan raut wajah tak mengenakan.Ibu segera menoleh ke arah anak gadisnya itu, "Sylvina, jangan berbicara seperti itu pada kakakmu! Sebagai sesama wanita kenapa bisa berbicara demikian tentang wanita lain? Ibu ti
"Ssttt ...," pria itu menaruh tangannya di ujung bibir Rose. Posisi mereka begitu dekat dengan jarak kedua hidung mancung itu hanya sekitar 2 sentimeter saja. Tak lama Rose menepis tangan pria itu dan mendorong tubuhnya menjauh, kemudian ia merapikan pakaiannya."Apa yang dari tadi kau lakukan? Lama sekali, apa tidak tahu kami menunggumu dengan khawatir?" tanya El.Rose menengadahkan kepalanya menatap pria itu. "Memangnya apa lagi yang dilakukan wanita didalam toilet selain touch up? Kau datang ke toilet dengan mengendap-endap seperti orang cabul, tidak menyangka bahwa Tuan Presdir ternyata sangat mesum," celetuk Rose.El menghela napas kasar, dengan perasaan geram dia kembali menarik tangan Rose dan menyudutkannya ke dinding lagi. "Karna kau sudah berkata begitu, aku akan menunjukkan padamu apa itu mesum dan cabul," kelakarnya kemudian menyosor Rose.Rose meruncingkan tatapannya sambil bersiap dengan mengangkat kakinya diantara selangkangan E
Roselina, seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang diikat tinggi serta kacamata minus yang bertengger di hidungnya. Dia menenteng berkas lamaran pekerjaan sembari menatap sebuah gedung yang menjulang tinggi. gedung pencakar langit dengan sebuah tulisan besar terpampang jelas , Terrell-one, sebuah perusahaan internasional yang berkembang dengan sangat pesat di kota tersebut. Dia menghela napas panjang, setelah mengumpulkan keberaniannya, dia pun mulai melangkahkan kaki menuju gedung tersebut. Sebelumnya dia telah dihubungi pihak HRD untuk melakukan wawancara hari ini. Beberapa saat kemudian di ruangan HRD. "Nona Roselina, selamat Anda diterima bekerja diperusahaan ini. Kriteria anda sudah memenuhi posisi sebagai sekretaris Presdir. ruangan beliau berada di lantai paling atas dari gedung ini." mereka beranjak dan saling berjabat tangan "Terima kasih, kalau begitu saya permisi dulu." Rose pun keluar dari ruangan HRD dan pergi ke ruangan Presdir unt
"Ssttt ...," pria itu menaruh tangannya di ujung bibir Rose. Posisi mereka begitu dekat dengan jarak kedua hidung mancung itu hanya sekitar 2 sentimeter saja. Tak lama Rose menepis tangan pria itu dan mendorong tubuhnya menjauh, kemudian ia merapikan pakaiannya."Apa yang dari tadi kau lakukan? Lama sekali, apa tidak tahu kami menunggumu dengan khawatir?" tanya El.Rose menengadahkan kepalanya menatap pria itu. "Memangnya apa lagi yang dilakukan wanita didalam toilet selain touch up? Kau datang ke toilet dengan mengendap-endap seperti orang cabul, tidak menyangka bahwa Tuan Presdir ternyata sangat mesum," celetuk Rose.El menghela napas kasar, dengan perasaan geram dia kembali menarik tangan Rose dan menyudutkannya ke dinding lagi. "Karna kau sudah berkata begitu, aku akan menunjukkan padamu apa itu mesum dan cabul," kelakarnya kemudian menyosor Rose.Rose meruncingkan tatapannya sambil bersiap dengan mengangkat kakinya diantara selangkangan E
Ruang tengah kediaman El. Jam dinding sudah menunjukan pukul 8 malam namun Rose belum juga tiba. Sambil duduk El terus menatap layar ponselnya, dia mengkerutkan dahi tak kala Rose malah tidak bisa dihubungi.Ibu yang duduk di samping El kemudian mendekat lalu menepuk lutut El pelan, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Dengan nada lirih ibu berkata, "Apa masih tidak bisa dihubungi? El pergi saja jemput dia. Takutnya, sesuatu yang buruk terjadi padanya." El menoleh ke arah ibu, dia mengerti kekhawatirannya.Sementara adiknya-Sylvina, yang duduk di samping ibu terdengar mendengus, "Tch ... Tidak tahu aturan sekali, berani membuat kami menunggu begitu lama. Kakak, apa kau yakin tidak salah memilih calon istri?" tanyanya dengan kedua tangan dilipat didepan dada dan raut wajah tak mengenakan.Ibu segera menoleh ke arah anak gadisnya itu, "Sylvina, jangan berbicara seperti itu pada kakakmu! Sebagai sesama wanita kenapa bisa berbicara demikian tentang wanita lain? Ibu ti
Rose menatap sepasang netra pria itu, dengan raut wajah datar dia kemudian memalingkan wajahnya seraya berjalan menuju tempat duduknya, "aku rasa aku tidak berkewajiban menjawab pertanyaanmu itu," ucapnya dingin. El memejamkan mata, kedua alisnya mengkerut sambil menggertakkan gigi, baru pertama kali mendapatkan perlakuan demikian dari seorang gadis, tak lama dia juga berjalan menuju meja kerjanya. Ia mengambil bolpoint lalu berpura-pura menulis sesuatu, mengenai pemberitahuan undangan makan malam yang ibunya ajukan pada Rose, El tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. "Malam ini ibuku mengadakan makan malam keluarga dan memintaku untuk mengundangmu datang, aku harap kau bersedia datang memenuhi undangan ibuku," ucap El akhirnya memulai pembicaraan. "Mm, baiklah," semudah itu Rose langsung menyetujui undangan El. El menatap heran gadis itu, bisa-bisanya masih bisa bersikap tenang seperti itu, "Baiklah, aku akan menjemputmu jam 7 malam
Pagi yang sama, beberapa saat sebelumnya. Rose keluar dari kamar kost dengan pakaian yang sudah rapi, namun di depan pintu kamarnya dia mendapati Nathan tengah berdiri tegak menghadap pintu. "Selamat pagi, Rose." sapanya pagi itu. Senyum yang sama seperti 3 tahun lalu, Nathan tampaknya tak banyak berubah. "Pagi, kak Nathan kau disini pagi - pagi sekali, apa ada sesuatu?" tanya Rose, dia membalikkan badan membelakangi Nathan lalu menutup dan mengunci pintu kamar kostnya. "Mm ... Paman menyuruhku mengantarmu ke kantor." ucapnya dengan nada bersemangat. Rose membalikkan tubuhnya berhadapan dengan Nathan "Aku bisa ke kantor sendiri, kak Nathan baru beberapa hari kembali, lebih baik banyak - banyak istirahat saja." balasnya. Dia mengangkat kakinya hendak melangkahkan kaki, namun Nathan menghalanginya dengan tangannya kemudian tubuhnya lebih mendekat pada Rose. "Sementara ini aku tidak menerima misi apapun, jadi memiliki waktu yang c
El menatap Rose yang bisa - bisanya berekspresi datar setelah mengatakan hal itu. Sebagai pria yang nyaris sempurna dari segala sisi, pertama kali baginya mendapatkan tawaran konyol seperti itu. Bagaimana tidak? Ratusan bahkan ribuan wanita harus bersusah payah melakukan segala cara untuk bisa naik ke ranjang pria muda nan mapan tersebut, tapi lain lagi dengan gadis di depannya itu? "Gadis yang sangat menarik." batinnya sambil tersenyum menyeringai. Tak lama dia mengulurkan tangannya, mengajaknya saling berjabat tangan sebagai tanda terjalinnya kesepakatan. "Perjanjian hitam di atas putih lengkap dengan materi akan segera aku siapkan. Untuk pernikahannya akan diadakan satu pekan dari sekarang." ucapnya. "Aku ingin acara yang sederhana dan tidak diumumkan pada publik." Rose menyambut uluran tangan El yang besar dan kekar. "Setuju!" ucap mereka bersamaan. Tercapailah kesepakatan perjanjian pernikahan, dari pernikahan tersebut keduanya mendapatka
Esoknya di kantor. Tidak seperti biasanya, pagi itu El sudah stand by di ruangannya. Rose yang baru tiba kemudian menyapanya dan langsung duduk di tempatnya. Suasana menjadi sangat canggung diantara mereka. Rose jadi bingung bagaimana dia membicarakan tentang pernikahan itu, tentang dia yang menerima tawarannya tersebut. "Apa dia berubah pikiran dan tidak tertarik lagi dengan perjanjian itu? Ataukah sudah menemukan wanita lain?" pikir Rose bergelut, tapi dia tidak boleh gagal dalam misi itu. Bagaimanapun caranya harus menikah dengannya dan mendapatkan kunci itu secepatnya, kalau tidak paman akan menarik Rose dan memberikan misi itu pada Hera. Rose melirik El, mengintipnya dari ujung sudut komputernya. Pria itu terlihat tenang, tapi entah bagaimana dengan hatinya. "Hanya setengah tahun, Rose kau pasti bisa." gumamnya dalam hati. Tak lama Rose berdiri, dengan penuh keyakinan menatap El. El yang melihat sikap aneh Rose hanya melem
Malam tiba.. Paman mengadakan perjamuan makan malam untuk semua anggota Arkansas dalam menyambut kepulangan Nathan, perjamuan tersebut di adakan di kediaman paman sendiri. 3 tahun sudah berlalu sejak kepergian Nathan ke LA karna mengurus suatu urusan penting. Jika bertanya tentang perasaan, Rose tidak tahu bagaimana perasaannya pada Nathan. Dia baik dan super perhatian, tapi bagi Rose, Nathan sudah seperti kakaknya. Malam itu pukul 6.30, satu jam setengah sebelum acara makan malam berlangsung, Rose terbangun dari tidurnya. Ia menatap jam dinding, kemudian beranjak dan pergi ke kamar mandi. Sebelumnya paman sudah mengatakan akan mengirim Four untuk menjemputnya 30 menit sebelum acara dimulai. "Huuuuh." Rose menghela nafas kasar sembari bercermin. Wajah yang kurang terurus karna sibuk menyelesaikan misi, untung memiliki body yang mendukung. Rose keluar dari kamar mandi kemudian bersiap diri. Sekalipun belum pernah, anggota Arkans
"Mmh?" Rose membuka matanya, sempat terheran ketika melihat langit - langit ruangan yang terasa asing baginya, dia kemudian terduduk dengan tangan yang menyentuh kepalanya "Dimana ini?" herannya. "Rumah sakit?" "Sudah bangun?" suara seseorang membuat Rose kemudian menoleh, dilihatnya El yang tengah duduk elegan di sofa. Sekarang Rose ingat kenapa dia bisa berada di sana, seorang Black Rose pingsan setelah seorang pria melamarnya? Wtf? Apa kata dunia? Mau ditaruh dimana mukanya jika hal itu sampai diketahui banyak orang. Tak lama El beranjak dan berjalan menghampiri Rose lalu duduk di tepi ranjang tempat Rose berbaring. Tap! Tiba - tiba El memegang kedua tangan Rose "Tolong bantu aku." ucapnya dengan tatapan penuh harap. Rose menarik tangannya dengan raut wajah yang tidak bisa digambarkan melalui kata - kata "A-apa yang bisa aku bantu?" tanyanya. "Menikah denganku." "Kau becanda ya? Aku tidak mau." tolak Rose, di
Sore hari sepulang dari kantor, Rose pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalanan. Dia tinggal di sebuah kostan pinggir kota yang terletak cukup jauh dari ramainya hiruk - pikuk perkotaan. Saat itu senja hampir terbenam, Rose menghentak - hentakkan kakinya ke tanah, kemudian mengangkat tangan kanannya, mengenalnya kemudian membukanya lebar dan melakukannya secara berulang-ulang. "Sehari tidak memegang senjata, tidak nyaman sekali." ia bergumam sendiri. Tak berapa lama sebuah mobil berhenti di dekatnya, membuat Rose juga menghentikan langkah kakinya. Rose mengenal mobil tersebut kemudian mendekat, perlahan kaca mobil pun turun "Masuklah!" ucap seorang pria yang tak lain adalah paman Marco. Tanpa pikir panjang Rose pun masuk ke dalam mobil Mereka kemudian pergi ke markas. Markas tempat berkumpulnya para Assassin di bawah naungan Paman Marco, Arkansas. Organisasi yang terdiri dari sekitar 64 orang dengan 30% -nya adalah seorang wanita. Dari bany