“Clara, malam ini kamu mau bertemu dengan orang tua Bram?” tanya Bi Atik, wanita berusia 40 an, bibi yang merawat Clara sedari kecil.
“Iya, Bi Atik. Tapi ada satu hal yang belum aku ceritakan pada Mas Bram, yaitu mengenai Ayah,” kata Clara tak bisa menyembunyikan kecemasannya.
“Dengarkan Bibimu ini, Clara. Kamu tidak boleh mengatakan tentang Ayahmu, Bram sudah bersusah payah menyakinkan keluarganya untuk menerima kamu sebagai menantu Thomas Himawan dan merestui pernikahan kalian. Sangat sulit bagi orang kaya yang mau menerima besan orang miskin seperti kita, kalau mereka tahu ayahmu seorang narapidana, Bibi yakin keluarga Bram tak akan bisa menerimanya,” ucap Bi Atik menatap serius Clara.
“Tapi, Bi. Apa yang harus aku katakan, jika mereka bertanya tentang Ayah?”
“Katakan ayahmu menjadi TKI, atau apalah, asalkan jangan di penjara, lakukan demi Bibimu ini. Bibi telah merawatmu semenjak ibumu meninggal dan ayahmu di penjara, Bibi capek hidup susah, Clara ini masa depanmu jangan pikirkan soal ayahmu, biar Bibi yang mengurusnya, ayahmu adalah kakakku, Bibi juga sedih,” jawab Bi Atik sambil menitik air mata.
Clara hanya mengangguk, Ia pun sedih, bertahun-tahun lamanya ia harus menerima kenyataan kalau ayahnya seorang narapidana. Bahkan waktu kecil, Ia dan Bibinya harus pindah rumah karena cercaan orang bahwa Clara anak seorang penjahat. Bagi Clara, ayahnya yang terbaik. Di sela-sela kesibukannya, ia sering mengunjungi Ayahnya di RUTAN, tapi semenjak menjalin kasih dengan Bram seorang konglomerat, Clara tidak berkunjung lagi, ia takut jika Bram mengetahui latar belakang yang kelam.
Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh malam, Clara bersiap-siap, orang tua Bram ingin bertemu. Ini adalah kunjungan Clara pertama kali di rumah Bram. Clara nampak anggun, mengenakan gaun warna biru muda, dan hells warna putih serta rambut yang dibiarkan tergerai menambah kecantikan Clara.
“Keponakan Bibi, cantik sekali, Aku kira cinderela hanya dalam dongeng, ternyata terjadi juga di kehidupan nyata,” ujar Bi Atik dengan mata terkagum-kagum melihat Clara.
Sementara Bram sudah menunggu di dalam mobil sedan, matanya berbinar dan bibirnya tersenyum bahagia melihat Clara yang berjalan menghampirinya segera ia turun dan membukakan pintu mobil untuk wanita yang telah membuat hatinya luluh. Selama enam bulan ini, Bram terus berusaha menyakinkan orang tuanya untuk menerima Clara sebagai calon istrinya.
Mobil melaju pelan membelah jalanan ibukota yang di penuhi lampu-lampu jalan, hati Clara berdebar kencang, apalagi ketika mobil memasuki kawasan perumahan elit Griya Violan Regency, dan berhentilah mobil di sebuah rumah besar bernuansa klasik bak istana, rumah mewah berwarna putih di kelilingi taman bunga, lampu taman menambah eloknya rumah bak istana itu.
“Kita sudah sampai, ini rumah Papa, jangan gugup, kalau Mama bertanya apapun tentang dirimu dan keluargamu jawablah dengan jujur, Mama tidak suka dengan kebohongan,” ucap Bram dengan lembut sembari memegang jari jemari tangan Clara yang terasa dingin itu. Senyum kecil mengembang di bibir Clara, terasa jantungnya berdebar kencang. Pesan dari Bibinya selalu terngiang di telinganya.
“Selamat datang Clara,” sapa Elin ibu Bram. Wanita yang berusia 50 tahun itu terlihat menawan dengan baju yang elegan.
“Iya Tante, terima kasih. Tante mengundang Clara,” balas Clara pelan.
“Bram bilang, kamu tinggal bersama Bibimu, Ke mana orang tuamu?” tanya Elin penuh selidik, tatapannya lekat menatap Clara.
“Ayah bekerja di luar negeri menjadi TKI dan Ibu sudah meninggal dunia sejak Clara berusia 6 tahun.” Akhirnya, Clara menjawab seperti yang dikatakan Bibinya.
“Besok kau siapkan rumah untuk Bibinya Clara, Mama tidak mau melihat calon besanku tinggal di perkampungan kumuh. Apa nanti kata teman dan kolega Papa dan Mama!”perintah Elin pada Bram.
Clara hanya terdiam, ia menyadari bahwa kisahnya akan semakin rumit, apalagi di mulai dengan kebohongan.
Elin mempersilakan Clara duduk di sebuah ruang makan yang sangat besar, di sana ada meja makan berbentuk oval beralaskan keramik, dan kursi makan berjumlah delapan. Di sana sudah ada Thomas ayah dari Bram duduk di kursi makan, juga ada Dinda adik Bram yang dengan bibir manisnya tersenyum melihat kehadiran Clara.
Dengan berjalan pelan Clara menghampiri mereka dan duduk di samping Bram. Berbagai hidangan sudah ada di depan mata.
Setelah pertemuan dengan keluarga Bram, hubungan Clara dan Bram semakin erat. Sehingga Bram berniat untuk segera meresmikan hubungan ke jenjang pernikahan.
Mendekati hari pernikahan Clara semakin galau, perasaan bersalah atas kebohongan tentang ayahnya membuatnya gelisah.
“Bi Atik, apa aku pantas menikah dengan Mas Bram,” ucap Clara sambil memandang lekat Bibinya.
“Tentu saja pantas, di dalam dirimu mengalir darah ningrat.“
“Apa maksud Bibi?” Clara semakin penasaran.
“Sudah waktunya, kamu harus tahu kisah cinta antara ayah dan ibumu, supaya kamu juga tidak minder menikah dengan Bram.“ Dengan suara pelan, tapi terdengar jelas Bi Atik berucap pada Clara.
Clara semakin mendengarkan setiap kata demi kata yang terucap dari bibir Bibinya.
“Ibumu, Nilam seorang putri dari pemilik perkebunan di Bandung, yang jatuh cinta dengan sopir pribadinya yaitu Hanggoro, Ayahmu. Kak Hanggoro dan Kak Nilam begitu gigih mempertahankan cinta mereka, sampai Kak Nilam rela diusir oleh orang tuanya. Kasihan Kak Nilam ia tak biasa hidup kekurangan, setelah melahirkan kamu ia sakit–sakitan.” Atik menceritakan dengan mata berkaca–kaca. Sementara Clara menyandarkan kepalanya di bahu Bi Atik.
“Kenapa, Ayah bisa masuk penjara Bi, apakah Bi Atik tahu sesuatu?” tanya Clara.
“Malam itu, ibumu sakit demam, sementara ayahmu tidak punya uang, lalu besoknya ayahmu mau menjual cincin ke toko emas. Tiba-tiba ayahmu pulang dan ketakutan, ia menangis meminta maaf pada Nilam, tak lama setelah itu polisi datang ke rumah dan menangkap ayahmu atas tuduhan pembunuhan dan perampokan, setelah ayahmu masuk penjara, ibumu meninggal,” jelas Bi Atik dengan linangan air mata, mengenang masa lalu yang kelam.
“Apa keluarga ibuku tahu tentang kejadian ini?” tanya Clara.
“Tidak, Kak Hanggoro melarangku memberitahu kepada keluarga Nilam, seandainya nenek dan kakekmu mengakui keberadaanmu, tentunya kamu hidup dalam kemewahan.” Atik berucap sambil mengusap titik air di sudut matanya. ”Sudahlah tak usah berandai–andai, kini Bibi bahagia tinggal di rumah pemberian Bram, yang penting kamu harus menjadi istri dan menantu konglomerat,” sambung Bi Atik seraya memeluk Clara.
Sementara di Rumah Tahanan, Hanggoro di panggil kepala Lapas.
“Pak Hanggoro, kami memberitahukan bahwa Bapak mendapatkan asimilasi masa tahanan. Hukuman Bapak yang kurang enam bulan akan dikurangi. Dan minggu depan Bapak akan dibebaskan. Ini karena Bapak selama di dalam penjara berkelakuan sangat baik,” kata kepala Lapas.
“Terima kasih, Pak.”
“Silakan Anda bisa memberitahukan keluarga.“
“Tidak, saya mau bikin kejutan buat putriku dan adikku,“ ucap Hanggoro penuh kebahagiaan.
Satu minggu berlalu, selain bebasnya Hanggoro dari tahanan, hari itu juga Clara melaksanakan pernikahan. Berbalut gaun pengantin warna putih, menjuntai hingga menutupi kakinya, bagian atas tanpa lengan hingga memperlihatkan bahunya yang putih dan leher jenjang melingkar sebuah kalung emas putih, dan bertahta berlian di bagian tengahnya, senada dengan anting yang di kenakannya, sedangkan rambut panjangnya di sanggul modern berhiaskan bunga melati. Penampilan yang sempurna bagai seorang putri raja.
Sementara itu Hanggoro, selepas keluar dari RUTAN melangkahkan kakinya, wajahnya yang mulai menua itu memancarkan harapan untuk memeluk Clara, yang hampir dua puluh tahun ditinggalkannya.
“Aku harus, mencari pekerjaan dulu, sebelum pulang aku akan membeli boneka tedy bear pada Clara,“ gumam Hanggoro dalam hati. Ia terus berjalan, sambil sesekali ia berhenti untuk meminta pekerjaan di warung makan, bengkel, di datangi dan memohon pekerjaan, tapi semuanya menolak. Hanggoro tak putus asa, ia terus berusaha .
Akhirnya ada seseorang yang mengajak menjadi pramusaji di acara pernikahan. Hanggoro mengiyakan dengan senang hati. Mobil catering berlahan menuju ke acara pernikahan.
Pernikahan bertema garden party, bunga mawar warna putih mendominasi hiasan altar pernikahan, kelambu warna ungu menjuntai di setiap sudut, kursi–kursi tamu undangan sudah berjajar rapi.
Hanggoro dan semua pekerja catering mulai sibuk mempersiapkan berbagai menu. Tamu undangan sudah mulai berdatangan, penampilan mereka tak kalah mewahnya, semua tamu dari kalangan atas, sedangkan di atas altar sudah berdiri mempelai laki–laki, stelan jas warna putih menambah ketampanannya dan di sebelah mempelai berdiri seorang pendeta. Tak lama kemudian musik iringan pengantinpun mulai terdengar, semua tamu memandang takjub pada mempelai wanita yang berjalan perlahan di tangannya memegang buket bunga tulip warna putih.
Hanggoro pun terkesima melihat iringan mempelai wanita, di pandangnya dengan seksama mempelai wanita itu, karena ia merasa itu Clara, putrinya. Jantungnya terasa akan copot, setelah melihat sosok yang dikenalnya yaitu Atik, adik kandunganya ikut dalam iringan mempelai .
“Clara... puteriku,” guman Hangoro lirih. Tiba–tiba air mata jatuh bercucuran ke pipinya yang mulai menua, di usapnya air mata yang terus mengalir dengan kedua tangannya, entah bahagia atau pun sedih semua bercampur jadi satu.
“Clara, Ayahmu ini memang tak pantas menggandengmu ke altar pernikahan, maaf sayang,” bisik Hanggoro dalam hati. Air matanya kembali menganak ketika pemberkatan nikah di mulai.
Clara tersenyum bahagia, ketika sebuah cincin pernikahan disematkan di jari manisnya, kecupan mesra Bramastio di kening Clara sebagai tanda bersatunya dua hati yang telah dipersatukan Tuhan.
Tamu undangan dengan gaun mewah satu persatu memberi ucapan selamat. Pesta pernikahan pun di gelar sangat meriah, iringan musik, membuat para tamu larut dalam tarian dansa bersama mempelai.
Clara bahkan tak menyadari kehadiran Ayahnya. Hanggoro melaksanakan tugasnya sebagai pramusaji, sedapat mungkin ia menghindari Clara dan Atik. Biarlah semua rahasia tetap tersembunyi, demi kebaikan dan kebahagiaan Clara.
Hampir tiga jam lebih pesta pernikahan di gelar, tamu undangan satu persatu meninggalkan acara. Kedua pengantin pun meninggalkan tempat pesta menggunakan mobil sedan mewah warna hitam bertuliskan ”Just Married” yang dihiasi bunga–bunga, kemudian mobil mewah lainnya mengikuti di belakang.
Kini tempat pesta sepi, tinggal para pekerja pengelola pesta, dan pekerja catering. Setelah menyelesaikan tugasnya, Hanggoro bergegas menemui kepala catering dan meminta bayaran.
Uang sebesar dua ratus ribu ada di tangannya. Dengan langkah cepat ia berjalan menyusuri jalanan ibukota dan mencari toko boneka. Langkahnya terhenti di salah satu toko boneka yang cukup besar. Janjinya pada Clara belasan tahun silam harus dipenuhi. Sebuah boneka tedy bear berukuran besar ada di tanganya. Dengan menaiki ojek online, ia pun bergegas menuju hotel tempat Clara dan Bramastio menghabiskan malam pernikahannya. Hanggoro memang sengaja mencari tahu hotel yang dituju mempelai, sebelum meninggalkan tempat pesta tadi, ia memang mencari informasi dari Wedding Organizer.
Mobil pengantin memasuki area hotel bintang lima, sambutan meriah pun diberikan pihak hotel. Clara dan Bram bagai raja dan ratu, sebuah kamar VVIP sudah dipersiapkan. Sebuah kamar yang sudah dihias dengan bunga mawar putih di setiap sudutnya, aroma wangi semerbak menambah gairah cinta sepasang pengantin, sprei warna putih di atasnya bertaburan kelopak mawar merah menambah eloknya suasana malam pernikahan.
Clara hampir tak percaya, satu hari ini ia bagaikan seorang putri, kehidupannya kini berubah segala kemewahan ia dapatkan, tapi yang terpenting baginya adalah cinta dari Bramastio.
Candle light sudah dipersiapkan di balkon kamar hotel yang berada lantai 10 dengan latar pemandangan lampu–lampu yang berkelap kelip di hamparan ibukota bagai melayang di atas permadani..
“Clara.. Kamu bahagia, teruslah bersamaku,” ujar Bram tangannya, memegang jari jemari Clara. Sebuah senyuman yang termanis mengembang di bibir mungil Clara. Sebuah kehidupan baru akan ia lalui. Pernikahan bukan hanya sekedar janji yang terucap, pernikahan adalah babak baru, bukan berjalan sendiri, tapi berjalan berdua saling menjaga, menguatkan bahkan berkorban.
Dua jiwa, dua raga telah bersatu mereguk indahnya malam pernikahan, segala hasrat jiwa telah terlampiaskan. Dinding yang bisu dan bunga mawar putih menjadi saksi gelora cinta dua insan.
Sang surya menerobos masuk ke sela–sela jendela kamar, sinar hangatnya membangunkan Clara dari tidur lelapnya, di sampingnya terbaring sosok lelaki yang amat di cinta, hari kedua menjadi suami istri yang sempurna. Di pandangnya wajah tampan Bram .
“Rasanya tak pantas diri ini bersanding denganmu, apalah diriku anak seorang narapidana,” bisiknya dalam hati.
Tiba-tiba lamunannya di kejutkan pelayan hotel yang mengetuk pintu, perlahan Clara berjalan ke pintu dan membukanya.
“Pagi, maaf mengganggu, ini ada hadiah buat Ibu Clara,“ kata pelayan hotel dan menyerahkan bungkusan yang besar.
“Terima kasih.“ Clara menerima bingkisan, lalu segera menutup pintu kembali setelah memberi tips pada pelayan hotel.
Clara duduk di sofa, ia penasaran dibukanya bingkisan itu. Tangannya gemetar setelah ia tahu sebuah boneka tedy bear ada di hadapannya, dicarinya sesuatu semacam ucapan yang biasa ditulis di kertas tapi tak didapatkannya.
“Ayah.. .” gumam Clara lirih. Bergegas Clara keluar kamar, dengan setengah berlari ia menuju loby di lantai bawah.
“Mbak, siapa yang mengirimkan hadiah?” tanya Clara tergesa-gesa.
“Maaf Ibu Clara, hadiah itu dititipkan pada security semalam, karena telah larut malam, jadi kami memutuskan memberikan hadiah itu pagi ini, maaf maksud kami tidak ingin mengganggu,” jawab resepsionis. Clara hanya mengangguk. Ia bergegas menemui security.
“Pak, apa orang yang memberikan kado, meninggalkan alamat atau sesuatu agar aku bisa menghubunginya?“ tanya Clara.
“Maaf Bu, Bapak itu tidak pesan apa–apa dan langsung pergi naik ojol yang telah mengantarkan dan menunggunya,” jawab security.
Clara kembali ke kamar, dilihatnya Bram masih tertidur pulas, ia pun memeluk tedy bear warna merah jambu, sudut netranya mengembun dan meluncur jatuh tanpa bisa di kendalikan.
“Maafkan Clara, Ayah.. .” Bibir Clara bergetar, di usapnya air matanya ketika tahu Bram sudah menggeliat dan akan segera bangun. Bergegas ia menuju kamar mandi, Bram tak boleh tahu kalau Clara habis menangis.
“Pagi, cantik,” sapa Bram pada Clara yang baru keluar kamar mandi dengan rambut basahnya dan tubuh berbalut handuk putih.
“Pagi, Bram, aku sudah pesan sarapan, sebentar lagi pelayan akan mengantarkan ke kamar,” ucap Clara sambil mengeringkan rambut basahnya.
“Dari siapa, boneka ini, tak ada pengirimnya,” ucap Bram tiba–tiba membuat Clara gugup.
“Eemmm dari teman , kemarin tidak bisa datang, lalu dia WA jadi, aku sarankan untuk mengirimkan ke hotel saja.“ Clara berbohong pada Bram.
Bram tersenyum dan bergegas ke kamar mandi. Sementara itu Clara dengan cepat ia ke balkon kamar dan menelpon Bibinya.
“Halo Bi Atik, Ayah sudah keluar dari penjara.”
“Jangan ngawur kamu, Ayahmu itu di bebaskan enam bulan lagi, lagi pula jika memang sudah bebas, pasti akan menghubungimu,” jawab Bi Atik di seberang ponsel.
“Ayah mengirim boneka tedy bear seperti janjinya waktu itu, Bibi ingat ‘kan ? “
Bi Atik terdiam sejenak.
“Aku akan pastikan dulu. Biar Bibi yang mengurus Ayahmu, kamu tak usah khawatir Clara, nanti Bibi akan menghubungimu.”
Clara segera menutup telpon. Di hampirinya Bram yang selesai mandi dipeluknya suaminya itu dari belakang, Clara menyandarkan kepalanya di punggung Bram.
“Bram .. jika suatu saat aku melakukan kesalahan, apakah dirimu akan memaafkanku?” tanya Clara lirih dengan nada bicara sedih.
“Tergantung kesalahannya dong, tidak semua kesalahan hanya bisa diselesaikan dengan kata maaf,” jawab Bram sambil membalikkan badan dan memeluk Clara.
Tok ..tok
“Roomservice, Breakfast,” suara dari balik pintu hotel.
Bram bergegas membukakan pintu, seorang roomservice masuk dan menghidangkan beberapa menu dan minuman untuk makan pagi.
“Terima kasih, “ ucap Bram pada roomservice.
“Ayo, Clara kita sarapan dulu, nanti jam sepuluh kita harus ke bandara.”
“Ke bandara? kita akan ke mana ?”
“Honey moon ke Bali, selama satu minggu.”
Clara hanya terbengong, dalam hatinya ia tak ingin bulan madu ke Bali, yang ia inginkan hanyalah segera bertemu ayahnya.
Bulan Madu di Bali, impian semua orang termasuk Clara. Betapa bahagianya Clara. Bram sangat memanjakannya, menginap di hotel bintang 7, makan di restoran dengan berbagai menu yang sebelumnya belum pernah ia coba, kesempatan juga untuk berwisata kuliner yang kebetulan hobi Clara memasak. Sungguh Clara tak menyangka, kehidupan yang penuh kemewahan Clara raih seperti yang ia impikan.“Clara, sudah satu minggu kita menikmati keindahan Pulau Dewata, bagaimana, kamu puas?” Bram mendekati Clara, tangannya pun melingkar di bahunya.“Makasih ya Bram, kamu bukan hanya memberikan cinta, tapi juga kemewahan.”Mereka berdua menikmati keindahan pantai di senja hari, suasana yang sangat romantis, deburan–deburan ombak mengiringi gejolak cinta di dalam jiwa mereka. Tapi jauh dalam hati Clara, ia mencemaskan keadaan Ayahnya, entah di mana dia, Clara belum mendapatkan kabar dari Bi Atik. Sebelum kepulangan mereka, Bram dan Clara berbelanja untuk oleh-oleh.“Clara, kamu beli oleh–oleh buat Bibimu, a
Akhirnya setelah dua bulan mencari keberadaan ayahnya, tak sengaja Clara menemukan ayahnya, dengan susah payah ia membujuk ayahnya supaya ikut dengannya ke rumah Bi Atik.“Kak Hanggoro.” Atik terkejut melihat kedatangan Hanggoro dan Clara. “Syukurlah, Ya Tuhan, akhirnya kamu bisa menemukan Ayahmu, Clara,” ucap Atik lagi, binar bahagia terlihat jelas di wajahnya.“Iya Bi, tak sengaja aku menemukan ayah,” balas Clara, sambil menuntun ayahnya duduk di sofa ruang tamu.“Ayah malu, bertemu kalian, apalagi Clara sudah menjadi menantu konglomerat, aku tak ingin, keluarga suami Clara tahu, kalau besannya seorang mantan napi,” ujar Hanggoro sesekali mengusap titik embun di matanya.“Mereka memang belum tahu, dan tak boleh tahu, kita akan tetap merahasiakan,” tukas Bi Atik dengan tegas.Tok..TokMereka bertiga di kejutkan suara pintu, terlihat sudah berdiri Bram di depan pintu. Clara terkejut wajahnya mendadak pucat, demikian juga Atik dan Hanggoro.“Bram, masuklah kebetulan kamu kemari, ini
Semuanya terkejut dengan ucapan Ambar. Seketika Ambar mendekati Hanggoro, sebuah dorongan kuat mengguncang tubuh rentanya hingga terdorong ke belakang. Dengan secepat kilat, Bram menahan tangan Ambar, ketika akan memukul Hanggoro.“Sabar Tante Ambar, ini mungkin kesalahpahaman, ini Pak Hanggoro, ayah mertua Bram, ayah kandung Clara.” Bram berusaha menjelaskan pada Ambar.“Mana mungkin Aku lupa dengan wajah penjahat ini, belasan tahun aku memendam rasa ini, hukuman kurungan seumur hidup tak pantas, kenapa kamu tak di hukum mati hah! Sebagai ganti nyawa suamiku yang kau lenyapkan.” Mata Ambar nyalang menatap Hanggoro, umpatan demi umpatan ia lontarkan tak perduli dengan sekelilingnya.Hanggoro hanya menunduk dan terdiam. Ia tak menyangka masa lalu yang kelam terbongkar di hadapan keluarga Bram.Clara dengan gemetar mendekati Ayahnya, belum sampai langkahnya, tiba-tiba Ambar melayangkan vas bunga ke arah Hanggoro, tak hayal lagi vas bunga mengenai pelipis Hanggoro hingga berdarah. Bram m
Tak butuh waktu lama Thomas dan Elin orang tua Bram, memproses perceraian Bram dan Clara, dengan bantuan pengacara, kurang dari satu bulan surat ceraipun di dapat. Elin tersenyum puas, kini ia telah terbebas dari menantu miskin dan besan mantan narapidana. Sementara Bram di dalam kamar mewahnya hanya menatap sendu, langit–langit kamar, sudah satu bulan ia tak pernah bertemu Clara, kerinduan membuncah pada wanita yang teramat di cintai, kini sudah berakhir rindu yang tak pernah bisa di curahkan. Perlahan ia bangkit dari tidurnya, langkahnya terhenti di depan meja, matanya nenatap kosong berkas-berkas proyek yang diberikan ayahnya malam kemarin, perintah untuk mengerjakan proyek di Singapura harus ia kerjakan.“Mungkin ini yang terbaik, pergi jauh dan fokus pada pekerjaan akan lebih mudah melupakan Clara,” gumam Bram dalam hati.Sementara Clara di dalam kamar yang sempit dan beralaskan kasur busa tipis, netranya terus memandangi surat cerai, bibir mungilnya tersenyum manis tapi di sudut
Dengan sedikit kesal Adrian menuju kantin, ia merasakan haus dan lapar setelah menolong Clara yang tiba-tiba pingsan. Setelah itu ia segera menuju tempat parkir, belum sampai di tempat parkir tiba-tiba matanya menangkap sesosok pria yang di kenalnya.“Bang Hanggo..Bang Hanggoro,” teriak Adrian sambil berlari kecil mengejar Hanggoro.Hanggoro yang mendengar namanya dipanggil, segera berhenti dan menoleh ke arah suara.“Adrian, kamu di sini,” tanya Hanggoro.“Iya Bang, tadi habis menolong seseorang yang pingsan,” jawab Adrian. “Bang, aku satu bulan yang lalu menengok Abang di Lapas, tapi katanya, Abang sudah bebas, selama satu bulan aku terus mencari Abang, untunglah kita bertemu di sini, bisakah kita bicara sekarang.” Adrian merangkul bahu Hanggoro dan berniat mengajak pergi.“Maaf Adrian, tidak sekarang, aku ada urusan penting.”“Baiklah Bang, ini kartu namaku segera hubungi aku ya,” pinta Adrian sambil menyodorkan sebuah kartu nama. Dengan cepat Hanggoro mengambil kartu nama itu dan
Tiga hari sudah, Clara dirawat di rumah sakit, akhirnya dokter mengijinkan Clara pulang. Bersama Ayahnya, Clara meninggalkan rumah sakit.“Tujuan ke mana Bapak?” tanya sopir taksi pada Hanggoro.“Ke Perumahan Cemara Indah, Jalam Thamrin,” jawab Hanggoro.Sopir taksi itupun mengangguk.“Ayah, kita akan ke tempat siapa?” cerca Clara penasaran.“Tiga hari yang lalu, Ayah bertemu dengan teman, ia menawari Ayah sebuah rumah untuk di tinggali dan juga memberi ayah pekerjaan untuk mengelola food courtnya.” Jelas Hanggoro sambil tersenyum. Clara hanya tersenyum mendengar cerita ayahnya. Kurang lebih perjalanan setengah jam sampailah mereka di sebuah komplek perumahan. Tepat di depan sebuah rumah sederhana bernuansa minimalis, taksi berhenti. Terlihat Bi Atik sudah menunggu di teras rumah, wajahnya tampak gembira melihat Clara dan Hanggoro tiba di rumah.“Selamat datang di rumah kita yang baru Clara,” sapa Bi Atik sambari memeluk keponakannya itu.“Wow rumahnya lumayan luas dan rapi, baik bang
“Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu di sini? Apa suamimu mencampakanmu,” balas Adrian menatap penuh tanda tanya, kenapa wanita hamil yang di tolongnya berada di rumah yang di pinjamkan pada Hanggoro. Clara mendelik ke arah Adrian, ingin ia mengumpat Adrian. Tapi di urungkan karena Ayahnya sudah datang.“Hai Adrian, maaf apa sudah lama menunggu.” Bergegas Hanggoro menghampiri Adrian yang masih berdiri di teras. ”Clara ada tamu, kenapa tidak di suruh masuk.” Clara masih terbengong” oo ya ini kenalkan Clara, putriku satu–satunya.” Hanggoro memperkenalkan Clara kepada Adrian.“Sudah kenal Bang, tak perlu di kenalkan lagi,” balas Adrian dengan muka juteknya.“Baiklah, ayo masuk, Clara tolong buatkan minum,” pinta Hanggoro pada Clara.“Clara, itu putri Abang? Dulu pas kita ketemu di rumah sakit itu, sebenarnya aku yang membawa Clara ke rumah sakit. Dia tiba-tiba pingsan di jalan.” Jelas Adrian pada Hanggoro.“Jadi yang menolong Clara kamu, wah aku harus berterima kasih padamu. Seben
“Bu Elin,” ucap Clara, dengan bibir bergetar.“Sudah aku peringatkan, jangan mendekati keluargaku,” gertak Elin.Clara, bersusah payah bangkit sambil berucap, ”Maaf Bu Elin.”“Maaf...akan aku pastikan kamu keluar dari kafe ini.”Keributan antara Clara dan Elin, di dengar supervisor, dengan cepat wanita bertubuh sintal itu mendekati Elin dan Clara.“Maaf ada yang bisa saya bantu Nyonya?” tanya supervisor dengan ramah.“Aku ingin, kalian memecat wanita ini, Dia tidak sopan padaku!” perintah Elin, dengan geram.“Maaf kami tidak bisa memecatnya itu wewenawg manager.”“Panggil managernya ke sini, jika tidak, aku akan laporkan kalian semua pada pemilik kafe ini, kalian tahu ‘kan, aku kenal dengan sangat baik pemilik kafe, aku juga sudah berlangganan selama belasan tahun di kafe ini,” ancam Elin.Supervisor itupun, memanggil manager. Tidak lama kemudian, seorang laki-laki berkumis, datang dengan wajah tegang.“Maaf Bu Elin, atas tindakan pegawai kami yang baru, kami akan memecatnya sesuai pe