Bulan Madu di Bali, impian semua orang termasuk Clara. Betapa bahagianya Clara. Bram sangat memanjakannya, menginap di hotel bintang 7, makan di restoran dengan berbagai menu yang sebelumnya belum pernah ia coba, kesempatan juga untuk berwisata kuliner yang kebetulan hobi Clara memasak. Sungguh Clara tak menyangka, kehidupan yang penuh kemewahan Clara raih seperti yang ia impikan.
“Clara, sudah satu minggu kita menikmati keindahan Pulau Dewata, bagaimana, kamu puas?” Bram mendekati Clara, tangannya pun melingkar di bahunya.
“Makasih ya Bram, kamu bukan hanya memberikan cinta, tapi juga kemewahan.”
Mereka berdua menikmati keindahan pantai di senja hari, suasana yang sangat romantis, deburan–deburan ombak mengiringi gejolak cinta di dalam jiwa mereka. Tapi jauh dalam hati Clara, ia mencemaskan keadaan Ayahnya, entah di mana dia, Clara belum mendapatkan kabar dari Bi Atik. Sebelum kepulangan mereka, Bram dan Clara berbelanja untuk oleh-oleh.
“Clara, kamu beli oleh–oleh buat Bibimu, aku akan membeli buat Papa, Mama, dan Dinda,” ujar Bram.
“Iya.” Clara berlalu dan mulai memilih–milih beberapa baju buat Bi Atik dan Ayahnya.
Selesai sudah perjalanan Clara dan Bram berbulan madu. Clara sudah tak sabar menemui Bibi dan menanyakan kabar ayahnya. Tiba di Bandara Sutta mereka di jemput Pak Badrun, sopir pribadi Thomas, dengan cepat mobil melaju menembus padatnya lalu lintas ibu kota. Akhirnya sampailah di rumah mewah keluarga Thomas Himawan, keluarga Bram pun sudah menyambut di depan rumah.
“Selamat datang pengantin baru,” celetuk Dinda, menggoda pasangan suami istri, yang baru turun dari mobil Alphard warna hitam.
“Sudah–sudah jangan goda kakak iparmu itu, lihat tu pipinya merah,” Thomas mertua Clara berucap sambil tersenyum. Lain halnya dengan Elin, dengan senyum tipisnya ia berkata dengan sinis.
“Clara, pasti senang, orang udik di ajak ke Bali. Clara mulai sekarang, kamu harus membiasakan hidup dengan gaya kami,” ucap Elin, seakan–akan merendahkan Clara.
“Iya Mah,” jawab singkat Clara.
Bram menggandeng tangan tangan Clara sembari berucap, ”Kami, istirahat dulu.” Lalu Bram dan Clara melangkah masuk ke dalam rumah.
Pertama kali menginjakkan kaki di rumah mewah ini, bukannya membuat Clara senang, tapi malah membuatnya terasa sesak.
Pukul enam pagi, Clara sudah terbangun, ia melihat Bram masih terlelap tidur, lalu di edarkan pandangannya keseluruh kamar, sambil berpikir apa yang akan ia lakukan sepanjang hari ini tidak mungkin ‘kan, hanya tidur, makan sepanjang hari. Setelah membersihkan diri Clara keluar kamar menuju dapur, ia melihat Mbok Inem sibuk di dapur.
“Mbok, aku bantuin ya,” sapa Clara.
“Jangan non, nanti Nyoyah marah,” balas Mbok Inem.
“Jangan khawatir Mbok. Aku suka memasak, kita masak nasi goreng ya, buat sarapan,” ucap Clara seraya tangannya mulai menyiapkan bumbu nasi goreng. Mbok Inem akhirnya menuruti kemauan Clara, untuk memasak.
Nasi goreng telur sudah ditata di meja makan yang panjang, minuman air putih dan jus jeruk pun sudah di siapkan. Lalu Clara bergegas ke kamar untuk membangunkan Bram, ternyata Bram sudah siap dengan baju kerjanya.
“Dari mana kamu, Clara?” tanya Bram, tanpa memandang ke arah Clara, bergegas Clara membantunya untuk memasangkan dasi.
“Dari dapur bantu–bantu Mbok Inem,” jawab Clara, dengan jari jemari cekatan, memasangkan dasi.
“Emmm pasti enak masakanmu,” sahut Bram, sambil mendaratkan kecupan, di kening Clara.
Mereka berdua menuju meja makan, di sana terlihat Thomas dan Elin yang sudah duduk di kursi makan.
“Ayo, makan Bram, Clara ,” ajak Thomas.
“Siapa yang masak ini, rasanya beda, ini bukan masakan Mbok Inem,” Thomas mengunyah nasi goreng buatan Clara.
“Maaf Pa, Clara yang masak,” ucap Clara.
Semua mata menatap ke arah Clara.
“Enak, sering-seringlah masak buat Papa,” Thomas tersenyum ke arah menantunya itu.
Sejak saat itu Clara menyibukan diri di dapur mertuanya, berbagai menu yang ia pelajari lewat internet seperti bistik daging, beef teriyaki, tumis iga sapi sehat. Lewat menu–menu yang menguggah selera Clara berhasil mengambil hati keluarga Bram. Dan dengan alasan ingin mengembangkan hoby memasak, akhirnya Clara meminta ijin mengikuti kelas memasak, selain untuk kesibukkannya, juga untuk menghindari ajakan Elin untuk bertemu dengan teman-teman sosialitanya. Pernah sekali Clara di ajaknya arisan dengan teman–teman sosialita Elin, bukan bahagia yang ia dapatkan, tapi justru tidak nyaman yang Clara rasakan. Pembicaraan sekitar perhiasan, tas, sepatu, baju branded yang harganya selangit, liburan keluar negeri. Penampilan mereka pun tak kalah hebohnya, seakan-akan berlomba memperlihatkan harta bendanya. Hal itu sangat bertolak belakang dengan kepribadian Clara. Clara lebih suka berpenampilan sederhana yang kadang membuat Elin jengkel, ketika memperkenalkan diri Clara ke teman–temannya.
“Clara, kamu itu sekarang istri dari CEO, berpenampilan yang elegan, Mama itu malu punya menantu sepertimu, nggak modis,” ucap Elin, ketika melihat Clara berpenampilan sederhana. Clara hanya menghela napas panjang, dan menghembuskannya pelan.
Dengan mengikuti kelas memasak, Clara memiliki kesibukan, selain itu ia juga bisa membantu Bibi Atik di toko kue miliknya.
“Clara, buat apa membuat donat sebanyak ini?” tanya Atik, ketika melihatku sibuk membuat kue donat .
“Aku akan membagi–bagikan donat ini,” jawab Clara.
“Bi.., ini sudah dua bulan sejak ayah keluar dari penjara dan kita belum menemukannya, aku mengkhawatirkan keadaannya,” ujar Clara, sambil memasukkan donat di dalam kardus.
“Bibi, juga berusaha mencarinya, Bibi sudah menitipkan alamat di kontrakan lama, siapa tahu ayahmu mencari Bibi di sana, tapi tak ada kabar. Mungkin ayahmu sengaja menghindar dari kita.’’ Bi Atik memegang bahu Clara seakan memberi isyarat supaya bersabar.
Selesai sudah donat–donat yang di masukan ke dalam kerdus. Clara, bergegas ke jalanan menemui orang-orang yang tidak mampu, mulai dari tukang becak, pedagang asongan, dan juga pengamen jalanan. Hari menjelang senja, Clara terus menyusuri trotoar, matanya tertuju pada sekelompok laki-laki, nampaknya mereka pekerja proyek pembangunan jalan, dengan cepat Clara melangkahkan kaki menuju segerombolan pekerja bangunan.
“Selamat sore, Bapak-bapak ini ada kue donat, gratis buat Bapak-Bapak silakan ambil,” ujar Clara sambil menyodorkan kardus yang berisi donat, mereka pun mengucap terima kasih sambil tersenyum. Tak sengaja mata Clara menangkap sosok lelaki setengah baya yang sedang duduk menyendiri, wajahnya tertutup sebagian topinya, kedua tangan memeluk lutut, perlahan Clara menghampiri.
“Maaf Pak, ini ada donat buat Bapak,” ucap Clara dan lelaki itu pun mengangkat wajahnya.
“Ayah!” Betapa terkejut Clara, ternyata lelaki itu adalah Hanggoro ayahnya.
Akhirnya setelah dua bulan mencari keberadaan ayahnya, tak sengaja Clara menemukan ayahnya, dengan susah payah ia membujuk ayahnya supaya ikut dengannya ke rumah Bi Atik.“Kak Hanggoro.” Atik terkejut melihat kedatangan Hanggoro dan Clara. “Syukurlah, Ya Tuhan, akhirnya kamu bisa menemukan Ayahmu, Clara,” ucap Atik lagi, binar bahagia terlihat jelas di wajahnya.“Iya Bi, tak sengaja aku menemukan ayah,” balas Clara, sambil menuntun ayahnya duduk di sofa ruang tamu.“Ayah malu, bertemu kalian, apalagi Clara sudah menjadi menantu konglomerat, aku tak ingin, keluarga suami Clara tahu, kalau besannya seorang mantan napi,” ujar Hanggoro sesekali mengusap titik embun di matanya.“Mereka memang belum tahu, dan tak boleh tahu, kita akan tetap merahasiakan,” tukas Bi Atik dengan tegas.Tok..TokMereka bertiga di kejutkan suara pintu, terlihat sudah berdiri Bram di depan pintu. Clara terkejut wajahnya mendadak pucat, demikian juga Atik dan Hanggoro.“Bram, masuklah kebetulan kamu kemari, ini
Semuanya terkejut dengan ucapan Ambar. Seketika Ambar mendekati Hanggoro, sebuah dorongan kuat mengguncang tubuh rentanya hingga terdorong ke belakang. Dengan secepat kilat, Bram menahan tangan Ambar, ketika akan memukul Hanggoro.“Sabar Tante Ambar, ini mungkin kesalahpahaman, ini Pak Hanggoro, ayah mertua Bram, ayah kandung Clara.” Bram berusaha menjelaskan pada Ambar.“Mana mungkin Aku lupa dengan wajah penjahat ini, belasan tahun aku memendam rasa ini, hukuman kurungan seumur hidup tak pantas, kenapa kamu tak di hukum mati hah! Sebagai ganti nyawa suamiku yang kau lenyapkan.” Mata Ambar nyalang menatap Hanggoro, umpatan demi umpatan ia lontarkan tak perduli dengan sekelilingnya.Hanggoro hanya menunduk dan terdiam. Ia tak menyangka masa lalu yang kelam terbongkar di hadapan keluarga Bram.Clara dengan gemetar mendekati Ayahnya, belum sampai langkahnya, tiba-tiba Ambar melayangkan vas bunga ke arah Hanggoro, tak hayal lagi vas bunga mengenai pelipis Hanggoro hingga berdarah. Bram m
Tak butuh waktu lama Thomas dan Elin orang tua Bram, memproses perceraian Bram dan Clara, dengan bantuan pengacara, kurang dari satu bulan surat ceraipun di dapat. Elin tersenyum puas, kini ia telah terbebas dari menantu miskin dan besan mantan narapidana. Sementara Bram di dalam kamar mewahnya hanya menatap sendu, langit–langit kamar, sudah satu bulan ia tak pernah bertemu Clara, kerinduan membuncah pada wanita yang teramat di cintai, kini sudah berakhir rindu yang tak pernah bisa di curahkan. Perlahan ia bangkit dari tidurnya, langkahnya terhenti di depan meja, matanya nenatap kosong berkas-berkas proyek yang diberikan ayahnya malam kemarin, perintah untuk mengerjakan proyek di Singapura harus ia kerjakan.“Mungkin ini yang terbaik, pergi jauh dan fokus pada pekerjaan akan lebih mudah melupakan Clara,” gumam Bram dalam hati.Sementara Clara di dalam kamar yang sempit dan beralaskan kasur busa tipis, netranya terus memandangi surat cerai, bibir mungilnya tersenyum manis tapi di sudut
Dengan sedikit kesal Adrian menuju kantin, ia merasakan haus dan lapar setelah menolong Clara yang tiba-tiba pingsan. Setelah itu ia segera menuju tempat parkir, belum sampai di tempat parkir tiba-tiba matanya menangkap sesosok pria yang di kenalnya.“Bang Hanggo..Bang Hanggoro,” teriak Adrian sambil berlari kecil mengejar Hanggoro.Hanggoro yang mendengar namanya dipanggil, segera berhenti dan menoleh ke arah suara.“Adrian, kamu di sini,” tanya Hanggoro.“Iya Bang, tadi habis menolong seseorang yang pingsan,” jawab Adrian. “Bang, aku satu bulan yang lalu menengok Abang di Lapas, tapi katanya, Abang sudah bebas, selama satu bulan aku terus mencari Abang, untunglah kita bertemu di sini, bisakah kita bicara sekarang.” Adrian merangkul bahu Hanggoro dan berniat mengajak pergi.“Maaf Adrian, tidak sekarang, aku ada urusan penting.”“Baiklah Bang, ini kartu namaku segera hubungi aku ya,” pinta Adrian sambil menyodorkan sebuah kartu nama. Dengan cepat Hanggoro mengambil kartu nama itu dan
Tiga hari sudah, Clara dirawat di rumah sakit, akhirnya dokter mengijinkan Clara pulang. Bersama Ayahnya, Clara meninggalkan rumah sakit.“Tujuan ke mana Bapak?” tanya sopir taksi pada Hanggoro.“Ke Perumahan Cemara Indah, Jalam Thamrin,” jawab Hanggoro.Sopir taksi itupun mengangguk.“Ayah, kita akan ke tempat siapa?” cerca Clara penasaran.“Tiga hari yang lalu, Ayah bertemu dengan teman, ia menawari Ayah sebuah rumah untuk di tinggali dan juga memberi ayah pekerjaan untuk mengelola food courtnya.” Jelas Hanggoro sambil tersenyum. Clara hanya tersenyum mendengar cerita ayahnya. Kurang lebih perjalanan setengah jam sampailah mereka di sebuah komplek perumahan. Tepat di depan sebuah rumah sederhana bernuansa minimalis, taksi berhenti. Terlihat Bi Atik sudah menunggu di teras rumah, wajahnya tampak gembira melihat Clara dan Hanggoro tiba di rumah.“Selamat datang di rumah kita yang baru Clara,” sapa Bi Atik sambari memeluk keponakannya itu.“Wow rumahnya lumayan luas dan rapi, baik bang
“Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu di sini? Apa suamimu mencampakanmu,” balas Adrian menatap penuh tanda tanya, kenapa wanita hamil yang di tolongnya berada di rumah yang di pinjamkan pada Hanggoro. Clara mendelik ke arah Adrian, ingin ia mengumpat Adrian. Tapi di urungkan karena Ayahnya sudah datang.“Hai Adrian, maaf apa sudah lama menunggu.” Bergegas Hanggoro menghampiri Adrian yang masih berdiri di teras. ”Clara ada tamu, kenapa tidak di suruh masuk.” Clara masih terbengong” oo ya ini kenalkan Clara, putriku satu–satunya.” Hanggoro memperkenalkan Clara kepada Adrian.“Sudah kenal Bang, tak perlu di kenalkan lagi,” balas Adrian dengan muka juteknya.“Baiklah, ayo masuk, Clara tolong buatkan minum,” pinta Hanggoro pada Clara.“Clara, itu putri Abang? Dulu pas kita ketemu di rumah sakit itu, sebenarnya aku yang membawa Clara ke rumah sakit. Dia tiba-tiba pingsan di jalan.” Jelas Adrian pada Hanggoro.“Jadi yang menolong Clara kamu, wah aku harus berterima kasih padamu. Seben
“Bu Elin,” ucap Clara, dengan bibir bergetar.“Sudah aku peringatkan, jangan mendekati keluargaku,” gertak Elin.Clara, bersusah payah bangkit sambil berucap, ”Maaf Bu Elin.”“Maaf...akan aku pastikan kamu keluar dari kafe ini.”Keributan antara Clara dan Elin, di dengar supervisor, dengan cepat wanita bertubuh sintal itu mendekati Elin dan Clara.“Maaf ada yang bisa saya bantu Nyonya?” tanya supervisor dengan ramah.“Aku ingin, kalian memecat wanita ini, Dia tidak sopan padaku!” perintah Elin, dengan geram.“Maaf kami tidak bisa memecatnya itu wewenawg manager.”“Panggil managernya ke sini, jika tidak, aku akan laporkan kalian semua pada pemilik kafe ini, kalian tahu ‘kan, aku kenal dengan sangat baik pemilik kafe, aku juga sudah berlangganan selama belasan tahun di kafe ini,” ancam Elin.Supervisor itupun, memanggil manager. Tidak lama kemudian, seorang laki-laki berkumis, datang dengan wajah tegang.“Maaf Bu Elin, atas tindakan pegawai kami yang baru, kami akan memecatnya sesuai pe
Adrian tersenyum, lalu mengajak Clara memasuki swalayan, dan mulai berbelanja keperluan dapur dan keperluan food court, setelah memasukan barang belanjaan ke dalam mobil. Adrian mengajak Clara untuk masuk ke dalam swalayan lagi.“Clara, kita belum membeli keperluanmu,” ucap Adrian, seraya menarik tangan Clara.“Keperluanku?”“Baju hamil, tadi Bi Atik menyuruhmu beli baju hamil ‘kan?”“Iya, tapi aku mau beli di pasar saja, uangku tidak cukup kalau beli di sini.”“Kamu tinggal pilih, biar aku yang bayar.”“Nggak Adrian, aku tidak mau.” Tolak Clara, seraya menghempaskan tangan Adrian yang masih memegang tangannya.“Jangan menolak, anggap saja ini pemberian ayahmu, aku sebenarnya menawarkan hadiah untuk Bang Hanggoro, tapi Bang Hanggoro selalu menolak, jadi hadiah itu buat kamu saja. Kamu harus menerimanya kalau tidak, aku akan mengusir keluargamu dari rumahku,” ancam Adrian tatapannya serius menatap Clara, hingga membuat Clara gugup.“Baiklah, aku menerimanya.”Keduanya pun memasuki swal