Akhirnya setelah dua bulan mencari keberadaan ayahnya, tak sengaja Clara menemukan ayahnya, dengan susah payah ia membujuk ayahnya supaya ikut dengannya ke rumah Bi Atik.
“Kak Hanggoro.” Atik terkejut melihat kedatangan Hanggoro dan Clara. “Syukurlah, Ya Tuhan, akhirnya kamu bisa menemukan Ayahmu, Clara,” ucap Atik lagi, binar bahagia terlihat jelas di wajahnya.
“Iya Bi, tak sengaja aku menemukan ayah,” balas Clara, sambil menuntun ayahnya duduk di sofa ruang tamu.
“Ayah malu, bertemu kalian, apalagi Clara sudah menjadi menantu konglomerat, aku tak ingin, keluarga suami Clara tahu, kalau besannya seorang mantan napi,” ujar Hanggoro sesekali mengusap titik embun di matanya.
“Mereka memang belum tahu, dan tak boleh tahu, kita akan tetap merahasiakan,” tukas Bi Atik dengan tegas.
Tok..Tok
Mereka bertiga di kejutkan suara pintu, terlihat sudah berdiri Bram di depan pintu. Clara terkejut wajahnya mendadak pucat, demikian juga Atik dan Hanggoro.
“Bram, masuklah kebetulan kamu kemari, ini ayahnya Clara, ia baru pulang dari Malaysia,” kata Bi Atik dengan sedikit gugup.
“Saya, Bram menantu Bapak,” Bram mengulurkan tangan dengan tersenyum yang kemudian di sambut Hanggoro dengan senyum pula.
“Saya Hanggoro, maaf waktu pernikahan kalian, Ayah tak bisa hadir.” Hanggoro berucap dengan sedikit gemetar.
“Tak apa Ayah, tapi lain kali, jika kami mengundang Ayah untuk makan malam, Ayah harus datang,” balas Bram seraya melempar senyum, demikian juga dengan Clara dan Atik, walaupun jantung mereka terasa mau copot.
Terjadilah obrolan yang hangat antara mereka, sifat Bram yang rendah hati dan humble membuat cepat akrab. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Clara dan Bram berpamitan pulang.
“Clara, kenapa tidak bilang kalau Ayahmu akan pulang, kita ‘kan bisa jemput beliau di bandara.”
“Ayah, mau bikin kejutan buat aku dan Bi Atik,” balas Clara sekenanya.
Mobil sedan mewah terus melaju di kegelapan malam, menuju rumah Bram. Sesampainya di rumah, Elin dan Thomas dan Dinda mereka terlihat berkumpul di ruang keluarga dan nampak membicarakan hal yang serius.
“Bram, Clara, duduklah di sini dulu, Papa dan Mama mau membahas hal penting.” Thomas melambaikan tangan dan menyuruh Bram dan Clara duduk.
“Ada apa, Pa?” tanya Bram.
“Begini, Fandy pacarnya Dinda akan ke sini bersama ibunya, mereka akan membicarakan pernikahan Fandy dan Dinda,” ucap Thomas.
“Iya, Kak, kami akan membicarakan masalah pernikahan,” timpal Dinda, ada sorot bahagia di matanya, wajah Dinda gadis berusia 23 tahun itu, terlihat bahagia.
“Nah, begitu dong, kalian sudah pacaran hampir lima tahun, Fandy sudah menjadi dokter ‘kan,” celetuk Bram yang membuat pipi Dinda memerah.
“Clara, nanti urusan menu, kamu yang atur; ini memang acara makan malam, tapi jangan membuat calon besanku kecewa. Calon besanku kali ini orang kaya, punya beberapa toko perhiasan dan calon mantuku ini adalah seorang dokter,” ucap Elin, membuat hati Clara terasa di hujam pisau, karena berbanding terbalik dengan keadaan keluarganya.
“Iya, Ma , Clara akan berusaha sebaik mungkin,” jawab Clara.
“Papa, Mama sekalian kita undang Ayah Clara, kebetulan beliau sudah ada di Jakarta,” ucap Bram, membuat Clara terkejut, dalam hati ia belum siap memperkenalkan Ayahnya pada mertuanya.
“Boleh, kita undang sekalian,” balas Thomas.
“Tapi Pa, Mama keberatan, ini ‘kan acara keluarga kita, orang lain tak boleh datang dong,” sela Elin dengan nada yang tinggi.
“Clara itu mantu kita, ayah dan Bibinya menjadi keluarga kita, lagi pula kita belum pernah bertemu dengan ayah Clara, ini kesempatan baik untuk bertemu.” Keputusan Thomas membuat bibir istrinya manyun ke depan menahan rasa kecewa.
Clara semakin gelisah, detak jantungnya tak beraturan, entahlah apa yang dirasakannya seakan–akan sesuatu buruk akan terjadi.
Pagi itu, Clara nampak sibuk, di pagi buta, ia sudah melangkahkan kaki menjelajahi setiap sudut pasar tradisional, sayuran dan buah segar dipilihnya dengan teliti, tak lupa daging segar dan ikan dipilihnya untuk menu spesial yang akan di sajikan untuk makan malam nanti. Nanti malam adalah pertemuan pertama ayahnya dan mertuanya. Clara takut kalau ucapan–ucapan mama mertuanya akan memyinggung perasaan ayahnya. Oleh karena itu, ia sudah mempersiapkan satu stel kemeja warna biru dongker, sepasang sepatu fantofel bermerk warna hitam, juga sebuah jam tangan merk terkenal yang harganya cukup mahal. Sebenarnya Hanggoro menolak pemberian Clara, tapi karena Clara dan Atik memaksa, dan mengatakan demi kebaikan Hanggoro supaya tidak di rendahkan keluarga Bram, akhirnya Hanggoro pun mau menerimanya.
Malam itupun tiba, ruang tamu dan ruang makan di dekorasi dengan banyak bunga segar, bunga tulip warna kuning di pilih Clara. Meja makan besar dengan kursi delapan pun sudah di perindah dengan taplak meja warna putih dengan renda menjuntai ke bawah. Piring keramik, gelas kristal sudah berjajar cantik di atas meja. Berbagai menu pun sudah bertengger cantik. Beef teriyaki, rica–rica daging, sup ikan patin, dan buah anggur, pisang, apel sudah siap untuk di santap.
Keluarga Bram sudah siap di ruang tamu, dengan mengenakan baju yang mewah dan elegan .Elin, Dinda dan Clara tampak begitu mempesona. Tapi Clara begitu gelisah, berkali–kali matanya menatap jam dinding. Mobil sedan warna putih, berhenti tepat di depan pintu, Mang Udin, security dengan cepat membukakan pintu mobil. Keluarlah sorang wanita yang masih nampak cantik di usia senjanya, di susul seorang pria muda bertubuh tinggi, hidung mancung, mereka melempar senyum, ketika melihat keluarga Bram sudah menyambut di depan pintu, obrolan pun berlanjut di ruang tamu.
Nampak sekali kalau Thomas dan Elin senang dan bangga dengan calon besan dan menantunya itu. Sementara itu Clara semakin gelisah, ayahnya belum nampak datang.
“Clara, kenapa ayahmu belum datang, seharusnya kau suruh Pak Badrun sopir kita untuk menjemput ayahmu,” ujar Thomas pada Clara yang semakin gelisah memikirkan ayahnya.
“Maaf Pa, akan aku telepon ayah dulu.” Clara masuk berjalan menjauh dari ruang tamu. berusaha menghubungi ayahnya.
Sementara Bram, Dinda, dan Fandy berbincang–bincang. Elin, Thomas, dan Ambar, ibunya Fandy bercengkrama sambil sesekali tertawa.
“Selamat malam,” suara parau Hanggoro mengejutkan semuanya. Hanggoro sudah berdiri di ambang pintu.
“Ayah.” Bram segera menyambut ayah mertuanya itu.
Ada sepasang mata yang begitu lekat memandang Hanggoro, ada sorot kebencian di sepasang matanya. Dari ujung kaki sampai kepala di pandanginya. Kebenciannnya semakin membuncah.
“Perampok dan pembunuh, Kamu!” teriakan Ambar membuat semua orang yang berada di situ terkejut. Clara yang mendengar teriakan itu segera mendekat ke ruang tamu.
Semuanya terkejut dengan ucapan Ambar. Seketika Ambar mendekati Hanggoro, sebuah dorongan kuat mengguncang tubuh rentanya hingga terdorong ke belakang. Dengan secepat kilat, Bram menahan tangan Ambar, ketika akan memukul Hanggoro.“Sabar Tante Ambar, ini mungkin kesalahpahaman, ini Pak Hanggoro, ayah mertua Bram, ayah kandung Clara.” Bram berusaha menjelaskan pada Ambar.“Mana mungkin Aku lupa dengan wajah penjahat ini, belasan tahun aku memendam rasa ini, hukuman kurungan seumur hidup tak pantas, kenapa kamu tak di hukum mati hah! Sebagai ganti nyawa suamiku yang kau lenyapkan.” Mata Ambar nyalang menatap Hanggoro, umpatan demi umpatan ia lontarkan tak perduli dengan sekelilingnya.Hanggoro hanya menunduk dan terdiam. Ia tak menyangka masa lalu yang kelam terbongkar di hadapan keluarga Bram.Clara dengan gemetar mendekati Ayahnya, belum sampai langkahnya, tiba-tiba Ambar melayangkan vas bunga ke arah Hanggoro, tak hayal lagi vas bunga mengenai pelipis Hanggoro hingga berdarah. Bram m
Tak butuh waktu lama Thomas dan Elin orang tua Bram, memproses perceraian Bram dan Clara, dengan bantuan pengacara, kurang dari satu bulan surat ceraipun di dapat. Elin tersenyum puas, kini ia telah terbebas dari menantu miskin dan besan mantan narapidana. Sementara Bram di dalam kamar mewahnya hanya menatap sendu, langit–langit kamar, sudah satu bulan ia tak pernah bertemu Clara, kerinduan membuncah pada wanita yang teramat di cintai, kini sudah berakhir rindu yang tak pernah bisa di curahkan. Perlahan ia bangkit dari tidurnya, langkahnya terhenti di depan meja, matanya nenatap kosong berkas-berkas proyek yang diberikan ayahnya malam kemarin, perintah untuk mengerjakan proyek di Singapura harus ia kerjakan.“Mungkin ini yang terbaik, pergi jauh dan fokus pada pekerjaan akan lebih mudah melupakan Clara,” gumam Bram dalam hati.Sementara Clara di dalam kamar yang sempit dan beralaskan kasur busa tipis, netranya terus memandangi surat cerai, bibir mungilnya tersenyum manis tapi di sudut
Dengan sedikit kesal Adrian menuju kantin, ia merasakan haus dan lapar setelah menolong Clara yang tiba-tiba pingsan. Setelah itu ia segera menuju tempat parkir, belum sampai di tempat parkir tiba-tiba matanya menangkap sesosok pria yang di kenalnya.“Bang Hanggo..Bang Hanggoro,” teriak Adrian sambil berlari kecil mengejar Hanggoro.Hanggoro yang mendengar namanya dipanggil, segera berhenti dan menoleh ke arah suara.“Adrian, kamu di sini,” tanya Hanggoro.“Iya Bang, tadi habis menolong seseorang yang pingsan,” jawab Adrian. “Bang, aku satu bulan yang lalu menengok Abang di Lapas, tapi katanya, Abang sudah bebas, selama satu bulan aku terus mencari Abang, untunglah kita bertemu di sini, bisakah kita bicara sekarang.” Adrian merangkul bahu Hanggoro dan berniat mengajak pergi.“Maaf Adrian, tidak sekarang, aku ada urusan penting.”“Baiklah Bang, ini kartu namaku segera hubungi aku ya,” pinta Adrian sambil menyodorkan sebuah kartu nama. Dengan cepat Hanggoro mengambil kartu nama itu dan
Tiga hari sudah, Clara dirawat di rumah sakit, akhirnya dokter mengijinkan Clara pulang. Bersama Ayahnya, Clara meninggalkan rumah sakit.“Tujuan ke mana Bapak?” tanya sopir taksi pada Hanggoro.“Ke Perumahan Cemara Indah, Jalam Thamrin,” jawab Hanggoro.Sopir taksi itupun mengangguk.“Ayah, kita akan ke tempat siapa?” cerca Clara penasaran.“Tiga hari yang lalu, Ayah bertemu dengan teman, ia menawari Ayah sebuah rumah untuk di tinggali dan juga memberi ayah pekerjaan untuk mengelola food courtnya.” Jelas Hanggoro sambil tersenyum. Clara hanya tersenyum mendengar cerita ayahnya. Kurang lebih perjalanan setengah jam sampailah mereka di sebuah komplek perumahan. Tepat di depan sebuah rumah sederhana bernuansa minimalis, taksi berhenti. Terlihat Bi Atik sudah menunggu di teras rumah, wajahnya tampak gembira melihat Clara dan Hanggoro tiba di rumah.“Selamat datang di rumah kita yang baru Clara,” sapa Bi Atik sambari memeluk keponakannya itu.“Wow rumahnya lumayan luas dan rapi, baik bang
“Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu di sini? Apa suamimu mencampakanmu,” balas Adrian menatap penuh tanda tanya, kenapa wanita hamil yang di tolongnya berada di rumah yang di pinjamkan pada Hanggoro. Clara mendelik ke arah Adrian, ingin ia mengumpat Adrian. Tapi di urungkan karena Ayahnya sudah datang.“Hai Adrian, maaf apa sudah lama menunggu.” Bergegas Hanggoro menghampiri Adrian yang masih berdiri di teras. ”Clara ada tamu, kenapa tidak di suruh masuk.” Clara masih terbengong” oo ya ini kenalkan Clara, putriku satu–satunya.” Hanggoro memperkenalkan Clara kepada Adrian.“Sudah kenal Bang, tak perlu di kenalkan lagi,” balas Adrian dengan muka juteknya.“Baiklah, ayo masuk, Clara tolong buatkan minum,” pinta Hanggoro pada Clara.“Clara, itu putri Abang? Dulu pas kita ketemu di rumah sakit itu, sebenarnya aku yang membawa Clara ke rumah sakit. Dia tiba-tiba pingsan di jalan.” Jelas Adrian pada Hanggoro.“Jadi yang menolong Clara kamu, wah aku harus berterima kasih padamu. Seben
“Bu Elin,” ucap Clara, dengan bibir bergetar.“Sudah aku peringatkan, jangan mendekati keluargaku,” gertak Elin.Clara, bersusah payah bangkit sambil berucap, ”Maaf Bu Elin.”“Maaf...akan aku pastikan kamu keluar dari kafe ini.”Keributan antara Clara dan Elin, di dengar supervisor, dengan cepat wanita bertubuh sintal itu mendekati Elin dan Clara.“Maaf ada yang bisa saya bantu Nyonya?” tanya supervisor dengan ramah.“Aku ingin, kalian memecat wanita ini, Dia tidak sopan padaku!” perintah Elin, dengan geram.“Maaf kami tidak bisa memecatnya itu wewenawg manager.”“Panggil managernya ke sini, jika tidak, aku akan laporkan kalian semua pada pemilik kafe ini, kalian tahu ‘kan, aku kenal dengan sangat baik pemilik kafe, aku juga sudah berlangganan selama belasan tahun di kafe ini,” ancam Elin.Supervisor itupun, memanggil manager. Tidak lama kemudian, seorang laki-laki berkumis, datang dengan wajah tegang.“Maaf Bu Elin, atas tindakan pegawai kami yang baru, kami akan memecatnya sesuai pe
Adrian tersenyum, lalu mengajak Clara memasuki swalayan, dan mulai berbelanja keperluan dapur dan keperluan food court, setelah memasukan barang belanjaan ke dalam mobil. Adrian mengajak Clara untuk masuk ke dalam swalayan lagi.“Clara, kita belum membeli keperluanmu,” ucap Adrian, seraya menarik tangan Clara.“Keperluanku?”“Baju hamil, tadi Bi Atik menyuruhmu beli baju hamil ‘kan?”“Iya, tapi aku mau beli di pasar saja, uangku tidak cukup kalau beli di sini.”“Kamu tinggal pilih, biar aku yang bayar.”“Nggak Adrian, aku tidak mau.” Tolak Clara, seraya menghempaskan tangan Adrian yang masih memegang tangannya.“Jangan menolak, anggap saja ini pemberian ayahmu, aku sebenarnya menawarkan hadiah untuk Bang Hanggoro, tapi Bang Hanggoro selalu menolak, jadi hadiah itu buat kamu saja. Kamu harus menerimanya kalau tidak, aku akan mengusir keluargamu dari rumahku,” ancam Adrian tatapannya serius menatap Clara, hingga membuat Clara gugup.“Baiklah, aku menerimanya.”Keduanya pun memasuki swal
Sementara itu di rumah Himawan, Dinda dengan kesal, membanting belanja bawaannya di atas sofa, kemudian menghempaskan pantatnya di sofa dengan kasar. Melihat tingkah putrinya, Elin terheran.“Kamu kenapa, sedang hamil, cemberut begitu?” tanya Elin.“Ma, tadi di swalayan, Dinda bertemu Clara. Mama tahu nggak, Clara sudah punya suami lagi, dan hamil lho Ma, tadi pilih-pilih baju hamil. Dinda heran, ternyata dia, cepat melupakan cintanya pada Kak Bram, bikin Dinda kesal, entah siapa pemuda itu, terjebak rayuan Clara,” jelas Dinda geram.“Clara bicara apa saja tadi?” tanya Elin, penuh selidik, ia khawatir jika Clara memberi tahu Dinda, jika ia hamil anak Bram.“Clara tidak bicara apa-apa Ma, tapi aku kesal, dia sekarang bahagia dengan pria lain, sementara Kak Bram, masih belum bisa move on dari Clara,” gerutu Dinda kesal.Elin, bernapas lega karena Dinda tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya terjadi pada Clara.Hari terus berjalan, kedekatan Clara dan Adrian, semakin erat dan dekat. Pe