Tepat tengah hari, Clara sampai di perkebunan, setelah makan siang dan mengantarkan Jose dan Tini, ia dan Hanggoro menuju kantor Agro Darma, sesampainya di sana, Clara langsung menemui Bramastio dan beberapa staff untuk meeting mengenai kontrak kerja sama dengan Rama Swalayan. Selama kurang dari dua jam rapat dilaksanakan. Bram sesekali mencuri pandang Clara yang duduk di depannya, jantungnya masih saja bedesir, ketika menatap wanita cantik yang mengenakan blose warna hijau, dengan blazer hitam, dan rok sebatas lutut, sungguh penampilan yang sempurna di mata Bramastio, dan membuatnya semakin tidak bisa menjauh dari wanita yang pernah mengisi hari-harinya dengan cinta.“Clara,” panggil Bram, ketika Clara akan meninggalkan ruang rapat. Panggilan Bram, membuat Clara menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Bram.“Ada apa?” tanya Clara, seraya menoleh ke arah Bram dengan tatapan datar.“Selama di Bandung, bolehkan setiap hari aku menemui Jose,” pinta Bram.“Jose, anakmu, kamu boleh men
Clara membanting ponselnya di tempat tidur, ia kesal dengan Adrian. Sejak kemarin, ponsel Adrian tidak bisa dihubungi, bahkan Adrian belum mengabari menginap di hotel mana, selama berada di Singapura, rasa khawatir bercampur marah mendera di dada Clara, apalagi kata-kata Baskoro kemarin yang menilai bahwa Adrian, sedang ada masalah atau ada sesuatu yang disembunyikan, membuat Clara semakin gelisah dan bertanya-tanya, ada apa dengan suaminya yang tiba-tiba berubah. Clara beranjak dari kamarnya, lalu menemui Hanggoro yang saat itu sedang bersantai dengan Ki Darma, di halaman samping rumah.“Ayah, apa Adrian pernah bercerita, jika dia ada masalah akhir-akhir ini?” tanya Clara seraya duduk bergabung di sebuah gazebo.“Ayah, akhir-akhir ini jarang bertemu dengan Adrian,” sahut Hanggoro.“Memangnya, kenapa Adrian?” tanya Ki Darma.“Ini Kek, akhir-akhir ini ada yang aneh dengan Adrian, Clara sendiri merasakan, jika Adrian sedang menyembunyikan sesuatu, dan Papa Bas juga merasa begitu, karena
Sekitar 60 menit, sampailah Bram dan Clara di parkiran Rumah Sakit Medika Internasional, waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Clara menghela napas panjang, sebelum keluar dari mobil, jantungnya berdetak lebih cepat.“Clara, aku akan menunggumu di loby rumah sakit, jika kamu perlu bantuanku kamu telepon saja,” pinta Bram.Clara tersenyum kecil pada Bram, dan berucap, ”Terima kasih, kamu bisa pulang sekarang.”“Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu, aku tahu kamu ada masalah, jadi aku akan menunggumu di sini, sampai aku memastikan, jika kamu baik–baik saja,” balas Bram.Clara kembali tersenyum kecil, terlihat jelas ada rasa cemas yang menggantung di matanya. ”Terima kasih Bram,” ucap Clara, sembari memegang telapak tangan Bram, dan setelah itu beranjak menuju resepsionis rumah sakit.“Maaf, saya mau bertanya, apakah ada pasien yang bernama Adrian Putra Baskoro?” tanya Clara, pada seorang wanita berpakaian kemeja batik.“Sebentar ya Bu,” jawab resepsionis.Terlihat resepsionis fokus pada komp
Nilam beranjak pergi meninggalkan rumah Atik, mobilnya melaju kencang menuju PT. Baskoro Group, sesampainya di sana, ia langsung menemui Saras, yang kebetulan ada di ruang staff, dengan geram Nilam menghampiri Saras yang masih sibuk di depan laptopnya.“Saras!” bentak Nilam ketus.Plak!.. tamparan keras melayang di pipi Saras, hingga menyisakan bekas merah di wajah Saras.“Kamu srigala berbulu domba, mulai sekarang, aku memecatmu dari PT. Baskoro Group!” perintah Nilam.Saras berlahan mengangkat wajahnya, dan menatap Nilam dengan tatapan penuh amarah.“Yang berhak memecat saya, hanya Adrian dan Pak Baskoro, ibu Nilam tidak mempunyai kedudukan apa-apa di sini,” balas Saras, tanpa ada rasa takut sedikitpun.Pernyataan Saras, membuat seluruh staff terkejut, mereka saling pandang, dan bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Saras, karyawan baru sudah berseteru dengan istri pemilik perusahaan dan dengan tenang melawan perkataan Nilam.“Ayo, kita temui Baskoro, biar kamu di pecat,” balas Nilam,
Saras terlihat tersenyum kecil, ketika bertemu dengan Reka, di depan kamar rawat Monika.“Tante Reka, Clara sudah tahu tentang Monika dan Adrian, dia tadi menemui Adrian,” ucap Saras pelan.“Itu memang kemauanku, jadi sekarang kamu harus menekan Adrian, lewat Monika, jadikan Monika sebagai alasan kalian bersama,” balas Reka, senyum licik tersunging di sudut bibirnya, sambil matanya menatap ke arah jendela kamar Monika.“Aku akan melakukan, sesuai keinginan Tante,” sahut Saras. Ada sedikit rasa tenang di hati Saras, karena mendapat dukungan dari Reka, tapi ia tidak mengetahui, jika Dirga mulai mengancam hidupnya.Sementara itu Clara masih menyendiri di dalam kamar, ia merenungkan tentang segala yang terjadi dalam hidupnya, mulai dari pernikahannya dengan Bram yang gagal, dan berujung sakit hati, dan kini Clara berpikir apakah akan terulang lagi pada pernikahannya yang kedua, ia berpikir, Adrian adalah sosok yang sempurna yang mencintai dirinya apa adanya, menemani di masa-masa terburu
Bram masuk kedalam apartemen, di baringkannya tubuh Clara di tempat tidur, lalu Bram membuka blezer yang di kenakan Clara, blezer itu kotor bekas mutahan Clara, lalu Bram, menaruh blezer di keranjang cucian, yang berada di kamar mandi, sekalian dia mengambil handuk kecil dan sebaskom air yang di isi air hangat.Berlahan Bram, mendekati tubuh Clara, di tatap dalam tubuh yang pernah memberinya kenikmatan surgawi, tubuh itu masih tetap sama, putih bersih dan halus, berlahan di sekanya wajah Clara, dengan lembut, hingga desiran halus naik kejantung Bram, ia merindukan Clara, apalagi ketika melihat tubuh Clara hanya mengenakan tank top warna hitam, dengan belahan dada rendah, memperlihatkan bentuk dadanya.“Adrian, peluk aku, jangan tinggalkan aku,” racau Clara, sembari menarik leher Bram dalam pelukannya.Bram hanya terdiam, ketika tubuhnya menyatu dengan Clara, nafsunya kini menguasai akalnya, berlahan Bram mulai membelai helai rambut Clara, dan mengecup bibir Clara. Untuk sesaat, bibir B
Clara melangkah pelan menuju kamar rawat Adrian, langkahnya ragu, ia mulai mencerna, apa yang dikatakan oleh Saras, memang Adrian mempunyai tanggung jawab pada Monika dan Saras, tapi haruskah Adrian akan mengorbankan pernikahannya.Ceklek! Clara membuka pintu, terlihat Adrian, mulai membuka matanya pelan, tangan kirinya masih terpasang alat infus, Adrian mendesah pelan.“Kenapa aku di sini lagi?” gerutu Adrian.“Kamu pingsan, ada pendarahan di bekas operasimu,” jelas Clara sembari mendekati Adrian, dan membenarkan letak selimut yang mulai berantakan.Tangan Adrian meraih tangan Clara. ”Duduklah aku ingin bicara,” ucap Adrian pelan.“Jika, kamu masih sakit, jangan di paksakan.”“Aku lebih sakit, jika kamu, tidak mempercayai aku, dengarkan semua akan aku ceritakan,” ucap Adrian, mulai terlihat kesal atas sikap Clara yang seakan cuek, tapi Adrian tahu Clara butuh penjelasan.Clara menghela napas panjang, dan ia menghempaskan pelan tubuhnya di kursi samping tempat tidur. Sementara Adrian
Clara melangkah pergi, hatinya masih di liputi kecemasan, sekaligus rasa kecewa yang menyusup ke dalam hati, Adrian, laki-laki yang di anggapnya sempurna, tapi ternyata menyimpan masa lalu yang sungguh mengejutkan, tapi Clara melihat ada kejujuran dan ketulusan di mata elang milik Adrian, tatapannya yang tajam, menyisakan penyesalan yang teramat dalam, akan suatu kesalahan di masa lalu.Clara menaiki taksi menuju apartemennya, ia mencoba untuk hidup normal kembali, menerima segala kekurangan dari suaminya, jika memang Monika akan tinggal bersamanya, ia akan menganggap Monika seperti putri kandungnya, seperti Adrian yang menganggap Jose anak kandungnya, bahkan sebelum Jose lahir, Adrian, sudah menjaganya dan mencurahkan kasih sayangnya.Clara berdiri di atas balkon kamarnya, menatap suasana siang yang begitu panas di pusat kota Jakarta, lamunannya membuyar, ketika suara ketukkan pintu terdengar dari pintu depan, dengan langkah lebar Clara, berjalan ke arah pintu, dan di bukanya, terli