Jam empat sore adalah waktu Queena pulang sekolah.Queena berjalan keluar dari sekolah dengan riang seperti biasa, tiba-tiba melihat seorang pria jangkung yang mengenakan jas hitam berjalan ke arahnya."Nona Queena, Pak Valerio datang menjemput Nona. Beliau sudah menunggu di dalam mobil. Ayo kita ke mobil."Setelah mengatakan itu, pria itu membungkuk, berniat menggendong Queena. Di samping pria itu, ada beberapa pengawal berpakaian preman yang juga turut mengawal.Setiap kali Valerio datang untuk menjemput Queena, dia pasti selalu melakukan tindakan berlebihan begini.Queena melihat Rolls Royce milik ayahnya yang berada tak jauh dari situ, seketika raut wajahnya berubah cemberut tidak senang."Bukannya seharusnya Tante Renata yang menjemput Queena hari ini? Queena mau dijemput Tante Renata saja!"Pria itu sedikit bingung, tetapi tetap menggendong Queena berjalan ke mobil Valerio berada. "Ini keputusan Pak Valerio. Jadi, Nona Queena sebaiknya bicara sendiri dengan Pak Valerio."Queena d
Queena bertepuk tangan dengan gembira. "Yeay, Queena senang sekali bisa bermain dengan Kak Zayden.""Kalau begitu, Queena akan terus tinggal sama Papa dan Kakak mulai sekarang, ya?""Ya." Queena memiringkan kepalanya, lalu bertanya, "Bagaimana dengan Mama dan Nenek?""Mereka ...." Raut wajah Valerio berubah muram, suaranya langsung terlontar dingin, "Mereka bukan keluarga Queena yang sebenarnya, jadi nggak perlu khawatir."Queena menganggukkan kepalanya seolah-olah mengerti. Dia memang tidak mengerti kenapa wajah tampan Papa nya yang berubah muram. Namun, apa yang dikatakan Papa nya pasti demi kebaikannya. Jadi, dia akan mengingatnya!Mobil melaju sampai ke Galapagos dan berhenti di depan vila.Valerio keluar dari mobil dengan menggendong Queena dan berjalan masuk ke dalam vila.Berjalan ke pintu depan vila, suara permainan piano terdengar di ruang tamu. Saat berjalan masuk dan melihat lebih dalam, terlihat ada seorang remaja yang duduk di depan piano, tengah berkonsentrasi dengan perm
"Cekik sampai mati kalau bisa. Aku akan merasa lega kalau mati. Kamu juga bisa cari pewaris lain siapa pun itu. Aku nggak peduli!"Alis Valerio diselipi lapisan kemarahan dan cengkeraman tangannya di leher Zayden makin menguat. "Katakan, apa yang terjadi kepadamu. Kenapa kamu membuat adikmu menangis?""Dia bisa menangis kalau dia mau, apa hubungannya denganku!" Tangan Zayden menyentuh lehernya, mencoba melawan tangan Valerio dengan tangannya. Dia mencoba melepaskan cengkeraman tangan Valerio, tetapi dia tidak bisa mengerahkan kekuatannya karena cengkeraman Valerio terlalu kuat."Ah! Aku sangat membencimu!" Zayden berseru keras, nadanya diwarnai dengan keputusasaan dan ketidak berdayaan.Zayden membenci dirinya yang lemah dan tidak berdaya. Di depan Valerio, dia adalah orang lemah yang hanya bisa melampiaskan emosinya dengan menjadi pemarah."Zayden, kamu kenapa lagi? Apa yang terjadi?"Valerio bertanya dengan marah, melepaskan tangannya dan menatap tajam ke arah Zayden."Kenapa aku ngg
"Biarkan aku menemuinya sebentar, aku sangat merindukannya. Aku mohon, Papa."Wajah dingin Valerio sedikit mengendur. Dia mengangkat tangannya dan menepis tangan Zayden. "Bersihkan air matamu."Zayden yang mendengar itu pun menyeka air mata dari telapak tangannya dan berkata sambil terisak, "Apa boleh? Biarkan aku bertemu dengannya.""Apa gunanya bertemu dengannya?" Valerio berkata dengan suara yang dalam, "Kalau kamu bertemu dengannya dan membuat emosimu jadi lebih baik dalam belajar dan menjalani hidup, aku akan kasih izin. Tapi, mana mungkin aku percaya padamu? Bertemu dengannya sekali saja sudah membuatmu seemosional ini."Zayden berjanji dengan penuh keyakinan, "Aku janji. Selama bisa bertemu dengannya, aku akan menjalani hidupku dengan baik dan nggak akan mengganggunya lagi."Valerio akhirnya berkompromi, mengambil pulpen dan kertas dari mejanya dan menuliskan serangkaian alamat di atasnya."Ini alamat tempat tinggal ibumu sekarang. Aku akan mengizinkanmu untuk menemuinya, tapi k
Zayden melirik alamat yang ditulis di catatan itu, lalu memberikan alamat lengkap Briella kepada penjaga pintu gerbang.Penjaga itu menelepon apartemen Briella, tetapi panggilan tidak dijawab.Dia pun menyerah dan berjalan keluar menghampiri Zayden. "Pemiliknya lagi nggak di rumah. Karena kamu pengunjung, kamu pasti punya nomornya. Telepon dulu saja. Kalau sudah dapat izin, kami baru bisa membiarkanmu masuk."Zayden sedikit kecewa. "Aku nggak punya nomor teleponnya.""Nggak punya nomor teleponnya?" Penjaga itu pun tidak berdaya. "Kalau begitu, kami nggak bisa kasih izin kamu masuk."Zayden melihat lampu-lampu di lingkungan sekitar, tatapannya perlahan-lahan meredup. Dia berdiri diam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket yang dia kenakan.Dia hanya berdiri di sana, menatap lalu lintas yang terlihat di depannya. Setelah sekitar sepuluh menit, dia melihat sebuah mobil SUV putih melintas. Melalui kaca jendela, dia melihat wajah yang selalu dia pikirkan siang dan malam.Itu Mam
"Aku nggak berbohong."Zayden menatap lurus ke arah Briella. Briella benar-benar tidak mengingatnya sama sekali."Kenapa aku nggak percaya? Kalau kamu nggak jawab jujur, aku akan telepon polisi."Zayden terpaksa mengatakan yang sebenarnya. "Mama sudah nggak menginginkanku lagi. Aku tinggal sama Papa dan adik perempuanku. Aku bertengkar sama Papa dan pergi dari rumah. Aku nggak mau pulang.""Ternyata begitu."Pakaian anak ini cukup rapi, tetapi wajahnya terlihat muram. Ternyata dia anak yang suka memberontak."Kalau begitu aku akan menghubungi Papa mu. Perseteruan ayah dan anak nggak akan bertahan lama, jadi kamu harus kembali. Kalau nggak, Papa mu akan khawatir.""Aku nggak akan pergi." Zayden berkata dengan keras kepala, "Aku datang untuk menemui Mama.""Eh ...." Briella bertanya dengan penasaran, "Apa Mama mu ada di sekitar sini?""Ya.""Pantas saja." Briella mulai berspekulasi, "Jadi, kamu menghentikan mobilku, masuk ke lingkungan ini untuk memintaku membantumu mencari Mama?"Zayden
"Tunggu." Mendengar itu, Briella makin merasa ada yang tidak beres. "Apa kamu punya banyak uang sampai ingin membeli waktuku? Selain itu, bukannya kamu mau cari Mama mu? Kenapa malah mau sering mengunjungiku."Briella makin curiga dengan motif anak ini. Mana ada anak kecil yang bicara seperti ini? Menakutkan sekali.Zayden tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Aku harus pulang. Ingat, Kamis depan tunggu aku di rumah."Briella bingung. Kenapa nada bicara anak ini sangat keras?"Kamu menganggapku apa sampai memintaku menunggu di rumah? Kalau mampu, kasih uangnya padaku sekarang juga."Zayden mengerjap, mengutak-atik sakunya dan melepas jam tangan yang dia kenakan. "Aku nggak bawa dompet. Ambil jam ini saja dulu."Briella melirik jam tangan itu, ternyata Patek Philippe yang harganya satu miliar.Tampaknya anak ini bukan anak dari keluarga biasa, mungkin tuan muda dari keluarga kaya.Briella tidak ingin membuat masalah, lebih tepatnya dia tidak boleh sampai membuat masalah.Briella tidak men
Valerio meremehkan, "Biarkan saja kalau memang dia mau menikah. Masih banyak wanita lain, nggak cuma dia saja."Zayden tercengang, tidak tahu harus berkata apa."Sebanyak apa pun wanita yang kamu cari, aku nggak akan menerima mereka sebagai Mama ku. Aku cuma punya satu Mama dan itu hanya Briella."Valerio mendengus dingin, "Keras kepala."Zayden mendengus, "Aku nggak mau bicara denganmu lagi.""Berhenti."Valerio memanggil Zayden dengan suara dingin, seperti panggilan yang berasal dari neraka. Tubuh Zayden menegang, lalu berdiri diam di tempatnya.Dia berbalik, menegakkan punggungnya dan berkata dengan lemah, "Aku mau istirahat di kamar. Papa juga istirahatlah.""Besok, begitu bangun, kamu dihukum menyalin seratus kali pelajaran keluarga.""Aku mengerti. Apa ada lagi, Papa?""Tidurlah."Zayden mengerucutkan bibirnya dan melangkahkan kakinya menuju kamarnya.Dia berbaring di tempat tidurnya, meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. Matanya berbinar penuh kepuasan saat mengingat ke