Queena yang mendengar itu pun turun dari tempat tidur dan pergi mengambil koper merah mudanya. Dia mengisinya dengan pakaian-pakaian cantik, mainan, serta buku-buku cerita kesukaannya.Dia juga ingin membawa beberapa hadiah untuk kakaknya, Zayden. Namun, dia menggaruk kepalanya bingung. Semua mainannya sangat feminin, Zayden pasti tidak akan menyukai semua mainan itu.Si kecil menoleh ke arah Valerio dengan bingung. "Papa, apa Kak Zayden akan menyukai Queena?"Valerio berjalan mendekati Queena dan setengah berjongkok. Dia membantu putrinya menutup koper, lalu berdiri dan meletakkannya di samping. Dia memeluk Queena dan berkata dengan lembut dan sabar."Kakakmu sangat baik dan kalian pasti akan akur. Dia akan menyayangimu sama seperti Papa menyayangimu."Queena sangat lega mendengar Valerio mengatakan hal itu."Berikan kopermu kepada pelayan." Valerio menggandeng tangan kecil Queena. "Sekarang kita pulang."Valerio menarik Queena keluar dari kamar dan keributan di luar masih belum berak
"Bertemu Valerio? Di mana?""Kamu tahu? Dia adalah pihak kontraktor proyek yang aku tangani. Dia membangun taman bermain buat putrinya, bahkan nggak ragu-ragu ketika membeli sebidang tanah yang begitu luas dari pemerintah dengan harga mahal. Hari ini kami mengadakan pertemuan. Begitu masuk, aku langsung melihatnya. Kemudian kami juga ...."Briella sedikit bingung harus menjelaskan seperti apa. Dia terus bicara dan mencurahkan ceritanya kepada Klinton. Pada akhirnya, pikirannya sedikit kacau karena memikirkan semua hal yang telah terjadi di antara mereka berdua."Kalian kenapa?"Klinton langsung menangkap kegelisahan dalam nada bicara Briella, hatinya pun menjadi tidak tenang."Demi mendapatkan proyek itu, aku dan dia ....""Briella, kamu nggak perlu bicara lagi." Tatapan Klinton penuh dengan gurat sakit hati. "Apa kamu merasa senang terus menorehkan luka kepadaku? Kenapa kamu mengatakan ini padaku?""Maafkan aku, Klinton. Aku nggak mau merahasiakan hal ini darimu." Briella merasa kalau
"Davira, apa yang terjadi? Bicara pelan-pelan."Setelah mendengar suara Klinton, Davira pun berhenti menangis dan mulai menceritakan semua kejadian yang terjadi malam ini.Klinton terus mendengarkan dengan tenang dan benaknya sudah sepenuhnya menyadari apa yang terjadi.Tidak perlu banyak berpikir untuk mengetahuinya. Valerio meminta bercerai karena Briella sudah kembali.Tangan pria itu mengepal erat. Seharusnya dia tidak mengatakan kepada Valerio kalau Briella masih hidup. Namun, itu juga merupakan kelalaiannya, yang membuat ancaman tersembunyi semacam ini muncul. Dia juga tidak menyangka kalau Valerio masih tidak bisa melupakan Briella sampai sekarang.Sudah empat tahun berlalu, apakah pria itu masih memiliki perasaan yang sama?Klinton menyipitkan matanya dan menatap Briella saat menjawab perkataan Davira di ujung telepon."Sudah berapa kali aku bilang, jangan panik saat ada masalah. Selama ada kakakmu, kamu nggak perlu mengkhawatirkan apa pun. Ingat, kamu hanya perlu menolak perce
Tangan Klinton lepas dari kemudi, memandang kediaman Keluarga Regulus di depannya yang dijaga ketat. Ada perasaan tertekan yang muncul di dalam hatinya.Dia tidak mampu membayangkan kalau adiknya rela tinggal di sini selama empat tahun."Turunlah, Renata ku."Lelaki itu memanggil Briella dengan sebutan seperti itu. Mungkin di dalam hatinya, Renata adalah satu-satunya yang benar-benar menjadi miliknya.Briella membiarkan Klinton memanggilnya seperti itu. Yang ada di pikirannya sekarang adalah dua wanita di kediaman Keluarga Regulus. Mungkin terkesan tidak baik kalau menertawakan penderitaan mereka, tetapi mereka berdua sudah membuatnya melalui begitu banyak penderitaan. Sekarang, Briella benar-benar ingin melihat pembalasan seperti apa yang akan mereka alami sekarang.Keduanya turun dari mobil. Briella mengikuti Klinton dan melewati dua penjagaan pengawal sebelum masuk ke dalam vila Keluarga Regulus.Klinton mengulurkan tangannya kepada Briella, memberi isyarat agar Briella menggandeng
"Dia Renata, jangan takut." Klinton menjelaskan, "Renata itu wanitaku, jadi kamu jangan berpikir macam-macam. Aku akan mengantarmu pulang.""Tapi Kak ...." Davira tiba-tiba menangis, "Aku sudah melakukan kesalahan. Aku sudah melakukan banyak hal buruk, aku sangat takut. Aku nggak berani meninggalkan tempat ini. Begitu meninggalkan tempat ini, aku nggak akan pernah bisa kembali. Aku akan tetap di sini dan tetap mempertahankan posisi istri sah Valerio. Nggak ada yang bisa merebutnya dariku.""Nggak akan ada yang bisa merebut posisi itu darimu." Klinton menenangkan Davira, "Selama ada aku, nggak akan ada yang bisa merebut posisi itu darimu. Davira, ayo pulang."Davira tidak dapat menghentikan air matanya yang mengalir. Tatapannya langsung tertuju pada Renata.Renata tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri di sana membawa guncangan kuat yang membuat Davira ketakutan.Briella mengaitkan bibirnya sedikit, bahkan tersenyum tipis pada Davira.Senyuman itu mengalirkan kepuasan. Karma tidak akan
Briella mengumpulkan kembali sorot matanya yang tajam, lalu tersenyum hangat pada Rieta. "Dengan senang hati. Sampai jumpa lagi di lain waktu, Bu Rieta."Setelah berpamitan dengan sopan, Briella berbalik saat senyum di wajahnya langsung memudar. Ambisi dan semangat juang yang kuat tertulis jelas di wajahnya. Karena Rieta ingin bertemu dengannya, jadi lebih baik beri dia kesempatan untuk menunjukkan kepadanya seperti apa sosok Briella yang sesungguhnya.Briella berjalan keluar dari vila. Klinton sudah membawa Davira masuk ke dalam mobil dan keluar lagi untuk menjemputnya.Pria itu berbisik di telinganya dengan suara pelan, "Adikku cukup kesal. Jadi demi aku, tolong jangan mengganggunya."Briella menganggapnya lucu. "Klinton, kenapa kamu bilang begitu kepadaku? Apa kamu nggak lihat? Dia sangat ketakutan saat melihatku. Aku malah nggak melakukan apa-apa. Lebih baik kamu tanya kepadanya, hal apa yang dia sembunyikan darimu."Klinton menempelkan jarinya pada bibir Briella, lalu berkata deng
Briella melihat sikap Davira yang seperti anak kecil, merasa kalau Davira masih tetap sama seperti empat tahun yang lalu, kekanakan, sombong, berubah-ubah dan sulit diatur. Davira masih belum memahami kalau apa yang diberikan orang lain itu bukanlah sesuatu yang akan bertahan selamanya. Satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan menjadi kuat.Namun, Briella tidak ingin berkomentar panjang lebar, hanya ingin menyaksikan dalam diam.Klinton mengangkat pandangannya dan melirik Davira dari kaca spion. Dia pun mengerutkan kening saat mengingat sifat Davira yang berkemauan keras."Davira, jangan bicara begitu sama Renata. Dia begitu karena peduli padamu."Mulut Davira ternganga, agak terkejut karena kakaknya membela dan berada di pihak wanita lain, bukan membelanya. Dia hampir menggila karena cemburu, lalu berteriak ke arah Klinton."Apa kamu juga keberatan dengan sikapku yang seperti ini? Kalau begitu hentikan mobilnya. Aku akan pulang ke rumah Papa Mama sendiri."Davira mengatakan itu
"Davira, kamu sudah jadi ibu dan sudah waktunya untuk menjadi dewasa."Davira marah, langsung mengambil bantal tempat tidur dan melemparkannya ke Klinton. "Wah, Klinton, sepertinya kamu mulai keberatan punya adik sepertiku ini! Kamu berprasangka buruk kepadaku. Menurutku Renata juga bukan wanita yang baik. Dia cuma wanita pembawa sial seperti Briella! Cepat atau lambat kamu akan disakiti olehnya."Klinton tertunduk tak berdaya. Dia mengambil bantal yang terjatuh di karpet dan meletakkannya di ujung tempat tidur. "Davira, Renata nggak sama dengan Briella. Kalau kamu lupa, Briella sudah nggak ada di dunia ini. Kalau kamu terus menyebutkannya seperti ini, bukankah kamu akan membuat semua orang teringat akan keberadaan Briella? Aku sih nggak masalah, tapi bagaimana dengan suamimu? Sekarang kamu sudah memilih untuk menikah dengannya. Kamu harus belajar untuk menjaga hubungan kalian dan jangan bersikap seenaknya. Kamu mengerti?"Davira terdiam dan memikirkan kata-kata kakaknya dengan hati-ha
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu