"Kamu ini wanita, berani sekali melawan tiga pria! Aku sudah bilang akan memberimu mobil, tapi kamu malah nggak mau. Besok aku akan belikan kamu mobil, jadi ke mana-mana bisa pakai mobil."Klinton berada di bangsal Briella dan menemaninya menghabiskan infus.Briella tidak mengatakan apa-apa, hanya menekan bagian perutnya. Tiba-tiba, dia merasa sangat kesakitan sampai tidak bisa bicara.Klinton pun menyadari akan hal ini dan menjadi cemas. "Kenapa? Apa ada luka yang belum diperiksa?"Dahi Briella berkeringat dingin. Dia terus mengatupkan giginya dan tidak berbicara. Rasa sakit ini sangat menusuk, membuatnya tidak punya kekuatan bahkan untuk berbicara.Klinton pun menjadi cemas dan langsung memanggil dokter. Setelah diperiksa, ternyata Briella menderita radang usus buntu dan harus segera dioperasi.Setelah dioperasi selama beberapa waktu, Briella dibawa keluar dari ruang operasi dan harus dirawat di rumah sakit selama satu minggu."Lihatlah bagaimana keadaanmu sekarang." Klinton duduk di
Klinton menghela napas tidak habis pikir. Saat ini, dia tengah mengalami konflik batin di dalam hatinya.Dia khawatir kalau kemandirian Briella yang terus bersikeras melakukan apa yang sudah direncanakan mungkin akan menjadi tidak terkendali di kemudian hari. Namun, di saat yang sama, dia sangat tertarik dengan ambisi Briella ini."Jadi, katakan padaku, apa rencanamu sekarang? Kamu punya jalan keluar lain?"Briella mengangguk, tidak berusaha menyembunyikan apa pun dari Klinton."Aku sebenarnya ingin memulai bisnisku sendiri.""Briella, kamu berani sekali." Klinton terkejut dengan ide Briella. "Kamu seorang perempuan dan kamu berpikir untuk memulai bisnismu sendiri? Apa kamu tahu seberapa sulit untuk memulai bisnis? Ini nggak semudah yang kamu pikirkan.""Aku tahu kamu akan meragukanku, tapi aku sudah punya rencana."Briella mengernyitkan keningnya, menunjukkan gurat lelah yang terlihat jelas di wajahnya. "Bisa kita bicarakan hal lain saja?"Klinton tidak berniat untuk menghentikan topi
Briella mengangguk, lalu menjawab, "Ya. Selama hal itu nggak ganggu pekerjaanku, aku bisa terima."Kesepakatan di antara mereka berdua pun terjalin dan Klinton mulai memperkenalkan dirinya sebagai pacar Briella. Keesokan harinya, dia membawakan Briella sebuah kunci mobil."Mulai sekarang, kamu bisa bawa mobilku kalau mau pergi-pergi. Negara Jerius tidak seaman negara kita. Keamanan di sini sangat kacau.""Terima kasih, pacar." Briella terkikik riang dan mengambil kunci mobil yang diberikan Klinton. "Oh ya, ada hal lain yang aku ingin kamu lakukan."Klinton bersedekap dan menatap Briella dengan ramah. "Apa? Katakan saja.""Aku kangen ibuku. Aku ingin pulang sebentar dan melihat keadaannya.""Nggak masalah. Aku akan menemanimu bertemu dengan ibu kita."Briella memukul Klinton dan menimpali dengan cemberut, "Ibu kita? Aku bukan istrimu, jadi jangan bilang begitu. Kalau nggak, nanti ibu bisa berpikir macam-macam."Keduanya sedang berbicara, tiba-tiba suara perawat terdengar dari ambang pin
Setelah mengatakan itu, Klinton melirik ke arah jam. Dia masih ada hal yang harus dilakukan, jadi meminta Briella menjaga diri dengan baik, baru pergi.Setelah kepergian pria itu, Briella merasa bosan dan melihat ke luar jendela. Hari ini langit sangat cerah. Dia ingin pergi ke taman dan berjemur.Menguatkan diri untuk bangun, Briella turun dari tempat tidur. Setelah membuka pintu, dia melihat seorang pria bersandar di dinding, seakan tengah menunggunya.Briella menatap Valerio. Selama beberapa tahun ini, Briella selalu melihat Valerio di televisi atau berita. Tiga tahun telah berlalu dan pria ini sepertinya tidak banyak berubah. Dia masih setampan biasanya, tetapi juga jauh lebih tenang dan mawas diri. Aura dalam dirinya makin menarik.Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Setelah semua yang telah mereka lalui, Briella tidak tahu bagaimana harus memulai percakapan dengan pria ini. Sepertinya menjadi orang asing adalah pilihan terbaik bagi mereka."Aku membawakanmu hadiah dan
Valerio dan Briella duduk dalam keheningan untuk waktu yang lama. Angin dingin berhembus di taman. Valerio melepas jas abu-abu perak yang dia kenakan dan menyampirkannya di bahu Briella.Jas yang terbungkus aroma parfum pria itu terasa masih hangat dan langsung menyelimuti Briella."Jaga dirimu." Valerio beranjak, meninggalkan kalimat yang rendah dan magnetis sebelum melangkah pergi.Briella menggenggam oktaf itu di kedua tangannya. Tubuhnya meringkuk dan sedikit membungkuk. Hatinya terasa kosong, menatap air mata yang membasahi punggung tangannya.Dia sangat benci kenapa pria ini harus muncul di saat seperti ini. Dia benci karena hatinya masih goyah bahkan setelah berlalu cukup lama.Briella duduk terdiam di bangku taman, mencoba menahan getaran masa lalu yang bergejolak di dalam hatinya. Getaran itu mengaduk-aduk emosinya.Bagi Briella, Valerio seperti perampok."Sudah melihatnya?"Remaja di dalam mobil mengenakan pakaian olahraga hitam dan topi di kepala. Di bawah topi yang menutupi
"Aku bukan penyalur pesan, yang apa-apa harus tanya sama Papa. Kenapa Mama nggak tanya sendiri saja sama Papa?""Papa nggak mau cerita sama Mama. Mama sudah membesarkanmu sampai sekarang, kenapa kamu nggak peduli sama Mama? Papa selalu bersikap jahat sama Mama, apa kamu nggak mau membela Mama? Gimana Mama mau hidup kalau kamu pun jahat sama Mama?"Davira melampiaskan semua keluh kesah yang ada di dalam hatinya kepada Queena. Mendengar itu, Queena menarik kedua telinganya dan terlihat tidak sabar."Mama selalu seperti ini, pantas saja Papa nggak mau tinggal sama Mama. Mama memancarkan energi negatif dan selalu mengomel, seperti ibu-ibu cerewet."Mata Davira terbelalak, lalu dia bertanya dengan nada dingin, "Apa katamu?"Queena menjulurkan lidahnya dan kembali sibuk dengan mainan di tangannya, bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi.Davira sangat marah. Dia bukan hanya harus menahan diri atas ejekan dan penindasan Rieta, tetapi dia juga harus bersabar dengan seorang gadis kecil yang
Pengasuh itu menggerutu kepada Davira. Begitu Davira mendengar itu, dia langsung melayangkan tamparan tepat di wajah pengasuh itu.Pengasuh itu sampai jatuh ke sofa, bersama dengan anak kecil yang berada dalam gendongannya. Anak kecil itu merintih dan menangis keras. Pengasuh itu terdiam. Wajahnya terasa panas dan sakit, bahkan sampai berdarah karena tergores kuku Davira.Davira menjambak rambut pengasuh itu, lalu memakinya habis-habisan."Apa kamu tahu kalau aku ibu kandung anak ini? Kamu pikir kamu siapa, berani-beraninya mengarahkan apa yang harus aku lakukan! Apa kamu tidur sama Elbert? Kamu pikir kamu nyonya sah di rumah ini! Aku beritahukan, akulah yang menyewa apartemen ini dan akulah yang menghidupi Elbert! Kamu cuma pengasuh yang menjaga anakku! Beraninya menyuruhku melakukan sesuatu! Apa kamu cari mati?"Davira menarik rambut pengasuh itu dengan sangat keras hingga hampir merobek kulit kepalanya. Pengasuh itu menangis dan memohon ampun. Tangisan anak yang ada di gendongannya
Elbert hanya bisa menghela napas panjang saat mendengar keteguhan hati Davira.Dia tahu betul bahwa dalam tiga tahun ini kehidupan Davira tidak sebaik yang diinginkannya. Sebagai orang yang menyaksikan hubungan mereka, Elbert pun merasa tertekan.Hanya saja, sebelumnya Davira mengalami semua penderitaan ini sendirian. Sekarang, dia melibatkan kedua anak kecil di dalam penderitaannya. Setiap kali memikirkan masalah ini, Elbert tidak bisa tidur dan tidak nafsu makan. Dia bahkan merasa kalau Davira tidak punya hati nurani karena melakukan semua ini. Kalau tidak, bagaimana setiap hari dia bisa hidup dengan tenang sebagai seorang nyonya dari keluarga besar?"Davira, mungkin kehidupan yang sekarang kamu jalani nggak cocok untukmu.""Apa maksudmu?" Davira menjadi sedikit marah, "Apa maksudmu nggak cocok untukku? Kehidupan yang aku jalani sekarang adalah kehidupan yang aku impikan! Menikah dengan Rio adalah takdirku.""Apa kamu sudah memikirkan konsekuensi apa yang akan kamu tanggung kalau Val
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu