Sebenarnya Briella sedikit takut saat menghadapi para pria berbadan kekar ini. Dia memang sedikit menguasai kemampuan bela diri, tetapi dia masih kalah jumlah dibandingkan dengan beberapa orang dari mereka.Beberapa perampok saling memandang satu sama lain. Salah satu dari mereka memandang Briella dan matanya menyapu tubuh Briella dengan tatapan penuh nafsu.Perasaan jengkel di dalam hati Briella langsung melonjak. Selama beberapa tahun ini, Briella tidak hanya mempelajari budaya, tetapi dia juga menguatkan emosinya. Dia tidak akan memberikan toleransi kepada para perampok seperti mereka.Dia mengambil batu di tanah dan mengarahkannya ke salah satu dari mereka. Lemparan ini langsung melukai salah satu mata pria itu.Pria itu berteriak kesakitan sampai terjatuh di jalan dan terus meronta.Beberapa perampok lainnya memandang Briella dengan bingung, tidak percaya dengan apa yang barusan mereka saksikan.Tindakan Briella tidak berhenti sampai di situ saja. Dia bertindak layaknya seseorang
"Kamu ini wanita, berani sekali melawan tiga pria! Aku sudah bilang akan memberimu mobil, tapi kamu malah nggak mau. Besok aku akan belikan kamu mobil, jadi ke mana-mana bisa pakai mobil."Klinton berada di bangsal Briella dan menemaninya menghabiskan infus.Briella tidak mengatakan apa-apa, hanya menekan bagian perutnya. Tiba-tiba, dia merasa sangat kesakitan sampai tidak bisa bicara.Klinton pun menyadari akan hal ini dan menjadi cemas. "Kenapa? Apa ada luka yang belum diperiksa?"Dahi Briella berkeringat dingin. Dia terus mengatupkan giginya dan tidak berbicara. Rasa sakit ini sangat menusuk, membuatnya tidak punya kekuatan bahkan untuk berbicara.Klinton pun menjadi cemas dan langsung memanggil dokter. Setelah diperiksa, ternyata Briella menderita radang usus buntu dan harus segera dioperasi.Setelah dioperasi selama beberapa waktu, Briella dibawa keluar dari ruang operasi dan harus dirawat di rumah sakit selama satu minggu."Lihatlah bagaimana keadaanmu sekarang." Klinton duduk di
Klinton menghela napas tidak habis pikir. Saat ini, dia tengah mengalami konflik batin di dalam hatinya.Dia khawatir kalau kemandirian Briella yang terus bersikeras melakukan apa yang sudah direncanakan mungkin akan menjadi tidak terkendali di kemudian hari. Namun, di saat yang sama, dia sangat tertarik dengan ambisi Briella ini."Jadi, katakan padaku, apa rencanamu sekarang? Kamu punya jalan keluar lain?"Briella mengangguk, tidak berusaha menyembunyikan apa pun dari Klinton."Aku sebenarnya ingin memulai bisnisku sendiri.""Briella, kamu berani sekali." Klinton terkejut dengan ide Briella. "Kamu seorang perempuan dan kamu berpikir untuk memulai bisnismu sendiri? Apa kamu tahu seberapa sulit untuk memulai bisnis? Ini nggak semudah yang kamu pikirkan.""Aku tahu kamu akan meragukanku, tapi aku sudah punya rencana."Briella mengernyitkan keningnya, menunjukkan gurat lelah yang terlihat jelas di wajahnya. "Bisa kita bicarakan hal lain saja?"Klinton tidak berniat untuk menghentikan topi
Briella mengangguk, lalu menjawab, "Ya. Selama hal itu nggak ganggu pekerjaanku, aku bisa terima."Kesepakatan di antara mereka berdua pun terjalin dan Klinton mulai memperkenalkan dirinya sebagai pacar Briella. Keesokan harinya, dia membawakan Briella sebuah kunci mobil."Mulai sekarang, kamu bisa bawa mobilku kalau mau pergi-pergi. Negara Jerius tidak seaman negara kita. Keamanan di sini sangat kacau.""Terima kasih, pacar." Briella terkikik riang dan mengambil kunci mobil yang diberikan Klinton. "Oh ya, ada hal lain yang aku ingin kamu lakukan."Klinton bersedekap dan menatap Briella dengan ramah. "Apa? Katakan saja.""Aku kangen ibuku. Aku ingin pulang sebentar dan melihat keadaannya.""Nggak masalah. Aku akan menemanimu bertemu dengan ibu kita."Briella memukul Klinton dan menimpali dengan cemberut, "Ibu kita? Aku bukan istrimu, jadi jangan bilang begitu. Kalau nggak, nanti ibu bisa berpikir macam-macam."Keduanya sedang berbicara, tiba-tiba suara perawat terdengar dari ambang pin
Setelah mengatakan itu, Klinton melirik ke arah jam. Dia masih ada hal yang harus dilakukan, jadi meminta Briella menjaga diri dengan baik, baru pergi.Setelah kepergian pria itu, Briella merasa bosan dan melihat ke luar jendela. Hari ini langit sangat cerah. Dia ingin pergi ke taman dan berjemur.Menguatkan diri untuk bangun, Briella turun dari tempat tidur. Setelah membuka pintu, dia melihat seorang pria bersandar di dinding, seakan tengah menunggunya.Briella menatap Valerio. Selama beberapa tahun ini, Briella selalu melihat Valerio di televisi atau berita. Tiga tahun telah berlalu dan pria ini sepertinya tidak banyak berubah. Dia masih setampan biasanya, tetapi juga jauh lebih tenang dan mawas diri. Aura dalam dirinya makin menarik.Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Setelah semua yang telah mereka lalui, Briella tidak tahu bagaimana harus memulai percakapan dengan pria ini. Sepertinya menjadi orang asing adalah pilihan terbaik bagi mereka."Aku membawakanmu hadiah dan
Valerio dan Briella duduk dalam keheningan untuk waktu yang lama. Angin dingin berhembus di taman. Valerio melepas jas abu-abu perak yang dia kenakan dan menyampirkannya di bahu Briella.Jas yang terbungkus aroma parfum pria itu terasa masih hangat dan langsung menyelimuti Briella."Jaga dirimu." Valerio beranjak, meninggalkan kalimat yang rendah dan magnetis sebelum melangkah pergi.Briella menggenggam oktaf itu di kedua tangannya. Tubuhnya meringkuk dan sedikit membungkuk. Hatinya terasa kosong, menatap air mata yang membasahi punggung tangannya.Dia sangat benci kenapa pria ini harus muncul di saat seperti ini. Dia benci karena hatinya masih goyah bahkan setelah berlalu cukup lama.Briella duduk terdiam di bangku taman, mencoba menahan getaran masa lalu yang bergejolak di dalam hatinya. Getaran itu mengaduk-aduk emosinya.Bagi Briella, Valerio seperti perampok."Sudah melihatnya?"Remaja di dalam mobil mengenakan pakaian olahraga hitam dan topi di kepala. Di bawah topi yang menutupi
"Aku bukan penyalur pesan, yang apa-apa harus tanya sama Papa. Kenapa Mama nggak tanya sendiri saja sama Papa?""Papa nggak mau cerita sama Mama. Mama sudah membesarkanmu sampai sekarang, kenapa kamu nggak peduli sama Mama? Papa selalu bersikap jahat sama Mama, apa kamu nggak mau membela Mama? Gimana Mama mau hidup kalau kamu pun jahat sama Mama?"Davira melampiaskan semua keluh kesah yang ada di dalam hatinya kepada Queena. Mendengar itu, Queena menarik kedua telinganya dan terlihat tidak sabar."Mama selalu seperti ini, pantas saja Papa nggak mau tinggal sama Mama. Mama memancarkan energi negatif dan selalu mengomel, seperti ibu-ibu cerewet."Mata Davira terbelalak, lalu dia bertanya dengan nada dingin, "Apa katamu?"Queena menjulurkan lidahnya dan kembali sibuk dengan mainan di tangannya, bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi.Davira sangat marah. Dia bukan hanya harus menahan diri atas ejekan dan penindasan Rieta, tetapi dia juga harus bersabar dengan seorang gadis kecil yang
Pengasuh itu menggerutu kepada Davira. Begitu Davira mendengar itu, dia langsung melayangkan tamparan tepat di wajah pengasuh itu.Pengasuh itu sampai jatuh ke sofa, bersama dengan anak kecil yang berada dalam gendongannya. Anak kecil itu merintih dan menangis keras. Pengasuh itu terdiam. Wajahnya terasa panas dan sakit, bahkan sampai berdarah karena tergores kuku Davira.Davira menjambak rambut pengasuh itu, lalu memakinya habis-habisan."Apa kamu tahu kalau aku ibu kandung anak ini? Kamu pikir kamu siapa, berani-beraninya mengarahkan apa yang harus aku lakukan! Apa kamu tidur sama Elbert? Kamu pikir kamu nyonya sah di rumah ini! Aku beritahukan, akulah yang menyewa apartemen ini dan akulah yang menghidupi Elbert! Kamu cuma pengasuh yang menjaga anakku! Beraninya menyuruhku melakukan sesuatu! Apa kamu cari mati?"Davira menarik rambut pengasuh itu dengan sangat keras hingga hampir merobek kulit kepalanya. Pengasuh itu menangis dan memohon ampun. Tangisan anak yang ada di gendongannya