Di dalam kamar, Briella masih bingung terkait masalah anak. Ketika melihat Klinton masuk, dia berusaha keras menopang tubuhnya dengan kedua tangan, lalu menatap Klinton."Pak Klinton, apa maksudmu barusan, kamu menyebutkan tentang seorang putra?"Klinton meraih tangan Briella dan mencoba menenangkannya."Nggak perlu dipikirkan. Aku punya pertanyaan untukmu. Bagaimana perasaanmu kepada Valerio saat ini?"Ekspresi Briella dipenuhi rasa takut sekaligus benci saat mendengar nama itu.Dia membenci Valerio.Briella memalingkan wajahnya dan melihat ke luar jendela. Tatapannya sedikit muram dan dingin, terlihat sangat tidak berdaya.Memikirkan apa yang dikatakan Valerio malam itu, ditambah dengan bekas luka di tubuh ini, apa Briella akan terus melanjutkan obsesinya?Kalau iya, Briella akan berasa bersalah pada penderitaan yang selama ini dia rasakan."Pak Klinton, tolong jangan sebut nama itu di depanku lagi."Klinton terkejut, lalu mengangguk kepada Briella. "Ya. Sepertinya kamu sudah punya p
Moonita mengatakan itu sambil melepaskan kalung permata yang melingkar indah di lehernya.Klinton adalah orang yang paham dengan benda berharga. Dalam sekali lihat, dia tahu kalau harga kalung batu permata itu tidak jauh lebih murah daripada jam tangannya.Pria itu menyipitkan matanya, penasaran dengan identitas wanita paruh baya ini dan apa hubungannya dengan pasangan pembuat kue itu?Moonita melepaskan kalung permatanya dan berkata pada wanita itu, "Bibi, berikan saja kalung ini kepada pemuda itu. Anggap saja ini sebagai balas budi karena kebaikan kalian yang sudah bersedia menerimaku saat itu."Klinton mengangkat alisnya dan bertanya heran, "Kamu juga diselamatkan oleh bibi dan paman itu?"Moonita tersenyum, lalu menjawab, "Tentu saja. Itu sebabnya kita dan mereka seperti ditakdirkan. Mereka itu penolong kita."Klinton mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan Moonita.Moonita memberikan kalung itu kepada Klinton, "Anak muda, kalung ini untukmu. Harganya memang lebih murah dari ja
Briella memikirkannya, lalu memutuskan untuk menerima kalung itu."Kalau begitu, aku akan menyimpannya. Siapa tahu aku kehabisan uang saat berada di luar negeri. Jadi, aku bisa menjualnya."Klinton membuka mulutnya dan tidak bisa menahan tawa."Pikiranmu memang benar-benar aneh."Briella ikut tertawa, tetapi saat tertawa luka di dadanya terasa sakit. Dia pun mengerutkan kening dan meringis kesakitan.Klinton mendekat dengan panik, mengangkat tangannya seolah-olah ingin merobek baju yang dikenakan Briella untuk melihat luka yang tersembunyi di dalamnya. Namun, seketika dia melupakan di mana posisi luka itu berada."Ternyata Pak Klinton sangat mengkhawatirkanku. Apa Pak Klinton tertarik kepadaku?"Briella menangkis tangan pria itu, lalu menggodanya untuk menyembunyikan rasa canggung.Klinton tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap Briella dengan tatapan cukup lekat.Briella tidak menyadari ekspresi pria itu dan hanya menatap kalung di tangannya. Jari-jarinya mengusap batu di dalam kalung
"Terus kenapa kamu berbohong padaku?""Karena aku nggak bisa membantumu melakukan hal buruk. Davira, ini saatnya belajar memahami. Aku ingin kamu jadi orang yang baik.""Apa aku nggak baik? Aku bahkan bersedia menerima anak Rio yang lahir dari rahim wanita lain. Apa aku masih nggak cukup baik? Kamu ingin aku jadi sebaik apa? Apa kamu ingin memaksaku mati?"Klinton menghela napas tidak berdaya, kembali mencoba membujuk Davira, "Davira, aku sudah membujukmu berkali-kali bahkan sebelum kamu menikah. Ini pilihanmu, jadi kamu harus bertanggung jawab atas pilihanmu sendiri. Aku nggak bisa terus bersamamu seumur hidupku atau menanggung semua penderitaan yang kamu alami. Apa kamu mengerti?"Davira hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan pasrah dan mengiakan apa yang dikatakan Klinton.Dialah yang memilih jalan ini, jadi dia harus terus menjalaninya walau terasa pahit. Dia pun paham dengan pemikiran ini.Klinton melihat kalau Davira bisa memahami perkataannya, jadi dia menepuk pundaknya lembu
Melihat Valerio bersikap seperti ini, Klinton benar-benar tidak ingin merahasiakannya lagi dan memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya."Dia masih hidup dan baik-baik saja."Valerio memejamkan matanya perlahan dan hatinya merasa lega.Ketika Davira menemaninya barusan, dia berpura-pura tertidur. Setelah mengetahui kebenarannya, dia tidak tahu sikap seperti apa yang harus dia tunjukkan untuk menghadapi wanita itu. Sampai sekarang, dia masih mempertimbangkan keputusannya terkait hubungannya dengan wanita itu.Bagaimanapun juga, dengan tidak adanya ikatan dari kata penolong, sifat dari hubungan mereka pun berubah."Aku penasaran, sejak kapan kamu tahu kalau Briella masih hidup?"Klinton teringat akan peringatan Valerio pada malam kejadian, yang memintanya waspada terhadap Rieta. Hal itu seperti sebuah ramalan.Sikapnya yang seperti itu membuat Valerio seperti seorang peramal yang mampu mengarahkan sesuatu yang akan terjadi. Jika bukan karena peringatan Valerio, Klinton tidak mungkin s
"Tapi Valerio, bagaimana dengan putrimu? Dia masih kecil. Zayden saja sudah sangat menderita, apa kamu juga ingin putrimu mengalami penderitaan yang sama? Anak-anak nggak bersalah. Kamu sudah membuat Zayden menjadi ahli waris, jadi bukankah setidaknya kamu harus membuat putrimu merasakan kasih sayang seorang ayah.""Aku tahu apa yang harus aku lakukan kepada anakku." Valerio melirik Klinton sekilas. "Kamu nggak perlu ikut campur."Klinton pun menghentikan perkataannya dengan sadar diri.Valerio duduk dan menatap perban putih di lengannya yang mengeluarkan darah, tiba-tiba berbicara dengan suara pelan."Bagaimana kondisi Briella sekarang? Klinton, jangan berani bermain-main denganku. Katakan padaku, apa rencana yang akan kamu lakukan setelah ini?""Rencana selanjutnya bukan keinginanku, ini adalah tekad dan pilihannya sendiri. Dengan kerja kerasnya, dia mendapatkan kualifikasi untuk belajar di luar negeri. Dia sepertinya nggak mengingat Zayden. Aku nggak tahu apakah ini sementara atau p
Briella bertanya dengan terkejut, "Kamu mau ke sana juga? Mau tinggal lama di sana?""Mungkin.""Bagus, deh. Kalau ada kamu, aku bisa lebih gampang menyesuaikan diri dengan lingkungan baru di sana.""Ya. Kamu akan tinggal di asrama kampus. Setelah aku ke sana, aku akan memberimu tempat yang lebih besar dan tenang."Briella memutar bola matanya malas. "Apa kamu akan menagih uang sewa kepadaku? Bagaimanapun, sekarang aku sangat miskin.""Tentu saja. Kamu bisa membayarnya dengan bersih-bersih dan masak untukku saat akhir pekan."Briella menggerutu, "Dasar orang kaya. Apa-apa dihitung."Klinton bahkan dibuat tertawa terbahak-bahak. Briella melihat dari belakang bahu Klinton, merasa kalau di tengah kerumunan ada seseorang yang menatap ke arah mereka.Entah kenapa, Briella merasa kalau orang itu adalah Valerio.Jantung Briella berdegup kencang dan tatapan goyahnya mengikuti sosok itu. Namun, pandangannya terhalang oleh kerumunan orang.Klinton melirih ke arah Briella melihat. "Ada apa?""Buk
Empat tahun sudah cukup untuk mengubah tatanan sebuah kota dan membentuk hidup seseorang yang ingin memulai hidupnya dari awal lagi.Briella merasa kalau dia harus memanfaatkan dengan baik waktu empat tahun ini dan menghabiskan setiap detiknya untuk melakukan sesuatu yang berarti. Jadi, dia menghabiskan waktu untuk belajar, memperbaiki diri dan menemukan kembali jari dirinya. Kadang-kadang, bayangan tentang apa yang pernah terjadi kepadanya kembali muncul di dalam benaknya.Namun, rasanya semua kejadian itu sudah berlalu sangat lama. Setiap orang yang terlibat di dalam mimpinya itu merupakan karakter di kehidupan lampau, yang membuat Briella memiliki kesan kalau semua itu tidak nyata.Klinton selalu berada di sisinya. Sebenarnya Briella bisa memahami perasaan pria itu. Namun, dia juga sadar kalau Klinton adalah kakak kandung Davira, yang merupakan penghalang tak terlihat di antara hubungan keduanya. Jadi, selama ini Briella tidak pernah menerima isyarat dari Klinton dan lebih memilih m