Valerio mengira Briella pergi dengan kemauannya sendiri, tetapi ternyata masalah ini tidak sesederhana itu.Klinton menjawab, "Aku nggak melakukan apa pun kepadanya. Setelah mengantar Zayden kepadaku, nggak ada kabar dari Briella lagi. Menurut perkiraan awal, dia mungkin sudah pergi."Setelah mengatakan itu, Klinton melirik Zayden dan keduanya saling bertukar pandang, memberi isyarat diam."Dia baik-baik saja, kenapa tiba-tiba bisa meninggal? Apa kamu nggak menyelidikinya dengan jelas?"Valerio melangkah ke depan Klinton dan mencekiknya. Urat di leher Valerio pun menyembul dan tatapannya terlihat menakutkan.Klinton hampir saja kehilangan napas kalau Rieta tidak menghampiri dan menghentikan Valerio."Valerio, tenanglah! Jangan lupa kalau sekarang kamu sudah punya istri! Kenapa kamu masih memikirkan wanita itu. Bagus kalau dia mati."Begitu Rieta mengatakan ini, Zayden melingkarkan tangannya di sekitar kaki Rieta dan menarik ujung bajunya, ingin melawannya."Jangan mengatakan hal buruk
Valerio terdiam saat mendengar tuduhan Zayden.Dia menatap Zayden dalam-dalam, seperti sedang merenungkan sesuatu."Zayden, kapan Mama melahirkanmu?"Anak itu berusia lima tahun dan Valerio berusaha keras untuk mengingat kembali kejadian lima tahun yang lalu. Dia mencoba memastikan kapan tepatnya Briella mengandung Zayden.Tidak. waktunya terlalu aneh dan Valerio tidak bisa memahaminya. Apa Briella berbohong padanya saat mengatakan bahwa ayah kandung Zayden adalah orang lain? Atau mungkin ada hal lain yang terjadi?"Kapan Mama melahirkanku, itu nggak ada hubungannya denganmu! Kamu nggak pantas mendapatkan informasi apa pun dariku!" Zayden melirik Valerio dengan tatapan dingin, lalu dia beralih menatap Rieta."Kamu, aku nggak akan pernah melupakan penghinaan yang kamu lakukan kepada Mama. Aku merasa sangat malu dan terhina karena ada darah Keluarga Regulus yang mengalir di tubuhku."Mata Zayden menunjukkan binar tegas. Dialah yang terus menemani Mama selama ini. Jadi, dia paham kesulita
Valerio menggendong Zayden masuk ke dalam bangsal Davira. Kehadiran anak itu mengejutkan semua orang yang berada di dalam bangsal."Rio, apa maksudmu membawa anak ini ke sini?"Resti merasakan ada yang tidak beres, jadi berjalan menghampiri Valerio. Dia memeriksa Zayden yang berada dalam gendongan Valerio dengan saksama.Dia merasa tidak asing, seperti pernah melihat anak ini di suatu tempat sebelumnya. Namun, samar-samar ada perasaan yang tidak enak di hatinya."Namanya Zayden. Dia anakku."Resti tiba-tiba teringat di mana dia pernah melihat anak itu. Dia menoleh ke arah Herman dan keduanya pun saling berpandangan, memastikan kalau mereka memang pernah melihat anak itu sebelumnya."Bukannya ini anak sekretarismu? Kenapa membawanya ke mari?""Dia anakku dan Briella." Valerio menekankan, "Keberadaan ibu dari anak ini tidak diketahui, jadi aku yang akan membesarkannya."Mata Resti membelalak kaget. Dia menoleh ke arah Davira dan bertanya, "Sayang, apa kamu tahu tentang hal ini? Kenapa ka
Keduanya berjalan keluar dari bangsal Davira, memberikan kesempatan bagi Davira dan Valerio untuk membicarakan masalah keluarga mereka.Valerio menatap Davira yang tertunduk lesu, lalu berkata kepada Valerio sambil menggenggam selimut."Aku pikir kamu akan sedikit menjaga perasaan orang tuaku dengan merahasiakan masalah ini dan membiarkan kami mempersiapkan diri. Nggak disangka kamu akan buru-buru seperti ini dengan membawanya kembali di saat anak kita baru lahir. Rio, sikapmu membuatku sangat canggung.""Bukannya ini sesuatu yang sudah kita sepakati sejak lama?" Valerio mengerutkan kening. "Kenapa sekarang kamu malah mengeluhkan hal ini kepadaku?"Davira yang mendengar itu pun mendongak dan menatap Valerio. "Aku tahu kita sudah membicarakan ini sejak lama, tapi aku masih sedikit berharap. Kamu benar-benar menghancurkan harapanku."Valerio tidak terpengaruh dengan perkataan Davira. "Kamu terlalu banyak meminta. Jangan coba-coba membuatku memiliki perasaan kepadamu hanya karena seorang
Zayden mengakui Valerio sebagai ayah kandungnya tanpa sepengetahuan Briella. Klinton lah yang memaksa Zayden melakukannya. Zayden tidak tertarik dengan apa yang disebut pewaris keluarga berpengaruh ini. Dia hanya ingin melindungi Mama-nya dari bahaya."Aku mengerti."Zayden bersedia menuruti apa yang dikatakan Valerio, "Aku akan melakukan apa yang kamu katakan, tapi aku nggak akan memanggil wanita itu dengan panggilan mama. Aku juga nggak mau memanggilnya dengan nama lengkapnya.""Lalu kamu mau panggil dia apa?""Wanita itu, hei atau apa pun itu."Zayden adalah anak yang pendendam. Dia ingat dengan jelas bagaimana Davira menggertak Mama-nya dulu. Jadi, mana mungkin dia bersedia memanggilnya dengan panggilan yang baik dalam kesempatan sebaik ini?Karena tidak bisa menghindari wanita ini, Zayden akan bekerja sama. Setiap hari mulai sekarang, dia akan memikirkan cara untuk menyiksa wanita ini dan membuat hidupnya tidak berjalan dengan damai. Dia ingin wanita ini merasakan bagaimana pender
Davira terdiam ketika dihadapkan dengan pertanyaan mendadak Valerio. Matanya berkedip beberapa kali, lalu bertanya pelan, "Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan ini?""Aku cuma mau tahu lebih banyak hal. Jawab saja pertanyaanku."Davira menyadari kalau Zayden tengah menatap lurus ke arahnya sambil menyeringai, menunggu jawabannya.Keringat dingin keluar dari punggung Davira. Setelah menelan ludah dengan susah payah, dia memaksakan diri untuk menjawab, "Kejadiannya sudah sangat lama. Aku cuma ingat kalau itu terjadi saat malam hari. Aku lupa jam berapa tepatnya.""Ada lagi? Katakan hal yang lainnya."Davira berpikir cepat dan menjawab manja, "Rio, aku habis melahirkan dan aku sangat lelah. Apa aku bisa istirahat dulu?"Valerio mengangguk dan tidak menanyakan hal lain. "Kalau begitu kamu istirahat dulu. Kita bicarakan lagi nanti."Davira menghela napas lega dan tersenyum pada Valerio. "Baiklah, terima kasih, Rio."Valerio berjalan mendekati tempat tidur bayi dan berdiri bersama Zayden sambil
Suara tangisan seorang anak terdengar dan Briella menoleh ke arah suara itu berasal. Davira tengah menggendong seorang anak.Davira menatap Briella sambil tersenyum, membujuk anak yang menangis dalam gendongannya dan tertawa pelan."Briella, jangan buang-buang energimu. Ini anakku dan Valerio. Anakmu sudah dibuang ke tempat sampah bersama darahnya."Tubuh Briella merasakan sakit yang sangat menyayat. Dia turun tempat tidur bersalin dan pergi ke tempat sampah, berlutut di satu sisi dan terus mencari."Sayang, jangan buat Mama khawatir, cepat keluar ...."Di belakangnya, ada seseorang yang menepuk pundak Briella. Briella pun menoleh ke belakang dan seorang gadis kecil yang berlumuran darah menatapnya. Air mata darah mengalir di wajahnya.Dia menanyai Briella dengan sedih."Mama, kenapa Mama meninggalkanku? Aku benci Mama, aku benci Mama!""Nggak, Mama nggak meninggalkanmu, sayang! Ke marilah. Mama nggak mau kehilanganmu lagi."Benak Briella dipenuhi dengan rasa bersalah, terus menyalahka
"Minum obat apa?""Emosimu lagi nggak stabil, jadi perlu ditenangkan." Klinton mencoba membujuk dengan sabar, "Briella, kamu nggak bisa keluar negeri kalau kondisimu seperti itu. Kamu nggak akan lolos wawancara visa. Kamu harus melakukan pemulihan setidaknya selama satu bulan. Setelah sebulan, aku akan menemanimu ke luar negeri."Briella hanya diam dan tidak mengatakan apa-apa. Dia menempelkan kepalanya ke tubuh pria itu, lalu membuka matanya. Tatapannya kosong dan tidak menunjukkan emosi apa pun.Klinton membelai rambut panjangnya yang berantakan dan membisikkan kata-kata penyemangat di telinganya. Briella yang mendengar itu pun hatinya mulai tenang.Waktu berlalu dengan cepat. Dalam satu bulan, kondisi mental Briella menjadi jauh lebih baik. Namun, kematian anaknya masih menjadi rasa sakit di hatinya yang tidak bisa disembuhkan. Briella sangat yakin kalau anaknya tidak meninggal dan masih ada di dunia ini.Kelahiran anak itu yang dalam keadaan meninggal saja sudah mencurigakan sejak