Valerio menggendong Zayden masuk ke dalam bangsal Davira. Kehadiran anak itu mengejutkan semua orang yang berada di dalam bangsal."Rio, apa maksudmu membawa anak ini ke sini?"Resti merasakan ada yang tidak beres, jadi berjalan menghampiri Valerio. Dia memeriksa Zayden yang berada dalam gendongan Valerio dengan saksama.Dia merasa tidak asing, seperti pernah melihat anak ini di suatu tempat sebelumnya. Namun, samar-samar ada perasaan yang tidak enak di hatinya."Namanya Zayden. Dia anakku."Resti tiba-tiba teringat di mana dia pernah melihat anak itu. Dia menoleh ke arah Herman dan keduanya pun saling berpandangan, memastikan kalau mereka memang pernah melihat anak itu sebelumnya."Bukannya ini anak sekretarismu? Kenapa membawanya ke mari?""Dia anakku dan Briella." Valerio menekankan, "Keberadaan ibu dari anak ini tidak diketahui, jadi aku yang akan membesarkannya."Mata Resti membelalak kaget. Dia menoleh ke arah Davira dan bertanya, "Sayang, apa kamu tahu tentang hal ini? Kenapa ka
Keduanya berjalan keluar dari bangsal Davira, memberikan kesempatan bagi Davira dan Valerio untuk membicarakan masalah keluarga mereka.Valerio menatap Davira yang tertunduk lesu, lalu berkata kepada Valerio sambil menggenggam selimut."Aku pikir kamu akan sedikit menjaga perasaan orang tuaku dengan merahasiakan masalah ini dan membiarkan kami mempersiapkan diri. Nggak disangka kamu akan buru-buru seperti ini dengan membawanya kembali di saat anak kita baru lahir. Rio, sikapmu membuatku sangat canggung.""Bukannya ini sesuatu yang sudah kita sepakati sejak lama?" Valerio mengerutkan kening. "Kenapa sekarang kamu malah mengeluhkan hal ini kepadaku?"Davira yang mendengar itu pun mendongak dan menatap Valerio. "Aku tahu kita sudah membicarakan ini sejak lama, tapi aku masih sedikit berharap. Kamu benar-benar menghancurkan harapanku."Valerio tidak terpengaruh dengan perkataan Davira. "Kamu terlalu banyak meminta. Jangan coba-coba membuatku memiliki perasaan kepadamu hanya karena seorang
Zayden mengakui Valerio sebagai ayah kandungnya tanpa sepengetahuan Briella. Klinton lah yang memaksa Zayden melakukannya. Zayden tidak tertarik dengan apa yang disebut pewaris keluarga berpengaruh ini. Dia hanya ingin melindungi Mama-nya dari bahaya."Aku mengerti."Zayden bersedia menuruti apa yang dikatakan Valerio, "Aku akan melakukan apa yang kamu katakan, tapi aku nggak akan memanggil wanita itu dengan panggilan mama. Aku juga nggak mau memanggilnya dengan nama lengkapnya.""Lalu kamu mau panggil dia apa?""Wanita itu, hei atau apa pun itu."Zayden adalah anak yang pendendam. Dia ingat dengan jelas bagaimana Davira menggertak Mama-nya dulu. Jadi, mana mungkin dia bersedia memanggilnya dengan panggilan yang baik dalam kesempatan sebaik ini?Karena tidak bisa menghindari wanita ini, Zayden akan bekerja sama. Setiap hari mulai sekarang, dia akan memikirkan cara untuk menyiksa wanita ini dan membuat hidupnya tidak berjalan dengan damai. Dia ingin wanita ini merasakan bagaimana pender
Davira terdiam ketika dihadapkan dengan pertanyaan mendadak Valerio. Matanya berkedip beberapa kali, lalu bertanya pelan, "Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan ini?""Aku cuma mau tahu lebih banyak hal. Jawab saja pertanyaanku."Davira menyadari kalau Zayden tengah menatap lurus ke arahnya sambil menyeringai, menunggu jawabannya.Keringat dingin keluar dari punggung Davira. Setelah menelan ludah dengan susah payah, dia memaksakan diri untuk menjawab, "Kejadiannya sudah sangat lama. Aku cuma ingat kalau itu terjadi saat malam hari. Aku lupa jam berapa tepatnya.""Ada lagi? Katakan hal yang lainnya."Davira berpikir cepat dan menjawab manja, "Rio, aku habis melahirkan dan aku sangat lelah. Apa aku bisa istirahat dulu?"Valerio mengangguk dan tidak menanyakan hal lain. "Kalau begitu kamu istirahat dulu. Kita bicarakan lagi nanti."Davira menghela napas lega dan tersenyum pada Valerio. "Baiklah, terima kasih, Rio."Valerio berjalan mendekati tempat tidur bayi dan berdiri bersama Zayden sambil
Suara tangisan seorang anak terdengar dan Briella menoleh ke arah suara itu berasal. Davira tengah menggendong seorang anak.Davira menatap Briella sambil tersenyum, membujuk anak yang menangis dalam gendongannya dan tertawa pelan."Briella, jangan buang-buang energimu. Ini anakku dan Valerio. Anakmu sudah dibuang ke tempat sampah bersama darahnya."Tubuh Briella merasakan sakit yang sangat menyayat. Dia turun tempat tidur bersalin dan pergi ke tempat sampah, berlutut di satu sisi dan terus mencari."Sayang, jangan buat Mama khawatir, cepat keluar ...."Di belakangnya, ada seseorang yang menepuk pundak Briella. Briella pun menoleh ke belakang dan seorang gadis kecil yang berlumuran darah menatapnya. Air mata darah mengalir di wajahnya.Dia menanyai Briella dengan sedih."Mama, kenapa Mama meninggalkanku? Aku benci Mama, aku benci Mama!""Nggak, Mama nggak meninggalkanmu, sayang! Ke marilah. Mama nggak mau kehilanganmu lagi."Benak Briella dipenuhi dengan rasa bersalah, terus menyalahka
"Minum obat apa?""Emosimu lagi nggak stabil, jadi perlu ditenangkan." Klinton mencoba membujuk dengan sabar, "Briella, kamu nggak bisa keluar negeri kalau kondisimu seperti itu. Kamu nggak akan lolos wawancara visa. Kamu harus melakukan pemulihan setidaknya selama satu bulan. Setelah sebulan, aku akan menemanimu ke luar negeri."Briella hanya diam dan tidak mengatakan apa-apa. Dia menempelkan kepalanya ke tubuh pria itu, lalu membuka matanya. Tatapannya kosong dan tidak menunjukkan emosi apa pun.Klinton membelai rambut panjangnya yang berantakan dan membisikkan kata-kata penyemangat di telinganya. Briella yang mendengar itu pun hatinya mulai tenang.Waktu berlalu dengan cepat. Dalam satu bulan, kondisi mental Briella menjadi jauh lebih baik. Namun, kematian anaknya masih menjadi rasa sakit di hatinya yang tidak bisa disembuhkan. Briella sangat yakin kalau anaknya tidak meninggal dan masih ada di dunia ini.Kelahiran anak itu yang dalam keadaan meninggal saja sudah mencurigakan sejak
Briella bersembunyi dengan tenang, menatap wanita yang berjalan ke arah Elbert. Wanita itu adalah Davira."Kenapa kamu bawa bayi ini ke mari di jam segini? Elbert, kamu nggak membantuku, kenapa masih mendatangiku dan terus menggangguku? Kamu memintaku datang di hari yang penting ini, kalau sampai orang Keluarga Regulus curiga gimana! Apa kamu bodoh!"Nada bicara Davira terkesan tidak sabar, terus memaki Elbert penuh kemarahan. Emosi Elbert pun terpancing saat dimarahi seperti itu oleh Davira."Kalau anak ini nggak nangis, mana mungkin aku mencarimu? Kita sudah sepakat kalau aku membantumu, kita akan membesarkan anak ini bersama. Dia mau minum asimu. Cepat masuk ke mobil dan kasih dia asi!"Elbert berkata sambil menggendong bayinya dengan satu tangan, lalu menarik Davira ke arah mobil dengan tangan lainnya.Davira menepis tangan Elbert dan berkata dengan marah, "Anak ini nggak ada hubungannya denganku. Aku Cuma punya anak perempuan dan dia keturunan Keluarga Regulus! Jangan pernah memba
Klinton memeluk Briella dan bergumam pelan di telinganya, "Briella, ini nggak seburuk yang kamu pikirkan. Dengarkan aku, Valerio pindah ke Galapagos untuk hidup sendiri sejak dia menikah dengan adikku. Dia meninggalkan adikku di Kediaman Keluarga Regulus dan baru muncul saat adikku melahirkan. Zayden hidup bersama dengannya dan akan tinggal di Galapagos. Dia nggak akan tinggal bersama adikku."Klinton menangkup wajah Briella, menatapnya dengan tatapan meyakinkan. "Valerio nggak akan memperlakukan Zayden dengan buruk, kamu harus percaya padaku."Briella menggeleng. "Nggak! Aku nggak percaya kepadanya! Zayden bukan anak kandungnya, bagaimana mungkin dia akan memperlakukan anakku dengan baik. Adikmu juga punya anak darinya dan hubungan mereka akan berkembang menjadi lebih baik! Lalu bagaimana dengan Zayden!""Ada aku di sini, percayalah. Aku akan membantumu merawatnya." Klinton meraih tangan Briella dan meletakkannya di atas jantungnya. "Aku bersumpah demi hidupku, aku akan melindungi Zay