Wajah Davira menoleh dan mencoba menghindar. Lalu, dia mencoba memaksakan menarik senyuman di bibirnya."Bagaimana kalau ada kemungkinan kecil yang terjadi?"Valerio mengamati Davira lekat-lekat. Sepertinya Valerio pun merasakan sesuatu, yang membuat ekspresinya menjadi sedikit lebih muram."Kalau begitu kita bicarakan saat itu terjadi."Rasanya seperti ada batu besar yang membebani hati Davira. Dia memaksakan diri untuk mengangguk dan mengiakan."Kalau begitu ayo kita pergi." Valerio melangkah maju. "Kamu tahu, Bu Rieta masih menunggu kita di Kediaman Keluarga Regulus."Davira mengikuti langkah Valerio dengan malu-malu. Perasaannya saat ini sangat bercampur aduk, antara senang dan gugup.Keduanya kembali ke Kediaman Keluarga Regulus, tempat Rieta sudah menantikan kedatangan keduanya sejak tadi."Kalian sudah kembali? Ada hal penting yang harus aku katakan. Karena sudah malam, jadi aku akan langsung istirahat setelah mengatakannya."Rieta menoleh ke arah Valerio dan Davira. Dia dan Dav
Davira mencubit telapak tangannya, sudah membuat keputusan di dalam hatinya. Untuk bisa menempati posisi istri sah di Keluarga Regulus, Davira harus menjadi wanita yang kejam. Briella sangat kejam dan berhasil menguasai hati Valerio. Dengan begitu, Davira pun harus bersikap jauh lebih kejam dibandingkan Briella.Keesokan paginya, pernikahan akbar diadakan sesuai jadwal. Seluruh upacara pernikahan disiarkan langsung di televisi dan menjadi sensasi.Kembang api dinyalakan di langit malam dan terlihat meriah. Balon-balon yang tak terhitung jumlahnya pun diterbangkan ke angkasa. Zayden berdiri di depan jendela, mendongakkan kepalanya ke atas dan menyaksikan lautan balon yang menghujani langit. Sorot matanya yang penuh rasa ingin tahu membelalak, lalu berkedip beberapa kali saat menyaksikan semua ini."Mama, ada acara apa hari ini, kenapa ramai sekali?"Briella berjalan ke sisi jendela dan berjongkok dengan hati-hati sambil memegangi perutnya. Dia bergabung bersama Zayden menatap langit mal
Di bangsal umum, seorang wanita dengan wajah pucat tengah terbaring di tempat tidur. Wajahnya sangat pucat dan rambutnya yang panjang tergerai di atas bantal putih, membuatnya terlihat sangat menyedihkan. Para petugas medis yang melihat ini pun merasa kasihan.Seorang pria masuk ke dalam bangsal dan duduk di satu sisi ranjang. Briella membuka matanya dengan lelah dan air matanya bercucuran."Di mana anakku? Aku ingin melihatnya untuk terakhir kalinya."Klinton terlihat menyesal dan merapikan selimut Briella. "Anggap saja anak itu nggak pernah ada. Sekarang, kamu harus fokus pada pendidikanmu di luar negeri."Briella memejamkan mata dan air mata mengalir di pipi, terus membasahi bantal tanpa henti.Ini adalah anak dia dan Valerio. Sepertinya kepergian anak ini adalah sebuah tanda dari Tuhan untuknya.Ketika membuka matanya lagi, tidak ada kesedihan di mata Briella, hanya penyesalan untuk anak itu. Bagaimanapun, dia mengandung anak itu selama sembilan bulan. Briella pun telah mencurahkan
"Bayi ini mirip Rio. Rio, kamu harus menamai bayi ini."Resti dan Herman dengan menjaga di samping tempat tidur kecil cucu perempuan mereka dan terlihat sangat gembira. Mereka menarik Valerio yang sedang berdiri di samping, lalu memintanya untuk memberi nama kepada bayi ini.Valerio berdiri di dekat ranjang bayi, memandangi bayi mungil yang tertidur di ranjang. Perasaan aneh muncul di dalam benaknya. Dia sangat yakin kalau ini adalah anak kandungnya.Dia berpikir sejenak, lalu mengatakan, "Kasih nama Queena saja. Itu berarti dia menjadi putri kita semua.""Baiklah. Kalau begitu kita panggil dia Queena." Resti tampak gembira dan mulai bermain dengan Queena, "Queena anak yang baik. Kamu adalah pertama Papa dan Mama. Tumbuh dengan sehat dan bahagia, ya."Valerio tidak bisa mengalihkan pandangannya dari bayi mungil itu. Sosok bayi itu sangat mirip dengannya, tetapi dia juga melihat kemiripan Davira di mata anak itu.Tanpa sadar, sosok Briella pun berkelebat di dalam pikirannya.Apa Briella
Valerio mengira Briella pergi dengan kemauannya sendiri, tetapi ternyata masalah ini tidak sesederhana itu.Klinton menjawab, "Aku nggak melakukan apa pun kepadanya. Setelah mengantar Zayden kepadaku, nggak ada kabar dari Briella lagi. Menurut perkiraan awal, dia mungkin sudah pergi."Setelah mengatakan itu, Klinton melirik Zayden dan keduanya saling bertukar pandang, memberi isyarat diam."Dia baik-baik saja, kenapa tiba-tiba bisa meninggal? Apa kamu nggak menyelidikinya dengan jelas?"Valerio melangkah ke depan Klinton dan mencekiknya. Urat di leher Valerio pun menyembul dan tatapannya terlihat menakutkan.Klinton hampir saja kehilangan napas kalau Rieta tidak menghampiri dan menghentikan Valerio."Valerio, tenanglah! Jangan lupa kalau sekarang kamu sudah punya istri! Kenapa kamu masih memikirkan wanita itu. Bagus kalau dia mati."Begitu Rieta mengatakan ini, Zayden melingkarkan tangannya di sekitar kaki Rieta dan menarik ujung bajunya, ingin melawannya."Jangan mengatakan hal buruk
Valerio terdiam saat mendengar tuduhan Zayden.Dia menatap Zayden dalam-dalam, seperti sedang merenungkan sesuatu."Zayden, kapan Mama melahirkanmu?"Anak itu berusia lima tahun dan Valerio berusaha keras untuk mengingat kembali kejadian lima tahun yang lalu. Dia mencoba memastikan kapan tepatnya Briella mengandung Zayden.Tidak. waktunya terlalu aneh dan Valerio tidak bisa memahaminya. Apa Briella berbohong padanya saat mengatakan bahwa ayah kandung Zayden adalah orang lain? Atau mungkin ada hal lain yang terjadi?"Kapan Mama melahirkanku, itu nggak ada hubungannya denganmu! Kamu nggak pantas mendapatkan informasi apa pun dariku!" Zayden melirik Valerio dengan tatapan dingin, lalu dia beralih menatap Rieta."Kamu, aku nggak akan pernah melupakan penghinaan yang kamu lakukan kepada Mama. Aku merasa sangat malu dan terhina karena ada darah Keluarga Regulus yang mengalir di tubuhku."Mata Zayden menunjukkan binar tegas. Dialah yang terus menemani Mama selama ini. Jadi, dia paham kesulita
Valerio menggendong Zayden masuk ke dalam bangsal Davira. Kehadiran anak itu mengejutkan semua orang yang berada di dalam bangsal."Rio, apa maksudmu membawa anak ini ke sini?"Resti merasakan ada yang tidak beres, jadi berjalan menghampiri Valerio. Dia memeriksa Zayden yang berada dalam gendongan Valerio dengan saksama.Dia merasa tidak asing, seperti pernah melihat anak ini di suatu tempat sebelumnya. Namun, samar-samar ada perasaan yang tidak enak di hatinya."Namanya Zayden. Dia anakku."Resti tiba-tiba teringat di mana dia pernah melihat anak itu. Dia menoleh ke arah Herman dan keduanya pun saling berpandangan, memastikan kalau mereka memang pernah melihat anak itu sebelumnya."Bukannya ini anak sekretarismu? Kenapa membawanya ke mari?""Dia anakku dan Briella." Valerio menekankan, "Keberadaan ibu dari anak ini tidak diketahui, jadi aku yang akan membesarkannya."Mata Resti membelalak kaget. Dia menoleh ke arah Davira dan bertanya, "Sayang, apa kamu tahu tentang hal ini? Kenapa ka
Keduanya berjalan keluar dari bangsal Davira, memberikan kesempatan bagi Davira dan Valerio untuk membicarakan masalah keluarga mereka.Valerio menatap Davira yang tertunduk lesu, lalu berkata kepada Valerio sambil menggenggam selimut."Aku pikir kamu akan sedikit menjaga perasaan orang tuaku dengan merahasiakan masalah ini dan membiarkan kami mempersiapkan diri. Nggak disangka kamu akan buru-buru seperti ini dengan membawanya kembali di saat anak kita baru lahir. Rio, sikapmu membuatku sangat canggung.""Bukannya ini sesuatu yang sudah kita sepakati sejak lama?" Valerio mengerutkan kening. "Kenapa sekarang kamu malah mengeluhkan hal ini kepadaku?"Davira yang mendengar itu pun mendongak dan menatap Valerio. "Aku tahu kita sudah membicarakan ini sejak lama, tapi aku masih sedikit berharap. Kamu benar-benar menghancurkan harapanku."Valerio tidak terpengaruh dengan perkataan Davira. "Kamu terlalu banyak meminta. Jangan coba-coba membuatku memiliki perasaan kepadamu hanya karena seorang
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu