Briella menghadapi pertanyaan sahabatnya dengan sikap santai, "Biarkan takdir yang menentukan."Gita merasa kesal dengan jawaban itu, jadi mendorong dahi Briella pelan. "Kamu ini! kamu mati-matian saat bekerja. Aku benar-benar nggak tahu lagi harus bilang apa sama kamu! Aku tanya, apa kamu nggak mau mengandalkan anak di dalam perutmu itu untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik?"Briella melihat sekeliling dengan waspada. Untungnya tidak terlalu banyak orang yang mendengar perkataan Gita yang menggebu-gebu ini."Jujur saja, sekarang aku nggak bisa menghindar darinya." Briella menutup mulutnya dan menoleh ke arah sahabatnya. "Kamu tahu, begitu berita tersiar kalau kami menginap di hotel yang sama, Valerio bilang dia akan membatalkan pernikahannya dan berencana mempublikasikan hubungan kami.""Hubungan kalian yang mana?" Gita kembali mendesak, "Apa kamu yang menjadi selingkuhannya dan sedang mengandung anaknya? Lala, boleh saja kalau kalian mau mengungkapkan hubungan kalian, tapi mint
Pria itu mengenakan setelan jas hitam, yang membungkus tubuhnya dengan sempurna. Sosoknya terlihat makin luar biasa tampan, lengkap dengan kacamata di pangkal hidung mancungnya. Penampilannya ini sangat mirip dengan tokoh pemeran utama kedua di drama TV yang sedang populer.Mengenai nama dari drama TV itu, Gita pun tidak mengingatnya dengan jelas. Intinya, Klinton memiliki aura dan proporsi tubuh yang sama dengan aktor itu, tipe-tipe yang menjadi idola para gadis saat ini.Gita mengikuti tatapan Briella dan melihat sekilas sosok Klinton. Dia memang tampan dan tingginya hampir sama dengan Valerio. Dia tipe pria yang sulit untuk dilupakan setelah dilihat sekali."Siapa pria tampan yang tinggi itu? Kenapa dia terus menatapmu?"Briella mengalihkan pandangannya dan tersenyum pahit ke arah Gita. "Kakaknya Davira, anak sulung Keluarga Atmaja.""Dia lagi ngapain?" Gita langsung menaruh curiga. "Apa dia ke sini untuk bertemu denganmu? Jangan bilang dia datang ke mari karena mau mencari masalah
Klinton belum pernah diperlakukan dengan lugas seperti ini sebelumnya. Setelah bertemu dengan Briella tiga kali, dia tahu seperti apa temperamen Briella.Namun, sifat Briella yang seperti itulah yang membuatnya ingin mengenal Briella lebih jauh.Klinton mengamati Briella dengan penuh ketertarikan. Briella seumuran dengan Davira, bahkan wajah mereka pun mirip. Namun, Briella tidak seperti Davira. Energi di dalam diri Briella membuatnya merasakan penasaran dan membuatnya makin ingin mencari tahu tentangnya."Kalau ada waktu, aku ingin bicara denganmu."Pria itu menarik kembali tatapannya yang penuh perhitungan. "Lagipula, pertunangan Davira sudah akan berakhir dan ini ada hubungannya denganmu."Briella ingin tertawa, tetapi dia pun tidak berdaya. Dia tahu kalau hal menjengkelkan dan melelahkan seperti ini akan terus menimpanya."Aku harap pertemuanku dengan Pak Klinton karena sesuatu yang baik, seperti menang lotre misalnya. Pak Klinton berbaik hati ingin membagi hadiah lotre kepadaku ka
"Davira gadis yang baik, dia cuma jadi nggak terkendali kalau sudah terkait dengan perasaannya. Tapi, terlepas dari sisi mana pun kamu melihatnya, dia adalah pasangan yang cocok untuk Valerio. Aku yakin mereka akan rukun kalau nggak ada gangguan dari luar."Briella tersenyum saat mendengar itu. "Jadi kamu menganggapku sebagai gangguan dari luar itu? Ternyata Pak Klinton memperlakukanku sebagai duri dalam daging yang harus disingkirkan. Benar begitu?""Nona Briella, terkadang seseorang memang harus tahu diri. Aku harap kamu bisa menempatkan diri dengan tepat dan menyadari apa yang kamu lakukan.""Aku sudah bilang. Masalah membatalkan pernikahan atau nggak itu keputusan Pak Valerio. Itu nggak ada hubungannya denganku. Kalau kamu ingin dia mengubah keputusannya, seharusnya kamu bertemu dengan Pak Valerio, bukan denganku.""Yang kamu katakan memang benar, tapi kamu melewatkan satu poin kalau kehadiranmu hanya akan memengaruhi Valerio untuk mengambil keputusan. Kalau bukan karena kamu, Vale
"Briella, apa kamu akan terus berada di sini dan menyakiti adikku?"Briella mencoba melepaskan cengkeraman tangan Klinton, tetapi tetap tidak berhasil. Terpaksa, dia harus kembali duduk.Dia tidak bisa menerima dan sangat membenci sikap agresif Klinton.Davira merasa beruntung memiliki seorang kakak yang begitu protektif terhadapnya. Briella mengakui kalau dia pun merasa iri.Hanya saja, dia tidak memiliki siapa-siapa yang mampu mendukungnya. Selain anak Valerio yang ada di dalam kandungannya, apa lagi yang bisa Briella andalkan?"Apa yang kamu ingin aku lakukan?"Briella menenangkan gejolak batinnya dengan baik dan berusaha bernegosiasi dengan Klinton."Pura-pura mati dan menghilanglah dari Kota Tamar. Mengenai anak di dalam kandunganmu ...." Jari-jari panjang Klinton bertumpu pada bibirnya, terlihat sedikit ragu."Kamu boleh melahirkannya, tapi kamu nggak boleh ada hubungan dengan anak ini. Adikku akan membesarkan anak itu."Briella tertawa dingin. "Beraninya kamu memperlakukanmu seb
Klinton menatap Gita dengan cemberut, lalu berkata dengan suara yang dingin dan dalam, "Wanita kampung dari mana ini! Kasar sekali."Gita terdiam sejenak, merasa sangat terhina. Dia mengepalkan tinjunya lagi dan mengayunkannya di depan mata Klinton.Melihat hal ini, Briella menarik ujung pakaian Gita, memberi isyarat kepadanya kalau dia tidak perlu membesar-besarkan masalah."Pak Klinton, ini temanku. Dia khawatir aku sedih karena diganggu, makanya dia jadi begini. Jangan dipikirkan."Setelah mengatakan itu, Briella menarik Gita pergi.Klinton mengerutkan kening dan membersihkan tubuhnya yang telah disentuh oleh Gita, merasa jijik dengan tindakan Gita yang tiba-tiba.Pria itu melihat ke arah Briella pergi, sebuah kilatan cahaya gelap muncul di matanya.Dia tahu kalau percakapan hari ini sudah melukai harga diri Briella. Namun demi adiknya, dia harus mengambil keputusan berdasarkan pengorbanan dan rasa sakit yang dialami Briella.Di sisi lain ruangan, Briella dan Gita kembali ke tempat
Zayden berjalan mendekati Klinton dengan tangan di belakang punggung layaknya orang dewasa."Om, ada yang ingin aku katakan padamu."Klinton menunduk menatap Zayden. "Mau bicara apa?""Nggak enak bicara di sini, Om. Ayo kita cari tempat yang lebih sepi. Aku nggak akan menyita banyak waktu Om."Klinton menganggukkan kepala ke arah beberapa bos di ruangan itu sebelum membawa Zayden keluar dari ruangan pribadi.Mereka berdiri di koridor dan Zayden sama sekali tidak takut dengan pria setinggi seratus sembilan puluh senti ini. Dia mengerutkan keningnya dan berkata kepada Klinton dengan wajah serius."Apa kamu menggertak Mama? Aku sudah lihat semuanya. Mama menangis setelah bertemu denganmu."Klinton menyipitkan matanya. "Kamu dan Mamamu sangat mirip."Briella dan anaknya sama-sama punya sifat yang galak. Anak Briella juga sama sepertinya, seseorang yang tidak terima kalau diganggu dan diperlakukan seperti itu.Dari yang Klinton tahu, Briella membesarkan anak ini sendirian. Dia bertanya-tany
Briella merasa kalau Zayden berubah menjadi sedikit aneh. Dia mengangkat wajah Zayden, berusaha mengamati ekspresi di wajahnya."Apa yang terjadi, Nak? Apa ada sesuatu yang nggak kamu ceritakan sama Mama?"Zayden menggeleng dan menatap Briella dengan wajah tersenyum."Nggak ada, kok. Aku cuma mau peluk Mama saja. Beberapa hari ini Mama nggak di rumah, jadi Zayden sangat merindukan Mama!"Briella yang mendengar ini pun tidak menaruh rasa curiga lagi dan tersenyum lembut."Sayang, Mama juga kangen sama kamu. Sudah malam, ayo makan dulu sama Ibu.""Hmm!" Zayden mengangguk dan menggandeng tangan Briella dan Gita, lalu berjalan menuju restoran bersama-sama.Gita melirik ke arah Briella dan merasa sedikit khawatir. Sebagai sahabat Briella selama sepuluh tahun ini, Gita tahu betul kalau Briella adalah orang yang memiliki pendapatnya sendiri. Sekali dia sudah mengambil keputusan yang tepat, tidak ada orang lain yang bisa membujuknya. Sekarang dia sangat khawatir dengan apa yang dikatakan Klint
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu