Ini pertama kalinya Briella mendengarkan pernyataan Kinan yang sombong dan angkuh. Dia benar-benar gambaran dari manusia yang sangat tidak tahu malu."Kakak yang kamu maksud itu Davira?" Briella memperjelas, "Dia tunangan presiden Perusahaan Regulus. Kamu nggak tahu tentang itu, 'kan?""Tentu saja aku tahu, tapi sepupuku itu cinta pertamanya. Itulah hubungan mereka."Briella mengernyitkan dahinya, mulai khawatir dengan kecerdasan Kinan.Awalnya dia khawatir Kinan akan membuat masalah untuknya. Namun, dengan kecerdasan Kinan yang seperti ini, Briella tidak perlu menggunakan sepuluh persen kekuatannya untuk melawan."Sudah mau terlambat." Briella mengguncang jam tangan di pergelangan tangannya. "Cepatlah. Aku nggak mau gajiku dipotong."Briella langsung berjalan ke pintu depan setelah mengatakan.Hari itu berjalan dengan baik tanpa Kinan dan kekacauan lain yang mengganggu suasana hati Briella. Jadi, dia bisa memberikan fokus penuh pada pekerjaannya.Di penghujung hari, Briella sudah berk
Briella dan Rieta sudah bertemu dua kali sebelumnya. Kesan Rieta terhadap Briella hanya sebatas sekretaris Valerio, wanita yang diperlakukan dengan baik oleh seorang Abimana.Hanya saja, hari ini dia meminta Briella masuk lewat pintu samping. Ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah terjadi jika di masa lalu.Kalaupun Rieta tidak menyukai Briella, dia tidak akan membiarkan Briella masuk walaupun harus lewat pintu samping. Bagaimanapun, etika keluarga besar harus tetap diperlihatkan.Pikiran Briella bergerak cepat dan dia bisa menduga kalau Davira mungkin sudah mengatakan sesuatu kepada Rieta, sampai penilaian Rieta terhadap Briella pun berubah.Apa yang sebenarnya Davira dikatakan, Briella juga tidak tahu. Intinya itu bukan sesuatu yang baik."Kakek, Bu Rieta."Briella membungkuk sedikit ke arah keduanya. Dia baru masuk, tetapi sudah memutuskan sesuatu di benaknya. Karena ada Bu Rieta di sini, jadi etiketnya harus sepuluh kali lebih baik. Kalau tidak, dia akan dimarahi.Benar saja, be
Abimana mendongak dan melirik Rieta dengan tatapan kesal."Kalau kamu seorang peri pun nggak akan aku terima!" Abimana menepuk tangan Briella. "Nak, hari ini kamu temani Kakek makan kue dan main poker. Jangan takut sama siapa pun. Apa kamu dengar?"Mata Briella terasa perih dan dia pun mengangguk kuat-kuat.Sikap Abimana membuat Rieta marah. Alisnya berkerut tidak senang karena melihat Abimana memperlakukan Briella dengan lebih penuh kasih sayang dibandingkan dengan semua anggota Keluarga Regulus.Namun, dia lebih kesal pada Briella."Ayah itu tetua Keluarga Regulus, aku menghormati setiap keputusan Ayah, melindungi serta menghargai keinginan pribadi Ayah. Tapi, aku nggak bisa setuju dengan pilihan Ayah dalam hal memilih istri untuk Rio."Abimana meremehkan, "Kalau kamu nggak setuju, aku akan memanggil Rio sekarang juga dan memaksanya untuk menikahi Briella walaupun dia nggak mau."Rieta terdiam, tidak menyangka kalau Abimana akan sebegitu melindungi Briella."Kenapa? Kamu mau aku memo
"Aku tahu posisiku lebih baik dari siapa pun." Briella beranjak. "Hanya saja, penilaian yang Bu Rieta katakan kepadaku ini bukan penilaian objektif, melainkan cerminan sikap Bu Rieta sendiri yang terlalu membanggakan diri."Rieta mencibir. Dia melipat kakinya dan menatap Briella dengan tangan bersedekap."Aku tahu kamu pintar dan bicaramu pun hebat. Kalau nggak, kamu nggak akan bisa terus berada di sisi Valerio untuk waktu yang lama. Tapi Briella, kamu terlalu sok pintar dan nggak pantas mendapat tempat di Keluarga Regulus."Menghadapi sindiran Rieta, Briella masih terlihat tenang. Dia sudah pernah mendengar kata-kata yang jauh lebih menusuk, mana mungkin masih terpengaruh oleh kata-kata seperti ini?"Pertama, aku nggak pernah punya keinginan untuk menjadi bagian dari Keluarga Regulus. Sekali lagi, aku datang ke sini karena diundang oleh Kakek, jadi aku ini tamu. Meminta tamu masuk melalui pintu yang dijaga anjing, ini adalah sikap yang sangat mempermalukan tamu. Bisa dilihat seperti a
Briella berjalan keluar dari rumah Abimana dan ternyata di luar gerimis. Dia berjalan di sepanjang jalan dan tiba-tiba ada payung hitam disandarkan di atas kepalanya.Menengok ke belakang, ternyata Marco."Pak Valerio sedang melakukan perjalanan bisnis. Dia sudah memerintahkanku untuk menjaga Nona Briella dan Tuan Muda Zayden." Marco menunjuk ke Rolls Royce yang diparkir di seberang jalan. "Nona Briella, silakan masuk."Briella agak terkejut dengan kemampuan Marco dalam menyelesaikan sesuatu. "Kenapa kamu bisa tahu kalau aku ada di sini?""Pak Valerio yang memberitahuku, katanya kamu akan datang menemui Tuan Besar hari ini.""Oh, begitu."Briella mengangguk dan mengikuti Marco ke mobil.Marco dan sopir duduk di barisan depan, sementara Briella duduk di belakang.Melalui kaca spion, Marco bisa merasakan kalau suasana hati Briella sedang tidak baik. Pria itu menoleh dan memperhatikan ekspresi Briella, merasa kalau Briella terlihat murung dan kecewa.Pak Valerio sempat memberi perintah se
"Papa telepon, katanya mau lihat Mama untuk menonton video Mama."Begitu Briella mendengarnya, dia menyangga tubuhnya dan duduk, lalu melirik layar di ponsel putranya. Terlihat kalau Valerio tengah berada di kamar hotel, dengan latar belakang pemandangan yang luas. Dari kamarnya, bisa melihat pemandangan malam yang gemerlap dan megah di seluruh kota.Wajah pria tampan dan sangat gagah itu memanjakan mata Briella. Seketika, Briella jadi tersadar.Dia tersenyum. "Pak Valerio."Zayden menjatuhkan ponselnya tepat di atas tempat tidur dan beranjak dari sana, lalu berlari keluar."Mama, Zayden mau tidur sendiri malam ini. Mama sama Papa ngobrol dulu saja."Briella hanya bisa menggelengkan kepalanya saat melihat putranya melarikan diri dengan sangat cepat dari kamarnya, bahkan dia berkata tanpa menoleh ke belakang.Dia menunduk dan mengambil ponsel di kasur. Terlihat Valerio berpakaian santai dan mengenakan jubah mandi. Briella tidak bisa menahan perasaannya. Kenapa seorang presdir bisa setam
Rieta agak terkejut. Ternyata Briella jauh lebih kurang ajar dan tidak bisa diprediksi dibanding yang dia perkirakan. Dia pun sedikit kewalahan."Wanita liar macam apa kamu ini!"Dia telah menyelidiki Briella sebelum datang ke mari. Namun, informasi yang diberikan detektif itu sangat sedikit. Selain punya anak dan ibu, semua masa lalu Briella seakan sengaja disembunyikan dengan rapat. Dia bahkan tidak tahu apa pun terkait kehidupan Briella sebelum bergabung dengan Perusahaan Regulus."Bu Rieta nggak perlu terlalu memedulikanku dan nggak perlu menyelidikiku secara khusus. Karena aku sendiri pun ingin tahu latar belakangku, jauh melebihi Bu Rieta."Mata Briella berubah muram saat mengatakan ini.Rieta menatap Briella dengan ekspresi rumit, yang benar-benar membuatnya bingung."Terlepas dari apa pun itu, aku peringatkan. Jauhi Valerio dan jangan merusak hubungannya dengan Davira."Briella terdiam sejenak dan berkata dengan terus terang, "Kalau Bu Rieta punya cara untuk membantuku meningga
Mata Rieta bergerak cepat dan jatuh di tangan Nathan yang menggenggam tangan Briella. "Jangan terlalu dekat dengannya. Dia selingkuhan Valerio."Nathan menatap Rieta dengan raut wajah marah. "Nyonya, aku nggak memberimu izin untuk menggunakan kata menghina seperti itu untuk menggambarkan pacarku."Rieta terkejut, tidak kalah terkejutnya dengan kenyataan ketika dia tahu kalau Briella tengah mengandung anak Valerio."Apa katamu? Katakan lagi!" Rieta berdiri dan tiba-tiba berjalan mendekati keduanya. Dia menarik tangan Nathan yang menggandeng tangan Briella, mencoba memisahkan keduanya.Nathan menegakkan tubuh dan melindungi Briella di belakangnya, menghalangi ledakan emosi Rieta.Nathan menatap Rieta dan mengulangi perkataannya tanpa ekspresi, "Briella pacarku. Anak di dalam kandungannya adalah anakku."Emosi Rieta saat ini tidak bisa lagi digambarkan sebagai keterkejutan. Dia menatap Briella dengan mata terbelalak, mengambil kopi di atas meja dan menyiramkannya ke arah Nathan dan Briell
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu