Perusahaan Regulus."Rio, ini aku buatkan bubur untukmu. Aku dengar kalau hari ini kamu harus lembur dan nggak sempat makan. Jadi aku pulang ke rumah untuk membuatkan makan malam untukmu."Davira meletakkan tempat makan di atas meja dan berjalan mendekati Valerio, duduk di meja kantor pria itu.Hari ini dia berdandan secara khusus, mengenakan rok ketat dengan belahan tinggi. Saat duduk di meja, satu kakinya terbuka tepat di depan garis pandang Valerio, memperlihatkan kulitnya yang terbuka di belahan roknya.Pria itu hanya melirik tempat makan dan menundukkan kepalanya, tetap fokus melakukan pekerjaannya.Tatapan Davira berubah muram. Dia mengira kalau pakaiannya hari ini bisa memancing hasrat pria itu. Namun, tidak disangka pria itu bahkan enggan untuk menatapnya.Karena tidak terima, Davira langsung menutup laptop Valerio, lalu pura-pura marah."Rio, kenapa kamu nggak peduli denganku sedikit pun?"Tatapan Valerio begitu dingin. Dia mengangkat pandangannya ke arah Davira, lalu menyingk
"Briella bukan wanita gampangan."Valerio mengoreksi perkataan Davira dengan tegas. Kepalanya menunduk, pikirannya tertuju pada ponselnya dan tidak menatap Davira lagi.Beraninya Briella membawa anaknya berkencan dengan pria lain! Sekejam apa wanita itu sebenarnya? Hal apa yang tidak berani dia lakukan?Davira melihat tatapan tidak fokus Valerio. Tanpa berpikir pun dia tahu siapa yang ada dalam pikiran pria itu. Davira kesal, bahkan sampai tidak habis pikir.Dia sudah berpakaian seperti ini untuk merayu Valerio, tetapi pria itu bahkan tidak tertarik kepadanya sedikit pun dan terus menatap ponselnya, seakan jiwanya sudah terhanyut di dalam ponsel itu."Terkadang aku berpikir kalau kamu sangat kejam, tapi kamu memperlakukan Briella dengan sangat baik. Rio, jangan sampai kamu kehilangan seseorang yang benar-benar baik kepadamu, baru kamu menghargainya."Davira menyelesaikan perkataannya dan masih tidak mendapatkan jawaban dari pria itu. Hatinya dipenuhi oleh kebencian terhadap Briella! Di
Briella cemberut dan menyimpan ponselnya. "Rahasia."Nathan juga sadar diri dan tidak menanyakan lebih lanjut, hanya menggendong Zayden. "Wah, kamu paham sama semua desain ini?""Tentu saja." Zayden dengan bangga menunjuk sepasang pameran di depannya dan menjelaskan kepada Nathan dengan senang hati.Nathan melihat kalau Zayden punya pemikirannya sendiri dan menjelaskan dengan sikap profesional. Penguraiannya pun sangat lengkap, membuat Nathan mengacungkan jempol kepada Zayden."Bagus, Nak, kamu luar biasa! Papa akan bawa kamu ke lebih banyak tempat seperti ini biar kemampuanmu makin berkembang."Zayden menggeleng dan menjawab, "Om Nathan, aku mungkin nggak bisa jadi anakmu. Panggil aku Zayden saja, kita pasti bisa menjadi teman yang baik."Nathan terdiam sejenak. Kenapa sikap anak nakal ini berubah sangat cepat! Dia benar-benar bocah yang tidak tahu terima kasih seperti Mama nya."Bukannya dulu kamu mengakuiku sebagai Papa mu? Kenapa sekarang nggak lagi?""Karena aku sudah menjadikan P
"Kenapa kamu ada di sini?" Briella bertanya dengan penasaran.Wajah pria itu tanpa ekspresi dan suaranya sedikit dingin, "Ini rumah kita."Briella terdiam sejenak, ragu-ragu dengan kata 'kita'."Kenapa? Kamu bersenang-senang sampai-sampai nggak mengenali rumah sendiri?"Briella tersentak dan menggelengkan kepalanya, lalu menatap pria itu."Aku telepon Siska dan dia bilang kamu lembur sama Bu Davira. Aku pikir malam ini kamu nggak akan pulang."Valerio menatap wajah lembut dan menawan Briella, seketika tidak bisa melampiaskan kemarahannya.Pria itu mengambil Zayden yang sudah tertidur dari gendongan Briella dan berjalan menuju vila."Bagaimana pekerjaanmu hari ini?"Pertanyaan Valerio ini membuat Briella merasa terkejut, apalagi pria ini tidak tertarik dengan urusan pekerjaannya, bahkan merasa kesal. Kenapa tiba-tiba dia menanyakannya?Briella teringat akan hal-hal buruk yang dia lalui di perusahaan, merasa kalau tidak perlu membicarakannya."Baik, semuanya berjalan dengan baik."Valeri
"Semua itu bukan masalah." Pak Rinto berkata sambil tersenyum, "Kita bisa mengirimkan makan siang dan makan malam ke tempat Nona bekerja. Singkatnya, apa yang diperintahkan Pak Valerio, kami pasti akan melakukannya. Bukankah belasan pelayan di Galapagos memang ditugaskan untuk melayani Nona dan Tuan Muda Zayden?"Briella ternganga karena terkejut dan melihat ke ruang kerja. Dia tidak bisa memahami jalan pikiran Valerio.Mata Pak Rinto menatap ramah, bahkan wajahnya pun selalu terlihat tersenyum. "Nona Briella, saya lihat Pak Valerio tidak baik-baik saja begitu pulang ke rumah. Apa karena terlalu lelah dengan urusan pekerjaan yang begitu berat akhir-akhir ini? Sup tonik di dapur saja belum dimakan. Gimana kalau Nona sajikan untuk beliau dan membawanya ke ruang kerja?"Briella tahu kalau ini adalah cara Pak Rinto untuk memberi ruang bagi Briella untuk mengalah. Briella pun tidak boleh terus bersikap seperti anak kecil."Kalau begitu, tolong bawakan sup nya ke mari. Tapi jangan terlalu ba
Merasakan kemarahan Briella, raut wajah pria itu menjadi dingin. Dia menyipitkan matanya sambil berkata pada Briella, "Kamu benar-benar nggak tahu terima kasih."Briella mengatupkan mulutnya ingin membela diri, tetapi khawatir pembelaannya malah akan membuat pria itu makin marah. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Melihat Briella tidak mengatakan apa-apa, Valerio pun mengangkat tangannya dan meletakkan telapak tangannya di atas perut Briella. Di sini, sebuah kehidupan baru sedang dikandung, anaknya dan Briella.Briella menundukkan kepalanya dan juga terlihat melamun.Suasana tiba-tiba menjadi hangat. Keduanya terdiam dan tidak berbicara hingga telepon genggam Briella berdering.Briella mengambil ponselnya dan melihat kalau Abimana lah yang menelepon. Dia tanpa sadar memutar tubuhnya untuk menyingkirkan tangan Valerio di tubuhnya, baru menjawab panggilan itu."Halo, Nak, apa akhir-akhir ini kamu sibuk?"Suara dalam pria tua itu terdengar di ujung te
"Briella." Valerio mencubit pinggang kurus Briella, kata-katanya terdengar sedikit kasar, "Apa kamu sudah memperhitungkan cara untuk pergi dari sini dan menjauh dariku?"Briella menggigit bibirnya, menahan rasa sakit karena cengkeraman di pinggangnya. "Kamu mencubitku seperti itu, nggak takut menyakiti bayi di perutku?"Valerio melepaskan cengkeramannya dan menangkup dagu Briella dengan kedua tangannya. "Terkadang apa yang kamu ucapkan dan apa yang kamu lakukan membuatku ingin mencekikmu sampai mati."Mencekiknya sampai mati agar tidak ada yang bisa memengaruhi suasana hatinya. Mencekiknya sampai mati agar tidak ada yang menentangnya.Briella menghela napas dalam, mata hitamnya menatap pria di depannya. "Kalau mencekikku sampai mati, kamu akan kehilangan alat yang bisa memberimu anak."Valerio mengertakkan gigi, "Alat yang bisa memberiku anak?""Bukankah memang begitu?" Briella tidak takut dengan kemarahan Valerio. "Aku sudah menjadi alat pelampiasan nafsumu selama lima tahun. Aku suda
Briella memilih untuk masuk melalui pintu masuk perusahaan yang lain.Dia lebih memilih untuk menghindari Kinan.Lagipula, berbicara dengan seorang pengganggu sangat menguras energi dan stamina.Kinan sangat senang ketika melihat Briella menghindar begitu melihatnya. Dia berpikir kalau Briella takut padanya.Dia mengikuti Briella dengan langkah cepat, lalu meraih tas Briella.Briella menoleh ke belakang dan terlihat sangat lelah. Dia sudah menghindar, tetapi masih saja tidak bisa menyingkirkan pengganggu yang menjengkelkan ini."Kamu bawa apa?"Kinan tersenyum menghina saat melihat kue yang dibawa Briella di tangannya."Wah, ini buat siapa?"Briella melepaskan diri dari Kinan dan menjawab marah, "Kinan, kamu mau apa lagi!""Mau apa lagi! Apa kamu bodoh!" Kinan merapikan pakaiannya dan menatap Briella dengan remeh, seolah-olah dia sedang melihat pelaku kejahatan.Briella menatap Kinan dengan tatapan dingin dan melemparkan kue di tangannya ke tubuh Kinan.Kinan berdiri di atas tumpukan k
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu