Valerio melihat ke bawah, pada sosok anak kecil yang menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. Hatinya yang tenang berdesir pelan, seakan-akan dihantam batu kecil.Dia mengangkat tangannya dan terlihat ragu. Namun, pada akhirnya Valerio menjatuhkan tangannya ke atas tubuh Zayden dan menepuk-nepuknya dengan lembut.Zayden memang biasanya selalu bersikap dingin dan seperti orang dewasa. Namun, ketika berada di depan Valerio, dia seperti hewan peliharaan kecil. Merasakan pelukan Valerio, Zayden sangat senang, sampai hatinya mau meledak kegirangan."Papa!" Zayden tiba-tiba memiringkan kepalanya dan memperlihatkan deretan gigi putih, bersih dan rapinya kepada Valerio. Wajah kecilnya yang tampan dipenuhi dengan kebahagiaan.Dipanggil Papa oleh Zayden membuat Valerio terdiam sejenak dan emosinya menjadi rumit."Kamu panggil aku apa?""Papa." Zayden mengulangi, "Kalau Om nggak suka dipanggil Papa, Zayden nggak akan panggil Papa lagi. Panggil Om Valerio saja."Valerio menatap Zayden cukup lama. Ali
Di tempat Briella berada, restoran yang telah dipesan Nathan dengan hati-hati untuk malam ini adalah restoran barat paling mewah di Kota Tamar. Biaya tagihan di tempat ini mencapai tujuh digit untuk per orangnya. Nathan memang tidak pernah tanggung-tanggung soal biaya kalau mengajak Briella makan. Dia memahami selera makan Briella dan memesan makanan yang disukai Briella."Apa kamu kenal salah satu pegawai di Perusahaan Regulus?" Briella bertanya pada Nathan dan tatapan matanya tertuju pada meja Davira yang berada tak jauh dari mejanya.Tanpa menoleh kepada Briella, Nathan mengambil cangkir Briella yang sudah kosong dan menuangkan kopi untuknya."Perusahaanku dan Perusahaan Regulus akan bekerja sama nantinya. Elbert adalah manajer penjualan Perusahaan Regulus dan dia pernah mendekatiku untuk mendapatkan investasi. Jadi kami saling mengenal."Nathan menjelaskan dengan santai, lalu mendongak dan menatap Briella. "Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"Briella menyesap kopi di dalam gelasnya dan
Briella sedikit takut saat melihat kepanikan dalam reaksi Nathan.Tanpa sadar Briella menarik tangannya sendiri, menatap pria itu dengan tenang dan datar. Briella merasa ada yang tidak beres, intuisinya seakan memberitahunya kalau dia tidak boleh berurusan dengan Nathan.Namun, pria itu sudah menolongnya dan ibunya di saat kondisi terburuk mereka. Briella tidak mungkin jadi orang yang tidak tahu terima kasih."Nathan." Briella menjilat bibirnya dan mengangkat pandangannya. Ketenangan di dalam matanya memiliki kekuatan yang menenangkan. "Kamu adalah salah satu dari sedikit teman yang aku punya. Kalau lain kali kamu mengatakan apa yang barusan kamu katakan lagi, aku harus memilih untuk kehilanganmu sebagai seorang teman."Nathan mendengus dingin dan bibirnya tertarik membentuk seringai."Pada akhirnya tetap saja hanya ada Valerio yang ada di dalam hatimu." Tatapan Nathan dibumbui sedikit kebencian. "Briella, cepat atau lambat kamu harus membayar atas pilihan yang kamu ambil hari ini.""A
Briella masih tenggelam dalam keterkejutannya, tiba-tiba ada suara tidak asing terdengar dari belakang."Rio, kenapa kamu di sini?"Briella tidak menoleh dan sudah tahu siapa orang itu hanya dengan mendengar suaranya. Davira.Davira langsung memperlakukan Briella dan Zayden sebagai udara yang kasat mata. Dia berjalan mendekat dan duduk di samping Valerio."Rio, kamu ke mari mau menemuiku?" Davira menggandeng mesra lengan Valerio saat mengatakan itu, lalu menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Sikapnya sangat manja, seperti seorang gadis kecil yang sedang berbahagia.Briella memandangi pria dan wanita di depannya dan merasa kalau mereka berdua adalah pasangan yang serasi.Tidak ada pria yang bisa menolak sikap manja wanita, bukan? Briella tahu dengan sangat baik tentang hal ini. Selama lima tahun ini, begitu Valerio marah, Briella selalu bersikap manja kepadanya, menurunkan egonya dan membujuknya naik ke tempat tidur. Baru setelah itu amarah pria ini bisa mereda.Jadi, dia tahu kalau
Tatapan pria itu tertuju pada Elbert yang muncul entah dari mana. Dia pun bertanya dengan nada dingin, "Bukannya jam segini kamu harus lembur di kantor?"Valerio menatap Davira dengan tatapan yang lebih dingin lagi. "Kamu juga. Apa yang kamu lakukan di sini bukannya istirahat di rumah sakit?"Davira dan Elbert saling bertukar pandang. Wajah Elbert menunjukkan senyuman yang hampir bisa disebut seringai saat menatap Valerio."Pak Valerio, mungkin Anda salah paham. Saya memang sedang lembur."Valerio menjawab, "Elbert, mau main-main denganku?""Pak Valerio, mana mungkin saya berani!" Elbert mengeluarkan setumpuk dokumen dari tas kerjanya dan memberikannya kepada Valerio dengan kedua tangannya."Saya sudah membuat janji dengan Bu Davira untuk melakukan rekonsiliasi rekening hari ini. Ini semua tentang rekening perusahaan kita untuk kuartal ini."Tangan Elbert sedikit gemetar saat memegang dokumen-dokumen itu. Davira sudah memaki pria ini berkali-kali di dalam hatinya."Rio, akulah yang mem
"Apa ada yang perlu dibicarakan antara aku dan seorang presdir yang terhormat?" Nathan mengambil pisau dan garpunya lalu memotong steik miliknya dengan gerakan yang terampil. "Mengenai Briella dan Zayden yang kamu bilang ...."Nathan memasukkan steik ke dalam mulutnya dan menjeda perkataannya."Pak Valerio, jangan lupa. Kamulah yang merebut cinta orang lain dulu."Valerio sama sekali tidak menggubris Nathan. "Kapan Briella pernah mengakui hubungannya denganmu? Jujur dan berkhayal adalah dua hal yang berbeda.""Setidaknya itu lebih baik daripada Pak Valerio yang suka merebut dan memaksa."Nathan menatap pria di depannya dengan tatapan remeh dan keduanya pun saling menatap. Suasana di sekitar langsung berubah mencekam, hening dan sunyi."Nathan, setelah bertahun-tahun kamu masih nggak tahu bagaimana caranya bersikap."Setelah selesai berbicara, Valerio beranjak dan tatapan dinginnya menyapu Nathan. "Nggak peduli apa hubungan di antara kita, lebih baik urungkan niatmu yang akan menggunaka
Judul berita berhasil mencapai puncak daftar berita terpopuler dalam waktu singkat. Briella yang sudah ada di rumah pun bisa melihatnya.Di berita itu, Briella melihat kalau Valerio tengah menggendong Davira. Ada perasaan campur aduk di dalam hati. Briella pun tidak tahu kenapa bisa seperti ini. Mereka sepasang tunangan, jadi yang harus Briella lakukan adalah mengurus dirinya sendiri.Briella meletakkan ponselnya dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam untuk Zayden.Karena Valerio datang bersama Zayden, dia tidak begitu menikmati makan malamnya kali ini. Jadi, Briella mengambil bahan makanan yang ada di lemari es, lalu membuat mie untuknya dan Zayden.Zayden dan Briella duduk berseberangan, menikmati makan malam dengan saling berhadapan."Nak, hari ini kamu panggil Om Valerio apa?"Kalau Briella tidak salah dengar, sepertinya Zayden memanggil Papa kepada Valerio."Panggil Papa." Zayden tidak memakan mie nya dan menatap Mama nya dengan saksama. "Mama marah? Nggak mau aku panggil
Valerio menarik lengan baju Briella ke atas, memperlihatkan pergelangan tangan putih dan rampingnya tepat di depan mata Valerio. Pria itu bisa dengan jelas melihat bekas warna merah di pergelangan tangannya."Kamu terluka sendiri?"Pria itu jelas tidak percaya dengan alasan yang dibuat Briella."Mama!" Zayden langsung turun dari kursi makan dan menghampiri Briella, menatap lengannya yang terluka dengan wajah khawatir. "Apa Mama bertengkar dengan seseorang lagi?"Zayden menelisik Briella dari atas ke bawah, takut ada luka lain di tubuh Briella yang lepas dari penglihatannya."Bertengkar?" Reaksi Zayden menarik perhatian Valerio. "Zayden, apa mamamu sering bertengkar sama orang lain?"Tanpa menunggu Zayden menjawab pertanyaan Valerio, Briella melepaskan diri dari genggaman tangan Valerio dan menuju ke atas."Mama, jangan lupa kasih obat, ya?" Zayden sangat mengenal Mamanya dan masih melihat punggung Briella yang menjauh dari pandangan dengan wajah khawatir.Valerio juga menarik kembali p
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu