"Mana bisa begitu?" Briella bersungut-sungut, "Aku nggak akan bergantung sama siapa pun. Kamu tahu sendiri."Briella masuk ke Taralay Property dengan bantuan koneksi yang dimiliki Nathan, jadi nggak boleh terlalu serakah. Briella harus bisa berdiri di atas kedua kakinya sendiri."Oh ya, kamu bilang aku habis operasi apa sama atasan?"Briella bertanya dengan nada serius, tetapi Nathan malah tertawa.Briella merasa kalau Nathan tertawa dengan sangat puas."Nathan, kamu bilang apa sama mereka? Cepat katakan.""Aku bilang kalau kamu melakukan operasi pembesaran payudara dan sedot lemak."Mulut Briella ternganga karena terkejut, bahkan wajahnya terlihat heran dan tidak habis pikir."Kamu ... kenapa kamu mengatakan alasan seperti itu tentangku!"Briella membentak dengan wajah merah. "Kenapa kamu bilang hal seperti itu, sih!""Tapi kamu 'kan memang ...." Nathan masih tertawa pelan, menyiratkan kesan jahat, yang malah membuat wajah Briella makin memerah."Nathan, aku membencimu!"Nathan yang b
Setelah mengakhiri panggilan dengan Zayden, Briella kembali ke ruang kerjanya. Begitu dia masuk, rekan kerja lain yang sibuk berbincang tiba-tiba langsung terdiam.Semua orang menatap Briella dengan tatapan aneh. Briella mengamati sekeliling kantor dan tiba-tiba merasa sedikit tidak berdaya.Sebenarnya pekerjaannya tidak melelahkan, tetapi hubungan dengan lingkungan kantor lah yang terasa sangat melelahkan. Itulah rasa lelah yang sesungguhnya.Kenyataan bahwa, mengalami hal semacam ini di hari pertama bekerja di Taralay Property membuat Briella cukup frustrasi. Namun, dia tidak akan menyerah begitu saja.Dalam hati, Briella menguatkan mentalnya, menenangkan emosinya dan melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja yang terpisah dari rekan yang lain. Dia pun mulai tenggelam dalam pekerjaannya.Baru pada saat jam pulang kantor, ada pesan masuk ke ponselnya, yang ternyata dikirim oleh Nathan. Nathan mengingatkannya kalau mobil jemputan akan segera tiba di depan gedung perusahaan, jadi memint
"Di mataku nggak ada perbedaan antara pria dan wanita. Siapa pun yang mengganggu orangku memang harus dihajar."Wanita yang barusan bersikap begitu sombong itu langsung menangis.Nathan menarik Briella ke belakangnya dan menyipitkan matanya ke arah wanita yang sedang duduk di lantai."Kenapa? Nggak mampu balas? Kamu dari departemen desain, 'kan?" Nathan melirik nama pada kartu pegawai di pakaian wanita itu. "Nomor kerja 11301, Linda Resantika. Kamu dipecat. Besok kamu nggak perlu datang ke perusahaan lagi."Wanita itu terdiam sejenak, lalu berdiri dan mengumpat, "Siapa kamu! Kenapa aku harus mendengarkanmu?"Nathan mendengus dingin, tatapannya beralih ke Briella. "Selama dia ada di perusahaan, kamu nggak akan bekerja di sana, begitu pun sebaliknya."Nathan seperti seekor anjing serigala besar yang mencoba menyenangkan hati Briella. Bahkan nada suaranya pun mengandung kesan protektif dan rasa sayang yang kuat.Briella melirik wanita itu dan menyipitkan matanya. "Ya, begitu saja."Nathan
Briella mendengarkan suara isak tangis Zayden di ujung telepon dan menebak dengan panik kalau Zayden dimarahi oleh Valerio. Setelah menenangkan emosinya, Briella merasa keanehan dalam sikap Zayden.Briella sangat mengenal Zayden. Anak itu tidak akan menangis di telepon dan terus memintanya untuk kembali. Zayden selalu bersikap pengertian dan memberikan kesabaran yang tidak terbatas kepada Briella.Zayden adalah putranya, jadi Briella memahaminya dengan baik dibandingkan siapa pun.Satu-satunya hal yang mungkin terjadi saat ini adalah, Valerio sedang main-main dengan Zayden agar Briella bergegas pulang.Sifat posesif dan mengatur pria itu sudah hampir mendekati tingkat tidak masuk akal. Mulai dari cara Briella berpakaian, sampai menyangkut pendidikan Zayden dan masalah benar dan salah pun harus pria itu yang memutuskan."Nak, bukankah Mama sudah bilang kalau malam ini Mama akan makan malam dengan Om Nathan? Mama ingin berterima kasih karena sudah diberi kesempatan bekerja oleh Om Nathan
Valerio melihat ke bawah, pada sosok anak kecil yang menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. Hatinya yang tenang berdesir pelan, seakan-akan dihantam batu kecil.Dia mengangkat tangannya dan terlihat ragu. Namun, pada akhirnya Valerio menjatuhkan tangannya ke atas tubuh Zayden dan menepuk-nepuknya dengan lembut.Zayden memang biasanya selalu bersikap dingin dan seperti orang dewasa. Namun, ketika berada di depan Valerio, dia seperti hewan peliharaan kecil. Merasakan pelukan Valerio, Zayden sangat senang, sampai hatinya mau meledak kegirangan."Papa!" Zayden tiba-tiba memiringkan kepalanya dan memperlihatkan deretan gigi putih, bersih dan rapinya kepada Valerio. Wajah kecilnya yang tampan dipenuhi dengan kebahagiaan.Dipanggil Papa oleh Zayden membuat Valerio terdiam sejenak dan emosinya menjadi rumit."Kamu panggil aku apa?""Papa." Zayden mengulangi, "Kalau Om nggak suka dipanggil Papa, Zayden nggak akan panggil Papa lagi. Panggil Om Valerio saja."Valerio menatap Zayden cukup lama. Ali
Di tempat Briella berada, restoran yang telah dipesan Nathan dengan hati-hati untuk malam ini adalah restoran barat paling mewah di Kota Tamar. Biaya tagihan di tempat ini mencapai tujuh digit untuk per orangnya. Nathan memang tidak pernah tanggung-tanggung soal biaya kalau mengajak Briella makan. Dia memahami selera makan Briella dan memesan makanan yang disukai Briella."Apa kamu kenal salah satu pegawai di Perusahaan Regulus?" Briella bertanya pada Nathan dan tatapan matanya tertuju pada meja Davira yang berada tak jauh dari mejanya.Tanpa menoleh kepada Briella, Nathan mengambil cangkir Briella yang sudah kosong dan menuangkan kopi untuknya."Perusahaanku dan Perusahaan Regulus akan bekerja sama nantinya. Elbert adalah manajer penjualan Perusahaan Regulus dan dia pernah mendekatiku untuk mendapatkan investasi. Jadi kami saling mengenal."Nathan menjelaskan dengan santai, lalu mendongak dan menatap Briella. "Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"Briella menyesap kopi di dalam gelasnya dan
Briella sedikit takut saat melihat kepanikan dalam reaksi Nathan.Tanpa sadar Briella menarik tangannya sendiri, menatap pria itu dengan tenang dan datar. Briella merasa ada yang tidak beres, intuisinya seakan memberitahunya kalau dia tidak boleh berurusan dengan Nathan.Namun, pria itu sudah menolongnya dan ibunya di saat kondisi terburuk mereka. Briella tidak mungkin jadi orang yang tidak tahu terima kasih."Nathan." Briella menjilat bibirnya dan mengangkat pandangannya. Ketenangan di dalam matanya memiliki kekuatan yang menenangkan. "Kamu adalah salah satu dari sedikit teman yang aku punya. Kalau lain kali kamu mengatakan apa yang barusan kamu katakan lagi, aku harus memilih untuk kehilanganmu sebagai seorang teman."Nathan mendengus dingin dan bibirnya tertarik membentuk seringai."Pada akhirnya tetap saja hanya ada Valerio yang ada di dalam hatimu." Tatapan Nathan dibumbui sedikit kebencian. "Briella, cepat atau lambat kamu harus membayar atas pilihan yang kamu ambil hari ini.""A
Briella masih tenggelam dalam keterkejutannya, tiba-tiba ada suara tidak asing terdengar dari belakang."Rio, kenapa kamu di sini?"Briella tidak menoleh dan sudah tahu siapa orang itu hanya dengan mendengar suaranya. Davira.Davira langsung memperlakukan Briella dan Zayden sebagai udara yang kasat mata. Dia berjalan mendekat dan duduk di samping Valerio."Rio, kamu ke mari mau menemuiku?" Davira menggandeng mesra lengan Valerio saat mengatakan itu, lalu menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Sikapnya sangat manja, seperti seorang gadis kecil yang sedang berbahagia.Briella memandangi pria dan wanita di depannya dan merasa kalau mereka berdua adalah pasangan yang serasi.Tidak ada pria yang bisa menolak sikap manja wanita, bukan? Briella tahu dengan sangat baik tentang hal ini. Selama lima tahun ini, begitu Valerio marah, Briella selalu bersikap manja kepadanya, menurunkan egonya dan membujuknya naik ke tempat tidur. Baru setelah itu amarah pria ini bisa mereda.Jadi, dia tahu kalau
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu