Setelah mengakhiri panggilan dengan Zayden, Briella kembali ke ruang kerjanya. Begitu dia masuk, rekan kerja lain yang sibuk berbincang tiba-tiba langsung terdiam.Semua orang menatap Briella dengan tatapan aneh. Briella mengamati sekeliling kantor dan tiba-tiba merasa sedikit tidak berdaya.Sebenarnya pekerjaannya tidak melelahkan, tetapi hubungan dengan lingkungan kantor lah yang terasa sangat melelahkan. Itulah rasa lelah yang sesungguhnya.Kenyataan bahwa, mengalami hal semacam ini di hari pertama bekerja di Taralay Property membuat Briella cukup frustrasi. Namun, dia tidak akan menyerah begitu saja.Dalam hati, Briella menguatkan mentalnya, menenangkan emosinya dan melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja yang terpisah dari rekan yang lain. Dia pun mulai tenggelam dalam pekerjaannya.Baru pada saat jam pulang kantor, ada pesan masuk ke ponselnya, yang ternyata dikirim oleh Nathan. Nathan mengingatkannya kalau mobil jemputan akan segera tiba di depan gedung perusahaan, jadi memint
"Di mataku nggak ada perbedaan antara pria dan wanita. Siapa pun yang mengganggu orangku memang harus dihajar."Wanita yang barusan bersikap begitu sombong itu langsung menangis.Nathan menarik Briella ke belakangnya dan menyipitkan matanya ke arah wanita yang sedang duduk di lantai."Kenapa? Nggak mampu balas? Kamu dari departemen desain, 'kan?" Nathan melirik nama pada kartu pegawai di pakaian wanita itu. "Nomor kerja 11301, Linda Resantika. Kamu dipecat. Besok kamu nggak perlu datang ke perusahaan lagi."Wanita itu terdiam sejenak, lalu berdiri dan mengumpat, "Siapa kamu! Kenapa aku harus mendengarkanmu?"Nathan mendengus dingin, tatapannya beralih ke Briella. "Selama dia ada di perusahaan, kamu nggak akan bekerja di sana, begitu pun sebaliknya."Nathan seperti seekor anjing serigala besar yang mencoba menyenangkan hati Briella. Bahkan nada suaranya pun mengandung kesan protektif dan rasa sayang yang kuat.Briella melirik wanita itu dan menyipitkan matanya. "Ya, begitu saja."Nathan
Briella mendengarkan suara isak tangis Zayden di ujung telepon dan menebak dengan panik kalau Zayden dimarahi oleh Valerio. Setelah menenangkan emosinya, Briella merasa keanehan dalam sikap Zayden.Briella sangat mengenal Zayden. Anak itu tidak akan menangis di telepon dan terus memintanya untuk kembali. Zayden selalu bersikap pengertian dan memberikan kesabaran yang tidak terbatas kepada Briella.Zayden adalah putranya, jadi Briella memahaminya dengan baik dibandingkan siapa pun.Satu-satunya hal yang mungkin terjadi saat ini adalah, Valerio sedang main-main dengan Zayden agar Briella bergegas pulang.Sifat posesif dan mengatur pria itu sudah hampir mendekati tingkat tidak masuk akal. Mulai dari cara Briella berpakaian, sampai menyangkut pendidikan Zayden dan masalah benar dan salah pun harus pria itu yang memutuskan."Nak, bukankah Mama sudah bilang kalau malam ini Mama akan makan malam dengan Om Nathan? Mama ingin berterima kasih karena sudah diberi kesempatan bekerja oleh Om Nathan
Valerio melihat ke bawah, pada sosok anak kecil yang menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. Hatinya yang tenang berdesir pelan, seakan-akan dihantam batu kecil.Dia mengangkat tangannya dan terlihat ragu. Namun, pada akhirnya Valerio menjatuhkan tangannya ke atas tubuh Zayden dan menepuk-nepuknya dengan lembut.Zayden memang biasanya selalu bersikap dingin dan seperti orang dewasa. Namun, ketika berada di depan Valerio, dia seperti hewan peliharaan kecil. Merasakan pelukan Valerio, Zayden sangat senang, sampai hatinya mau meledak kegirangan."Papa!" Zayden tiba-tiba memiringkan kepalanya dan memperlihatkan deretan gigi putih, bersih dan rapinya kepada Valerio. Wajah kecilnya yang tampan dipenuhi dengan kebahagiaan.Dipanggil Papa oleh Zayden membuat Valerio terdiam sejenak dan emosinya menjadi rumit."Kamu panggil aku apa?""Papa." Zayden mengulangi, "Kalau Om nggak suka dipanggil Papa, Zayden nggak akan panggil Papa lagi. Panggil Om Valerio saja."Valerio menatap Zayden cukup lama. Ali
Di tempat Briella berada, restoran yang telah dipesan Nathan dengan hati-hati untuk malam ini adalah restoran barat paling mewah di Kota Tamar. Biaya tagihan di tempat ini mencapai tujuh digit untuk per orangnya. Nathan memang tidak pernah tanggung-tanggung soal biaya kalau mengajak Briella makan. Dia memahami selera makan Briella dan memesan makanan yang disukai Briella."Apa kamu kenal salah satu pegawai di Perusahaan Regulus?" Briella bertanya pada Nathan dan tatapan matanya tertuju pada meja Davira yang berada tak jauh dari mejanya.Tanpa menoleh kepada Briella, Nathan mengambil cangkir Briella yang sudah kosong dan menuangkan kopi untuknya."Perusahaanku dan Perusahaan Regulus akan bekerja sama nantinya. Elbert adalah manajer penjualan Perusahaan Regulus dan dia pernah mendekatiku untuk mendapatkan investasi. Jadi kami saling mengenal."Nathan menjelaskan dengan santai, lalu mendongak dan menatap Briella. "Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"Briella menyesap kopi di dalam gelasnya dan
Briella sedikit takut saat melihat kepanikan dalam reaksi Nathan.Tanpa sadar Briella menarik tangannya sendiri, menatap pria itu dengan tenang dan datar. Briella merasa ada yang tidak beres, intuisinya seakan memberitahunya kalau dia tidak boleh berurusan dengan Nathan.Namun, pria itu sudah menolongnya dan ibunya di saat kondisi terburuk mereka. Briella tidak mungkin jadi orang yang tidak tahu terima kasih."Nathan." Briella menjilat bibirnya dan mengangkat pandangannya. Ketenangan di dalam matanya memiliki kekuatan yang menenangkan. "Kamu adalah salah satu dari sedikit teman yang aku punya. Kalau lain kali kamu mengatakan apa yang barusan kamu katakan lagi, aku harus memilih untuk kehilanganmu sebagai seorang teman."Nathan mendengus dingin dan bibirnya tertarik membentuk seringai."Pada akhirnya tetap saja hanya ada Valerio yang ada di dalam hatimu." Tatapan Nathan dibumbui sedikit kebencian. "Briella, cepat atau lambat kamu harus membayar atas pilihan yang kamu ambil hari ini.""A
Briella masih tenggelam dalam keterkejutannya, tiba-tiba ada suara tidak asing terdengar dari belakang."Rio, kenapa kamu di sini?"Briella tidak menoleh dan sudah tahu siapa orang itu hanya dengan mendengar suaranya. Davira.Davira langsung memperlakukan Briella dan Zayden sebagai udara yang kasat mata. Dia berjalan mendekat dan duduk di samping Valerio."Rio, kamu ke mari mau menemuiku?" Davira menggandeng mesra lengan Valerio saat mengatakan itu, lalu menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Sikapnya sangat manja, seperti seorang gadis kecil yang sedang berbahagia.Briella memandangi pria dan wanita di depannya dan merasa kalau mereka berdua adalah pasangan yang serasi.Tidak ada pria yang bisa menolak sikap manja wanita, bukan? Briella tahu dengan sangat baik tentang hal ini. Selama lima tahun ini, begitu Valerio marah, Briella selalu bersikap manja kepadanya, menurunkan egonya dan membujuknya naik ke tempat tidur. Baru setelah itu amarah pria ini bisa mereda.Jadi, dia tahu kalau
Tatapan pria itu tertuju pada Elbert yang muncul entah dari mana. Dia pun bertanya dengan nada dingin, "Bukannya jam segini kamu harus lembur di kantor?"Valerio menatap Davira dengan tatapan yang lebih dingin lagi. "Kamu juga. Apa yang kamu lakukan di sini bukannya istirahat di rumah sakit?"Davira dan Elbert saling bertukar pandang. Wajah Elbert menunjukkan senyuman yang hampir bisa disebut seringai saat menatap Valerio."Pak Valerio, mungkin Anda salah paham. Saya memang sedang lembur."Valerio menjawab, "Elbert, mau main-main denganku?""Pak Valerio, mana mungkin saya berani!" Elbert mengeluarkan setumpuk dokumen dari tas kerjanya dan memberikannya kepada Valerio dengan kedua tangannya."Saya sudah membuat janji dengan Bu Davira untuk melakukan rekonsiliasi rekening hari ini. Ini semua tentang rekening perusahaan kita untuk kuartal ini."Tangan Elbert sedikit gemetar saat memegang dokumen-dokumen itu. Davira sudah memaki pria ini berkali-kali di dalam hatinya."Rio, akulah yang mem