Beberapa saat kemudian, pelayan menyajikan makan malam di atas meja makan. Makanan ini dibuat sesuai perintah Abimana, yang mana semuanya sesuai dengan selera Briella.Briella tahu kalau ini adalah cara Abimana memanjakannya. Semua makanan ini terlihat menggugah selera, jadi Briella mengeluarkan ponselnya untuk memfotonya, berniat mengunggahnya di Twitter.Abimana menatap gadis yang sedang serius mengambil foto itu dan berkata sambil tersenyum tipis, "Barusan Valerio telepon kalau dia ada urusan, jadi kita bisa makan dulu. Kebetulan sekali, saat dia datang nanti, aku nggak perlu makan dengan melihat wajah juteknya itu.""Oh, ya, Kek. Dia bilang mau ke pelelangan dulu." Briella berkata sambil membuka Twitter miliknya dan akan mengunggah fotonya. "Oh ya, Kakek. Aku sudah nggak bekerja di Perusahaan Regulus lagi. Apa yang dilakukan Pak Valerio bukanlah hal yang seharusnya menjadi tanggung jawabku."Briella mengatakan itu sambil memusatkan perhatiannya pada topik Twitter yang sedang ramai
Briella makan malam bersama Abimana dan mengeluarkan kartu untuk bermain poker dengannya.Ponsel di tangannya terus berdering, pesan pribadi di Twitter menunjukkan angka 99+ dan langsung meledak.Briella sedikit bingung. Karena penasaran, dia membuka pesan pribadi itu.'Apa hubunganmu dengan Valerio?''Kamu dan Davira memang mirip, tapi jangan pernah berpikir untuk merusak hubungan mereka.''Aku benci wanita simpanan! Tahu malu sedikit!'...Briella sedikit bingung dengan pesan-pesan pribadi ini, jadi langsung menutupnya dan kembali ke beranda untuk melihat apa yang terjadi.Ternyata Valerio me-retweet unggahan makanan yang baru saja Briella unggah.Dia menuliskan: 'Supnya enak, sisakan semangkuk untukku.'Briella yang dalam posisi terpojok pun bergerak cepat dan me-retweet unggahan Valerio dengan menambahkan tanggapan lain.'Aku meminta seseorang menyiapkan untukmu secara khusus. Kalau kamu mau, itu tergantung sikapmu. Aku sangat suka kalung Star of The Sea yang dilelang malam ini. Ka
Briella sedang menghitung uang yang dia dapatkan dan tidak menyadari kalau Valerio sudah kembali.Abimana menjatuhkan kartu yang sudah kalah di tangannya dan tertawa getir. "Valerio, kebetulan sekali kamu pulang. Lihatlah wanita curang ini. Dia benar-benar nggak tahu aturan dan menipuku saat main poker. Dia menghabiskan semua uangku."Valerio melepas jasnya dan memberikannya kepada pelayan. Dia berjalan dan duduk di samping Briella. Tatapannya terpaku pada wajah mungil Briella yang tersenyum bahagia, lalu menatap Abimana dan berkata dengan nada serius."Maaf ya, Kek. Ini salahku karena terlalu memanjakannya."Briella agak terkejut. "Eh, bukannya kamu pergi ke pelelangan amal? Kenapa cepat sekali selesainya?"Valerio membuka kancing kemeja kristalnya dan berdecak pelan.Briella melihat sekeliling dan tatapan matanya tertuju pada pintu masuk vila. Ke mana Davira?Valerio menggulung lengan kemejanya yang memperlihatkan lengannya yang indah. Dia mengocok kartu di depannya dan berkata denga
Mobil yang ditumpangi Valerio dan Briella keluar dari rumah Abimana dan melenggang di jalan raya.Briella memejamkan matanya dan bersandar pada pintu mobil. Dia memiringkan kepalanya dan pura-pura tidur.Dia dalam keadaan tidak sadar saat tubuhnya terasa berat karena Valerio menutupi tubuhnya dengan jas miliknya.Aroma samar parfum pria terasa memenuhi indra penciuman Briella, aroma khas yang hanya dimiliki oleh Valerio."Kakek bilang apa saja hari ini?"Valerio meminta Marco untuk mengecilkan suara musik di dalam mobil. Suasana yang tenang memudahkan mereka untuk mengobrol."Kakek sangat menantikan kamu memberinya cucu."Briella menoleh dan menghadap Valerio. Raut wajah Briella terlihat lelah."Gampang." Valerio mengamati perut Briella dengan saksama. "Bukannya sudah ada?"Briella tersenyum tipis. "Kakek bilang kalau aku mengandung anakmu, kamu harus menikah denganku."Valerio terdiam, tatapannya tertuju pada mata Briella yang hangat dan damai."Terus kamu jawab apa?""Nggak jawab apa
"Kalung ini sangat mahal. Berapa banyak uang yang kamu keluarkan untuk mendapatkannya?""Nggak mahal." Pria itu menghela napas dalam. "Dua ratus miliar.""Apa?" Briella terkejut. "Semahal itu? Aku ... aku nggak bisa menerimanya."Saat mengatakan itu, Briella sudah berniat untuk melepaskan kalung ini, tetapi Valerio menghentikannya."Kamu pakai saja kalungnya. Cantik."Briella agak terkejut dan menyentuh kalung itu. Jarang sekali Valerio memujinya. Kenapa rasanya pria ini sedikit aneh hari ini?"Kamu memberiku kalung ini, bagaimana dengan Nona Davira?""Terserah."Diam-diam Briella ingin tertawa dalam hati. Pria ini memang paling pandai memberikan jawaban asal."Apa kamu yakin mau memberikannya padaku?" Briella tersenyum jahil, "Ini kalung seharga dua ratus miliar, lho. Aku nggak punya uang untuk menggantimu."Valerio menatap wajah mungil Briella yang cantik dan bertanya dengan alis terangkat, "Bagaimana kalau kamu mengembalikannya dengan seluruh hidupmu?"Briella menghindari tatapan ma
"Aku memukulmu demi kebaikanmu sendiri."Setelah mengatakan itu, Briella menatap curiga pada Valerio dan Davira di depannya. Lalu, dia berjalan masuk ke dalam vila tanpa menoleh ke belakang."Rio, Briella memukulku. Kenapa kamu nggak menolongku?" Davira menangis, "Briella makin menjadi-jadi! Aku tunanganmu, kenapa malah dia yang bertingkah seperti tunanganmu? Bantu aku membalas perbuatannya! Kalau kamu nggak membantuku, aku akan pulang ke rumah lalu mengadu sama Mama Papa!"Valerio berkata dengan wajah tidak berdaya."Briella sedang hamil dan nggak bisa dikejutkan seperti itu. Kamu nggak boleh main-main sama dia."Davira mencibir, "Heh, bilang saja kalau kalian bersekongkol.""Davira, aku akan meminta Marco mengantarmu kembali ke rumah sakit. Aku sudah memenuhi permintaanmu dengan membawamu ke pelelangan hari ini. Jadi, aku harap kamu bisa melakukan apa yang aku perintahkan."Awalnya Valerio ingin pergi sendirian ke pelelangan hari ini. Namun, Davira membuat keributan di rumah sakit da
Elbert melepaskan topinya dan mengamati sekeliling dengan waspada."Hubungan kita nggak bisa diketahui oleh orang lain." Pria itu kembali melanjutkan, "Sayang, sudah lama sekali. Apa kamu nggak kangen? Nanti nggak usah ke rumah sakit. Kita ke hotel saja dan bersantai melepas penat?""Kenapa cuma itu saja yang kamu pikirkan setiap hari!" Davira merasa kesal dan menatap Elbert dengan tatapan remeh.Sekarang Davira makin menyesal karena sudah terjerat dengan Elbert. Elbert hanya salah satu anjing peliharaannya. Setelah menyelesaikan masalah Briella, Davira akan mendepak orang ini."Hal yang kuminta kamu selidiki, sudah sejauh mana perkembangannya?""Ini sangat kebetulan." Elbert mengaitkan bibirnya dan tersenyum. "Sepupuku juga masuk ke Taralay Property, departemen yang sama dengan Briella. Hari ini aku sudah bicara dengan sepupuku untuk mengacaukan pekerjaan Briella.""Sepupumu?" Davira menangkupkan tangan dan mengetuk-ngetukkan jari-jarinya ke lengannya. "Siapa namanya?""Kinan.""Dia b
Keesokan paginya, Briella mendengar ketukan di pintu dalam tidurnya. Suara Zayden terdengar dari luar kamar, "Mama, bangun. Hari ini Mama kerja, jangan sampai telat, ya."Briella mengucek matanya dan melihat jam, ternyata hari sudah agak siang. Dia pun turun dari tempat tidur dan membuka pintu kamarnya sambil menguap.Dia pikir hanya Zayden yang ada di luar, tetapi dia mendapati ada deretan orang yang berdiri di luar. Ada yang membawa sarapan dan ada yang membawa pakaian. Zayden sudah memakai seragam sekolahnya dan menggendong tas ranselnya."Pagi, Nona Briella!"Pak Rinto menyapa sambil tersenyum, "Pak Valerio mengingatkan kami kalau Nona Briella akan masuk kerja hari ini. Jadi, Pak Valerio meminta kami meladeni Nona dengan baik."Briella terkejut sampai sedikit ternganga saat menatap deretan orang di depannya."Aku cuma mau pergi kerja, kalian nggak perlu mengatur semuanya sampai seperti ini."Pak Rinto tersenyum senang. "Pak Valerio memerintahkan secara khusus kalau Nona harus sarap
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu