"Apa ... apa ibuku akan ...."Pria itu memotong sebelum Briella menyelesaikan perkataannya."Semuanya pasti akan baik-baik saja." Mendengar suara isak tangis Briella yang gemetar, pria di ujung telepon berbicara lagi, "Lala, jangan takut. Ada aku di sini."Briella melangkah masuk ke dalam lift, merasa sedikit lebih lega. "Nathan, terima kasih.""Nggak masalah. Pelan-pelan saja dan hati-hati di jalan.""Ya."Setelah menutup telepon, Briella baru menyadari selain dirinya, ternyata ada sepasang pria dan wanita di dalam lift.Orang itu adalah Valerio dan Davira.Briella mencoba menenangkan perasaannya dan menyapa kedua orang itu, "Pak Valerio, Bu Davira."Wajah Valerio terlihat dingin, tatapannya tertuju pada wajah kecil Briella yang pucat. Pria itu bisa melihat jejak air mata di sudut mata Briella.Valerio mengerutkan kening dan ingin mengatakan sesuatu, tetapi Davira tiba-tiba menggandeng lengannya.Dia tersenyum dan bertanya pada Briella, "Apa yang kamu telepon barusan itu pacarmu?"Bri
Briella selalu merasa Nathan sangat tertarik setiap kali dia membahas masalah pekerjaannya."Untuk sekarang aku cuma mau fokus sama pengobatan ibu. Nanti saja kita bahas yang lainnya."Nathan mengangguk. "Oke. Aku mau kembali bekerja dulu. Telepon kalau ada apa-apa.""Pak Nathan, terima kasih sudah repot-repot datang kemari. Aku antar sampai ke depan."Briella pun mengantar Nathan pergi. Ia baru pulang dari rumah sakit saat hari sudah malam.Di dapur, Zayden berdiri di atas bangku kecil, sedang memasak pangsit."Mama, makan malam hampir siap. Cuci tangan dulu baru makan."Zayden menyajikan pangsit ke piring dan menyiapkan peralatan makan di atas meja. Dia duduk sambil menatap Briella dengan penuh harap.Briella dan Zayden saling berhadapan. Dia melihat Zayden membelalakkan matanya. "Apa yang kamu lakukan?""Bukannya pas di kantor Mama bilang mau cerita tentang papa saat pulang?""Papamu ...." Briella menunduk dan mengambil mangkuk Zayden, lalu berkata pelan. "Dia sudah nggak ada.""Ngg
"Hari ini aku titip Zayden, ya? Aku harus ke kantor.""Eh, bukannya kamu sudah keluar?""Belum jadi. Aku masih harus ngurus bos menyebalkan, baru Valerio mengizinkanku keluar.""Jangan bilang Valerio nggak mau kamu keluar! Bukannya dia bisa bawa siapa saja buat ikut acara perjamuan kayak gitu? Apa harus kamu yang turun tangan?"Briella juga tidak berdaya. Dia sendiri tidak mengerti kenapa Valerio ingin dirinya yang mengurus masalah Pak Sony. Begitu teringat kejadian tidak menyenangkan saat perjamuan minum itu, Briella merasa jijik."Hari ini aku akan coba menanyakannya."Briella sedikit khawatir. Ibunya akan segera dipindahkan ke rumah sakit lain, jadi dia membutuhkan banyak uang. Sekarang, dia hanya bisa mengandalkan kompensasi perpisahan dari Valerio.Setelah sarapan, Briella pergi ke kantor.Saat turun dari bus, mobil Maybach milik Valerio melintas di depan mata Briella dan berhenti di depan kantor.Pintu di kursi samping kemudi terbuka dan Davira keluar lebih dulu, diikuti oleh Val
Setelah bertahun-tahun bekerja di dunia bisnis, Briella tahu kalau dia tidak boleh memancing permusuhan dengan pria. Karena pada akhirnya dia sendiri yang akan menderita.Dia melembutkan nada bicaranya, lalu menunduk dengan penampilan sedih."Pak Valerio, terima kasih sudah menjaga dan mengajari saya banyak hal selama ini. Kalau bukan karena Anda, mungkin saya sudah tidur di jalanan. Anda sudah mau tunangan, jadi tidak pantas kalau saya tetap bekerja di Perusahaan Regulus. Saya jadi terburu-buru dan membuat Pak Valerio salah paham."Valerio mengangkat alisnya. "Siapa yang bilang aku akan bertunangan?""Ini 'kan sudah jadi rahasia umum."Mata gelap Valerio menatap Briella, mencoba memperhatikan reaksinya.Valerio akan bertunangan dan Briella buru-buru pergi. Wanita ini seakan-akan takut membuat masalah."Pak Valerio, kalau begitu saya pergi dulu. Anda bisa menunggu di sini sebentar sebelum turun, terlalu banyak gosip di perusahaan."Briella melihat sekeliling dan turun dari atap dengan
Briella mengambilkan makanan untuk Zayden, mencoba membungkam mulutnya yang terus berbicara. "Nggak ada tapi-tapian. Makan!"Gita yang duduk di seberang meja memandangi ibu dan anak itu. Dia menjadi emosional.Briella telah menjalani terlalu banyak kesulitan dan tahu betapa sulitnya bekerja di luar sana. Jadi, dia bertekad untuk membesarkan putranya dengan baik. Dia ingin putranya belajar, mendapatkan pendidikan terbaik dan mendapatkan pekerjaan yang terhormat.Dia ingin menebus semua kesedihan yang pernah dia alami melalui putranya."Gita, ponselmu bunyi." Briella menunjuk ponsel Gita di atas meja yang layarnya menyala.Gita mengambil ponselnya. Begitu melihat identitas penelepon, dia mendongak dan berkata dengan tergagap pada Briella."Dia ... dia ... dia telepon lagi ...."Briella balik bertanya, "Valerio?""Ya. Apa yang harus aku lakukan? Angkat nggak?""Angkat saja. Kalau dia mau ketemu, bilang saja kamu nggak ada waktu. Lebih baik buang keinginannya buat ketemu Zayden."Gita memb
Briella mencoba menenangkan diri. Dia memikirkan siapa yang melakukan hal seperti itu.Ruang kantor presdir menjadi ramai karena semua orang membicarakan tentang siapa wanita yang ada di dalam foto itu.Ada orang yang langsung menebak kalau wanita itu adalah Briella. Karena pada kenyataannya, semua orang memang menggosipkan kalau Valerio dan Briella memiliki hubungan yang tidak jelas. Mereka menduga kalau sejak lama keduanya menjalin hubungan secara diam-diam."Bu Briella, orang di foto itu bukan kamu, 'kan?"Siska menatap Briella dan bertanya dengan sedikit khawatir.Briella tersadar dan balik bertanya dengan tenang, "Mereka semua bilang kalau orang itu aku?"Siska mengangguk. "Ya. Mereka bilang kalau wanita di foto itu kamu. Aku sampai berdebat dengan mereka. Mereka sudah merusak nama baikmu."Briella tersenyum. "Jangan pedulikan mereka. Ayo lanjut kerja saja."Melihat Briella sama sekali tidak panik, Siska pun bertanya dengan bingung, "Bu Briella, mereka sudah sejahat ini, kenapa ka
Briella mengira kalau masalah foto itu akan berlalu begitu saja. Kalaupun kebenaran dari foto itu terungkap, dia sudah meninggalkan perusahaan dan tidak bekerja di sini lagi.Namun, ternyata ini baru permulaan.Briella memiliki kebiasaan minum kopi. Setelah sibuk mengurus pekerjaannya, dia membawa cangkirnya ke pantri.Di sana ada beberapa wanita yang sedang mengobrol dan namanya disebut-sebut."Kemarin aku lihat Briella naik ke atap. Wanita di foto itu pasti dia.""Kalau memang benar begitu, berarti dia wanita simpanan, orang ketiga!""Siska, jauhi dia. Apa yang bisa kamu pelajari dari orang sepertinya! Bikin sial saja!"Briella berdiri diam dan mendengar Siska marah, "Kalian jangan bicara omong kosong tentang Bu Briella. Dia orang yang sangat baik. Lagi pula, apa kalian punya bukti kalau wanita di foto itu dia? Kalau nggak punya, jangan asal menuduh!"Sudut bibir Briella sedikit terangkat, tersenyum penuh makna.Dia memang sangat pintar dalam menilai seseorang. Siska jujur dan bisa d
Briella menyimpan ponselnya dan segera kembali ke kantor presdir.Benar saja. Ketika sudah dekat ruang kantor presdir, ada suara ribut-ribut yang terdengar.Banyak orang di luar ruangan yang mencoba mengintip ke dalam kantor Valerio, di mana samar-samar terdengar suara tangisan dari dalam."Siska, apa yang terjadi?""Bu Davira nangis di dalam. Dia bawa keluarganya kemari dan bilang kalau Pak Valerio selingkuh. Mereka meminta penjelasan."Di dalam, Davira menangis dan berteriak-teriak. Terdengar pula makian pria yang mengatakan hal yang tidak enak didengar.Briella yang mendengar itu pun menjadi cemas.Briella memikirkan situasi di mana seorang pria sombong seperti Valerio, dimarahi tetapi tidak mengatakan apa-apa. Bukan karena dia pengecut, tetapi karena dia sangat mencintai Davira. Jadi, dia bisa menerima semua hal yang dilakukan oleh keluarga Davira."Pak Valerio, aku tanya. Siapa wanita itu?""..."Pria itu makin marah, "Adikku sudah nggak sabar mau tunangan sama kamu, tapi kamu ter