Di dunia ini, cara yang Valerio lakukan kepada Briella tidak ada yang berhasil. Satu-satunya cara untuk merasa aman adalah dengan mengikuti kata hatinya yang sebenarnya dan mengikat wanita ini agar selalu di sisinya."Di mana Zayden?" Briella melihat sekeliling dan tidak menemukan keberadaan putranya."Apa hanya anak itu yang ada di pikiranmu?" Valerio basah kuyup. Sambil membuka kancing bajunya, dia berkata dengan jengkel, "Kamu melotot begitu karena ingin melampiaskan kekesalanmu?"Melampiaskan kekesalan mungkin tidak bisa dimengerti. Sulit membayangkan bagaimana kehidupan wanita ini kalau sampai jauh dari Valerio.Briella menjilat bibirnya, menarik lengan baju Valerio dan mengguncangnya seolah-olah dia sedang merajuk. "Zayden ke mana? Apa kamu menyembunyikannya? Pak Valerio yang baik hati, tolong temukan anak itu.""Jangan membahas anak itu lagi di depanku, setidaknya untuk saat ini. Aku nggak mau membahas dia denganmu."Briella menatap pria itu dengan sedikit jengkel. Namun, dia me
Briella melepaskan diri dari pelukan Valerio. Tubuh keduanya dalam keadaan basah kuyup."Pak Valerio, terima kasih sudah menyelamatkanku. Tapi, aku nggak akan mengubah pendapatku tentangmu. Apa pun yang aku perjuangkan, aku nggak akan mengubahnya karena alasan apa pun."Briella menghentikan perkataannya. Meskipun mulutnya mengatakan sesuatu yang memberi jarak, tetapi hatinya terasa hampa."Oh ya, jangan lupa cepat kembali dan ganti baju biar nggak masuk angin."Wajah Valerio tidak menunjukkan ekspresi apa pun dan menatap Briella dengan tatapan dingin. Sebenarnya Briella tahu apa yang diinginkan oleh pria ini, tetapi dia lebih memilih untuk mengubah topik pembicaraan."Apa posisimu di sini sebagai pelayan wanita?"Valerio menjadi tidak senang dan berdiri di depan Briella.Valerio tidak suka jika ada orang yang mengambil sikap superior di depannya, karena membuatnya merasa tidak nyaman."Bukan. Aku cuma khawatir. Kamu sudah menyelamatkanku, jadi kamu adalah penolongku.""Banyak sekali ya
Selain itu, seorang anak genius seperti Zayden, sepertinya ide-ide aneh dan gila yang ada di kepalanya berada di luar jangkauan orang pada umumnya. Jadi, Briella tidak pernah berhenti memuji putranya."Hanya saja, nak, ada berapa orang aliansi kita ini?"Zayden memberi isyarat senang dan menjawab sambil membusungkan dada, "Hanya kita berdua. Makin sedikit yang tahu akan makin baik.""Oh, begitu rupanya." Briella membungkuk dan mencubit pipi putranya yang masih seperti bayi. "Apa Mama boleh tanya, Kapten. Mama jadi pahlawan yang mana?""Hmm." Zayden mengusap dagunya dan berpikir sejenak, baru menjawab, "Mama bisa jadi apa pun yang Mama mau. Ingat, tujuan kita adalah menghancurkan musuh, kekuatan jahat, serta memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan!"Briella memandangi wajah kecil putranya yang tegang. Alis Zayden sangat mirip dengan pria yang ada di luar sana. Begitu melihat mata Zayden, dalam benak Briella muncul potongan kejadian yang terjadi saat itu. Kejadian di mana dia melompat ke
"Nak." Briella membelai kepala kecil Zayden. "Kenapa Zayden bilang Mama punya bayi kecil di dalam perut?""Tadi Om galak bilang kalau aku nggak boleh menendang perut Mama. Aku berpikir kalau di perut mama ada bayi kecil.""Om galak ...."Yang dimaksud Om galak pasti Valerio, bukan?"Mama, apa benar Mama punya bayi kecil? Dia laki-laki apa perempuan?""Kamu lebih suka adik perempuan apa laki-laki?""Hmm ...." Zayden memiringkan kepalanya dan berpikir. "Sebenarnya aku suka keduanya. Laki-laki atau perempuan nggak akan bisa mengubah fakta kalau aku adalah kakak mereka. Aku akan melindungi Mama dan bayi kecil. ""Sayang, kamu juga bayi kecil."Mata Briella terasa sedikit perih. Zayden selalu menjadi anak yang sangat pengertian. Namun, makin Zayden tahu banyak hal, Briella makin sedih dan mengutuk dirinya sendiri karena menjadi ibu yang tidak baik.Tidak bisa memberikan masa kecil yang riang kepada putranya adalah kelalaiannya sebagai seorang ibu."Mama sudah memberikan yang terbaik untukku
Valerio menyipitkan matanya dan memancarkan kesan sedingin es. Tatapannya menyapu Zayden dan mendarat di brankas yang dibukanya.Brankas ini menyimpan senjata dan amunisi, yang merupakan gudang senjata Valerio dan dilindungi oleh dua kode. Dia tidak terkejut saat mengetahui kalau Zayden bisa membukanya dengan mudah.Lagi pula, bocah ini bahkan bisa menerobos masuk ke perusahaannya yang dijaga oleh sistem yang ketat. Brangkas itu hal yang lebih remeh."Om juga suka main perang-perangan?" Zayden menyeringai konyol, memperlihatkan gigi putihnya yang lucu. Siapa pun yang melihatnya pasti tidak akan menyangka kalau bocah ini memiliki niat buruk.Anak kecil yang sangat lucu dan menggemaskan hanya ingin bermain-main. Hal buruk apa yang bisa anak itu lakukan?"Nak, kamu paham senjata?""Paham sedikit, tapi aku mempelajari semuanya di dalam game." Zayden melanjutkan, "Om, senjatamu sangat bagus, terutama yang ini. Aku nggak tahu nama senjata ini, tapi pasti harganya mahal.""Lumayan, lah." Vale
Zayden sangat menyedihkan, dipukuli di lantai sampai pantatnya terasa panas. Dia melihat ke arah kedua orang dewasa yang berdebat di depannya, lalu menyeka air matanya. Zayden merasa kalau Mama dan Om Valerio bukan sedang berdebat, melainkan sedang saling menggoda. Situasi ini sangat menyulitkannya yang seorang anak kecil. Dia seperti orang ketiga di antara dua orang yang sedang memadu asmara dan situasinya sangat canggung."Mama, mau peluk."Zayden yang saat ini diabaikan pun cemberut. Dia beranjak dari lantai dan langsung memeluk pinggang Briella. "Mama, pantat Zayden sakit dan panas, hiks ...."Briella merasa kesal sekaligus lucu. Dia menyeka keringat di dahi Zayden dan berniat untuk menggendong putranya agar putranya bisa lebih tenang. Namun, niatnya dihentikan oleh Valerio."Anak lima tahun sudah bukan anak kecil lagi. Kalau orang lain tahu kamu minta peluk sama Mamamu, kamu akan diremehkan."Setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama Zayden, Valerio merasa kalau Zayden mema
Melihat raut wajah anaknya yang sedih, hati Briella makin terasa sesak. Dia memeluk Zayden dan menciumnya beberapa kali. "Zayden, kamu nggak perlu menyalahkan diri sendiri. Om Valerio juga salah. Mulai sekarang, jangan sembarangan menyentuh barang orang lain. Kamu mengerti?""Hmm!" Zayden yang seperti ini terlihat sangat patuh. Di satu sisi yang tidak diketahui oleh mereka, matanya yang gelap bersinar dengan cahaya licik.Ya. Ini semua hanyalah jebakan yang dia buat.Laki-laki sialan! Rasakan kehebatan anak kecil ini! Lihat saja apa kamu masih berani memukul pantatku lagi!Dalam hati, Zayden merasa puas dengan apa yang sudah dia lakukan."Mama, Om Valerio, kalau begitu aku ke kamar dulu buat ngerjain PR." Zayden memiringkan kepalanya dan melambaikan tangan pada keduanya. "Kalian jangan bertengkar, nanti aku sedih."Makin Zayden bersikap pengertian, hati Briella makin terasa tidak nyaman. Dalam hati, dia hanya bisa melimpahkan semua kesalahan ini pada Valerio, si pemicu masalah.Kalau s
"Aku sudah bicara dengan kepala sekolah Scarlas School, jadi sore ini kamu bisa langsung membawa Zayden ke sana." Valerio mengangkat pergelangan tangannya dan melihat waktu. "Aku nggak bisa menemani kalian."Briella tahu kalau pria itu sedang terburu-buru. Beberapa jam yang lalu pria ini mengatakan akan pergi bersama mereka untuk melihat sekolah. Sekarang, dia meminta Briella mengantar Zayden ke sana. Mungkin ada sesuatu yang lebih penting yang harus dilakukan Valerio ketimbang menemani mereka ke sekolah."Ya, aku mengerti."Valerio mengangguk dan berjalan ke arah lemari pakaian dan memilih setelan jas berwarna biru tua. Dia menoleh ke arah Briella, lalu mengatakan, "Aku punya bagian di dalam dewan sekolah. Jadi, saat kamu sampai di sana, kamu bisa langsung melamar sebagai ketua komite orang tua murid. Dengan begini, kamu akan lebih mudah dalam mengawasi tingkah laku Zayden di sekolah.""Ya."Valerio mengeluarkan pakaian dari dalam lemari dan melihat wajah Briella yang tidak menunjukka