Januari 2017
Hujan tak pernah jemu mengguyur tanah Jakarta sejak pagi. Menambah dingin hawa di sekitarku. Sesekali kuelus kening yang lebam karena sebuah tonjokan, terasa sakit dan ngilu. Saat aku melihatnya di kaca, ada bercak kemerahan di sana. Pasti bekas lemparan botol kaca parfum.
Namun, lagi-lagi aku diam dan menyerah. Sekarang bahkan hanya bisa menatap bulir air di kaca jendela kamar dengan perasaan kosong. Terasa sudah mati rasa, karena luka ini bukan sekali dua kali mampir. Berkali-kali sudah.
Kutundukkan kepala ke atas meja belajar, terasa berat dan letih. Sebab baru menangis hampir setengah jam karena luka batin. Ditambah pukulan yang cukup keras tadi membuatku kesakitan. Sesekali menyesap kenyataan bahwa aku baru saja mengalami kesakitan lagi dari orang yang sama. Darinya, ibu kandungku sendiri.
Brak!
Suara pintu yang terbuka kasar kemudian menghantam tembok. Aku melirik tipis, langkah kaki itu cepat dipacu. Derapnya cepat menuju posisiku duduk. Lantas kupejamkan mata, tatkala tarikan tangan kuat itu mendarat di rambutku.
“Aw, sakit, Bu!” rintihku kesakitan karena ibu menjambak rambutku.
Rambutku dijambak dengan sekuat tenaga. Lantas ditariknya aku dan dibanting ke kasur. Lalu, dengan membabi buta ibu membuka lemari pakaian dan melempar barisan pertama isinya. Melempar tas di bagian bawah dan memasukkan bajuku dengan kasar.
“Pergi kamu! Aku nggak sudi lihat wajahmu!” usir kasar ibu dengan mata membara.
Kutahan sakit dan tangisan, “kenapa Ibu nggak percaya padaku? Aku beneran lihat mbak Vanya pakai uang sekolah buat beli baju,” uraiku jujur dengan suara bergetar.
Sebuah tendangan mendarat di kaki kecilku. “Diam kamu anak durhaka! Terus saja kamu tuduh Mbakmu, ya! Kamu iri sama dia, ‘kan?” tuding Ibu dengan mata sinis.
Kukibaskan kedua tangan di depan dada sebagai tanda menolak. “Enggak, Bu, sumpah!” aku menggeleng kuat sambil mendesis kesakitan.
Mata Ibu makin menyala. “Kamu memang pantas diginikan!” Ibu menampar pipiku keras, sakit sekali. “Enak saja memfitnah kakakmu supaya Ibu benci dia. Dasar tukang adu domba kamu, ya! Kecil-kecil brengsek!” kutuknya sambil mendorongku ke lantai.
Aku terjatuh cukup keras, lalu menangis tergugu. Hanya bisa terdiam dan pasrah. Kalah tenaga, kalah omongan, dan takut dosa. Aku takut sekali pada Ibu
Tak selesai sampai di situ. Dengan mendesis dan membabi buta, Ibu melempar semua botol bedak dan teman-temannya ke badan ringkihku, mengenai tepat di muka dan kepala. Berulang-ulang dia mengutukku, “anak setan, anak iblis, durhaka!” dan lain sebagainya.
Sakitnya berlapis-lapis, sakit hati dan raga.
Sampai sebuah suara datang dari ambang pintu. Biasalah pembelaku datang terlambat. “Ibu!” pecah suara Mbak Vanya dari ambang pintu lantas mendatangi kami. “Jangan sakitin Adik, Bu. Benar katanya, aku pakai uang untuk beli baju olahraga. Bukan untuk belikan Adik,” lerai Mbak Vanya dengan mata penuh tangisan sambil berlutut pada Ibu.
Ibu memapahnya berdiri dan pandangan itu … dibentuk penuh sayang. “Vanya, jangan percaya sama anak satu ini! Dia ini anak durhaka, suka bohong! Dia ini banyak dosa, jangan percaya adikmu!” balas Ibu tanpa ampun sambil menunjuk-nunjuk wajahku.
Kuremas tanganku kuat-kuat karena sudah tak tahan. Aku menatap ibu tajam. “Berhenti, Bu! Berhenti bilang saya anak durhaka! Jangan sakiti saya lagi, sakit, Bu …!” lawanku menguatkan suara.
Ibu melotot tajam padaku, lantas mendatangiku lagi, “diam kamu! Mulutmu yang suka bohong ini pantas dihukum!” Ibu meremas mulutku hingga panas dan merah.
Ibu lalu menarikku ke dapur. Mendudukkanku secara paksa di depan kulkas. Aku berusaha berontak, tapi tak kuasa. Tenaganya terlalu kuat karena amarah. Sehingga aku hanya bisa pasrah saat Ibu meremas cabai merah di mulutku. Pedas, panas, dan … sakit.
Aku hanya bisa menangis.
“Sekali lagi kamu bicara, pergi dari rumah ini! Bawa semua barangmu! Aku nggak sudi punya anak sepertimu!” ancam Ibu sambil berlalu.
Kutatap punggung wanita yang kupanggil ibu itu semakin jauh. Smentara itu, aku kembali tergugu, meresapi suara tangisku yang menderu pelan. Semakin ketakutan karena ibu kembali ke dapur dan melempar setumpuk koran. Mungkin dia merasa jengah dengan tangis kesakitanku. Mungkin dia juga takut kalau tangisanku didengar tetangga kanan kiri. Biasalah, menjaga nama baik di depan orang asing adalah hobi ibuku.
Sementara itu, Mbak Vanya tiba-tiba menyusulku ke dapur. Anak kesayangan ibu ini hanya bisa memelukku. Sama dalam tangis. Namun, tak sesakit aku sebab dia adalah kesayangan Ibu.
Perkenalkan, namaku Shanala Arunika, usia tujuh belas tahun. Aku seorang korban KDRT ibu kandungku sendiri sejak usia lima tahun. Dan inilah ceritaku ….
---
Suatu Hari yang Hujan di 2018, Tanah Jakarta.
Mataku memandang dari kejauhan rumah bernuansa putih dengan pagar yang tinggi. Dari balik payung kuning, hatiku sedang tak karuan. Aku tidak seperti manusia lain yang biasanya pulang ke rumah dengan hati bahagia hendak melepas letih. Justru hatiku sudah letih karena memikirkan seribu cara supaya tak diamuk ibu.
Rumah adalah tempat menyenangkan bagi jiwa-jiwa lelah untuk pulang, tapi tidak berlaku untukku.
Hari ini aku lulus SMA. Tawa banggaku ke mana-mana karena peringkat satu paralel. Nilaiku bagus dan berharap bisa untuk modal meneruskan kuliah. Inginku kuliah ke kedokteran seperti Mbak Vanya, tapi terlalu mimpi. Ibu jelas tidak merestuiku.
Setengah hati ingin mengatakan pencapaian terbesarku ini. Namun, semua terganjal ketakutan lain akan tidak direstuinya mimpi-mimpiku. Pun rasa-rasanya juara macam ini biasa saja bagi ibuku. Prestasiku tak ubahnya seperti bukti aku tlah menghabiskan banyak uang untuk sekolah.
Tak masalah, aku tetap punya mimpi yang tinggi. Mungkin saja mimpi itu menjadi nyata. Mimpi saja ‘kan tidak dilarang. Sah-sah saja kugantungkan asa setinggi bintang di langit. Siapa tahu kalau jadi orang sukses, ibu tak lagi membenciku.
Kakiku melangkah ragu saat membuka pintu pagar. Antara hendak masuk atau tidak. Maka kuputuskan untuk masuk saja. Dengan pelan kuputar kenop pintu hingga terbuka, tidak dikunci. Sambil celingukan aku mengeringkan badan sebelum masuk rumah, sebab kalau basah pasti ibu marah.
Setelah dirasa layak masuk rumah, aku kembali mengedarkan mata ke sekeliling. Suasana lengang, entah, mungkin ibu sedang tidur siang. Tanpa mengucap salam, aku langsung masuk ke dapur. Tenggorokanku amat kering karena terlalu banyak tertawa bersama teman-teman saat perayaan kelulusan tadi. Tenang, aku tidak mencoreti bajuku kok. Sudah diwanti-wanti sama ibu sejak masuk SMA dulu.
Prang!
Suara benda pecah membuatku menoleh. Gelas langsung kutaruh pelan di atas meja. Baru saja aku pulang sekolah dan ternyata disambut oleh sebuah piring beling yang dilempar di dekat kakiku. Tentu aku langsung terperanjat kaget saat melihat pecahan-pecahan benda tajam itu. Apalagi salah satunya dekat dengan telapak kakiku, hampir saja menggores.
Makin kaget saat Ibu mendatangiku dengan mata menyala, beringas penuh amarah. Derap kakinya cepat seperti sedang bersepatu roda. Tangannya terkepal diremas berulang-ulang dengan mulut bersiap menelurkan rutukan. Benar saja, aku dijatuhkannya ke dekat beling itu. Telapak tanganku menggores pecahan itu dan berdarah. Mulutku langsung meringis kesakitan.
“Apa sih, Bu?” tanyaku bingung sesekali mendesis kesakitan karena beling berhasil melukaiku.
Ibu mendorong kepalaku dengan telunjuk. “Kamu, dasar kamu anak durhaka! Mau sampai kapan kamu bikin ibumu ini marah, hah? Aku gak sudi punya anak macam kamu!” ujar sang ibu keras sambil melayangkan tendangan pada tangan lebamku.
Lebam dari luka – bekas dipukul ibu dengan cobek batu minggu lalu – belum sembuh.
Tiba-tiba, Mbak Vanya keluar dari kamar, menyongsongku dan Ibu yang sedang bersitegang. Wajahnya penuh selidik. “Ya Allah, ada apa lagi sih, Bu?” Ibu hanya diam.
Aku berusaha bangkit dan tidak lepas menatap ibu dengan tak percaya. “Ada apa, Bu? Bisakah kita bicara baik-baik?” tanyaku sabar sambil menatap aliran darah di telapak tangan. Sepertinya luka cukup dalam.
Mbak Vanya menggangguk sabar dan menyentuh lengan Ibu. “Benar, Bu. Ada apa?” Mbak Vanya berusaha memisah tangan Ibu dari badanku.
Pandangan tajam Ibu belum tumpul. Masih saja berusaha menusukku dengan matanya itu. “Buat apa kamu daftar ke kedokteran, hah! Kamu tahu biayanya mahal! Ibu cuma sanggup menyekolahkan kakakmu!” bentak Ibu tajam.
“Nala hanya coba-coba, Bu. Siapa tahu rezeki,” aku menghela napas yang sesak karena ketakutan.
Kenapa mimpi indahku mendadak rusak karena ketahuan ibu? Bagaimana bisa aku membiarkan ibu mencium wanginya impian yang seharusnya tersimpan? Seharusnya aku berusaha sendiri tanpa merepotkan ibu. Namun, semua tak berlaku saat surat panggilan wawancara dari kampus itu datang ke rumah dengan manisnya tanpa sepengetahuanku.
Nahas, dibaca ibu dan sekarang beliau marah besar padaku.
Ibu kembali mendorong pelipisku hingga pusing. “Sudah Ibu bilang, bekerja saja sana! Tidak usah kuliah kamu! Mbakmu saja belum mentas, kamu udah masuk!” Suaranya meninggi penuh emosi.
“Iya Bu, sabar. Nala akan cari kerja sambil kuliah, tapi jangan menyakiti Nala seperti ini,” pintaku memelas. Kupandang ibu meminta iba.
Ibu makin emosi dengan menjewer telingaku. “Heh, denger ya, kamu mau jadi durhaka dengan membebani Ibu terus-terusan, iya! Jangan pikirkan apapun selain kerja dan kerja. Bantu Ibu! Bantu Mbakmu, paham!” tegasnya seperti jarum tajam yang menusuk gendang telinga.
Suara ibu seperti memantul di dalam telinga dan tembus ke otak.
Mbak Vanya kembali meletakkan badannya di antara aku dan ibu. Wajahnya terlihat sedih mirip aku. “Bu, Vanya bisa cari beasiswa. Biarlah Nala …,” bujuk Mbak Vanya pias.
Ibu menatap Mbak Vanya tajam, tapi kemudian mengendur menjadi lebih sayang. Alis matanya berkerut penuh sesal karena menghardik kesayangannya. “Tidak, Vanya! Kamu yang kuliah, adikmu cukup kerja,” putus Ibu seraya menatapku sinis. “Lagian otaknya mana mampu masuk kedokteran sepertimu. Dia anak durhaka terkutuk, ‘kan?” sindirnya.
Hatiku tak dapat tertahan lagi. Kali ini sudah waktunya aku melawan, maka kubalas tatapan ibu dengan mendelik. “Hentikan, Bu! Setop sakiti saya lagi! Saya bukan anak durhaka!” pekikku dengan suara keras, tak ada lembutnya lagi.
Namun, Ibu tak mengendurkan amarahnya. Kali ini dia menarik rambut yang kukuncir dengan kasar. “Kurang ajar kamu, ya! Berani sekali kamu melawan Ibu! Lantas apa namanya seorang anak yang selalu melawan ibunya? Gak bisa diatur. Kamu itu punya apa? Apa kehebatanmu sampai kamu melawan ibumu!” ujar sang ibu emosi.
Aku berusaha menoleh ke wajahnya meski rambut ini sakitnya bukan main. “Bu, tolong ibu berpikir sejenak, mengapa saya bisa melawan ibu. Di mata ibu saya tidak pernah benar, ‘kan? Ibu selalu menyalahkan, menghukum, menyakiti, menendang, dan memukul saya! Apa pun perkataan saya tidak pernah ibu anggap. Saya juga ingin didengarkan Bu. Itulah yang membuat saya melawan Ibu selama ini” curahku lirih sesekali mendesis kesakitan.
Mungkin kalimatku berhasil mengaduk emosinya makin kalut, lalu aku pun ditarik duduk di lantai. Mata tajamnya kemudian makin menghakimiku. Kutukan demi kutukan digelontorkan dari mulut yang pernah mengajariku bicara itu.
“Apa kamu bilang? Jadi pikirmu aku ini ibu yang durhaka gitu? Goblok kamu!” ujar Ibu sambil mendorong pelipisku lagi.
Aku terdiam sampai Ibu mengoceh lagi. “Kamu itu susah dibilangi, nurutmu cuma sama bapakmu yang nggak pernah pulang itu! Kamu itu nggak kayak kakakmu yang hebat, nurut sama ibu, sayang sama ibu. Kakakmu yang bisa masuk fakultas kedokteran. Calon dokter bedah yang hebat. Bukan kayak kamu itu. Asal kamu tahu ya, kamu gak bisa masuk fakultas kedokteran juga karena kamu bodoh, suka melawan ibu, kualat kamu!” ujar Ibu makin keras dan membuatku makin geram.
Aku tak bisa tinggal diam. Kesabaran yang sudah kutahan sejak remaja semakin hilang.
Aku menggeleng kuat dengan air mata berleleran. “Nggak, Bu! Berhenti bilang saya durhaka. Saya itu cuma anak hasil didikan orang tua termasuk Ibu. Cukup sudah Ibu selalu menyakiti saya. Semua tendangan, pukulan, dan hinaan ini akan saya ingat sampai mati, Bu!” Kutatap Ibu dengan penuh emosi sambil meremas lantai dan itu tidak berguna.
“Oh, baguslah. Mati saja sana. Dasar anak durhaka, dungu, tak berguna! Pergi saja sana ke neraka,” ujar ibu dengan suara tinggi sambil melayangkan tinjuan keras ke tubuh ringkihku.
Mbak Vanya tak sanggup lagi melerai kami. Dia hanya menangis sambil memandangiku. Panggilan lembutnya tak bisa menahanku untuk berlari ke kamar, mengemasi semua barang dalam satu tas yang telah lama kusiapkan. Kemudian mengangkat tas besar dan kecil untuk segera angkat kaki dari rumah ini dengan langkah gontai. Keputusanku sudah bulat, ingin pergi dari sini. Tinggal menunggu waktu saja pikirku, dan mungkin sekarang telah tiba.
Aku tak ingin mati sia-sia atau jadi gila menghadapi kelakuan ibu yang makin tak masuk akal setiap harinya.
Tangan Mbak Vanya menahanku saat kaki ini sampai di beranda rumah. “Dik, jangan pergi! Kamu mau pergi ke mana?” tahan Mbak Vanya dengan tangisan sendu.
Kusentuh lengan kecilnya juga dengan tangisan sesak. “Mbak, ini bukan tempatku lagi.”
Ibu datang dari dalam tanpa wajah sesal. Tangan kuatnya itu memisahkan tangan mbak Vanya dari tubuhku. “Biar saja, Nak! Biar anak terkutuk ini pergi! Ibu menyesal pernah melahirkan dia!”
Mata seorang ibu yang katanya lembut itu sama sekali tak pernah kusaksikan dari mata Ibu. Dari semenjak aku mengenal bahwa dia adalah ibuku, perlakuan seperti inilah yang kudapat setiap harinya. Maka tak ada keraguan lagi pergi dari tempat ini.
Dengan cepat kutegakkan lagi badanku. “Terima kasih telah membuat status bagi Nala, Bu. Mulai sekarang Nala pergi!” Kupandang Ibu dengan pongah.
Ibu makin marah. “Pergi sana! Aku nggak peduli. Mau kamu diperkosa bajingan di luar sana atau apa, bukan urusanku!” teriaknya menjadi-jadi.
“Ibu …!” cegah Mbak Vanya tidak kuasa mendengar kutukan mengerikan itu.
Tak menunggu waktu lama lagi, aku segera berbalik badan dan melangkah ke luar. Tak peduli hari sedang hujan atau petir seperti sekarang, alam lebih bisa memelukku. Ia lebih bisa menerimaku dibanding rumah ini.
“Tuhan, kuatkan aku …,” gumamku lirih sekali sambil mengangkat benda-benda berat itu.
“Bu! Jangan seperti itu pada adikku! Jangan, Bu! Nala masih anak Ibu …,” Mbak Vanya masih berusaha membujuk Ibu.
“Sudah bukan, Nak. Udahlah, Ibu nggak rugi kehilangan dia!” putus Ibu tanpa menyesal. Nada suaranya ringan sekali.
Tanpa pikir dua tiga kali, kuangkat kaki dari rumah ini. Rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang, nyatanya tidak bagiku. Rumah adalah tempat penyiksaan, mirip rumah jagal.
Mbak Vanya masih mengekoriku meski dirantau hujan. Tangis menyayat calon dokter ini pun tak mampu menahanku. “Dik, jangan pergi, ya? Mbak sama siapa, Dik?”
Aku menghentikan langkah sejenak dan memandangnya hancur. “Ini bukan rumahku lagi, Mbak. Udah lama aku ingin pergi,” curahku sembari meminum air hujan yang deras.
Mbak Vanya menahan kedua lenganku.“Kalian cuma saling emosi saja. Pikirkan lagi, ya?” bujuknya.
Kutatap Mbak Vanya, berpandangan dalam rintikan hujan deras. “Emosi? Sejak kapan Ibu nggak emosi sama aku, Mbak?” sindirku.
Kutunjuk dada dengan kuat. “Sejak aku mengenal dunia, Ibu tak pernah sekali pun lembut padaku. Buat apa aku hidup bersama Ibu, kalau aku cuma beban? Delapan belas tahun aku berusaha jadi anak yang baik bagi ibu, nyatanya apa?” tanyaku menantangnya.
Mbak Vanya hanya menatapku. Mulut ini tak ada hentinya membeo. “Nggak berguna, Mbak. Aku tetaplah pelampiasan ibu, tak ubah sebuah samsak,” pungkasku.
Dia melepas tangannya sambil menunduk. Pundaknya naik turun karena napasnya terlalu sesak. Mbak Vanya kemudian memandangku makin iba. “Tunggu bentar aja, Mbak ambil P3K. Mbak obatin lukamu dulu, ya?” pintanya sambil membelai keningku yang lebam serta tanganku yang darahnya makin deras akibat pecahan beling tadi.
Aku menggeleng dan menunjuk dada. “Luka yang ini mudah sembuhnya, yang ini tidak, Mbak!”
“Aku pergi,” pungkasku pelan sambil meninggalkannya yang masih terdiam.
Langkahku makin jauh dari kakak semata wayangku ini. Anak penuh kasih sayang seperti dia mana tahu rasanya di posisiku. Buktinya, ada seseorang tak rela melihatnya dirantau hujan meskipun aku ada di sini. Aku sudah bak makhluk tidak kasatmata.
“Vanya, masuklah! Nanti kamu sakit kalau kehujanan.”
Adalah kata terakhir yang kudengar dari mulut manis Ibu pada Mbak Vanya. Teramat sayang Ibu padanya, hingga tak ada yang perlu kukhawatirkan lagi. Ibu dan mbak Vanya akan tetap hidup dan baik-baik saja dengan atau tanpa aku. Bagiku, hidup di jalanan mungkin lebih baik daripada di rumah bagus yang tak nyaman sama sekali.
---
Berbekal sisa uang tabungan di dompet yang tinggal dua ratus ribu, aku berjalan menyusuri kota. Berharap hujan reda karena tubuhku mulai dingin, tanpa payung. Sesekali berteduh di bawah pohon rindang dan berdoa supaya tak ada petir yang menyambar.
Memang, aku pernah ingin mengakhiri hidup dengan menegak obat nyamuk. Mungkin Ibu akan berhenti menyiksaku dan iba. Namun, urung karena takut masih dosa. Sampai kini, aku hidup berbekal rangkaian semangat yang sekeping-keping.
Kutatap kendaraan yang lalu lalang dengan mata buram karena hujan terlalu deras mengguyur. Dari sekian banyak mobil, tak ada satu pun yang kenal denganku. Tak ada yang menyelamatkanku dari mimpi buruk ini. Yah, kini aku sendirian di dunia ini. Kurasa itu, sampai sebuah sentuhan mengembalikan ingatanku ke dunia.
“Nala!” Sebuah suara lembut mampir ke telingaku. Payung itu menaungiku dengan erat.
“Jihan?” balasku sambil tersenyum setelah menoleh lemah.
Aku ingat masih punya satu teman yang baik. Dia sahabatku satu-satunya bernama Jihan. Wajahnya sangat cemas saat ini.
“Ya Tuhan!” pekiknya cemas sambil meneliti wajah dan tanganku. “Lukamu parah sekali, Na! Ayo kita ke rumah sakit!” ajaknya cepat-cepat.
Aku menggeleng. “Aku nggak apa-apa, Han. Udahlah, nggak apa-apa,” tolakku kuat-kuat sambil memegang kedua tangannya dengan tanganku yang membeku.
Dia menggeleng kuat, apalagi setelah merasakan betapa dinginnya badanku saat ini. “Ini nggak bisa dibiarin lagi, Na! Udah masuk ke penganiayaan fisik, kamu harus lapor polisi!” tegasnya emosi.
“Nggak mungkin aku laporin ibuku sendiri,” ucapku lirih sambil memandangnya nanar.
Jihan terdiam dan tak bisa berkomentar apa pun lagi.
Jihan menghela napasnya menjadi lebih lega. “Ya udah, sekarang kamu ikut aku aja, ya! Meskipun kamar kosku kecil, tapi cukup kok buat kita.” Dia menggandengku erat dan merampas tas besar dari tanganku.
Aku memandangnya hangat dengan senyum samar. “Badanku basah lho, Han. Lagian kamu kok bisa menemukanku, terbaik memang!” candaku masih berusaha ceria.
Jihan memandangku iba. “Mana mungkin aku biarin kamu kehujanan, Na. Kamu temanku satu-satunya,” ungkapnya sambil merangkulku.
Kami berbalas senyum. Berjalan pelan menuju kos-kosannya yang tak jauh dari tempat berteduh tadi sambil melempar candaan bernada sedih. Menata pikiran sembari menatap langit yang makin gelap.
Mulai detik ini, hidupku akan dimulai dari nol. Dengan melangkah di atas kakiku sendiri. Aku pasti bisa, yakin bisa hidup meski tanpa dukungan siapa-siapa. Aku bisa kok kuat, masih ada sisa semangatku di sudut terdalam.
“Sakit?” tanya Jihan karena aku mendesis beberapa kali.
Sesampainya di kos Jihan, aku langsung mandi dan berganti pakaian. Jihan memberiku teh hangat untuk sekedar mengganjal perut dan mengusir angin yang masuk. Tugasnya belum selesai, sekarang dia sedang mengobati lukaku dengan obat merah dan alat seadanya.
Aku tersenyum kosong. “Sakitnya nggak seberapa dibanding hatiku, Han,” jawabku datar tanpa melihat wajahnya.
Jihan membelai rambutku lembut. “Sudahlah, lupakan semua ini, ya? Sekarang kamu udah bebas, mau kuliah atau bekerja, mari kita lakukan bersama, hem?” tekadnya sabar.
Aku menatapnya bak ayam sakit. “Aku nggak tahu mau apa lagi, Han. Aku takut, kayaknya aku nggak bisa jadi manusia yang berguna,” ucapku putus asa.
“Nala, kamu bicara apa sih?” tegurnya tak suka. “Kamu harusnya bersyukur bisa keluar dari rumah itu. Nggak ada yang nyakitin kamu lagi,” ucapnya yakin sambil menepuk lenganku kuat.
Aku menatap Jihan dengan buram. “Kalau aku nggak ada, siapa yang bersihkan rumah? Ibu suka sakit punggung kalau kecapaian. Siapa yang nyuci piring? Tangan ibuku gampang pecah-pecah. Siapa yang nyuci baju? Ibu lebih suka bajunya dicuci pakai tangan,” racauku kacau seperti orang gila kambuh.
“Nala!” Jihan menangis dengan suara keras. “Kamu kenapa sih? Hatimu dari apa sih? Berhentilah mengkhawatirkan orang yang menyakitimu! Kamu harus mulai memikirkan dirimu sendiri!” suruhnya sakit hati.
Jihan kemudian menunjuk kening, tangan, kaki, dan telapak tanganku dengan gemas. “Kamu lihat semua ini! Apa kamu nggak kasihan lihat tubuhmu? Nala … sadarlah ….”
Aku menatapnya dengan alis berkerut dan tatapan kacau. “Tapi aku masih sayang ibuku, Han. Apa aku kembali saja ke rumah itu?” ujarku melantur.
“Nalaaa!” Tangis Jihan makin seru, dia memelukku rapuh.
“Aku nggak akan biarin kamu kembali ke sana lagi!” pungkasnya lirih di dekat telingaku. Dia makin rapat memeluk tubuh kurusku.
Ada yang salah dari kalimatku?
Sesakit apa pun luka yang ditoreh Ibu, seorang anak akan selalu menyayangi ibunya.
***
“Bu … bukain pintunya … Nala takut petir,” rintihku sambil mengetuki kaca jendela. Aku sedang berada di luar rumah. Memandang ke dalam rumah melalui kaca jendela kamar. Suara tangisku kalah dengan suara air hujan yang menimpa genting. Kemudian petir menggelegar dan berhasil menakutiku lebih dalam. Lagi, kuketuk kaca lagi. Berharap ibu luluh. “Bu … tolong, Bu,” pintaku kelu sambil memandang dress bunga-bunga di badan – baju kesukaan saat aku masih duduk di kelas 1 SD. Berhasil. Ibu mendatangiku dengan langkah kuat. Meski wajahnya masih penuh marah, tapi kuyakin akan dibukakan pintu dan diizinkan masuk. Mana rela mendengar tangisan ketakutanku. Namun, ternyata …. “Diam di situ kamu! Renungi kesalahanmu!” bentak Ibu sambil memelototiku dari balik kaca. Kupandang wajah Ibu yang cantik dengan memelas. “Takut, Bu … bukain! Nala janji nggak nakal lagi. Nala nggak akan minta kuenya Mba
Sebuah ruang gelap terfokus pada nyala lampu gantung yang terang, aku sedang melihat seorang anak perempuan berkuncir pita merah sedang duduk di depan ibunya. Wajah si ibu tidak ramah, cenderung kejam dengan satu alis yang naik dan mulut mengerucut tajam. Padahal wajah si ibu bisa berubah sehangat sup ayam yang dia makan saat menghadapi gadis berambut pendek di sebelahnya. Bahkan si ibu menyuapi gadis berambut pendek itu dengan wajah penuh syukur. Kontras saat matanya kembali berkontak dengan si gadis berkuncir pita merah, langsung mencuram layaknya tebing. Ibu itu tampak benci gadis berkuncir merah, sayang pada gadis berambut pendek. Si ibu selalu membedakan keduanya berdasarkan standar absurd buatan dirinya sendiri. Entah itu apa, yang jelas si ibu tak ada baik-baiknya pada gadis berkuncir pita merah.
Dulu, setiap hari adalah hari yang buruk bagiku. Kenapa, sebab selalu menangis saat hari itu. Awalnya aku tidak mengerti buruk itu apa, sampai pada rasa sakit di badan yang memancing tangisku. Baru kusadari itulah rasa sakit, rasanya buruk sekali hingga membuatku takut. Bahkan, untuk tidur saja aku takut – ibu nanti datang ke mimpiku. Setiap kali bapak pergi bekerja, kejadian buruk itu langsung dimulai. Ibu menjadi sosok yang sangat berbeda bila hanya ada aku dan mbak Vanya. Baru saja aku senang bermain boneka, datang ibu yang marah karena aku terlalu berisik. Baru saja aku senang bermain masak-masakan, datang ibu yang marah dan membuang semua mainanku. Tak lupa beberapa buah cubitan mendarat di kulitku. Berakhir dengan aku yang menangis sambil menutup mulut biar ibu tidak makin terganggu. Ibu sangat suka melihatku menangis, mungkin menurutnya lucu. Namun, semenjak mengambil keputusan besar di
“Seorang anak tetap suci, Shana. Sekalipun ibumu membenci kehadiranmu, Bapak sangat menyayangimu seperti Vanya.” Suara bapak terngiang lagi di benakku. Berulang-ulang hingga sepuluh kali lebih. Kusadari bahwa bapak adalah malaikat yang tak bersayap, lebih layak disebut seperti itu. Sehebat itu hatinya bisa menerima anak hasil zina yakni aku. Bahkan, berapa kali bapak pasang badan untukku, membelaku di depan ibu. Bahkan, bapak pergi setelah membelaku. Wajar tak mau hidup dengan ibu. Bisa memaafkan ibu saja sudah luar biasa. Dan tadi aku telah menyakiti bapak untuk kesekian kalinya. Aku pergi meninggalkannya saat bapak masih ingin memelukku. Sebab aku terlalu hina untuk disentuh bapak. Aku hanyalah penghancur rumah tangganya. Sebab karena aku rumah
Bu Rasmina tertawa pongah sambil menatap wajah kosong Nala. Ibu paruh baya itu bahkan tak menurunkan pandangan sombongnya sambil melipat tangan di depan ruangan crew centre. Entah apa alasannya cepat-cepat datang ke tempat kerja Shanala setelah mendapat info dari mantan suaminya. Mungkin untuk sekedar menengok putri bungsunya, atau hanya ingin menghancurkan kehidupan si bungsu yang tak pernah indah. “Jangan di sini!” larang Nala dingin sambil berjalan keluar. Niatnya mengusir sang ibu dari depan ruang crew centre agar mereka leluasa berdebat atau sekedar melepas emosi. Nala tak mau makin merusak namanya di tempat itu. Meski masih tinggi hati, bu Rasmina mengekori Nala. Mereka sampai di sebuah kafe bandara yang sepi dan sedikit temaram. Sepertinya suasana cocok untuk berdebat panas melepas “rindu pahit”. “Mau apa, Bu?” Sapaan Shanala lebih kepada sebuah sindiran tajam. Apalagi mata sembabnya seolah badai yang siap menerjang siapa saja. Bu Rasmina berde
Lelaki bertubuh tinggi berkulit putih itu terlihat gusar. Berulang-ulang dia mengetukkan sepatu PDL hitam tebalnya ke lantai sambil menggigiti jemari. Kadang dia melongok pada arloji di tangan kirinya dan kembali mondar-mandir dengan bingung di depan sebuah ruang. Hatinya berada di ambang cemas dan gusar karena memikirkan nasib seseorang. Kava tak bisa tenang, sangat teramat cemas dengan sesekali melongok ke arah pintu ruang crew centre Sentani Airport. Sesekali menggigit bibirnya karena pintu itu tak kunjung terbuka. Dia memikirkan nasib Shanala yang tadi ditandu keluar dari lavatory pesawat dalam kondisi pingsan, lalu dibawa ke ruang itu. Kava cemas berbalut rasa sesal. Penyesalannya cuma satu, kenapa dia tadi tak menolong gadis itu. Andai saja dia lebih berani melangkah tadi. Entah bagaimana cerita bisa berubah secepat ini. Awalnya rasa di hati cuma penasaran karena kecantikan Nala dan seny
Episode 8 Maukah Kau Menjabat Tanganku? 10 Maret 2019, aku sedang menatap lurus pemandangan di depan mata. Duduk sendirian berteman sepi meski di tengah keramaian pasien rumah sakit. Rumah sakit ini berbatasan dengan Danau Sentani yang teduh nan hijau. Danau tenang itu seperti tak mampu menghapus gulanaku. Tidak ada yang membuat anganku tertarik meski angin sejuk menerpa kulit putih ini. Ketenangan air danau itu juga tak bisa menenangkan gejolak ombak hatiku. Tak ada yang menarik selain pikiranku yang berkecamuk di benak. Pikiran itu melayang ke wajah seseorang yang membuatku mulai tak bisa tidur. Dia teramat baik untuk dipandang. Kata tampan sudah cukup mewakili parasnya saat tersenyum padaku. Kata santun mungkin sudah jadi nama tengahnya saat bicara denganku. Siapakah dia, yang tiba-tiba datang dan menyelamatkanku? Matanya sipit dengan iris hitam legam, sorot matanya tajam s
Di sebuah ruang berlatar hitam, ada sebuah lampu yang menyala terang. Kulihat ada seorang ibu berdaster bunga-bunga nan cantik sedang membelai seorang anak sekolah berseragam merah putih. Wajahnya terlihat penuh sayang dan kasih, sedangkan si anak menimang piala di tangannya dengan riang. Kemudian dari sudut yang lain, ada anak berbaju daster merah muda nan lusuh sedang memegang bunga mawar merah yang berantakan. Maklum itu bunga tangan buatannya sendiri. Namun, maknanya tulus untuk diberi kepada sang ibu yang tak memperhatikannya sama sekali. Memang kentara sekali kalau si anak berdaster lusuh dipinggirkan, diabaikan. Entah kenapa hatiku sakit saat melihat pemandangan di depan ini. Ingin kuhentikan, kualihkan pada adegan lain. Namun, semua berada di luar
Blak! Sebuah pintu kayu dibanting dengan kuat oleh dua buah tangan yang gemetaran. Bibir wanita ayu bermata lentik itu bergetar, berusaha dikatupkan erat, dan digigit kuat-kuat. Dia jua menempelkan punggungnya kuat-kuat pada pintu pembatas antara kamar dan ruang tengah rumah dinas itu. Matanya yang lentik perlahan menelurkan bulir bening tiga kali. Kini ada sebuah aliran air mata yang seperti sungai di pipi tembam itu. Wanita ayu itu sedang menangis. Pagi ini sebuah harapannya dipatahkan oleh sebuah kenyataan pahit. Dia kira anak bayi itu adalah sosok yang menyenangkan bila di dekatnya. Nyatanya, wanita ayu bernama Shanala itu merasa salah besar. Justru dia merasa tertekan saat harus menghadapi bayinya yang menangis keras. Suara tangisnya tetap tembus kendat
Pagi baru saja mendatangi hari saat aku tercenung sendiri di kamar mandi. Dari kejauhan terdengar merdu suara azan Subuh yang menentramkan hati. Saking syahdunya, air mata satu tetes jatuh di pipi. Apalagi pemandangan alat kecil di atas ubin kamar mandi itu sejenak menimbulkan haru. Dua garis merah nan terang, positif. Aku sedang mengandung buah hati mas Kava. Tentu saja napasku tertahan tak percaya. Untung saja terantisipasi dengan hasil dari alat yang satunya. Aku menoleh ke gelas satunya dan mendapati hasil yang sama. Dua bahkan lima alat kecil pipih itu tetap bergaris dua merah terang. Aku hamil. Jadi, inilah
Jika bekerja di udara yang penuh risiko itu seperti tidur, maka berkumpul dengan keluarga seperti mimpi yang indah. Setelah menikmati pekerjaan yang menyenangkan itu, serasa mimpi bisa berkumpul dengan bapak, mamak, dan juga dia, Mas Kava. Sekarang kami berempat duduk di meja makan bulat. Sedang menikmati ikan kuah kuning, nasi beras merah, ikan bakar, dan juga kerupuk bawang. Tak lupa mamak memotong buah semangka merah dan kuning. Bapak memecah beberapa kelapa muda dan dibuat es kuwut bali. Makan sederhana seperti ini sudah membuatku sangat bahagia. Mereka lebih mahal dari makanan restoran super mewah. Sebab tak setiap hari aku menikmatinya. “Non, makan yang banyak. Kenapa ko pu badan makin kurus ka?” Mamak membelai pipiku lembut. (Kenapa badanm
Dini hari pukul 1 sudah menyapa langit Makassar. Burung besi itu sedang mengarungi langit setinggi 37.000 kaki dengan kecepatan sekitar 600 kilometer/jam. Udara kabin terasa dingin menusuk, sebab udara ketinggian bisa di suhu minus derajat. Rerata penumpang NA-990 sedang terlelap meski di tengah desing mesin jet. Namun, ada sebuah suara yang berbeda dan terasa sedikit mengganggu suasana bising itu. Berisik di tengah kebisingan. Tangis bayi berusia lima bulan terasa menyayat sebagian hati, sebagian lagi memilih tak peduli. Namun, ada jua yang merasa sangat terganggu hingga menoleh ke kursi belakang – tempat si bayi berusaha ditenangkan. Ada si ibu yang frustrasi sebab bayi mungilnya tak henti menangis. Entah karena apa, si ibu sedang menerka-nerka. Mana
Terbiasa bekerja dalam risiko membuat semua hal kecil berarti pertanda. Kukira firasat tak enak itu terjadi karena perubahan kecil mas Kava yang senang memanggilku “Sayang” belakangan ini. Ternyata bukan. Ternyata perasaan buruk itu karena sebuah musibah akan menimpa salah seorang sahabat terbaikku. Mbak Astri, yang super ceriwis nan cantik itu telah pergi. Bersama dengan 42 orang penumpang burung besi nahas itu. Mereka terbang terlalu tinggi hingga tak bisa mendarat lagi di dunia. Menyakitkan harus bertutur seperti ini. Lagi, mataku membasah jika menceritakannya. Tak hanya itu, ada rekan baik Mas Kava yang tanpa sadar sering dia ceritakan. Turut pergi selamanya dalam musibah itu. Semua terasa kebetulan, tidak, ini sudah ta
“Selamat pagi Desember tanggal 28, semoga baik dan lancar untuk semuanya,” harap Nala sambil menghimpun kedua tangannya di depan hidung dan mulut. Dia memejamkan matanya yang lentik lalu membukanya perlahan. Menghadap ke arah pukul tiga, ada Senior Flight Attendant Donna yang sedang tersenyum manis. Pagi ini, Donna menjadi cabin 1 penerbangan rute Surabaya – Jakarta – Jakarta – Surabaya. Pramugari semampai itu menyapa Nala dengan ramahnya. “Sudah siap, Dek? Lavatory?” Nala mengangguk penuh hormat dengan senyuman indah. “Siap, Mbak. Sudah bersih dan siap digunakan.” Nala menjawab dengan sig
Terima kasih Matahari Pagi yang Hangat telah menyapaku di permulaan Desember. Tak terasa, tlah sampailah aku di penghujung tahun ini, bulan Desember tanggal 1. Masih di tahun yang sama, 2019. Tahun penuh kejutan, setelah kesakitan dan air mata. Tahun aku melepas predikat gadis dan lajang, menjadi seorang wanita bersuami. Aku bahagia meski musim sedang hujan. Meski arunika pagi jarang menyapaku, menyisakan hawa dingin di jajaran embun. Tak mengapa sebab sudah ada yang memelukku siang dan malam – saat sedang tak bekerja. Untung saja pagi ini matahari itu menyapaku dengan hangat bahagia. Ini adalah bulan keduaku pindah ke base 2 di Surabaya. Jarak yang lebih dekat dari Magetan. Hanya beberapa jam aku bisa bertemu dengannya, kami tak lagi didera j
Nelayan yang sudah berpengalaman pasti sudah terbiasa dengan datangnya badai. Mereka bersiap, mereka telah kuat. Mereka mempersiapkan, membangun tiang-tiang kapal nan kuat. Jika diterjang, mereka akan mudah untuk hidup dan bertahan. Kapal dan nelayannya selamat melewati samudera. Pun sama denganku, badai yang datang lagi ini berusaha kuatasi sekuat tenaga. Meski rasanya sama, sakit sekali. Aku berusaha melewati badai kehidupan seperti seorang nelayan yang berpengalaman. Bukankah sejak kecil aku sudah hidup dalam badai. Maka, air mata di pipiku terasa sudah kering. Mata hanya bisa kosong terpaku pada suatu titik saat mereka sibuk mengurusi “badai”. “Badai” dari masa laluku itu bernama ibu. Dan aku telah terlibat dengannya
Berulang-ulang pintu itu diketuk tangan berotot Kava, masih tak ada jawaban. Bujukan manis lembutnya menguap ke udara. Tak ada jawaban berarti dari dalam kamar mandi dingin itu. Hanya terdengar suara air gemericik tanpa suara manusia. Membuat lelaki itu makin cemas dari detik hingga detik. “Dek … buka pintunya, ya? Saya mohon, Dek!” Kava kembali mengetuk pintu sambil menggenggam sebuah kresek kecil. Bujukan dengan suara lembutnya terus mengalir, tapi Nala hanya diam. Keputusannya pergi ke apotek untuk membeli obat luka berbuah sesal. Sepeninggal Kava, Nala beranjak lemas dari ranjang menuju kamar mandi. Dia mengguyur sekujur badannya dengan dinginnya air. Matanya kosong tak ada ekspresi. Tak hanya itu, tangis dan pandangan datar adalah hia