Berulang-ulang pintu itu diketuk tangan berotot Kava, masih tak ada jawaban. Bujukan manis lembutnya menguap ke udara. Tak ada jawaban berarti dari dalam kamar mandi dingin itu. Hanya terdengar suara air gemericik tanpa suara manusia. Membuat lelaki itu makin cemas dari detik hingga detik.
“Dek … buka pintunya, ya? Saya mohon, Dek!” Kava kembali mengetuk pintu sambil menggenggam sebuah kresek kecil. Bujukan dengan suara lembutnya terus mengalir, tapi Nala hanya diam.
Keputusannya pergi ke apotek untuk membeli obat luka berbuah sesal. Sepeninggal Kava, Nala beranjak lemas dari ranjang menuju kamar mandi. Dia mengguyur sekujur badannya dengan dinginnya air. Matanya kosong tak ada ekspresi. Tak hanya itu, tangis dan pandangan datar adalah hia
Nelayan yang sudah berpengalaman pasti sudah terbiasa dengan datangnya badai. Mereka bersiap, mereka telah kuat. Mereka mempersiapkan, membangun tiang-tiang kapal nan kuat. Jika diterjang, mereka akan mudah untuk hidup dan bertahan. Kapal dan nelayannya selamat melewati samudera. Pun sama denganku, badai yang datang lagi ini berusaha kuatasi sekuat tenaga. Meski rasanya sama, sakit sekali. Aku berusaha melewati badai kehidupan seperti seorang nelayan yang berpengalaman. Bukankah sejak kecil aku sudah hidup dalam badai. Maka, air mata di pipiku terasa sudah kering. Mata hanya bisa kosong terpaku pada suatu titik saat mereka sibuk mengurusi “badai”. “Badai” dari masa laluku itu bernama ibu. Dan aku telah terlibat dengannya
Terima kasih Matahari Pagi yang Hangat telah menyapaku di permulaan Desember. Tak terasa, tlah sampailah aku di penghujung tahun ini, bulan Desember tanggal 1. Masih di tahun yang sama, 2019. Tahun penuh kejutan, setelah kesakitan dan air mata. Tahun aku melepas predikat gadis dan lajang, menjadi seorang wanita bersuami. Aku bahagia meski musim sedang hujan. Meski arunika pagi jarang menyapaku, menyisakan hawa dingin di jajaran embun. Tak mengapa sebab sudah ada yang memelukku siang dan malam – saat sedang tak bekerja. Untung saja pagi ini matahari itu menyapaku dengan hangat bahagia. Ini adalah bulan keduaku pindah ke base 2 di Surabaya. Jarak yang lebih dekat dari Magetan. Hanya beberapa jam aku bisa bertemu dengannya, kami tak lagi didera j
“Selamat pagi Desember tanggal 28, semoga baik dan lancar untuk semuanya,” harap Nala sambil menghimpun kedua tangannya di depan hidung dan mulut. Dia memejamkan matanya yang lentik lalu membukanya perlahan. Menghadap ke arah pukul tiga, ada Senior Flight Attendant Donna yang sedang tersenyum manis. Pagi ini, Donna menjadi cabin 1 penerbangan rute Surabaya – Jakarta – Jakarta – Surabaya. Pramugari semampai itu menyapa Nala dengan ramahnya. “Sudah siap, Dek? Lavatory?” Nala mengangguk penuh hormat dengan senyuman indah. “Siap, Mbak. Sudah bersih dan siap digunakan.” Nala menjawab dengan sig
Terbiasa bekerja dalam risiko membuat semua hal kecil berarti pertanda. Kukira firasat tak enak itu terjadi karena perubahan kecil mas Kava yang senang memanggilku “Sayang” belakangan ini. Ternyata bukan. Ternyata perasaan buruk itu karena sebuah musibah akan menimpa salah seorang sahabat terbaikku. Mbak Astri, yang super ceriwis nan cantik itu telah pergi. Bersama dengan 42 orang penumpang burung besi nahas itu. Mereka terbang terlalu tinggi hingga tak bisa mendarat lagi di dunia. Menyakitkan harus bertutur seperti ini. Lagi, mataku membasah jika menceritakannya. Tak hanya itu, ada rekan baik Mas Kava yang tanpa sadar sering dia ceritakan. Turut pergi selamanya dalam musibah itu. Semua terasa kebetulan, tidak, ini sudah ta
Dini hari pukul 1 sudah menyapa langit Makassar. Burung besi itu sedang mengarungi langit setinggi 37.000 kaki dengan kecepatan sekitar 600 kilometer/jam. Udara kabin terasa dingin menusuk, sebab udara ketinggian bisa di suhu minus derajat. Rerata penumpang NA-990 sedang terlelap meski di tengah desing mesin jet. Namun, ada sebuah suara yang berbeda dan terasa sedikit mengganggu suasana bising itu. Berisik di tengah kebisingan. Tangis bayi berusia lima bulan terasa menyayat sebagian hati, sebagian lagi memilih tak peduli. Namun, ada jua yang merasa sangat terganggu hingga menoleh ke kursi belakang – tempat si bayi berusaha ditenangkan. Ada si ibu yang frustrasi sebab bayi mungilnya tak henti menangis. Entah karena apa, si ibu sedang menerka-nerka. Mana
Jika bekerja di udara yang penuh risiko itu seperti tidur, maka berkumpul dengan keluarga seperti mimpi yang indah. Setelah menikmati pekerjaan yang menyenangkan itu, serasa mimpi bisa berkumpul dengan bapak, mamak, dan juga dia, Mas Kava. Sekarang kami berempat duduk di meja makan bulat. Sedang menikmati ikan kuah kuning, nasi beras merah, ikan bakar, dan juga kerupuk bawang. Tak lupa mamak memotong buah semangka merah dan kuning. Bapak memecah beberapa kelapa muda dan dibuat es kuwut bali. Makan sederhana seperti ini sudah membuatku sangat bahagia. Mereka lebih mahal dari makanan restoran super mewah. Sebab tak setiap hari aku menikmatinya. “Non, makan yang banyak. Kenapa ko pu badan makin kurus ka?” Mamak membelai pipiku lembut. (Kenapa badanm
Pagi baru saja mendatangi hari saat aku tercenung sendiri di kamar mandi. Dari kejauhan terdengar merdu suara azan Subuh yang menentramkan hati. Saking syahdunya, air mata satu tetes jatuh di pipi. Apalagi pemandangan alat kecil di atas ubin kamar mandi itu sejenak menimbulkan haru. Dua garis merah nan terang, positif. Aku sedang mengandung buah hati mas Kava. Tentu saja napasku tertahan tak percaya. Untung saja terantisipasi dengan hasil dari alat yang satunya. Aku menoleh ke gelas satunya dan mendapati hasil yang sama. Dua bahkan lima alat kecil pipih itu tetap bergaris dua merah terang. Aku hamil. Jadi, inilah
Blak! Sebuah pintu kayu dibanting dengan kuat oleh dua buah tangan yang gemetaran. Bibir wanita ayu bermata lentik itu bergetar, berusaha dikatupkan erat, dan digigit kuat-kuat. Dia jua menempelkan punggungnya kuat-kuat pada pintu pembatas antara kamar dan ruang tengah rumah dinas itu. Matanya yang lentik perlahan menelurkan bulir bening tiga kali. Kini ada sebuah aliran air mata yang seperti sungai di pipi tembam itu. Wanita ayu itu sedang menangis. Pagi ini sebuah harapannya dipatahkan oleh sebuah kenyataan pahit. Dia kira anak bayi itu adalah sosok yang menyenangkan bila di dekatnya. Nyatanya, wanita ayu bernama Shanala itu merasa salah besar. Justru dia merasa tertekan saat harus menghadapi bayinya yang menangis keras. Suara tangisnya tetap tembus kendat
Blak! Sebuah pintu kayu dibanting dengan kuat oleh dua buah tangan yang gemetaran. Bibir wanita ayu bermata lentik itu bergetar, berusaha dikatupkan erat, dan digigit kuat-kuat. Dia jua menempelkan punggungnya kuat-kuat pada pintu pembatas antara kamar dan ruang tengah rumah dinas itu. Matanya yang lentik perlahan menelurkan bulir bening tiga kali. Kini ada sebuah aliran air mata yang seperti sungai di pipi tembam itu. Wanita ayu itu sedang menangis. Pagi ini sebuah harapannya dipatahkan oleh sebuah kenyataan pahit. Dia kira anak bayi itu adalah sosok yang menyenangkan bila di dekatnya. Nyatanya, wanita ayu bernama Shanala itu merasa salah besar. Justru dia merasa tertekan saat harus menghadapi bayinya yang menangis keras. Suara tangisnya tetap tembus kendat
Pagi baru saja mendatangi hari saat aku tercenung sendiri di kamar mandi. Dari kejauhan terdengar merdu suara azan Subuh yang menentramkan hati. Saking syahdunya, air mata satu tetes jatuh di pipi. Apalagi pemandangan alat kecil di atas ubin kamar mandi itu sejenak menimbulkan haru. Dua garis merah nan terang, positif. Aku sedang mengandung buah hati mas Kava. Tentu saja napasku tertahan tak percaya. Untung saja terantisipasi dengan hasil dari alat yang satunya. Aku menoleh ke gelas satunya dan mendapati hasil yang sama. Dua bahkan lima alat kecil pipih itu tetap bergaris dua merah terang. Aku hamil. Jadi, inilah
Jika bekerja di udara yang penuh risiko itu seperti tidur, maka berkumpul dengan keluarga seperti mimpi yang indah. Setelah menikmati pekerjaan yang menyenangkan itu, serasa mimpi bisa berkumpul dengan bapak, mamak, dan juga dia, Mas Kava. Sekarang kami berempat duduk di meja makan bulat. Sedang menikmati ikan kuah kuning, nasi beras merah, ikan bakar, dan juga kerupuk bawang. Tak lupa mamak memotong buah semangka merah dan kuning. Bapak memecah beberapa kelapa muda dan dibuat es kuwut bali. Makan sederhana seperti ini sudah membuatku sangat bahagia. Mereka lebih mahal dari makanan restoran super mewah. Sebab tak setiap hari aku menikmatinya. “Non, makan yang banyak. Kenapa ko pu badan makin kurus ka?” Mamak membelai pipiku lembut. (Kenapa badanm
Dini hari pukul 1 sudah menyapa langit Makassar. Burung besi itu sedang mengarungi langit setinggi 37.000 kaki dengan kecepatan sekitar 600 kilometer/jam. Udara kabin terasa dingin menusuk, sebab udara ketinggian bisa di suhu minus derajat. Rerata penumpang NA-990 sedang terlelap meski di tengah desing mesin jet. Namun, ada sebuah suara yang berbeda dan terasa sedikit mengganggu suasana bising itu. Berisik di tengah kebisingan. Tangis bayi berusia lima bulan terasa menyayat sebagian hati, sebagian lagi memilih tak peduli. Namun, ada jua yang merasa sangat terganggu hingga menoleh ke kursi belakang – tempat si bayi berusaha ditenangkan. Ada si ibu yang frustrasi sebab bayi mungilnya tak henti menangis. Entah karena apa, si ibu sedang menerka-nerka. Mana
Terbiasa bekerja dalam risiko membuat semua hal kecil berarti pertanda. Kukira firasat tak enak itu terjadi karena perubahan kecil mas Kava yang senang memanggilku “Sayang” belakangan ini. Ternyata bukan. Ternyata perasaan buruk itu karena sebuah musibah akan menimpa salah seorang sahabat terbaikku. Mbak Astri, yang super ceriwis nan cantik itu telah pergi. Bersama dengan 42 orang penumpang burung besi nahas itu. Mereka terbang terlalu tinggi hingga tak bisa mendarat lagi di dunia. Menyakitkan harus bertutur seperti ini. Lagi, mataku membasah jika menceritakannya. Tak hanya itu, ada rekan baik Mas Kava yang tanpa sadar sering dia ceritakan. Turut pergi selamanya dalam musibah itu. Semua terasa kebetulan, tidak, ini sudah ta
“Selamat pagi Desember tanggal 28, semoga baik dan lancar untuk semuanya,” harap Nala sambil menghimpun kedua tangannya di depan hidung dan mulut. Dia memejamkan matanya yang lentik lalu membukanya perlahan. Menghadap ke arah pukul tiga, ada Senior Flight Attendant Donna yang sedang tersenyum manis. Pagi ini, Donna menjadi cabin 1 penerbangan rute Surabaya – Jakarta – Jakarta – Surabaya. Pramugari semampai itu menyapa Nala dengan ramahnya. “Sudah siap, Dek? Lavatory?” Nala mengangguk penuh hormat dengan senyuman indah. “Siap, Mbak. Sudah bersih dan siap digunakan.” Nala menjawab dengan sig
Terima kasih Matahari Pagi yang Hangat telah menyapaku di permulaan Desember. Tak terasa, tlah sampailah aku di penghujung tahun ini, bulan Desember tanggal 1. Masih di tahun yang sama, 2019. Tahun penuh kejutan, setelah kesakitan dan air mata. Tahun aku melepas predikat gadis dan lajang, menjadi seorang wanita bersuami. Aku bahagia meski musim sedang hujan. Meski arunika pagi jarang menyapaku, menyisakan hawa dingin di jajaran embun. Tak mengapa sebab sudah ada yang memelukku siang dan malam – saat sedang tak bekerja. Untung saja pagi ini matahari itu menyapaku dengan hangat bahagia. Ini adalah bulan keduaku pindah ke base 2 di Surabaya. Jarak yang lebih dekat dari Magetan. Hanya beberapa jam aku bisa bertemu dengannya, kami tak lagi didera j
Nelayan yang sudah berpengalaman pasti sudah terbiasa dengan datangnya badai. Mereka bersiap, mereka telah kuat. Mereka mempersiapkan, membangun tiang-tiang kapal nan kuat. Jika diterjang, mereka akan mudah untuk hidup dan bertahan. Kapal dan nelayannya selamat melewati samudera. Pun sama denganku, badai yang datang lagi ini berusaha kuatasi sekuat tenaga. Meski rasanya sama, sakit sekali. Aku berusaha melewati badai kehidupan seperti seorang nelayan yang berpengalaman. Bukankah sejak kecil aku sudah hidup dalam badai. Maka, air mata di pipiku terasa sudah kering. Mata hanya bisa kosong terpaku pada suatu titik saat mereka sibuk mengurusi “badai”. “Badai” dari masa laluku itu bernama ibu. Dan aku telah terlibat dengannya
Berulang-ulang pintu itu diketuk tangan berotot Kava, masih tak ada jawaban. Bujukan manis lembutnya menguap ke udara. Tak ada jawaban berarti dari dalam kamar mandi dingin itu. Hanya terdengar suara air gemericik tanpa suara manusia. Membuat lelaki itu makin cemas dari detik hingga detik. “Dek … buka pintunya, ya? Saya mohon, Dek!” Kava kembali mengetuk pintu sambil menggenggam sebuah kresek kecil. Bujukan dengan suara lembutnya terus mengalir, tapi Nala hanya diam. Keputusannya pergi ke apotek untuk membeli obat luka berbuah sesal. Sepeninggal Kava, Nala beranjak lemas dari ranjang menuju kamar mandi. Dia mengguyur sekujur badannya dengan dinginnya air. Matanya kosong tak ada ekspresi. Tak hanya itu, tangis dan pandangan datar adalah hia