Episode 8 Maukah Kau Menjabat Tanganku?
10 Maret 2019, aku sedang menatap lurus pemandangan di depan mata. Duduk sendirian berteman sepi meski di tengah keramaian pasien rumah sakit. Rumah sakit ini berbatasan dengan Danau Sentani yang teduh nan hijau. Danau tenang itu seperti tak mampu menghapus gulanaku. Tidak ada yang membuat anganku tertarik meski angin sejuk menerpa kulit putih ini. Ketenangan air danau itu juga tak bisa menenangkan gejolak ombak hatiku.
Tak ada yang menarik selain pikiranku yang berkecamuk di benak. Pikiran itu melayang ke wajah seseorang yang membuatku mulai tak bisa tidur. Dia teramat baik untuk dipandang. Kata tampan sudah cukup mewakili parasnya saat tersenyum padaku. Kata santun mungkin sudah jadi nama tengahnya saat bicara denganku.
Siapakah dia, yang tiba-tiba datang dan menyelamatkanku? Matanya sipit dengan iris hitam legam, sorot matanya tajam s
Di sebuah ruang berlatar hitam, ada sebuah lampu yang menyala terang. Kulihat ada seorang ibu berdaster bunga-bunga nan cantik sedang membelai seorang anak sekolah berseragam merah putih. Wajahnya terlihat penuh sayang dan kasih, sedangkan si anak menimang piala di tangannya dengan riang. Kemudian dari sudut yang lain, ada anak berbaju daster merah muda nan lusuh sedang memegang bunga mawar merah yang berantakan. Maklum itu bunga tangan buatannya sendiri. Namun, maknanya tulus untuk diberi kepada sang ibu yang tak memperhatikannya sama sekali. Memang kentara sekali kalau si anak berdaster lusuh dipinggirkan, diabaikan. Entah kenapa hatiku sakit saat melihat pemandangan di depan ini. Ingin kuhentikan, kualihkan pada adegan lain. Namun, semua berada di luar
Sesekali kulirik tangan jenjang berotot itu, hati ini berdebar lagi. Tangan besar yang hangat dan kuat membawa setir pesawat tempur itu bisa membuatku terpukau. Tangan orang dari profesi yang teramat kukagumi, mungkin profesi dari orang yang pernah menyakitiku. Tangan tegas itu baru saja memelukku dan sekarang kami berjalan beriringan. Captain Kava mengajakku berteduh di sebuah hanoi di depan rumah bernuansa cokelat. Sebab hawa juga mulai panas menusuk kulit. Di bawah rumah tradisional ini kami mungkin sekedar duduk berdua. Entah, aku tak terlalu berani menduga yang lebih dari itu. Dia masuk terlalu jauh dalam hidupku. Terlibat pada kerumitan dan kekusutan seorang Shanala. Hanya karena dalih peduli.“Duduklah, Mbak! Saya mau panggil teman dulu,” suruhnya sambil menatapku lekat. Dia kemudian menunjuk seb
Dia menyodorkan selembar kertas berisi tulisan yang rapi. Sebuah deretan angka bernama ‘Kavalery Kartiko’. “Saya tetap menunggu jawaban Mbak Nala. Ini nomor saya, jangan sungkan menghubungi saya meskipun itu pukul 12 malam. Saya akan datang ke Jakarta untuk menjemput Mbak.” Kalimatnya kembali terngiang, saat di parkiran bandara Sentani tadi, dia mengucapkan itu. Hingga sekarang aku sudah berada di atas langit Makassar, semua masih terngiang jelas. Captain Kava masih jadi penghias lamunan kesepianku. Sepanjang jalan di langit malam yang sedih, hatiku mulai berani merindukannya. Apa pernikahan itu memang serius? Sumpah, aku tak berani memikirkannya. Siapalah aku ini? Kenapa harus menikah? Kenapa tidak dijadikan adik atau anak angkat keluarganya saja kalau cuma bermotif identi
Kukira akan menghabiskan dua bulan masa hukuman ini dengan hari yang sedih. Kukira aku akan pontang-panting ke sana-sini dengan mencari uang tambahan untuk menyambung hidup. Kukira akan menghabiskan hari yang sunyi dengan merindukan setiap penerbangan. Ternyata semua perkiraan itu salah.Aku malah berada pada sebuah perjalanan menuju pangkalan udara di daerah Jawa Timur. Bersamanya, lelaki yang nekat mengajakku menikah demi sebuah pertolongan. Lelaki ngeyel yang rela mengorbankan hidupnya, merelakan hidupnya yang sempurna demi aku. Captain Kava mungkin sudah gila sejak dia mengenalku.Nyatanya, aku manut pada keputusan gilanya itu. Ikut dalam perjalanan untuk menghadap sidang pernikahan militer, mungkin. Aku awam tentang dunia itu, termasuk pernikahan. Bahkan, aku tak menyangka akan menikah secepat ini. Menikah di masa hukumanku, sama sekali tak kusangka.Kata dia, semua niat baik pasti dimudahkan. Kurasa itu benar. Setelah tinggal di Jakarta selama tiga hari un
“Jihan!” Kupeluk erat tubuh wanita itu sembari memanggil namanya. Tetap hangat seperti biasa. Dia tersenyum riang sambil menimang pipiku. Dia bahkan menggodaku dengan tatapan nakalnya, sesekali dilempar pada Captain Kava yang sedang memesan nasi pecel. Entah bagaimana bisa Jihan datang ke kota ini dan menemuiku.“Sumpah Na, kamu nemu manusia ganteng itu di mana sih? Bukan cuma itu, dia membuatku nangis semalaman saat bilang akan meminangmu!” curah Jihan dengan mata berkaca-kaca.“Kapan kalian bertemu?” tanyaku bingung sambil mengambil duduk berdua. Kami berbincang, dia memberikanku kesempatan. Captain Kava berbincang berdua dengan suami Jihan yang rupanya diajak juga ke Magetan. Seperti dapat hadiah besar yang tak kusangka-sangka.
Sayup-sayup suara elekton dan musik menjadi pelan. Mungkin karena jarum jam sudah menunjuk angka dua belas malam. Sudah tengah malam dan banyak warga asrama yang tidur. Lagipula tidak etis jika membuat keributan di asrama dan sampai mengganggu orang lain demi kepentingan pribadi, sebut saja syukuran pernikahanku. Acara hari ini selesai dengan lancar. Aku pun sudah selesai berganti baju. Semua riasan sudah dibersihkan, termasuk perintilan aksesoris dan lainnya. Aku sudah duduk manis di tepi ranjang sambil celingak-celinguk. Hatiku mulai ketar-ketir. Jujur, aku takut dengan kelanjutan malam ini. Apa yang akan dilakukan captain Kava setelah ini? Dia masih di luar, aku masih mendengar gelak tawanya bersama bapak. Namun, setelah ini dia pasti mas
Ibu selalu keras dalam mendidikku sejak kecil. Dulu aku tak pernah diizinkan bangun siang, kesiangan. Setiap pukul empat pagi, ibu selalu menggedor pintuku keras-keras. Tak lupa dibuka kasar dan melemparku dengan teriakan nyaring. Tak pakai lama aku langsung bangun dengan ketakutan, pernah sampai menangis. Namun, lama kelamaan aku biasa. Bangun dari tidur karena sebuah kemarahan, bentakan, bahkan kadang cipratan air di muka. Oh iya, pernah juga dengan hantaman benda dapur macam panci di tubuhku, itu sudah biasa. Aku pun terbiasa bangun pagi tanpa dipaksa lalu bergerak melakukan pekerjaan rumah tangga. Beda dengan Vanya yang bisa bangun seenaknya dan bebas pekerjaan rumah tangga. Sebab semua sudah kuselesaikan, meski dengan tanganku yang kecil dan masih ringk
Setiap manusia pasti punya sosok pahlawan dalam hidupnya. Jika seorang anak punya ibu sebagai pahlawannya, maka bagiku tidak. Dulu, sosok itu adalah bapak. Sekarang berbeda lagi, Tuhan mengizinkanku bertemu dengannya. Dia adalah sosok pahlawan terhebat dalam hidupku, Captain Kava. Dia adalah manusia asing yang dihadirkan Tuhan dengan cara yang unik. Begitu saja dia berbalik mengejarku, penasaran denganku. Menempel padaku bak sebuah permen karet. Berakhir dengan menjadi suamiku. Sedikit aneh, tapi kejadian juga. Sebab dialah yang akan menjadi pemilik tabungan rinduku mulai saat ini. Dialah yang kurindukan sepulang terbang atau saat letih bekerja. Dialah yang kubayangkan saat aku tak bisa melihatnya. Bahkan, aku tak berhenti memikirkannya saat dia di sisiku
Blak! Sebuah pintu kayu dibanting dengan kuat oleh dua buah tangan yang gemetaran. Bibir wanita ayu bermata lentik itu bergetar, berusaha dikatupkan erat, dan digigit kuat-kuat. Dia jua menempelkan punggungnya kuat-kuat pada pintu pembatas antara kamar dan ruang tengah rumah dinas itu. Matanya yang lentik perlahan menelurkan bulir bening tiga kali. Kini ada sebuah aliran air mata yang seperti sungai di pipi tembam itu. Wanita ayu itu sedang menangis. Pagi ini sebuah harapannya dipatahkan oleh sebuah kenyataan pahit. Dia kira anak bayi itu adalah sosok yang menyenangkan bila di dekatnya. Nyatanya, wanita ayu bernama Shanala itu merasa salah besar. Justru dia merasa tertekan saat harus menghadapi bayinya yang menangis keras. Suara tangisnya tetap tembus kendat
Pagi baru saja mendatangi hari saat aku tercenung sendiri di kamar mandi. Dari kejauhan terdengar merdu suara azan Subuh yang menentramkan hati. Saking syahdunya, air mata satu tetes jatuh di pipi. Apalagi pemandangan alat kecil di atas ubin kamar mandi itu sejenak menimbulkan haru. Dua garis merah nan terang, positif. Aku sedang mengandung buah hati mas Kava. Tentu saja napasku tertahan tak percaya. Untung saja terantisipasi dengan hasil dari alat yang satunya. Aku menoleh ke gelas satunya dan mendapati hasil yang sama. Dua bahkan lima alat kecil pipih itu tetap bergaris dua merah terang. Aku hamil. Jadi, inilah
Jika bekerja di udara yang penuh risiko itu seperti tidur, maka berkumpul dengan keluarga seperti mimpi yang indah. Setelah menikmati pekerjaan yang menyenangkan itu, serasa mimpi bisa berkumpul dengan bapak, mamak, dan juga dia, Mas Kava. Sekarang kami berempat duduk di meja makan bulat. Sedang menikmati ikan kuah kuning, nasi beras merah, ikan bakar, dan juga kerupuk bawang. Tak lupa mamak memotong buah semangka merah dan kuning. Bapak memecah beberapa kelapa muda dan dibuat es kuwut bali. Makan sederhana seperti ini sudah membuatku sangat bahagia. Mereka lebih mahal dari makanan restoran super mewah. Sebab tak setiap hari aku menikmatinya. “Non, makan yang banyak. Kenapa ko pu badan makin kurus ka?” Mamak membelai pipiku lembut. (Kenapa badanm
Dini hari pukul 1 sudah menyapa langit Makassar. Burung besi itu sedang mengarungi langit setinggi 37.000 kaki dengan kecepatan sekitar 600 kilometer/jam. Udara kabin terasa dingin menusuk, sebab udara ketinggian bisa di suhu minus derajat. Rerata penumpang NA-990 sedang terlelap meski di tengah desing mesin jet. Namun, ada sebuah suara yang berbeda dan terasa sedikit mengganggu suasana bising itu. Berisik di tengah kebisingan. Tangis bayi berusia lima bulan terasa menyayat sebagian hati, sebagian lagi memilih tak peduli. Namun, ada jua yang merasa sangat terganggu hingga menoleh ke kursi belakang – tempat si bayi berusaha ditenangkan. Ada si ibu yang frustrasi sebab bayi mungilnya tak henti menangis. Entah karena apa, si ibu sedang menerka-nerka. Mana
Terbiasa bekerja dalam risiko membuat semua hal kecil berarti pertanda. Kukira firasat tak enak itu terjadi karena perubahan kecil mas Kava yang senang memanggilku “Sayang” belakangan ini. Ternyata bukan. Ternyata perasaan buruk itu karena sebuah musibah akan menimpa salah seorang sahabat terbaikku. Mbak Astri, yang super ceriwis nan cantik itu telah pergi. Bersama dengan 42 orang penumpang burung besi nahas itu. Mereka terbang terlalu tinggi hingga tak bisa mendarat lagi di dunia. Menyakitkan harus bertutur seperti ini. Lagi, mataku membasah jika menceritakannya. Tak hanya itu, ada rekan baik Mas Kava yang tanpa sadar sering dia ceritakan. Turut pergi selamanya dalam musibah itu. Semua terasa kebetulan, tidak, ini sudah ta
“Selamat pagi Desember tanggal 28, semoga baik dan lancar untuk semuanya,” harap Nala sambil menghimpun kedua tangannya di depan hidung dan mulut. Dia memejamkan matanya yang lentik lalu membukanya perlahan. Menghadap ke arah pukul tiga, ada Senior Flight Attendant Donna yang sedang tersenyum manis. Pagi ini, Donna menjadi cabin 1 penerbangan rute Surabaya – Jakarta – Jakarta – Surabaya. Pramugari semampai itu menyapa Nala dengan ramahnya. “Sudah siap, Dek? Lavatory?” Nala mengangguk penuh hormat dengan senyuman indah. “Siap, Mbak. Sudah bersih dan siap digunakan.” Nala menjawab dengan sig
Terima kasih Matahari Pagi yang Hangat telah menyapaku di permulaan Desember. Tak terasa, tlah sampailah aku di penghujung tahun ini, bulan Desember tanggal 1. Masih di tahun yang sama, 2019. Tahun penuh kejutan, setelah kesakitan dan air mata. Tahun aku melepas predikat gadis dan lajang, menjadi seorang wanita bersuami. Aku bahagia meski musim sedang hujan. Meski arunika pagi jarang menyapaku, menyisakan hawa dingin di jajaran embun. Tak mengapa sebab sudah ada yang memelukku siang dan malam – saat sedang tak bekerja. Untung saja pagi ini matahari itu menyapaku dengan hangat bahagia. Ini adalah bulan keduaku pindah ke base 2 di Surabaya. Jarak yang lebih dekat dari Magetan. Hanya beberapa jam aku bisa bertemu dengannya, kami tak lagi didera j
Nelayan yang sudah berpengalaman pasti sudah terbiasa dengan datangnya badai. Mereka bersiap, mereka telah kuat. Mereka mempersiapkan, membangun tiang-tiang kapal nan kuat. Jika diterjang, mereka akan mudah untuk hidup dan bertahan. Kapal dan nelayannya selamat melewati samudera. Pun sama denganku, badai yang datang lagi ini berusaha kuatasi sekuat tenaga. Meski rasanya sama, sakit sekali. Aku berusaha melewati badai kehidupan seperti seorang nelayan yang berpengalaman. Bukankah sejak kecil aku sudah hidup dalam badai. Maka, air mata di pipiku terasa sudah kering. Mata hanya bisa kosong terpaku pada suatu titik saat mereka sibuk mengurusi “badai”. “Badai” dari masa laluku itu bernama ibu. Dan aku telah terlibat dengannya
Berulang-ulang pintu itu diketuk tangan berotot Kava, masih tak ada jawaban. Bujukan manis lembutnya menguap ke udara. Tak ada jawaban berarti dari dalam kamar mandi dingin itu. Hanya terdengar suara air gemericik tanpa suara manusia. Membuat lelaki itu makin cemas dari detik hingga detik. “Dek … buka pintunya, ya? Saya mohon, Dek!” Kava kembali mengetuk pintu sambil menggenggam sebuah kresek kecil. Bujukan dengan suara lembutnya terus mengalir, tapi Nala hanya diam. Keputusannya pergi ke apotek untuk membeli obat luka berbuah sesal. Sepeninggal Kava, Nala beranjak lemas dari ranjang menuju kamar mandi. Dia mengguyur sekujur badannya dengan dinginnya air. Matanya kosong tak ada ekspresi. Tak hanya itu, tangis dan pandangan datar adalah hia