Lelaki bertubuh tinggi berkulit putih itu terlihat gusar. Berulang-ulang dia mengetukkan sepatu PDL hitam tebalnya ke lantai sambil menggigiti jemari. Kadang dia melongok pada arloji di tangan kirinya dan kembali mondar-mandir dengan bingung di depan sebuah ruang. Hatinya berada di ambang cemas dan gusar karena memikirkan nasib seseorang.
Kava tak bisa tenang, sangat teramat cemas dengan sesekali melongok ke arah pintu ruang crew centre Sentani Airport. Sesekali menggigit bibirnya karena pintu itu tak kunjung terbuka. Dia memikirkan nasib Shanala yang tadi ditandu keluar dari lavatory pesawat dalam kondisi pingsan, lalu dibawa ke ruang itu.
Kava cemas berbalut rasa sesal. Penyesalannya cuma satu, kenapa dia tadi tak menolong gadis itu. Andai saja dia lebih berani melangkah tadi.
Entah bagaimana cerita bisa berubah secepat ini. Awalnya rasa di hati cuma penasaran karena kecantikan Nala dan senyum sedihnya. Kemudian berubah menjadi penasaran pada tingkah anehnya, berakhir pada rasa peduli yang tiba-tiba tumbuh begitu saja.
Jiwanya sederhana, dia seorang prajurit yang biasa mengabdi pada negara dan pada rakyat. Menurutnya, rakyat adalah ibu kandung yang harus dijaga. Anak-anak, wanita dan orang tua yang tak berdaya, masuk dalam kategori golongan yang harus dilindunginya. Entah kenapa kali ini dia banyak menimbang bimbang.
Padahal sudah jelas dia mulai peduli dan harus peduli pada Shanala – seorang wanita yang lemah dan butuh pertolongan. Akhirnya, dia jatuh dalam penyesalan yang tersembunyi. Tak ada yang bisa dia lakukan lagi. Terlalu aneh jika sampai merangsek masuk saat ini.
Akhirnya, lelaki itu memutuskan untuk mencoba tidak peduli sekali lagi. Dia menelepon sang rekan untuk menjemputnya. Dia rasa kepedulian itu cuma sekedar rasa sesaat yang tak perlu tindak lanjut.
“Nala pasti baik saja,” batinnya gamang.
“We Kawan, ko lagi sibukkah? Jemput sa sudah! Di Sentani, e!” ucap Kava berusaha santai meski jantungnya berdegup hebat dan hatinya tak tega.
“Okay siap Pak Letnan!” balas sang kawan bernama Bernard alias Beben.
“Ko tra usah bawa anak-anak. Cukup ko saja mo!” pungkas Kava lagi masih dalam dialek Papua yang kental. Dia berusaha menyungging senyum meski terpaksa.
Sesungguhnya, menutupi gusar tak susah bagi Kava. Lelaki itu terbiasa bersikap tenang saat manuver udara berbahaya sekalipun. Dia terbiasa menerima penugasan operasi dan latihan penyerbuan musuh dari udara. Melawan gravitasi saja dia jabani dengan santai, masa untuk urusan cuek pada orang asing tidak bisa?
Sampai pada ketenangan itu terusik dengan sebuah embusan angin dari belakang tubuhnya. Kava menoleh dan mendapati ada tubuh ringkih tanpa alas kaki. Dia berjalan cepat dan sedikit gontai sambil memegang kantong infus. Kava tercenung. Bukankah itu Nala? Meski penampilannya berantakan, Kava masih bisa mengenali seragam dan sanggul berantakan itu.
“Mau ke mana kamu?” gumam Kava langsung mengikuti gadis itu.
Lelaki tegap itu mengikuti Nala tanpa banyak bicara. Sesekali celingukan kanan kiri lihat situasi karena Nala teramat tak peduli dengan sekitar. Dia menyeberang sembarangan hingga diklaksoni kendaraan lain. Pandangannya nanar dan hanya fokus pada satu titik. Seolah ingin melesat ke suatu tempat yang entah apa.
Kava yang berada di belakangnya masih berusaha menebak jalan pikiran gadis itu. Sesekali dia mulai menimbang bimbang, apakah Nala perlu dihentikan atau tidak. Lagi-lagi dia merasa sangsi karena terlalu peduli dengan orang asing. Apalagi saat ini, Kava sudah mencampuri ranah pribadi Shanala.
Akhirnya, Kava memutuskan menghubungi Beben lagi. Dia merasa butuh bantuan untuk menghadapi situasi pelik lagi, Shanala berjalan gontai menuju arah Danau Sentani. Sambil mengawasi Shanala yang berada sekitar semeter di depannya, Kava menelepon Beben. “Ben, ko bawa pertolongan ke Danau Sentani! Sa butuh backing ini!” ucap Kava cekatan.
Suasana makin aneh saat langkah gontai Nala sampai di Pantai Yahim, pinggiran Danau Sentani. Setengah jam dia berjalan terseok tanpa peduli dengan apa pun. Tanpa alas kaki dan membawa kantong infus. Beberapa gurat lecet mulai menghiasi kaki mungil putihnya. Rambutnya acak-acakan dan wajah tak cerah. Dia muram, mendung, tak ada gairah hidup lagi.
“Kamu anak haram! Najis!” Apalagi saat suara menyakitkan ibunya terngiang di gendang telinga Nala. Disusul kemudian dengan bunyi tamparan yang mendarat di pipinya, “plak!”
Mata Nala hanya bisa terpejam, hatinya sakit. Pun dengan pipinya, bekas tamparan itu sudah lama hilang tapi rasanya masih melekat erat.
Saat Nala berusaha membuka mata dan merasakan angin danau nan dingin, sebuah suara keji kembali terngiang di benaknya. “Sadar kamu, Gadis Gila! Brengsek, capek gue bersikap kalem selama ini! Kamu nggak ubahnya dari sampah!”
Ya, suara Ganta saat membuka kedoknya sebagai pria tidak baik beberapa hari lalu membuat Nala terpukul. Disusul kemudian dengan bunyi tamparan, “Plak!” Dia makin rapat menutup mata dan tangisnya saat ingat tamparan dari Ganta.
Nala tersakiti lebih-lebih karena Ganta adalah orang yang dia percaya. Baginya tidak mudah menjatuhkan rasa percaya kepada orang lain.
“Ya Tuhan …,” desahnya lirih.
Siksaan belum berhenti. Kali ini suara keras milik penumpang kurang ajar tadi terputar nyaring di otaknya. “Ah pramugari ini, macam sok tahu ka!”
Nala tak kuat lagi. Dia hanya bisa tersedu karena ingat tamparan terbaru dari penumpang tak dikenalnya kemarin. Bekas dan rasa sakitnya masih ada. Lengkap di ingatan Nala sampai detik ini.
Selengkap bisikan, cacian, kritikan, dan sindiran dari para rekan kerjanya tempo lalu. Lengkap sudah penderitaan Nala saat semua hal menyakitkan itu terputar lagi di benaknya. Dia bak dikelilingi momok menakutkan meski berada di tepi danau yang indah. Sebuah ironi mengenaskan.
“Dia ada main sama Captain Markus, ‘kan? Jijik banget, ya?”
“Pantas sering terbang. Tidur sama pilot sih!”
“Dipecat kayaknya. Kesian deh.”
Dia menjambak rambutnya yang kusut hingga bertambah kusut. Sanggul rapinya tak ada lagi, tersisa kesakitan yang tak terkira. Shanala berada di titik jenuh yang paling dalam. Hingga yang diinginkannya hanyalah pergi dari dunia ini. Tak ada dunia yang menerimanya lagi.
Mungkin “pergi” di danau seindah ini? Ya, pilihan yang tepat, pikir Nala. Maka 8 Maret 2019 dipilihnya sebagai hari kepergian dari dunia yang murung ini. Dia pikir mungkin alam sana lebih menerimanya.
Kakinya mulai melangkah hendak menjejaki air di bawah jalan beton permukiman kecil itu. Dia ingin jatuh dari dermaga dunia dan berpindah ke akherat. Inginnya pergi dengan tenggelam indah di tempat itu. Mungkin hanya semesta yang mau menerima kehadirannya.
“Hidupku sudah tak berarti lagi. Buat apa aku hidup?” gumamnya sakit sembari memposisikan badannya lebih condong ke air.
“Jangan!” cergah sebuah suara keras sambil mengayunkan tangan.
Nala tercenung, sadar, dan menoleh pada asal suara. Kembali dilihatnya wajah cemas lelaki usil yang terus mengganggunya di pesawat. Ada Kava yang sedang panik melihat keputusan ngawur Shanala.
“Mbak masih ingat saya?” tahan Kava.
Nala menatap Kava nanar. Air jatuh dari kedua matanya yang bulat. “Jangan ganggu saya!” larang Nala dengan makin merapatkan kakinya menuju air.
“Jangan!” cegah Kava makin mendekat. Dia harus tepat waktu menarik tangan atau tubuh Nala.
Nala membuat gerakan menahan dengan tangan kanannya. Kava sempat ragu karena Nala terlihat serius meski wajahnya pucat pasi. “Jang – jangan … mendek – mendekat!” larang Nala terbata-bata dengan suara lemas, lantas dalam hitungan detik dia berbaring indah di atas air danau yang biru gelap itu.
Suara byur tercipta saat tubuh ringkih Nala jatuh ke air yang dingin. Gadis itu terlalu lemah untuk berpijak di atas kedua kakinya.
Kava menggertakkan giginya gemas. “Ya Tuhan!” desahnya hancur.
Lelaki itu langsung membanting tas loreng dan melepas sepatunya. Dia terjun begitu saja masih lengkap dengan loreng demi Nala. Kava tahu, Nala jatuh karena pingsan dan lemah, bukan karena dia sengaja menjatuhkan dirinya. Ya, tadi wajahnya sudah pucat pasi tanpa energi yang kuat lagi.
Kava berenang dan memapah Nala ke pinggiran danau. Menaikkannya ke jalanan beton dengan hati-hati dan mulai memberikan pertolongan pertama. Sejenak melirik punggung tangan Nala yang mengeluarkan sedikit darah dari infus yang terlepas paksa. Kemudian mulai memompa dada di dekat jantung dan meniup udara pada mulut dan hidungnya. Tak peduli apakah itu bersentuhan bibir atau apa, niatnya hanya menolong.
Nala tak bereaksi. Sepertinya dia masih pingsan walau air sudah keluar deras dari mulutnya. Lagi, Kava memompa perut Nala dengan hitungan 1, 2, dan 3. Gadis itu terbatuk lagi, tapi matanya tak kunjung terbuka. Membuat Kava cemas dari detik ke detik.
“Kenapa harus mencemari Sentani dengan hal seperti ini, Mbak?” gumam Kava heran sambil melepas atasan loreng dan menyelimutkannya pada tubuh kurus Nala.
“Bapak Pilot!” panggil Beben yang datang tergesa sambil membawa beberapa temannya.
“Ini mo bikin apa ka?” tanya Beben kemudian dengan wajah bingung.
Kava menatap Beben panik. “Ko bawa medis, ka? Mbak ini jatuh ke danau. Nggak kunjung sadar!” jelasnya cepat-cepat.
Beben melongo kaget. “Tuhan Yesus tolong!” seru Beben cemas. Kava tidak demikian, dia malah meneliti satu persatu orang yang mengekori Beben. Dipindainya satu persatu penampilan orang-orang itu, barangkali ada tenaga medis.
“Kamorang siapa?” tanya Kava tegas.
“Kitorang pemuda pasar, Kakak!” jawab mereka serempak.
“Ko gilakah jemput sa bawa pemuda pasar? Ko kira sa kepala preman?” ujar Kava heboh masih sempat-sempatnya. Dia bahkan sempat meninju lengan gemuk Beben.
Beben berdecak cemas. Kakinya menghentak-hentak bingung. “Sa panggil ambulans sudah!” putus Beben sambil mengacak rambutnya. Dia bergeser ke posisi yang lain sambil mengutak-atik ponselnya, menelepon ambulans.
Inginnya melepas rindu pada sahabat masa kecil malah dilanda masalah lain. Kava, si sahabat kecil, menyapanya dengan cara yang unik. Seunik keributannya saat ini, Beben yang jiwa sosialnya tak kalah tinggi langsung menhampiri Nala dan memeriksa kondisinya. Merasa atasan loreng Kava tak cukup hangat, dia rela melepas bajunya demi orang asing yang tak dikenalnya itu – tapi dipertemukan oleh temannya dengan cara yang unik.
“Ck, ini sebenarnya siapa, ka?” racaunya cemas sambil memijat-mijat lengan kurus Shanala.
Kava tersenyum tipis dan menyenggol lengan Beben. “Sa tahu ini tra tepat, tapi sa rindu ko e,” ucap Kava sambil melirik Beben yang masih sibuk merapatkan kemejanya pada tubuh Nala.
Beben mencep. “Aih, ko utang penjelasan ke sa pu mama ini. Sa pu mama tunggu ko dari subuh. Baru ko bawa cewek pingsan pula. Ko su gila ka apa!” omel Beben.
Kava tergelak kosong. “Iyo, sa su tra waras ini!” balas Kava sambil memandangi Nala lekat.
“Mbak, kenapa harus memilih ini? Seberat apa masalahmu?” batin Kava heran.
---
Pagi yang cerah telah berganti sore yang mendung. Nala sudah dibawa ke sebuah klinik untuk mendapat pertolongan pertama. Menurut penjelasan dokter kondisinya kritis. Paru-parunya banyak kemasukan air karena dia tenggelam dalam kondisi pingsan. Nala tak kunjung stabil, dia tak mau membuka matanya. Semua dijelaskan dokter para pengantar Nala, Kava dan Beben. Kedua lelaki itu mengangguk-anggukkan kepala tanda paham dan lega atas kondisi Nala.
Peristiwa itu tentu saja menyibukkan banyak pihak. Termasuk pihak maskapai yang terburu-buru datang dan sekarang terus mondar-mandir di depan ruang UGD untuk menunggu Nala dipindah ke ruang perawatan. Tak hanya itu, pihak Kepolisian dan Angkatan Udara mulai sibuk menanyai Kava, sebab dia saksi tunggal peristiwa itu. Kava tahu runut kejadiannya sejak awal sampai Nala jatuh ke danau.
Terbayang laporan panjang yang harus diisi Kava sebentar lagi. Dia tak menyangka bahwa berurusan dengan Nala membuatnya sesibuk ini. Ingin hati berlibur 10 hari di kampung halaman pupus sudah. Berganti dengan kesibukan menjawab banyak pertanyaan, yang kadang membuatnya harus menjawab ngeyel tidak tahu.
Di penghujung hari, Kava menunduk lelah sambil memangku kedua tangan di ruang tunggu rumah sakit. Hatinya berdegup kencang lantaran masih menunggu harap-harap cemas kondisi terbaru Shanala. Sesekali dia melongok ke arah ruang perawatan intensif yang masih tertutup. Dia terlalu peduli – bahkan untuk ukuran orang asing yang baru saja bertemu.
“Saudari Shanala sudah sadar!”
Pernyataan dokter membuat pandangan Kava mendadak cerah. Setelah semalaman dia menunggu di depan ICU berharap ada kabar menggembirakan dan akhirnya dokter keluar juga dan menjawab kecemasannya.
Kabar terbaru Nala membuat Kava tenang dan memutuskan untuk pulang. Bagaimana tidak, sebab sang ibu berulang-ulang menelepon. Wajar, kedatangan Kava ke Jayapura untuk cuti, bukan untuk mengurus orang asing yang sakit. Apalagi sampai terlibat dalam masalah hidupnya.
Sesampainya di rumah, Kava langsung mencium dan memeluk kedua orang tuanya. Mereka melepas rindu yang tlah tertahan bertahun-tahun. Kava tertawa, bersenda gurau bersama. Suka cita menikmati masakan sang ibu yang teramat dirindukannya. Oseng bunga pepaya, ikan bakar, sambal kecap, dan kepiting lada hitam sudah masuk dengan nyaman ke perut rampingnya. Kava kenyang, senang, dan bahagia.
Akan tetapi, meski mulutnya tersenyum penuh canda, tapi hatinya cemas memikirkan Shanala. Apa dia sudah bisa duduk sendiri? Apa dia sudah makan dan tidak kelaparan lagi? Apa yang sedang dipikirkan gadis itu? Lalu bagaimana kalau gadis itu menyakiti dirinya lagi? Kava mulai gamang oleh otaknya yang berkecamuk banyak tanya.
“Apa aku harus memastikanmu?” gumam Kava sambil termenung di beranda rumahnya. Sesekali memandang bapak dan mamaknya yang sedang suka cita membakar jagung.
“Tapi kalau sampai mereka tahu tentang ini, apa yang harus kukatakan?” sambung Kava lagi. Dialognya dengan diri sendiri mulai menemui kebuntuan.
Maka saat hari telah berganti pagi lagi, dia putuskan datang ke rumah sakit. Kava hanya pamit akan ke rumah teman sekolahnya. Namun, sekarang kini dia sudah berdiri bimbang di depan kamar Nala. Dia ragu melangkah masuk sebab situasi ramai dengan banyak orang macam kepolisian dan orang-orang dari maskapai.
Tentu saja peristiwa ini masih jadi sorotan banyak pihak. Jelas saja, seorang pramugari maskapai nasional tiba-tiba jatuh ke danau dalam kondisi memakai infus. Ada apa? Terlalu aneh, ‘kan?
Sama anehnya dengan kedatangan Kava ke depan kamar Nala saat ini. Tampaknya kedatangan Kava ke rumah sakit tidak tepat. Banyak pihak yang penasaran dengan lelaki itu, sebab dia satu-satunya orang yang ingin menjenguk Nala. Apalagi pihak Angkatan Udara mengenali Kava sebagai saksi mata peristiwa itu.
Otomatis dia langsung dicerca banyak pertanyaan dari berbagai penjuru. Setengah jam dia dicerca banyak tanya yang harus dijawab dengan sabarnya. Setengah jam pula dia harus tertahan di depan kamar sembari menahan penasaran karena kabarnya Nala tak mau membuka mulut.
Akhirnya, Kava berhasil lepas dan dia langsung memutuskan masuk ke ruangan Nala. Tertegun melihat gadis itu menatap kaca jendela lebar sambil melamun. Ekspresinya datar dan matanya sendu. Mulut pucat keringnya hanya mengatup. Pandangannya fokus pada pemandangan Danau Sentani di seberang yang biru dan hijau perdu. Padahal rambut lurusnya terurai berantakan. Tanpa disisir atau ditata rapi seperti kebiasannya selama ini.
Kava berjalan mendekat dengan hati-hati. Sesekali menatap pemandangan danau dan gantian ke wajah datar Nala. “Selamat pagi, Mbak! Kabarnya gimana?” sapa Kava yang diabaikan Nala.
Hanya hening. Suasana sepi dan hanya terdengar detak jarum jam.
Kava tersenyum tipis sambil berusaha menggapai wajah Nala. Namun, gadis itu hanya diam tanpa ekspresi. “Masa Mbak abaikan saya? Bibir kita bahkan pernah bersentuhan lho!” ganggunya usil setengah tersenyum lagi.
Nala langsung menatap Kava tajam, seperti meminta penjelasan. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, lagi-lagi.
Pria tinggi itu berdehem salah tingkah sambil mengubah posisi duduknya. “Maksud saya, Mbak tenggelam dan saya memberikan pernapasan buatan. PCR atau resusitasi jantung paru, Mbak. Bukan apa-apa,” ralat Kava tak enak dengan suara terbata-bata.
Shanala hanya diam, kembali melengos cuek tak mau menanggapi apa pun. Pemandangan danau lebih menarik daripada lelaki tampan yang sedang menatapnya penasaran itu. Bagi Nala, tiada yang lebih dia inginkan selain berpikir banyak dalam diam.
Merasa Nala mengabaikannya, Kava mengikuti alur waktu mereka. Kini dia ikut memandang danau berwarna perpaduan hijau dan biru itu. “Bagus danaunya, ya, Mbak?” ucap Kava tak berharap dibalas. “Sayang sempat dinodai oleh seseorang yang ingin meninggal di sana.”
Pandangan Nala berubah. Kali ini dia menatap Kava lekat. Dia berpikir, siapa lelaki ini sebenarnya? Tiada lelahnya mengajaknya bicara, di saat dirinya sudah malas berkata apa pun.
Namun, hatinya terlalu sesak untuk diam lagi. Akhirnya, dia memberanikan diri untuk membuka mulut. “Kenapa Bapak suka sekali mengganggu saya?” ucapnya lemah.
Hati Kava mekar. Wajahnya menghangat semangat. Dia langsung menatap Nala antusias. Kenyataan bicara, dia kini bisa berbicara dengan Nala. Nala sudah membalas sapaannya.
“Kenapa harus Sentani, Mbak?” Kava memandang mata Nala yang sembab dengan lembut. Ingin rasanya dia merengkuh Nala dalam pelukannya tatkala menanyakan kalimat barusan. Entah kenapa dia bisa selancang itu.
Nala kembali bungkam dan menunduk.
Namun, Kava tiada gentar. Masih saja mulut lancangnya itu bicara. Rasa penasaran mengalahkan segalanya. Rasa penasarannya berbalut empati yang kuat. “Kenapa Mbak tidak memilih tambang atau pisau? Lebih cepat, ‘kan?” sindir Kava.
Gadis itu menghela napasnya yang berat. Dia hanya bisa meremas-remas tangannya untuk meredakan kekalutan. “Buat apa hidup kalau nggak ada guna. Nggak pernah ngerasa bahagia, selalu dikecewakan dan mengecewakan,” ucap Nala tanpa menatap Kava.
Kava merasa cukup mengaduk dan mengacaukan gadis itu. Mungkin sudah saatnya kini dia memuaskan penasarannya tentang siapa Nala, dari mana gadis itu berasal, atau mungkin pertanyaan santai yang lain.
“Hei, boleh nggak kita kenalan?” Kava mengulurkan tangannya dengan pandangan santai. “Saya Kavalery,” ucapnya kemudian.
Nala menatap Kava nanar. “Apa Bapak ini memang suka ikut campur?”
Sudah saatnya Nala membalas kelancangan Kava. Dia tak mau direndahkan terus menerus. Kava seolah sedang merangsek masuk ke dalam ranah pribadinya. Dia tak suka itu.
Namun, Kava hanya tersenyum tipis. Sesantai itu dia menanggapi wajah curam tak suka milik Nala. Dia rasa menghadapi tingkah labil Nala perlu sedikit sikap resek. Pembawaan yang selengean mungkin membuat Nala kesal, sekaligus balik penasaran kepadanya.
“Letnan Satu Penerbang Kavalery Kartiko E-77 Lazuardi. Itu nama saya. Panjang, ‘kan?” cerocos Kava yang lagi-lagi tak dipedulikan Nala. Padahal lelaki itu sudah memberikan kerling matanya yang manis, tapi Nala terlalu enggan menanggapi.
Dalam benaknya masih sama, Kava adalah penumpang kurang ajar mata keranjang yang kurang kerjaan mencemari hidup berantakannya dari kemarin.
Namun, pria itu terus saja merangsek masuk dalam pertahanan hati Nala yang berusaha dikuat-kuatkan. “Saya tentara, fokusnya adalah rakyat dan negara. Mbak Shana adalah rakyat yang sedang butuh pertolongan. Jadi, saya hanya melakukan tugas saja. Maaf memang saya terlalu naif,” ungkapnya dengan suara sabar tanpa emosi, meski mimiknya serius.
Nala menatap Kava tajam. Matanya sampai tidak berkedip. “Saya nggak butuh pertolongan!” Lalu pandangannya mengendur. “Hanya satu orang yang boleh memanggil saya ‘Shana’,” desahnya kosong. Pandangannya hilang arah.
“Kekasihnya, ya, Mbak?” ganggu Kava santai sambil menangkap lagi wajah Shana.
Shanala mendelik emosi. Mulutnya sampai menggeram. “Bukan!” jawab Nala keras sambil menangis.
Dia menutup muka dengan kedua tangannya. Menangis hingga bahunya terguncang. Dia tersedu sedan sebab emosinya yang naik turun bak timbangan.
“Kalau Bapak hanya ingin meminta keterangan seperti polisi dan lainnya, saya tidak akan bicara!” bisiknya sambil terisak.
Akhirnya, semua terbuka. Kenapa sikap Kava yang semakin menyebalkan saat menghadapi Shanala. Kava memang diminta untuk membuat Nala angkat bicara tentang kejadian kemarin. Petugas di luar ruangan berpikir mungkin Kava bisa membantu. Apalagi sejak awal Kava sudah ada di tempat kejadian sebagai penyelamat Shanala.
Kava duduk di kursi di samping ranjang, dan mengubah raut mukanya menjadi lebih serius. Gestur badannya lebih tegap dan formal. Tak ada lagi mata resek dan mulut selengean. “Baik, kalau gitu saya nggak akan bicara sebagai petugas.”
“Anggap saja saya kawanmu,” imbuh Kava serius tapi sambil bersandar ke kursi dan melipat kakinya santai. “Apalagi kita sudah bertukar nama. Kenapa nggak bertukar cerita juga?” pintanya kemudian.
Shanala kembali melotot tajam. “Jangan ganggu saya, Pak. Saya mohon, saya ingin sendiri,” hardik Nala tak terlalu kuat sebab ia kemudian menenggelamkan mukanya di lipatan kaki.
“Saya nggak akan biarin Mbak sendiri, nanti Mbak cemarin keindahan alam lagi gimana? Alam Papua adalah kesayangan saya, tolong jangan dinodai, ya!” pesan Kava santun sambil meletakkan sapu tangan dongkernya di pangkuan Nala.
Tangis Nala terjeda sebab diberi sapu tangan saat menangis itu terlihat sangat klasik. Dia melirik tipis Kava yang terlihat mengerutkan kedua alisnya. Pria tampan itu terlihat simpati, tapi masih penasaran padanya. “Bahkan, orang sini pun menolak saya,” ucapnya sinis.
“Kata siapa?” tanggap Kava cepat. “Tuhan nggak pernah menolak Mbak Nala. Buktinya, sampai sekarang masih diberi napas. Masih diberi kesempatan,” bela Kava alot.
Nala menghempas udara dengan napasnya. “Iya, kesempatan untuk disakiti lagi!” simpul Nala sedih.
“Jadi ini alasan kenapa kamu tersenyum, tapi matamu sedih. Sebenarnya kamu ini siapa, Shanala?” batin Kava penasaran.
“Kenapa Bapak ini selalu ikut campur pada hidupku? Dia adalah orang pertama yang sibuk mengurusiku padahal kami tidak kenal. Siapa dia?” batin Nala penasaran.
Mereka terdiam dan meresapi penasaran masing-masing.
Sepuluh menit, dua puluh menit, hingga setengah jam mereka masih hening. Berkecamuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Hingga Kava memecah hening itu dengan sodoran cangkir teh yang mengepul. Dia dapat dari suster rumah sakit yang tadi sempat masuk diam-diam.
Nala hanya menatap datar cangkir teh yang mengepul di tangan Kava itu. Dia tak menampik jua tak mau menerimanya. Sampai Kava menunjuk cangkir itu dengan dagu sebagai tanda Nala harus menerimanya. Sayangnya, gadis itu kembali melengos ke arah lain untuk mengabaikan Kava.
“Kita harus efisien dalam apa pun, termasuk waktu. Mau sampai kapan Mbak bungkam dan membuat banyak orang menunggu? Mbak, saya ini sedang cuti, orang maskapai di depan sana sedang bekerja, dan polisi yang menunggu Mbak itu harus segera menangani kasus lain. Ayolah selesaikan semua ini!” bujuk sekaligus desak Kava sabar. Kava berusaha membuat kontak mata dengan Nala, tapi gadis itu tetap enggan. Dia lebih suka menatap langit pagi yang mulai berganti siang terik dari kaca jendela.
“Lalu apa yang saya dapat setelah ini? Pemecatan tanpa pesangon? Dimasukkan RSJ? Atau ditampar lagi?” berondong Nala dengan mata kosong.
Kava memandang Nala fokus. “Saya pastikan Mbak dapat yang terbaik. Ceritakan pada saya, apa masalah Mbak. Siapa tahu saya bisa membantu,” bujuknya lagi.
Nala memandang Kava sejenak. “Saya tidak mau cerita pada orang asing,” putus Nala sambil merebahkan tubuhnya.
“Bukankah kita sudah bertukar nama?” ucap Kava.
Pandangan Nala berubah. Dia memutuskan untuk duduk, tapi masih membelakangi Kava. Kehadiran pria itu mulai mengusiknya. Lelaki gagah ini bukan sekedar iseng mengganggunya, dia lebih terlihat ke penasaran. Bukan, lebih kepada peduli.
“Apa membuka luka pada orang asing itu bagus? Apa orang asing itu bisa menerima cerita saya?” tanya Nala gamang dengan hati berdebar-debar.
“Percayalah Mbak, bercerita pada angin atau ombak itu lebih menyenangkan daripada ke orang. Saya nggak keberatan kok dianggap keduanya, angin atau ombak,” Kava mulai memancing Nala. Sepertinya bujukan itu berhasil.
Nala membalik badannya dan menatap Kava. “Untuk semua cerita ini, saya mohon jangan disebar kepada siapa pun. Susah bagi saya membuka luka.” Gadis itu menatap Kava penuh harap.
“Tidak perlu membuka luka, Mbak. Saya hanya ingin tahu motif Mbak jatuh ke danau, sudah!” tegas Kava singkat.
Pandangan Nala menunduk. Tangannya memainkan alur seprai di samping pahanya. Sepertinya dia tak perlu membuka semua masalahnya pada Kava. Ya, dia masih bisa menyimpan luka itu sendiri.
---
Setengah jam mereka terlibat perbincangan santai, tapi serius. Kadang Nala tertawa tanpa sebab, meski matanya kosong. Kadang dia tiba-tiba menangis tersedu hingga Kava menenangkannya. Tentara itu menjalankan peran lain saat ini demi kepentingan banyak pihak. Termasuk pihak hatinya yang sangat penasaran ingin mengenal Nala. Dan tiga puluh menit itu cukup baginya untuk tahu siapa Nala.
“Jadi Mbak ini jiwa yang kesepian, ya?” tanya Kava santai sambil menyesap teh hitamnya. Cangkir kedua dalam tiga puluh menit.
Nala memutar bola matanya bingung. “Saya terdengar sangat menyedihkan,” ucapnya dengan suara bergetar sedih.
“Terjun ke danau bukan pilihan yang bijak, Mbak,” komen Kava sambil memangku satu kakinya.
“Hanya itu yang terbaik menurut saya,” ucap Nala pelan.
Kava menata sikapnya menjadi tegak lalu memandang Nala serius. Dia berdehem dua kali sambil membaca kertas di tangannya. “Baik, sekali lagi saya bacakan hasil wawancara kita, ya? Motif Mbak jatuh ke danau adalah sedih dengan masalah hidup, dan di sini perlu diralat bahwa Mbak tidak bunuh diri, ya? Mbak hanya jatuh pingsan tepat di tepi danau sehingga tercebur begitu saja.” Kava membaca tulisan di kertas dengan teliti.
“Iya, Pak,” jawab Nala pasrah.
“Oke,” ucap Kava pendek sambil berdiri dan membelakangi Nala. Pandangannya hanya fokus pada kertas penuh coretan di depannya.
“Bagaimana bisa mereka percaya ke saya untuk nangani kasus ini, ck!” Kava berdecak heran sambil beringsut keluar.
Nala menghela napasnya panjang setelah Kava keluar ruangan. Dia kembali berbaring dan merapatkan selimut sampai ke lehernya. Menatap langit-langit kamar dengan perasaan entah, tak tergambarkan. Bukan perkara mudah baginya menyembunyikan resah. Niatnya yang buruk tadi disamarkan oleh Kava dengan mudahnya, cukup sedikit negosiasi.
“Oke, beres!” Kava kembali masuk ke ruangan Nala dan membuat pandangan gadis itu berubah cemas. Dia kembali duduk saat Kava mendekat.
“Bapak mau apa?” tanya Nala ragu.
Kava duduk lagi di kursinya dan menatap Nala, “bukan tanpa alasan saya menutupi kenyataan, Mbak. Sekarang waktunya Mbak Nala bercerita semua pada saya. Siapa Mbak sebenarnya, kenapa bunuh diri menjadi pilihan terakhir? Kenapa tingkah Mbak di pesawat aneh, mengulang sesuatu dan pecinta kebersihan?” berondong Kava tanpa ampun dengan mata tajam.
Nala menunduk dengan napas tersengal-sengal. “Saya tidak mau bercerita apa pun!” tolak Nala alot.
“Mbak!” Kava menahan tangan Nala lalu melepaskannya. Wajahnya langsung tidak enak. “Maaf kalau saya menyentuh Mbak tanpa izin. Hanya saya sangat penasaran. Kenapa wajah Mbak bahagia, tapi terlihat sedih?” lanjutnya ragu.
Mata Nala mulai berkaca-kaca. “Itu bukan hal yang pantas untuk diceritakan pada orang asing,” tolaknya lirih.
“Maka jadikanlah saya teman Mbak Nala. Boleh?” simpul Kava secepat kilat. Tentu saja membuat Nala kaget bukan main.
“Saya tidak biasa berteman dengan orang asing.” Lagi-lagi dia memberikan penolakan.
“Kalau kita berteman, itu bukan orang asing lagi namanya,” bujuk Kava dengan sabar.
Nala hening. Sesekali dia menarik napasnya dalam-dalam. Sesekali dia juga melirik Kava yang sangat fokus padanya. Pria ini menarik pikir Nala. Dua mata tajam dan alis tebalnya itu seolah menyiratkan rasa peduli yang tak biasa. Padahal bukan waktunya Nala memikirkan tentang rasa cinta, ah, atau mungkin sekedar tertarik.
“Apa Mbak anak broken home?” tebak Kava hati-hati karena Nala terlihat melamun.
Nala menggangguk. “Saya korban KDRT ibu kandung saya, Pak.”
“Ya Tuhan, sayang sekali. Setega itukah menyakiti anak secantik dia?” sesal Kava dalam batin.
“Verbal atau …,” tebak Kava pelan dengan terus menutupi iba di hatinya. Dia berusaha menetralkan suara meski hatinya sakit.
“Keduanya, verbal dan fisik. Tamparan, hinaan, cacian, tendangan, tarikan keras adalah makanan saya sehari-hari, Pak. Saat usia 18 tahun, saya kabur dari rumah. Tidak tahan dan diusir begitu saja.” Cerita Nala mulai mengalir. Gadis itu mulai menemui kenyamanan saat Kava mulai terlihat santai. Sikap badan mereka mengendur tidak tegang lagi.
“Baik, kalau Mbak tidak nyaman boleh berhenti saja,” ucap Kava cemas karena air mata Nala mulai mengalir.
Nala menggeleng. “Udah terlanjur bercerita ke Bapak Tentara.”
“Baik, silakan lanjut!” Kava mempersilakan Nala dengan santai.
“Kamu sudah mulai nyaman, ya?” batin Kava senang dan lega.
Nala terlihat lebih kuat dari sebelumnya. Mungkin karena beban di hatinya mulai berkurang. Apalagi Kava terlihat sabar meladeni setiap racauannya. Entah sadar atau tidak, Nala mulai nyaman bercerita. Seperti kepada teman sendiri, seperti Jihan.
“Saya akan dirumahkan selama dua bulan, Pak. Saya difitnah menjadi simpanan pilot senior, padahal tidak. Dia yang suka menggoda saya. Entah pengaruh kekuasaan mungkin, saya tidak kuasa melawan,” ucap Nala di menit 45 mereka berbincang.
Nala menutup mulutnya dengan gulungan tangan meski ceritanya terus mengalir. Hatinya tidak kuat, apalagi Kava terlihat sangat sabar menghadapinya. “Saya hanya pramugari tahun pertama dan masih pegawai kontrak, tak punya kuasa apa-apa. Kemarin adalah last flight saya sebelum grounded,” urai Nala emosional sembari memukul-mukul kasur.
Kava menepuk punggung Nala lembut. “Ya, nggak apa, Mbak. Keluarkan semua emosimu,” ucapnya sambil menarik napas panjang.
Sesaat Nala menyeka air matanya sambil berdehem membersihkan tenggorokan. “Maaf kalau Bapak tidak mengerti istilah yang saya pakai ….”
“Oh nggak, santai aja, Mbak. Saya paham kok,” ucap Kava kalem.
“Bapak, penyuka dunia aviasi?” tanya Nala bingung dengan mata polos yang menatap Kava.
Kava hanya menahan gemasnya dengan senyuman kalem. “Sebenarnya saya pilot F-16, Mbak,” ungkapnya lirih.
Nala melongo. Kenapa dia sebodoh itu tak menanyai Kava lebih jauh. Siapa dia? Apa pekerjaannya? Ya, bukankah tadi dia bilang tentara. Namun, tentara banyak jenisnya. Seketika, dia menutup mulutnya rapat-rapat.
Kava menyodorkan tangan halus di depan wajah Nala. “Silakan teruskan, Mbak,” ucap Kava karena Nala kembali diam.
Pandangan matanya tak terarah. “Apa cuma saya yang merasa bodoh saat ini?”
“Santai aja, Mbak. Kita di dunia yang sama,” kata Kava kalem.
“Jadi, saya sedang berbicara dengan orang yang hebat?” komentar Nala yang terdengar sinis.
“Kenapa, apa profesi saya mengganggu Mbak Nala?” tanya Kava penasaran.
Nala menggeleng. “Hanya, kenapa saya harus berurusan dengan pilot lagi? Pengalaman saya tidak baik.”
“Jadi, kekasih Mbak pilot?” pancing Kava.
Nala menatapnya tajam. “Mantan, Pak.”
Kava terdiam. Pantas Nala terlihat depresi dan putus asa. Disakiti ibu kandungnya dan mantan pacar sudah cukup memukul hati. Maka rasa penasarannya bertambah lagi.
“Apa mantan Mbak menyakiti Mbak juga?” tanya Kava memberanikan diri.
“Iya,” jawab Nala pelan. “Saya cuma dijadikan taruhan di antara teman-temannya.” Pandangannya menerawang lurus.
Tangan Kava teremas emosi. Bagaimana bisa mereka begitu kejam pada perempuan selemah Nala? Sisi optimisnya tentang kehidupan sedikit tersibak, tak semua manusia beruntung hidup di dunia ini. Memiliki wajah cantik dan pembawaan kalem tak lantas membuat Nala beruntung dan disukai banyak orang.
“Kenapa manusia mudah sekali menyakiti orang lain?” tanya Kava tanpa perlu jawaban.
Nala memandangnya lekat hingga Kava berkata lagi, “sumpah, mereka nggak menyesalkah melakukan semua ini pada Mbak?”
“Entahlah, Pak,” jawab Nala pesimis sambil menyeka air matanya yang tak pernah kering.
“Mbak, percaya deh Mbak itu seperti matahari pagi, harapan semua orang. Rugi banget orang yang udah menyia-nyiakan Mbak.” Kava sedikit melempar pujian.
“Bapak tidak usah menggoda saya seperti itu,” tolak Nala enggan.
“Saya memuji lho ini,” tegas Kava lagi.
“Bagi saya itu sebuah hinaan,” timpal Nala mulai santai.
Bahkan, tanpa sadar dia tersenyum tipis. Menyadari itu aneh, Nala kembali cemberut. Dan itu membuat Kava juga menyusut senyumnya.
“Lihat, pertemanan kita tak buruk-buruk amat, ‘kan?” tanya Kava lega sembari menodongkan kedua tangannya di depan Nala meminta persetujuan.
“Iya,” jawab Nala ragu.
“Boleh nggak kita berjabat tangan?” Kava mengulurkan tangannya lagi.
Nala menunduk ragu. “Saya takut kontak fisik dengan orang lain, Pak. Bagaimana kalau tangan orang itu kotor? Bagaimana kalau tangan saya yang mengotori tangan orang lain?” ujarnya ragu.
“Oh gitu, sebentar,” Kava celingukan ke penjuru kamar hingga dia menemukan sebuah botol alkohol.
Dia memencet isinya dan membalurkan alkohol semua permukaan tangannya dengan santai. “Maaf tanpa bermaksud menyinggung Mbak, tangan saya sudah steril kok. Saya toleran dengan jabat tangan dan sejenisnya, jadi … maukah bersalaman dengan saya?” tawarnya kemudian.
Nala menimbang ragu permintaan Kava. Dia tertegun sekian detik sembari menatap tangan dan wajah Kava bergantian.
“Siapa orang aneh ini? Wajahnya tampan, tapi suka sekali mengurus hidupku yang mengerikan,” batin Nala heran.
“Ayo!” ajak Kava lagi ditambah tunjukan dari dagunya.
Dengan ragu tangan itu terulur. “Shanala Arunika.”
Kava menyambut tangan itu dengan bungah. Seolah tak percaya bahwa dinding pertahanan Nala runtuh secepat ini. Kesempatan ini tak disia-siakan Kava. Siapa tahu dia bisa menyelami hati gadis itu.
“Kavalery …,” ucap Kava sambil tersenyum bahagia.
“Kartiko E-77 Lazuardi,” imbuh Nala terbata sambil tersenyum. “Nama yang panjang dan unik, Capt.”
Kava mengacak rambut belakangnya salah tingkah. “Duh, jangan manggil saya Capt, Mbak. Mbak bisa panggil saya yang lain. Mas mungkin,” harap Kava sedikit malu.
Nala hanya tersenyum. Gerakan itu terjadi secara refleks. Mungkin Kava adalah orang aneh yang bisa melipur laranya saat ini.
“Mbak nggak penasaran sama nama saya?” tanya Kava bersemangat. “E-77 itu callsign saya pada setiap misi penerbangan, Mbak. Diberikan komandan saat saya lulus pendidikan transisi di lanud,” jelasnya masih bersemangat.
“Siapa pun Bapak, yang jelas itu sangat hebat,” simpul Nala. “Hanya, Bapak tak pandai mencari teman. Kenapa harus tertarik pada kehidupan saya yang mengerikan ini?” Nala meremehkan dirinya sendiri seperti biasa.
Senyum Kava susut dan mimik mukanya serius. “Seaneh apa pun, saya hanya ingin Mbak Nala hidup dengan baik setelah ini. Jangan berpikir untuk menyakiti diri sendiri lagi. Seberat apa pun masalah, tolong hadapilah. Itu akan menguatkan Mbak,” pesan Kava bijak sambil mengantongi sapu tangan dongker bekas Nala. Dia tak jijik atau sejenisnya.
“Kita bekerja di ketinggian. Saya rasa kita sering merenung tentang filosofi kehidupan. Seberat apa pun, jangan pernah menyalahi takdir. Ingat Tuhan sayang pada hambaNya yang penuh semangat dan optimis. Kehidupan yang ingin Mbak akhiri bisa saja kehidupan yang didamba orang lain.” Kava terus saja membeo sampai tanpa sadar Nala menatapnya lekat.
Bahkan, Nala sampai setengah melamun kali ini. Dia menatap fokus pada Kava yang terdengar dewasa sekali. Kava berbicara bijak tanpa menatapnya. Sikapnya tidak kurang ajar, tapi santun karena tak mau lama-lama berkontak mata.
“Mbak cantik, cekatan, pintar karena harus menghapal prosedur penerbangan yang panjang. Mbak itu unik, suka kebersihan walau itu dibilang OCD. Namun, yakinlah, Mbak pasti bisa melewati badai ini dengan baik,” oceh Kava yang masuk ke telinga Nala dan merasuk ke otaknya.
Pesan-pesan Kava terus mengalir. Membuat hati Nala yang bergemuruh berangsur tenang. Orang aneh di depannya ini memang hebat. Selain pandai menaklukkan jet tempur, dia juga pandai mengambil hati Nala yang remuk.
“Stay alive and be happy, Mbak!” pungkas Kava sambil tersenyum kalem.
“Terima kasih, Captain,” balas Nala pelan walau mengacaukan wajah Kava.
“Ck, captain lagi!” seloroh Kava pura-pura ngambek. Nala hanya tanpa sadar terkekeh renyah.
“Nasi pecel masih enak kok kepikiran bunuh diri, Mbak?” gerutu Kava mulai santai lagi.
Sadar baru saja tertawa terlalu lebar, Nala kemudian hanya tersenyum samar. Dia rasa mulai ada cahaya yang menuntunnya keluar dari kegelapan. Apa terlalu cepat jika dia bilang itu Kavalery?
***
Episode 8 Maukah Kau Menjabat Tanganku? 10 Maret 2019, aku sedang menatap lurus pemandangan di depan mata. Duduk sendirian berteman sepi meski di tengah keramaian pasien rumah sakit. Rumah sakit ini berbatasan dengan Danau Sentani yang teduh nan hijau. Danau tenang itu seperti tak mampu menghapus gulanaku. Tidak ada yang membuat anganku tertarik meski angin sejuk menerpa kulit putih ini. Ketenangan air danau itu juga tak bisa menenangkan gejolak ombak hatiku. Tak ada yang menarik selain pikiranku yang berkecamuk di benak. Pikiran itu melayang ke wajah seseorang yang membuatku mulai tak bisa tidur. Dia teramat baik untuk dipandang. Kata tampan sudah cukup mewakili parasnya saat tersenyum padaku. Kata santun mungkin sudah jadi nama tengahnya saat bicara denganku. Siapakah dia, yang tiba-tiba datang dan menyelamatkanku? Matanya sipit dengan iris hitam legam, sorot matanya tajam s
Di sebuah ruang berlatar hitam, ada sebuah lampu yang menyala terang. Kulihat ada seorang ibu berdaster bunga-bunga nan cantik sedang membelai seorang anak sekolah berseragam merah putih. Wajahnya terlihat penuh sayang dan kasih, sedangkan si anak menimang piala di tangannya dengan riang. Kemudian dari sudut yang lain, ada anak berbaju daster merah muda nan lusuh sedang memegang bunga mawar merah yang berantakan. Maklum itu bunga tangan buatannya sendiri. Namun, maknanya tulus untuk diberi kepada sang ibu yang tak memperhatikannya sama sekali. Memang kentara sekali kalau si anak berdaster lusuh dipinggirkan, diabaikan. Entah kenapa hatiku sakit saat melihat pemandangan di depan ini. Ingin kuhentikan, kualihkan pada adegan lain. Namun, semua berada di luar
Sesekali kulirik tangan jenjang berotot itu, hati ini berdebar lagi. Tangan besar yang hangat dan kuat membawa setir pesawat tempur itu bisa membuatku terpukau. Tangan orang dari profesi yang teramat kukagumi, mungkin profesi dari orang yang pernah menyakitiku. Tangan tegas itu baru saja memelukku dan sekarang kami berjalan beriringan. Captain Kava mengajakku berteduh di sebuah hanoi di depan rumah bernuansa cokelat. Sebab hawa juga mulai panas menusuk kulit. Di bawah rumah tradisional ini kami mungkin sekedar duduk berdua. Entah, aku tak terlalu berani menduga yang lebih dari itu. Dia masuk terlalu jauh dalam hidupku. Terlibat pada kerumitan dan kekusutan seorang Shanala. Hanya karena dalih peduli.“Duduklah, Mbak! Saya mau panggil teman dulu,” suruhnya sambil menatapku lekat. Dia kemudian menunjuk seb
Dia menyodorkan selembar kertas berisi tulisan yang rapi. Sebuah deretan angka bernama ‘Kavalery Kartiko’. “Saya tetap menunggu jawaban Mbak Nala. Ini nomor saya, jangan sungkan menghubungi saya meskipun itu pukul 12 malam. Saya akan datang ke Jakarta untuk menjemput Mbak.” Kalimatnya kembali terngiang, saat di parkiran bandara Sentani tadi, dia mengucapkan itu. Hingga sekarang aku sudah berada di atas langit Makassar, semua masih terngiang jelas. Captain Kava masih jadi penghias lamunan kesepianku. Sepanjang jalan di langit malam yang sedih, hatiku mulai berani merindukannya. Apa pernikahan itu memang serius? Sumpah, aku tak berani memikirkannya. Siapalah aku ini? Kenapa harus menikah? Kenapa tidak dijadikan adik atau anak angkat keluarganya saja kalau cuma bermotif identi
Kukira akan menghabiskan dua bulan masa hukuman ini dengan hari yang sedih. Kukira aku akan pontang-panting ke sana-sini dengan mencari uang tambahan untuk menyambung hidup. Kukira akan menghabiskan hari yang sunyi dengan merindukan setiap penerbangan. Ternyata semua perkiraan itu salah.Aku malah berada pada sebuah perjalanan menuju pangkalan udara di daerah Jawa Timur. Bersamanya, lelaki yang nekat mengajakku menikah demi sebuah pertolongan. Lelaki ngeyel yang rela mengorbankan hidupnya, merelakan hidupnya yang sempurna demi aku. Captain Kava mungkin sudah gila sejak dia mengenalku.Nyatanya, aku manut pada keputusan gilanya itu. Ikut dalam perjalanan untuk menghadap sidang pernikahan militer, mungkin. Aku awam tentang dunia itu, termasuk pernikahan. Bahkan, aku tak menyangka akan menikah secepat ini. Menikah di masa hukumanku, sama sekali tak kusangka.Kata dia, semua niat baik pasti dimudahkan. Kurasa itu benar. Setelah tinggal di Jakarta selama tiga hari un
“Jihan!” Kupeluk erat tubuh wanita itu sembari memanggil namanya. Tetap hangat seperti biasa. Dia tersenyum riang sambil menimang pipiku. Dia bahkan menggodaku dengan tatapan nakalnya, sesekali dilempar pada Captain Kava yang sedang memesan nasi pecel. Entah bagaimana bisa Jihan datang ke kota ini dan menemuiku.“Sumpah Na, kamu nemu manusia ganteng itu di mana sih? Bukan cuma itu, dia membuatku nangis semalaman saat bilang akan meminangmu!” curah Jihan dengan mata berkaca-kaca.“Kapan kalian bertemu?” tanyaku bingung sambil mengambil duduk berdua. Kami berbincang, dia memberikanku kesempatan. Captain Kava berbincang berdua dengan suami Jihan yang rupanya diajak juga ke Magetan. Seperti dapat hadiah besar yang tak kusangka-sangka.
Sayup-sayup suara elekton dan musik menjadi pelan. Mungkin karena jarum jam sudah menunjuk angka dua belas malam. Sudah tengah malam dan banyak warga asrama yang tidur. Lagipula tidak etis jika membuat keributan di asrama dan sampai mengganggu orang lain demi kepentingan pribadi, sebut saja syukuran pernikahanku. Acara hari ini selesai dengan lancar. Aku pun sudah selesai berganti baju. Semua riasan sudah dibersihkan, termasuk perintilan aksesoris dan lainnya. Aku sudah duduk manis di tepi ranjang sambil celingak-celinguk. Hatiku mulai ketar-ketir. Jujur, aku takut dengan kelanjutan malam ini. Apa yang akan dilakukan captain Kava setelah ini? Dia masih di luar, aku masih mendengar gelak tawanya bersama bapak. Namun, setelah ini dia pasti mas
Ibu selalu keras dalam mendidikku sejak kecil. Dulu aku tak pernah diizinkan bangun siang, kesiangan. Setiap pukul empat pagi, ibu selalu menggedor pintuku keras-keras. Tak lupa dibuka kasar dan melemparku dengan teriakan nyaring. Tak pakai lama aku langsung bangun dengan ketakutan, pernah sampai menangis. Namun, lama kelamaan aku biasa. Bangun dari tidur karena sebuah kemarahan, bentakan, bahkan kadang cipratan air di muka. Oh iya, pernah juga dengan hantaman benda dapur macam panci di tubuhku, itu sudah biasa. Aku pun terbiasa bangun pagi tanpa dipaksa lalu bergerak melakukan pekerjaan rumah tangga. Beda dengan Vanya yang bisa bangun seenaknya dan bebas pekerjaan rumah tangga. Sebab semua sudah kuselesaikan, meski dengan tanganku yang kecil dan masih ringk
Blak! Sebuah pintu kayu dibanting dengan kuat oleh dua buah tangan yang gemetaran. Bibir wanita ayu bermata lentik itu bergetar, berusaha dikatupkan erat, dan digigit kuat-kuat. Dia jua menempelkan punggungnya kuat-kuat pada pintu pembatas antara kamar dan ruang tengah rumah dinas itu. Matanya yang lentik perlahan menelurkan bulir bening tiga kali. Kini ada sebuah aliran air mata yang seperti sungai di pipi tembam itu. Wanita ayu itu sedang menangis. Pagi ini sebuah harapannya dipatahkan oleh sebuah kenyataan pahit. Dia kira anak bayi itu adalah sosok yang menyenangkan bila di dekatnya. Nyatanya, wanita ayu bernama Shanala itu merasa salah besar. Justru dia merasa tertekan saat harus menghadapi bayinya yang menangis keras. Suara tangisnya tetap tembus kendat
Pagi baru saja mendatangi hari saat aku tercenung sendiri di kamar mandi. Dari kejauhan terdengar merdu suara azan Subuh yang menentramkan hati. Saking syahdunya, air mata satu tetes jatuh di pipi. Apalagi pemandangan alat kecil di atas ubin kamar mandi itu sejenak menimbulkan haru. Dua garis merah nan terang, positif. Aku sedang mengandung buah hati mas Kava. Tentu saja napasku tertahan tak percaya. Untung saja terantisipasi dengan hasil dari alat yang satunya. Aku menoleh ke gelas satunya dan mendapati hasil yang sama. Dua bahkan lima alat kecil pipih itu tetap bergaris dua merah terang. Aku hamil. Jadi, inilah
Jika bekerja di udara yang penuh risiko itu seperti tidur, maka berkumpul dengan keluarga seperti mimpi yang indah. Setelah menikmati pekerjaan yang menyenangkan itu, serasa mimpi bisa berkumpul dengan bapak, mamak, dan juga dia, Mas Kava. Sekarang kami berempat duduk di meja makan bulat. Sedang menikmati ikan kuah kuning, nasi beras merah, ikan bakar, dan juga kerupuk bawang. Tak lupa mamak memotong buah semangka merah dan kuning. Bapak memecah beberapa kelapa muda dan dibuat es kuwut bali. Makan sederhana seperti ini sudah membuatku sangat bahagia. Mereka lebih mahal dari makanan restoran super mewah. Sebab tak setiap hari aku menikmatinya. “Non, makan yang banyak. Kenapa ko pu badan makin kurus ka?” Mamak membelai pipiku lembut. (Kenapa badanm
Dini hari pukul 1 sudah menyapa langit Makassar. Burung besi itu sedang mengarungi langit setinggi 37.000 kaki dengan kecepatan sekitar 600 kilometer/jam. Udara kabin terasa dingin menusuk, sebab udara ketinggian bisa di suhu minus derajat. Rerata penumpang NA-990 sedang terlelap meski di tengah desing mesin jet. Namun, ada sebuah suara yang berbeda dan terasa sedikit mengganggu suasana bising itu. Berisik di tengah kebisingan. Tangis bayi berusia lima bulan terasa menyayat sebagian hati, sebagian lagi memilih tak peduli. Namun, ada jua yang merasa sangat terganggu hingga menoleh ke kursi belakang – tempat si bayi berusaha ditenangkan. Ada si ibu yang frustrasi sebab bayi mungilnya tak henti menangis. Entah karena apa, si ibu sedang menerka-nerka. Mana
Terbiasa bekerja dalam risiko membuat semua hal kecil berarti pertanda. Kukira firasat tak enak itu terjadi karena perubahan kecil mas Kava yang senang memanggilku “Sayang” belakangan ini. Ternyata bukan. Ternyata perasaan buruk itu karena sebuah musibah akan menimpa salah seorang sahabat terbaikku. Mbak Astri, yang super ceriwis nan cantik itu telah pergi. Bersama dengan 42 orang penumpang burung besi nahas itu. Mereka terbang terlalu tinggi hingga tak bisa mendarat lagi di dunia. Menyakitkan harus bertutur seperti ini. Lagi, mataku membasah jika menceritakannya. Tak hanya itu, ada rekan baik Mas Kava yang tanpa sadar sering dia ceritakan. Turut pergi selamanya dalam musibah itu. Semua terasa kebetulan, tidak, ini sudah ta
“Selamat pagi Desember tanggal 28, semoga baik dan lancar untuk semuanya,” harap Nala sambil menghimpun kedua tangannya di depan hidung dan mulut. Dia memejamkan matanya yang lentik lalu membukanya perlahan. Menghadap ke arah pukul tiga, ada Senior Flight Attendant Donna yang sedang tersenyum manis. Pagi ini, Donna menjadi cabin 1 penerbangan rute Surabaya – Jakarta – Jakarta – Surabaya. Pramugari semampai itu menyapa Nala dengan ramahnya. “Sudah siap, Dek? Lavatory?” Nala mengangguk penuh hormat dengan senyuman indah. “Siap, Mbak. Sudah bersih dan siap digunakan.” Nala menjawab dengan sig
Terima kasih Matahari Pagi yang Hangat telah menyapaku di permulaan Desember. Tak terasa, tlah sampailah aku di penghujung tahun ini, bulan Desember tanggal 1. Masih di tahun yang sama, 2019. Tahun penuh kejutan, setelah kesakitan dan air mata. Tahun aku melepas predikat gadis dan lajang, menjadi seorang wanita bersuami. Aku bahagia meski musim sedang hujan. Meski arunika pagi jarang menyapaku, menyisakan hawa dingin di jajaran embun. Tak mengapa sebab sudah ada yang memelukku siang dan malam – saat sedang tak bekerja. Untung saja pagi ini matahari itu menyapaku dengan hangat bahagia. Ini adalah bulan keduaku pindah ke base 2 di Surabaya. Jarak yang lebih dekat dari Magetan. Hanya beberapa jam aku bisa bertemu dengannya, kami tak lagi didera j
Nelayan yang sudah berpengalaman pasti sudah terbiasa dengan datangnya badai. Mereka bersiap, mereka telah kuat. Mereka mempersiapkan, membangun tiang-tiang kapal nan kuat. Jika diterjang, mereka akan mudah untuk hidup dan bertahan. Kapal dan nelayannya selamat melewati samudera. Pun sama denganku, badai yang datang lagi ini berusaha kuatasi sekuat tenaga. Meski rasanya sama, sakit sekali. Aku berusaha melewati badai kehidupan seperti seorang nelayan yang berpengalaman. Bukankah sejak kecil aku sudah hidup dalam badai. Maka, air mata di pipiku terasa sudah kering. Mata hanya bisa kosong terpaku pada suatu titik saat mereka sibuk mengurusi “badai”. “Badai” dari masa laluku itu bernama ibu. Dan aku telah terlibat dengannya
Berulang-ulang pintu itu diketuk tangan berotot Kava, masih tak ada jawaban. Bujukan manis lembutnya menguap ke udara. Tak ada jawaban berarti dari dalam kamar mandi dingin itu. Hanya terdengar suara air gemericik tanpa suara manusia. Membuat lelaki itu makin cemas dari detik hingga detik. “Dek … buka pintunya, ya? Saya mohon, Dek!” Kava kembali mengetuk pintu sambil menggenggam sebuah kresek kecil. Bujukan dengan suara lembutnya terus mengalir, tapi Nala hanya diam. Keputusannya pergi ke apotek untuk membeli obat luka berbuah sesal. Sepeninggal Kava, Nala beranjak lemas dari ranjang menuju kamar mandi. Dia mengguyur sekujur badannya dengan dinginnya air. Matanya kosong tak ada ekspresi. Tak hanya itu, tangis dan pandangan datar adalah hia