Home / Romansa / Roman (sa) Arunika / Episode 2 Menjahit Mimpi

Share

Episode 2 Menjahit Mimpi

last update Last Updated: 2021-04-06 15:10:17

“Bu … bukain pintunya … Nala takut petir,” rintihku sambil mengetuki kaca jendela.

            Aku sedang berada di luar rumah. Memandang ke dalam rumah melalui kaca jendela kamar. Suara tangisku kalah dengan suara air hujan yang menimpa genting. Kemudian petir menggelegar dan berhasil menakutiku lebih dalam. Lagi, kuketuk kaca lagi. Berharap ibu luluh.

“Bu … tolong, Bu,” pintaku kelu sambil memandang dress bunga-bunga di badan – baju kesukaan saat aku masih duduk di kelas 1 SD.

Berhasil. Ibu mendatangiku dengan langkah kuat. Meski wajahnya masih penuh marah, tapi kuyakin akan dibukakan pintu dan diizinkan masuk. Mana rela mendengar tangisan ketakutanku. Namun, ternyata ….

“Diam di situ kamu! Renungi kesalahanmu!” bentak Ibu sambil memelototiku dari balik kaca.

Kupandang wajah Ibu yang cantik dengan memelas. “Takut, Bu … bukain! Nala janji nggak nakal lagi. Nala nggak akan minta kuenya Mbak Vanya lagi,” ujarku memohon ampunan, kedua tangan kusatukan di depan jendela.

“Nggak!” tolak Ibu sembari menutup gorden dengan kasar.

            Dia berlalu tanpa menolongku. Jelas dia menolak aku masuk ke rumah. Sebab tak lama kemudian terdengar tawa cekikikan dari dalam. Sepertinya ibu sedang bergurau riang dengan mbak Vanya. Di antara suara televisi, keduanya terdengar senang sekali.

Sesekali tercium aroma roti hangat yang baru matang dari oven. Jujur, aku lapar. Aku kembali menangis sambil mengelus perutku yang kempes. Adakah seseorang yang menolongku di saat seperti ini? Sepertinya Tuhan mulai mendengar tangisan sedihku.

“Nala, kamu ngapain di luar?” tanya Bapak dengan wajah cemas.

Bapak datang dari bekerja. Bapak kemudian meletakkan payung dan meletakkan tubuh kecilku di pangkuannya. Matanya terlihat penuh tanya, apalagi aku tak berujar apa-apa selain hanya menangis.

“Kamu kenapa sih, Nak?” selidik Bapak makin cemas.

“Bapak!” Kupeluk Bapak dengan erat. “Nala takut, Pak. Ayo masuk rumah!” ajakku dengan tangis tersedu.

            Bapak menggendong tubuh ringkihku yang masih berusia 7 tahun itu ke dalam rumah. Tentu saja dibukakan pintu karena yang mengetuk dan memberi salam adalah bapak. Bapak kemudian masuk sambil mendatangi ibu, setelah mendudukkanku di sofa bersebelahan dengan mbak Vanya. Wajah Bapak tegang sekali, entah kenapa.

“Kamu apain lagi anak ini, hah!” semprot Bapak pada Ibu yang menatapnya penuh tantangan.

Ibu memandang Bapak tajam. “Ngapain kamu bawa masuk anak sialan ini! Dia habiskan kue kakaknya. Vanya kelaparan sepanjang sekolah karena dia! Dia pantas dihukum!” Ibu menunjuk wajahku dengan suara keras.

            Mbak Vanya menangis, sama denganku. Bapak dan ibu bertengkar hebat di depan kami. Mereka ribut, besar sekali. Suaranya keras, hingga aku takut dan berlari masuk kamar. Aku menangis takut di bawah meja sambil memegang sepotong roti. Sembunyi tentu saja, aku biang kerok saat ini.

Tak berapa lama kemudian setelah suara ribut itu hening, ibu masuk kamar dan berhasil menemukanku. Aku gemetar ketakutan, pandangan ibu seperti hantu yang jahat. Kemudian, ibu menarikku keluar dari bawah meja. Sebuah pukulan melayang di punggungku, keras sekali. Aku menangis ketakutan hingga roti yang kubawa jatuh.

“Gara-gara kamu Ibu bertengkar dengan bapak! Kamu memang anak pembawa sial!” kutuknya sambil meninju mataku yang sedang menangis.

            Gelap, dan seluruh tubuhku sakit. Aku gemetaran seperti kedinginan. Hingga guncangan itu makin keras dan mataku terbuka dalam kondisi basah.

“Nala! Na!” panggil Jihan dengan tatapan cemas.

Aku langsung terduduk dan mengedarkan mata ke sekeliling ruang. Ini kamar Jihan bukan kamarku di rumah itu. Seketika menyadari peristiwa mengerikan barusan itu cuma mimpi buruk. Ya, sekarang aku bukanlah anak tujuh tahun itu lagi, melainkan sudah berusia delapan belas tahun dan sudah keluar dari rumah itu. Kini aku duduk di depan Jihan sambil menata pikiranku satu persatu.

“Kamu kenapa?” tanya Jihan lagi makin cemas. “Kamu menendang seperti ketakutan. Kamu berontak dan aku cemas, Nala. Ayo kita ke rumah sakit, ya? Aku ada uang kok,” ajak sekaligus bujuknya.

Aku menggeleng, “aku nggak apa-apa, Han. Cuma mimpi buruk,” tepisku.

“Kamu mau teh hangat?” tawarnya yang kuiyakan.

Hari ini bulan Februari tahun 2018, aku duduk berdua dengan Jihan sambil memeluk cangkir teh hangat. Memandangi bulir hujan di kaca sembari memeluk kaki. Meresapi suara hujan yang turun deras di atas genteng tanpa banyak dialog.

Kami banyak diam dengan pikiran masing-masing di pagi yang dingin karena hujan. Sampai pada suatu menit, Jihan memecahnya dengan sebuah obrolan. Meminggirkan cangkir teh yang isinya tinggal setengah itu sambil memandangi sahabat karibku.

“Tidak maukah kamu bercerita tentang hidupmu, Na? Katakan saja semua padaku,” ucap Jihan sambil memandangku iba.

“Kamu tahu jika hidupku tak lebih baik daripada ini. Aku hidup sendiri sejak usia lima belas tahun, bapak ibuku nggak tahu ke mana. Aku berjuang hidup dengan normal, nggak sampai hancur kayak anak broken yang lain. Intinya, aku dibuang oleh keegoisan mereka. Ceritalah, hem?” bujuknya lagi sambil memegang lenganku dengan tangannya yang hangat.

Aku tersenyum sedih. “Hidupku terlalu mengerikan untuk didengar, Han.”

“Apa sangat berat untuk mengingatnya?” tanya Jihan pelan yang kujawab anggukan.

            Apa cerita tentang kekerasan dalam rumah tangga antara ibu dan anaknya itu patut ditulis, didengar, atau diceritakan? Sekarang kutanya, menurut kalian, ibu itu apa?

            Kata orang, ibu adalah malaikat tak bersayap. Namun, hanya rupanya yang cantik seperti malaikat. Rupa itulah yang dia turunkan penuh padaku. Wajah cantik, hidung mancung, bibir tipis, kulit putih bersih, dengan mata bulat mungkin jadi anugerah terindah yang pernah kumiliki.

Namun, tak pernah sekali pun kujumpai ibu seperti malaikat. Kutukan, kata kasar, umpatan, pukulan, tendangan, bentakan, jambakan, lemparan benda keras, itulah cara ibu menunjukkan apa yang namanya kasih sayang.

Ibu mengajarkan membaca dengan pukulan. Ibu mengajarkan mencuci baju dengan membuang bajuku. Melarang bermain dengan cara mengurungku di ruang gelap hingga malam menjelang. Ibu mengajari rajin mandi dengan menyeretku paksa ke kamar mandi hingga terjatuh dan gigiku tanggal 2.

Oh iya, aku juga sering dilarang masuk rumah sampai malam setelah melakukan kesalahan. Hingga aku melewatkan waktu makan dan kelaparan sepanjang malam. Awalnya, bapak tidak tahu perbuatan ibu. Dengan apiknya itu disembunyikan. Namun, pada akhirnya ketahuan juga. Bukannya mereda, ibu justru makin menjadi-jadi.

Namun, ibu bisa jadi malaikat yang lembut pada Mbak Vanya. Kakakku itu selalu disayang kendati melakukan kesalahan. Meski tak sempurna, ibu selalu menyanjungnya. Ibu pernah menghantam kepalaku dengan parutan kelapa karena aku dianggap melukai mbak Vanya. Padahal aku tahu betul, dia dilukai teman lelakinya, Harun. Namun, tak ada satu pun kalimatku yang didengar.

Setiap mbak Vanya terluka karena kami bermain bersama, selalu aku yang disalahkan. Pernah aku memutuskan main sendiri, tapi malah dihukum ibu karena dianggap tidak menemani mbak Vanya. Intinya, ibu selalu ingin kami saling membenci. Mbak Vanya tidak boleh menyayangiku laksana adik.

Ibu makin bangga saat mbak Vanya berhasil masuk ke kedokteran. Aku merasa makin dianaktirikan. Mungkin benar jika ada istilah anak kandung bagaikan anak tiri itu. Aku saksi hidupnya, aku mengalaminya.

Seorang ibu akan mengirim selaksa doa untuk anaknya, terkecuali aku yang selalu didoakan mati atau musnah dari dunia ini.

“Nala?” Jihan menyenggolku pelan. Seperti biasa, aku terjatuh dalam lamunan.

Aku mendongak dan berusaha tersenyum kuat. “Kisah hidupku terlalu panjang, Han.”

“Nala, tak bisakah kamu menjadi manusia normal saja? Menangislah jika sedih, tertawalah jika senang. Jangan sebaik ini, Na! Sialan!” kutuk Jihan dengan air mata.

Dia menunduk, menutup mulut dan wajahnya dengan kedua tangan. Dia menangis hingga bahunya terguncang pelan. Kadang terisak karena mungkin wajahku sangat menyedihkan.

“Hei, aku baik saja, oke!” ucapku bohong sambil mencari-cari wajahnya.

            Lebih suka kukurung sedih ini dalam-dalam. Sebab lebih sakit saat membukanya. Orang lain tak perlu tahu lukaku, bukan?

            “Kukira, pasti bahagia punya orang tua, meski hanya seorang ibu saja. Nyatanya, hidupmu tak jauh menyakitkan dibanding aku, Nala. Kukira kamu bahagia punya keluarga. Ternyata …,” ungkap Jihan dalam isaknya.

            “Ternyata sama mengerikannya, ‘kan?” pungkasku sambil memeluknya.

---

“Setelah ini apa rencanamu?” tanya Jihan sambil menjemur pakaian yang tadi dicucinya.

            Hujan telah reda, menandaskan dingin yang membelai Jakarta yang terkenal panas. Perlahan matahari yang kurindukan itu menyembul dari balik mendung. Mengeringkan baju, mungkin air mata kami karena menangis cukup lama tadi.

Kuedarkan mata ke arah langit yang mulai cerah sambil menyipitkan mata karena terlalu silau. “Aku ingin bekerja. Kuliah apalagi jadi dokter terlalu tinggi, Han,” ungkapku.

“Kerja apa? Di mal aja kayak aku?” tanya sekaligus ajaknya penuh semangat.

Kutatap lagi langit yang masih tersisa mendung. “Entah, mungkin iya,” jawabku gamang.

“Hem, tunggu bentar!” Jihan beranjak masuk dan keluar lagi, lalu duduk di sebelahku dengan membawa sebuah selebaran. “Gimana kalau kamu masuk ke sini?” tawarnya semangat.

            Kubaca selebaran itu dengan teliti. Brosur perekrutan pramugari maskapai nasional pelat merah berkibar di depan mataku. Kutatap Jihan penuh tanya. “Kenapa harus flight attendant?” tanyaku bingung.

“Kamu tinggi, cantik, dan menarik. Bahasa asingmu juga bagus, sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan,” jawabnya dengan wajah semangat. Tangan terkepal dua penuh tekad.

“Aku ingin kerja yang mudah saja, sepertimu,” ucapku putus asa sambil melipat kertas itu.

Jihan beringsut makin dekat ke tubuhku. “Nala, aku tahu kamu punya potensi. Mimpimu tinggi. Dengan menjadi pramugari, kamu pasti bisa membuktikan ke ibumu, bahwa membuangmu adalah kerugian besar. Kamu harus bisa bikin dia menyesal!” tekad Jihan masih berapi-api.

“Aku terlalu sayang sama ketabahanmu yang luar biasa,” pungkasnya kemudian.

Kutatap dia dengan senyum geli. “Aku mana ada uang untuk sekolah pramugari, Han,” ucapku pias.

“Aku ada uang. Pakailah dulu, nggak apa-apa,” bujuknya lagi.

Aku menggeleng dan kembali menatap langit. “Itu cita-cita yang terlalu tinggi untukku, Han! Langit itu terlalu tinggi untuk dijelajahi. Aku nggak mau ngrepotin kamu terus,” tolakku kuat.

Jihan menepuk pundakku optimis. “Memang, karena kamu akan selalu ada di ketinggian. Kalau kamu kerja di udara, intensitas pertemuan dengan ibumu pasti berkurang. Dan ketika nanti dia melihatmu … woah! Pasti spechless, nggak nyangka! Bangga! Menyesal banget!” ucap Jihan berapi-api dengan mata berbinar-binar.

Aku tergelak kecil dan mengelus kening lebamku. “Kamu makin ngacau aja, Han!”

“Coba saja dulu, Na! Kuyakin kamu pasti bisa!” bujuknya lagi.

            Kugelengkan kepala, membuyarkan impian liar itu. Mimpiku memang tinggi, kuliah dan jadi dokter. Namun, mimpi jadi pramugari itu adalah pikiran terkonyol yang pernah diutarakan Jihan. Manusia tak berguna dengan masa lalu mengerikan macam aku ini bisa jadi apa?

---

Aku terdiam dan tenggelam dalam lamunan rumit di sebuah kursi, di dalam ruang dengan banyak orang. Suara-suara ramai di sekitarku menjadi hening karena aku terpaku pada satu hal. Vonis demi vonis dari dokter spesialis jiwa, dokter Hasana, kembali terngiang di benakku. Bercamuk satu demi satu membiaskan kewarasan yang sudah goyah dari dulu.

“Saya takut keramaian. Takut dengan pandangan-pandangan banyak orang. Mereka seolah mengejek saya. Oh iya, saya juga merasa tidak berguna. Tidur pun tak bisa, makan tak selera. Sebenarnya saya kenapa, Dok?”

“Post Traumatic Stress Disorder, itu nama gangguan yang sedang Anda alami saat ini. Penyebabnya bisa macam-macam, tapi menurut saya Anda mengalami ini karena penganiayaan, kekerasan verbal dan fisik yang membuat trauma.”

“Hasil pemeriksaan menunjukkan, Anda sering mimpi buruk, mengigau dan menangis ketakutan karena teringat potongan peristiwa buruk. Itu adalah gejala PTSD. Depresi yang Anda derita masih taraf ringan, Anda masih bisa sembuh dengan berobat dan konseling.”

Masih kuingat wajah beliau saat memberiku vonis PTSD, raut sedih dengan kening berkerut dan kedua tangan terlipat ke atas meja. Mungkin tak menyangka, bahwa aku yang masih delapan belas tahun saat itu sudah mengalami PTSD. Mau tak mau, aku membuka aib diri sendiri dan keluarga.

Memang aku korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Dan itu membuat dokter Hasana terhenyak untuk sepersekian detik saat itu. Seolah tak percaya bahwa di balik senyum riang dan wajah ramahku, tersimpan luka besar yang menganga.

Sejenak, kuresapi kembali vonis-vonis yang sudah terpaku di dalam kepala itu tanpa peduli sedang di mana. Sampai pada sebuah suara mengembalikanku ke dunia nyata saat ini, dunia di mana usiaku sudah sembilan belas tahun. Setahun setelah menerima vonis PTSD. Dan hampir setahun pula aku menerima konseling gratis dari beliau karena tahu aku pasien kurang mampu.

“Nala, kita harus boarding! Ke posmu sana!” tunjuk pemilik suara itu dengan cekatan.

            Aku gagap dan menoleh. Teguran Mbak Wenda menggugah lamunanku. Lagi, aku terjatuh dalam lamunan dalam hening seperti tadi. Sekarang, aku sadar sedang ada di mana dan sedang berbuat apa. Gegas aku berjalan cepat di aisle untuk segera berdiri di pintu masuk bagian depan, menyambut penumpang yang akan terbang bersama benda ini.

            Hari ini adalah 1 Februari 2019. Tepat setahun setelah aku menghayal konyol bersama Jihan perihal cita-cita sebagai pramugari di beranda kosnya. Ternyata itu bukan banyolan, Tuhan menuntunku menjadi pramugari yang sesungguhnya. Ini tahun pertamaku, bulan ke delapan aku terbang bersama Nusantara Airlines, sebuah maskapai nasional pelat merah milik pemerintah.

            Dan siang ini aku sedang bertugas untuk penerbangan Jakarta tujuan ke Lombok. Hatiku bahagia karena akhirnya bekerja di tempat yang sebelumnya cuma seperti mimpi. Maka aku menjalani semua tugasku dengan tulus tanpa beban hati.

“Selamat siang Bapak, boleh saya lihat boarding pass-nya?” tanyaku ramah sambil menyungging senyum di depan pintu masuk pesawat.

Kubaca kertas tipis dari tangan si bapak. “27F, silakan ke belakang belok kanan, ya, Pak!” pintaku ramah sambil menerima uluran boarding pass selanjutnya.

            Aku kembali tersenyum bangga pada para penumpang yang terlihat ramah. Ya, inilah aku, Shanala Arunika, manusia yang berusaha menyembunyikan depresinya dengan menjadi sosok baru, pramugari. Seperti mimpi dan aneh, bukan? Aku bahkan seperti mengelabuhi diriku sendiri dalam tes psikologi. Kadang tidak percaya bahwa aku sudah sampai di titik ini.

            Setelah vonis dokter yang masih terngiang sampai detik ini, aku masih berobat dan sampai kini masih sering konsultasi. Aku berusaha membuka diri, menerima kenyataan, dan bekerja keras untuk sembuh. Aku mulai cuek dengan takdir, tak peduli cap anak durhaka di jidat.

            Aku bahkan tak peduli dengan anggapan orang lain. Fokus pada pengembangan diri menjadi lebih baik dan sukses. Aku menjalani hidup dengan terbuka, menerima semua garisan yang pahit ini. Memaafkan semua yang terjadi dalam kelas konseling, meski entah berhasil atau tidak.

Untung ada Jihan yang masih sering meminjamiku uang, untuk berobat ke sana sini. Meski konsultasi gratis, obat tetap bayar. Jihan juga tak segan mengeluarkan uang untuk biayaku menjadi pramugari. Ia yang getol menolong, meski aku sudah bekerja sebagai kasir minimarket saat itu.

            Jihan bak bapak dan ibu, orang tua bagiku. Dia mendukung mimpiku sampai di titik ini. Doanya ampuh mengetuk pintu Tuhan untuk menolongku. Sehingga cuma dialah yang datang dan kuundang saat malam inagurasiku sebagai pramugari. Mungkin benar, Jihan adalah temanku satu-satunya. Bersyukur Tuhan masih memberiku teman yang baik.

            Saat aku mendapat gaji pertama sebagai pramugari, Jihan yang paling bahagia hingga memelukku seerat mungkin. Dia menangis dan berpesan agar aku rajin menabung demi masa depan. Masalah utang, lunasi saja perlahan. Dan aku hanya tersenyum tak enak saat itu.

            Tenang saja, aku sudah melunasi semua hutangku di gajian bulan ketiga. Bayaran kerja di maskapai ini lumayan, apalagi aku sering terbang.

            Perihal memaafkan ibu, ya? Itu cuma sekedar usahaku di kelas konseling, berusaha saja. Mungkin aku memaafkan, tapi tidak dengan melupakan. Semua masih terekam utuh di otak. Bagaimana ibu memperlakukan dan membesarkanku selama ini, semua masih kuingat sampai detail terkecil.

            Namun, ada yang tersisa dari trauma yang kualami, gangguan pikiran yang terus menerus timbul dan sangat mengganggu. OCD (Obsessive Compulsive Disorder) istilahnya. Aku jadi orang yang takut kotor, terkena kuman atau penyakit, suka kebersihan, sangat suka kerapihan, dan kadang khawatir pada hal yang tak perlu. Aku pernah kembali ke kos karena cemas sudah mematikan kompor atau belum. Padahal sudah kuperiksa puluhan kali sebelum berangkat.

            Sekompleks itu, efek trauma masa kecil dan remajaku sangat menakutkan. Namun, semua kusembunyikan baik-baik di balik senyuman dan keramahan saat bekerja. Aku bisa menjadi orang lain saat memakai atasan encim warna biru muda dan kebaya biru tua motif parang ini. Ya, seorang pramugari dengan senyum cerah dan wajah ramah.

“Mbak, ini pakai sabuknya gimana?” Pertanyaan Ibu seat 4C membuatku menoleh.

Setelah menutup kompartemen bagasi, aku mendatangi si ibu dengan sabar. Aku tersenyum. “Boleh saya bantu?” tawarku.

“Iya Mbak,” jawabnya ramah.

Kusatukan buckle dan gesper sampai berbunyi ‘klik’ lantas tersenyum ramah lagi. Tak lupa kuberi petunjuk lanjutan. “Sudah Bu, begini cara mengendurkan dan merapatkan. Ada lagi?”

“Terima kasih,” ucap ibu itu dengan senyum puas, kemudian dia mengamati wajahku. “Mbak cantik sekali, ya?” pujinya.

Aku tersipu, tapi tak percaya dengan sebuah pujian. “Terima kasih, Bu.”

            Selesai bertugas, aku lantas melipir ke galley belakang untuk melakukan hal yang lain. Celingukan ke kanan dan ke kiri sambil membuka handbag dan mengeluarkan sebuah botol plastik, menyemprot kedua tanganku dengan hand sanitizer sampai tiga kali. Meniup-niupnya hingga kering dan terasa kesat.

Jujur aku takut bersentuhan dengan benda atau orang asing. Bagaimana kalau sabuk pengaman dan tubuh ibu tadi ada kumannya? Bagaimana kalau kuman yang berbahaya? Aku nggak mau terpapar lalu sakit dan terkapar mati. Ya, tanganku harus bersih.

Maka, sekali lagi kusemprot kedua tangan dengan cairan berkadar alkohol 70% itu. Lebih banyak lebih baik, bukan?

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ummi Khai
......... yampun dampaknya sampai segitunya. semoga Nala lepas dr semua depresinya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Roman (sa) Arunika   Episode 3 Dunia Baru Shanala

    Sebuah ruang gelap terfokus pada nyala lampu gantung yang terang, aku sedang melihat seorang anak perempuan berkuncir pita merah sedang duduk di depan ibunya. Wajah si ibu tidak ramah, cenderung kejam dengan satu alis yang naik dan mulut mengerucut tajam. Padahal wajah si ibu bisa berubah sehangat sup ayam yang dia makan saat menghadapi gadis berambut pendek di sebelahnya. Bahkan si ibu menyuapi gadis berambut pendek itu dengan wajah penuh syukur. Kontras saat matanya kembali berkontak dengan si gadis berkuncir pita merah, langsung mencuram layaknya tebing. Ibu itu tampak benci gadis berkuncir merah, sayang pada gadis berambut pendek. Si ibu selalu membedakan keduanya berdasarkan standar absurd buatan dirinya sendiri. Entah itu apa, yang jelas si ibu tak ada baik-baiknya pada gadis berkuncir pita merah.

    Last Updated : 2021-04-06
  • Roman (sa) Arunika   Episode 4 Hari yang Buruk

    Dulu, setiap hari adalah hari yang buruk bagiku. Kenapa, sebab selalu menangis saat hari itu. Awalnya aku tidak mengerti buruk itu apa, sampai pada rasa sakit di badan yang memancing tangisku. Baru kusadari itulah rasa sakit, rasanya buruk sekali hingga membuatku takut. Bahkan, untuk tidur saja aku takut – ibu nanti datang ke mimpiku. Setiap kali bapak pergi bekerja, kejadian buruk itu langsung dimulai. Ibu menjadi sosok yang sangat berbeda bila hanya ada aku dan mbak Vanya. Baru saja aku senang bermain boneka, datang ibu yang marah karena aku terlalu berisik. Baru saja aku senang bermain masak-masakan, datang ibu yang marah dan membuang semua mainanku. Tak lupa beberapa buah cubitan mendarat di kulitku. Berakhir dengan aku yang menangis sambil menutup mulut biar ibu tidak makin terganggu. Ibu sangat suka melihatku menangis, mungkin menurutnya lucu. Namun, semenjak mengambil keputusan besar di

    Last Updated : 2021-04-06
  • Roman (sa) Arunika   Episode 5 Cerita Masa Lalu

    “Seorang anak tetap suci, Shana. Sekalipun ibumu membenci kehadiranmu, Bapak sangat menyayangimu seperti Vanya.” Suara bapak terngiang lagi di benakku. Berulang-ulang hingga sepuluh kali lebih. Kusadari bahwa bapak adalah malaikat yang tak bersayap, lebih layak disebut seperti itu. Sehebat itu hatinya bisa menerima anak hasil zina yakni aku. Bahkan, berapa kali bapak pasang badan untukku, membelaku di depan ibu. Bahkan, bapak pergi setelah membelaku. Wajar tak mau hidup dengan ibu. Bisa memaafkan ibu saja sudah luar biasa. Dan tadi aku telah menyakiti bapak untuk kesekian kalinya. Aku pergi meninggalkannya saat bapak masih ingin memelukku. Sebab aku terlalu hina untuk disentuh bapak. Aku hanyalah penghancur rumah tangganya. Sebab karena aku rumah

    Last Updated : 2021-04-06
  • Roman (sa) Arunika   Episode 6 Roman Arunika

    Bu Rasmina tertawa pongah sambil menatap wajah kosong Nala. Ibu paruh baya itu bahkan tak menurunkan pandangan sombongnya sambil melipat tangan di depan ruangan crew centre. Entah apa alasannya cepat-cepat datang ke tempat kerja Shanala setelah mendapat info dari mantan suaminya. Mungkin untuk sekedar menengok putri bungsunya, atau hanya ingin menghancurkan kehidupan si bungsu yang tak pernah indah. “Jangan di sini!” larang Nala dingin sambil berjalan keluar. Niatnya mengusir sang ibu dari depan ruang crew centre agar mereka leluasa berdebat atau sekedar melepas emosi. Nala tak mau makin merusak namanya di tempat itu. Meski masih tinggi hati, bu Rasmina mengekori Nala. Mereka sampai di sebuah kafe bandara yang sepi dan sedikit temaram. Sepertinya suasana cocok untuk berdebat panas melepas “rindu pahit”. “Mau apa, Bu?” Sapaan Shanala lebih kepada sebuah sindiran tajam. Apalagi mata sembabnya seolah badai yang siap menerjang siapa saja. Bu Rasmina berde

    Last Updated : 2021-04-06
  • Roman (sa) Arunika   Episode 7 Jiwa yang Kesepian

    Lelaki bertubuh tinggi berkulit putih itu terlihat gusar. Berulang-ulang dia mengetukkan sepatu PDL hitam tebalnya ke lantai sambil menggigiti jemari. Kadang dia melongok pada arloji di tangan kirinya dan kembali mondar-mandir dengan bingung di depan sebuah ruang. Hatinya berada di ambang cemas dan gusar karena memikirkan nasib seseorang. Kava tak bisa tenang, sangat teramat cemas dengan sesekali melongok ke arah pintu ruang crew centre Sentani Airport. Sesekali menggigit bibirnya karena pintu itu tak kunjung terbuka. Dia memikirkan nasib Shanala yang tadi ditandu keluar dari lavatory pesawat dalam kondisi pingsan, lalu dibawa ke ruang itu. Kava cemas berbalut rasa sesal. Penyesalannya cuma satu, kenapa dia tadi tak menolong gadis itu. Andai saja dia lebih berani melangkah tadi. Entah bagaimana cerita bisa berubah secepat ini. Awalnya rasa di hati cuma penasaran karena kecantikan Nala dan seny

    Last Updated : 2021-04-06
  • Roman (sa) Arunika   Episode 8 Maukah Kau Menjabat Tanganku?

    Episode 8 Maukah Kau Menjabat Tanganku? 10 Maret 2019, aku sedang menatap lurus pemandangan di depan mata. Duduk sendirian berteman sepi meski di tengah keramaian pasien rumah sakit. Rumah sakit ini berbatasan dengan Danau Sentani yang teduh nan hijau. Danau tenang itu seperti tak mampu menghapus gulanaku. Tidak ada yang membuat anganku tertarik meski angin sejuk menerpa kulit putih ini. Ketenangan air danau itu juga tak bisa menenangkan gejolak ombak hatiku. Tak ada yang menarik selain pikiranku yang berkecamuk di benak. Pikiran itu melayang ke wajah seseorang yang membuatku mulai tak bisa tidur. Dia teramat baik untuk dipandang. Kata tampan sudah cukup mewakili parasnya saat tersenyum padaku. Kata santun mungkin sudah jadi nama tengahnya saat bicara denganku. Siapakah dia, yang tiba-tiba datang dan menyelamatkanku? Matanya sipit dengan iris hitam legam, sorot matanya tajam s

    Last Updated : 2021-04-21
  • Roman (sa) Arunika   Episode 9 Pelukan Pertama di Ujung Dermaga

    Di sebuah ruang berlatar hitam, ada sebuah lampu yang menyala terang. Kulihat ada seorang ibu berdaster bunga-bunga nan cantik sedang membelai seorang anak sekolah berseragam merah putih. Wajahnya terlihat penuh sayang dan kasih, sedangkan si anak menimang piala di tangannya dengan riang. Kemudian dari sudut yang lain, ada anak berbaju daster merah muda nan lusuh sedang memegang bunga mawar merah yang berantakan. Maklum itu bunga tangan buatannya sendiri. Namun, maknanya tulus untuk diberi kepada sang ibu yang tak memperhatikannya sama sekali. Memang kentara sekali kalau si anak berdaster lusuh dipinggirkan, diabaikan. Entah kenapa hatiku sakit saat melihat pemandangan di depan ini. Ingin kuhentikan, kualihkan pada adegan lain. Namun, semua berada di luar

    Last Updated : 2021-06-11
  • Roman (sa) Arunika   Episode 10 24 Jam untuk Selamanya?

    Sesekali kulirik tangan jenjang berotot itu, hati ini berdebar lagi. Tangan besar yang hangat dan kuat membawa setir pesawat tempur itu bisa membuatku terpukau. Tangan orang dari profesi yang teramat kukagumi, mungkin profesi dari orang yang pernah menyakitiku. Tangan tegas itu baru saja memelukku dan sekarang kami berjalan beriringan. Captain Kava mengajakku berteduh di sebuah hanoi di depan rumah bernuansa cokelat. Sebab hawa juga mulai panas menusuk kulit. Di bawah rumah tradisional ini kami mungkin sekedar duduk berdua. Entah, aku tak terlalu berani menduga yang lebih dari itu. Dia masuk terlalu jauh dalam hidupku. Terlibat pada kerumitan dan kekusutan seorang Shanala. Hanya karena dalih peduli.“Duduklah, Mbak! Saya mau panggil teman dulu,” suruhnya sambil menatapku lekat. Dia kemudian menunjuk seb

    Last Updated : 2021-06-11

Latest chapter

  • Roman (sa) Arunika   Special Part 2 Benarkah Tidak Seindah Harapan?

    Blak! Sebuah pintu kayu dibanting dengan kuat oleh dua buah tangan yang gemetaran. Bibir wanita ayu bermata lentik itu bergetar, berusaha dikatupkan erat, dan digigit kuat-kuat. Dia jua menempelkan punggungnya kuat-kuat pada pintu pembatas antara kamar dan ruang tengah rumah dinas itu. Matanya yang lentik perlahan menelurkan bulir bening tiga kali. Kini ada sebuah aliran air mata yang seperti sungai di pipi tembam itu. Wanita ayu itu sedang menangis. Pagi ini sebuah harapannya dipatahkan oleh sebuah kenyataan pahit. Dia kira anak bayi itu adalah sosok yang menyenangkan bila di dekatnya. Nyatanya, wanita ayu bernama Shanala itu merasa salah besar. Justru dia merasa tertekan saat harus menghadapi bayinya yang menangis keras. Suara tangisnya tetap tembus kendat

  • Roman (sa) Arunika   Special Part 1 Momen Pertemuan

    Pagi baru saja mendatangi hari saat aku tercenung sendiri di kamar mandi. Dari kejauhan terdengar merdu suara azan Subuh yang menentramkan hati. Saking syahdunya, air mata satu tetes jatuh di pipi. Apalagi pemandangan alat kecil di atas ubin kamar mandi itu sejenak menimbulkan haru. Dua garis merah nan terang, positif. Aku sedang mengandung buah hati mas Kava. Tentu saja napasku tertahan tak percaya. Untung saja terantisipasi dengan hasil dari alat yang satunya. Aku menoleh ke gelas satunya dan mendapati hasil yang sama. Dua bahkan lima alat kecil pipih itu tetap bergaris dua merah terang. Aku hamil. Jadi, inilah

  • Roman (sa) Arunika   Episode 31 Hari Penebusan Rindu

    Jika bekerja di udara yang penuh risiko itu seperti tidur, maka berkumpul dengan keluarga seperti mimpi yang indah. Setelah menikmati pekerjaan yang menyenangkan itu, serasa mimpi bisa berkumpul dengan bapak, mamak, dan juga dia, Mas Kava. Sekarang kami berempat duduk di meja makan bulat. Sedang menikmati ikan kuah kuning, nasi beras merah, ikan bakar, dan juga kerupuk bawang. Tak lupa mamak memotong buah semangka merah dan kuning. Bapak memecah beberapa kelapa muda dan dibuat es kuwut bali. Makan sederhana seperti ini sudah membuatku sangat bahagia. Mereka lebih mahal dari makanan restoran super mewah. Sebab tak setiap hari aku menikmatinya. “Non, makan yang banyak. Kenapa ko pu badan makin kurus ka?” Mamak membelai pipiku lembut. (Kenapa badanm

  • Roman (sa) Arunika   Episode 30 Cinta

    Dini hari pukul 1 sudah menyapa langit Makassar. Burung besi itu sedang mengarungi langit setinggi 37.000 kaki dengan kecepatan sekitar 600 kilometer/jam. Udara kabin terasa dingin menusuk, sebab udara ketinggian bisa di suhu minus derajat. Rerata penumpang NA-990 sedang terlelap meski di tengah desing mesin jet. Namun, ada sebuah suara yang berbeda dan terasa sedikit mengganggu suasana bising itu. Berisik di tengah kebisingan. Tangis bayi berusia lima bulan terasa menyayat sebagian hati, sebagian lagi memilih tak peduli. Namun, ada jua yang merasa sangat terganggu hingga menoleh ke kursi belakang – tempat si bayi berusaha ditenangkan. Ada si ibu yang frustrasi sebab bayi mungilnya tak henti menangis. Entah karena apa, si ibu sedang menerka-nerka. Mana

  • Roman (sa) Arunika   Episode 29 KruArga

    Terbiasa bekerja dalam risiko membuat semua hal kecil berarti pertanda. Kukira firasat tak enak itu terjadi karena perubahan kecil mas Kava yang senang memanggilku “Sayang” belakangan ini. Ternyata bukan. Ternyata perasaan buruk itu karena sebuah musibah akan menimpa salah seorang sahabat terbaikku. Mbak Astri, yang super ceriwis nan cantik itu telah pergi. Bersama dengan 42 orang penumpang burung besi nahas itu. Mereka terbang terlalu tinggi hingga tak bisa mendarat lagi di dunia. Menyakitkan harus bertutur seperti ini. Lagi, mataku membasah jika menceritakannya. Tak hanya itu, ada rekan baik Mas Kava yang tanpa sadar sering dia ceritakan. Turut pergi selamanya dalam musibah itu. Semua terasa kebetulan, tidak, ini sudah ta

  • Roman (sa) Arunika   Episode 28 Bagaimana Harimu, Sayang?

    “Selamat pagi Desember tanggal 28, semoga baik dan lancar untuk semuanya,” harap Nala sambil menghimpun kedua tangannya di depan hidung dan mulut. Dia memejamkan matanya yang lentik lalu membukanya perlahan. Menghadap ke arah pukul tiga, ada Senior Flight Attendant Donna yang sedang tersenyum manis. Pagi ini, Donna menjadi cabin 1 penerbangan rute Surabaya – Jakarta – Jakarta – Surabaya. Pramugari semampai itu menyapa Nala dengan ramahnya. “Sudah siap, Dek? Lavatory?” Nala mengangguk penuh hormat dengan senyuman indah. “Siap, Mbak. Sudah bersih dan siap digunakan.” Nala menjawab dengan sig

  • Roman (sa) Arunika   Episode 27 Arunika Saya

    Terima kasih Matahari Pagi yang Hangat telah menyapaku di permulaan Desember. Tak terasa, tlah sampailah aku di penghujung tahun ini, bulan Desember tanggal 1. Masih di tahun yang sama, 2019. Tahun penuh kejutan, setelah kesakitan dan air mata. Tahun aku melepas predikat gadis dan lajang, menjadi seorang wanita bersuami. Aku bahagia meski musim sedang hujan. Meski arunika pagi jarang menyapaku, menyisakan hawa dingin di jajaran embun. Tak mengapa sebab sudah ada yang memelukku siang dan malam – saat sedang tak bekerja. Untung saja pagi ini matahari itu menyapaku dengan hangat bahagia. Ini adalah bulan keduaku pindah ke base 2 di Surabaya. Jarak yang lebih dekat dari Magetan. Hanya beberapa jam aku bisa bertemu dengannya, kami tak lagi didera j

  • Roman (sa) Arunika   Episode 26 Bangkit dari Luka

    Nelayan yang sudah berpengalaman pasti sudah terbiasa dengan datangnya badai. Mereka bersiap, mereka telah kuat. Mereka mempersiapkan, membangun tiang-tiang kapal nan kuat. Jika diterjang, mereka akan mudah untuk hidup dan bertahan. Kapal dan nelayannya selamat melewati samudera. Pun sama denganku, badai yang datang lagi ini berusaha kuatasi sekuat tenaga. Meski rasanya sama, sakit sekali. Aku berusaha melewati badai kehidupan seperti seorang nelayan yang berpengalaman. Bukankah sejak kecil aku sudah hidup dalam badai. Maka, air mata di pipiku terasa sudah kering. Mata hanya bisa kosong terpaku pada suatu titik saat mereka sibuk mengurusi “badai”. “Badai” dari masa laluku itu bernama ibu. Dan aku telah terlibat dengannya

  • Roman (sa) Arunika   Episode 25 Hari yang Buruk Tlah Kembali

    Berulang-ulang pintu itu diketuk tangan berotot Kava, masih tak ada jawaban. Bujukan manis lembutnya menguap ke udara. Tak ada jawaban berarti dari dalam kamar mandi dingin itu. Hanya terdengar suara air gemericik tanpa suara manusia. Membuat lelaki itu makin cemas dari detik hingga detik. “Dek … buka pintunya, ya? Saya mohon, Dek!” Kava kembali mengetuk pintu sambil menggenggam sebuah kresek kecil. Bujukan dengan suara lembutnya terus mengalir, tapi Nala hanya diam. Keputusannya pergi ke apotek untuk membeli obat luka berbuah sesal. Sepeninggal Kava, Nala beranjak lemas dari ranjang menuju kamar mandi. Dia mengguyur sekujur badannya dengan dinginnya air. Matanya kosong tak ada ekspresi. Tak hanya itu, tangis dan pandangan datar adalah hia

DMCA.com Protection Status