“Seorang anak tetap suci, Shana. Sekalipun ibumu membenci kehadiranmu, Bapak sangat menyayangimu seperti Vanya.”
Suara bapak terngiang lagi di benakku. Berulang-ulang hingga sepuluh kali lebih. Kusadari bahwa bapak adalah malaikat yang tak bersayap, lebih layak disebut seperti itu. Sehebat itu hatinya bisa menerima anak hasil zina yakni aku. Bahkan, berapa kali bapak pasang badan untukku, membelaku di depan ibu. Bahkan, bapak pergi setelah membelaku.
Wajar tak mau hidup dengan ibu. Bisa memaafkan ibu saja sudah luar biasa.
Dan tadi aku telah menyakiti bapak untuk kesekian kalinya. Aku pergi meninggalkannya saat bapak masih ingin memelukku. Sebab aku terlalu hina untuk disentuh bapak. Aku hanyalah penghancur rumah tangganya. Sebab karena aku rumah tangganya dan ibu hancur. Karena aku, ibu menjadi lebih ganas saat menghadapiku. Ternyata aku sekarang sudah tahu apa alasannya.
“Nala?” Mas Ganta menyentuh punggung tanganku dengan lembut.
Sentuhannya mengembalikanku ke detik ini, saat dia mengajakku melipir ke sebuah pojok bandara yang sepi. Dia memberiku sebotol air mineral yang masih bersegel sembari terus menelisik wajahku. Berusaha dapat jawaban dari kelakuan anehku dari tadi. Namun, sentuhan barusan kubalas refleks dengan menarik tanganku ke pangkuan. Mampu membuatnya menatapku heran.
“Aku sudah cuci tangan, Na. Tenang,” ucapnya santai sambil menatapku setengah hati. Kedua tangannya sudah tersodor ke depan dada dengan gamblang.
“Maaf,” sesalku lirih.
Dia meniup udara dan menggembungkan pipinya. “Mau bercerita tentang semua kebingungan ini?” tanyanya pelan sambil menjangkau wajahku yang kebanyakan menunduk.
“Aku nggak yakin ini masuk logika Mas Ganta atau nggak,” gumamku ragu.
“Sumpah aku bingung dengan kamu, Nala. Siapa bapak tadi? Kenapa kamu menghindarinya dengan menangis?” Mas Ganta memberondongku penasaran sambil mengacak-acak kepalanya.
Aku menunduk dan meremas tisu di tangan. “Sangat sulit bagiku membuka semua ini, Mas,” desahku lirih.
Dia mengacak rambutnya bingung. “Bisa nggak to the point aja?” desaknya tak sabar.
“Apa Mas Ganta siap menerima kenyataan pahit?” gantungku.
“Nala, aku bahkan udah biasa nerima kabar buruk tentang cuaca dari ketinggian 37.000 kaki. Seburuk apa sih kenyataan itu?” Mas Ganta sedikit meremehkanku dengan tawa remeh.
“Aku anak haram, Mas,” ceplosku yang mendadak membuatnya membeku di satu titik. “Bapak tadi adalah suami ibuku, tapi bukan bapak kandungku,” lanjutku kemudian yang membuatnya makin kaku.
“Mak – maksudmu … kam – kamu …,” dia gagap kebingungan.
“Mas Ganta boleh membenciku atas kenyataan itu. Mas juga boleh menganggapku sampah,” ucapku sembari menunduk lagi.
Kami terdiam cukup lama. Sudah kuduga, tak mudah bagi orang normal sepertinya untuk tahu sisi lain kehidupan manusia. Apalagi kehidupanku yang sepertinya baik-baik saja, tapi nyatanya tidak ini.
“Nala, lihat aku!” Mas Ganta mengangkat daguku. “Aku bukan orang kolot, kamu nggak berdosa apa-apa di sini,” hiburnya dengan wajah hangat.
Senyumku sedikit terlukis sambil berucap bangga, “nggak salah, kamu memang sebaik ini.”
“Kamu tetap semangat, ya!” ucapnya manis.
Kami tersenyum bersama, hingga aku kembali mengubah mimik lebih serius. “Aku pengidap OCD,” ceplosku yang kedua.
Entah apa reaksinya. Mungkin syok karena aku banyak meletuskan blunder.
Lagi, dia menatapku kosong. “Kelainan … jiw – jiwa?” tegasnya terbata-bata.
Aku menggangguk lantas menunduk lagi dengan setetes air mata jatuh. “Aku jadi pramugari karena ingin sembuh dari gangguan itu. Aku adalah korban KDRT ibuku sejak SD. Entah mungkin sejak aku kecil juga. Aku ragu …,” kuusap mata pelan dengan menghela napas panjang.
“Dengan jadi pramugari, aku dianggap orang normal. Aku punya dunia baru yang mendukungku, percaya padaku. Tak ada yang berani menyakitiku, semua suka karena aku cantik,” kataku dengan wajah datar.
“Kamu punya trauma, Nala?” tebak Mas Ganta dengan wajah iba.
“Tendangan, pukulan, jeweran, bentakan membuatku takut suara keras dan tidak percaya diri. Saat aku konsultasi, dokter mengatakan bahwa aku menderita PTSD, Post Traumatic Stress Disorder. Sempat menjalani konseling dan pengobatan.” Mulut ini tak ada hentinya mengoceh seolah ingin membeberkan semua masa laluku.
“Dokter menyuruhku berbaur dengan banyak orang, itulah kenapa aku pilih jadi pramugari …,” jelasku.
“Supaya dianggap normal,” ulangnya dengan wajah penasaran, sedikit iba dan lainnya.
Aku mengangguk. “Iya.”
“Bagaimana caramu mengelabuhi tes psikologi saat tes pramugari?” potongnya.
Kutatap dia dengan nanar. “Mungkin waktu itu aku sedang sembuh. Aku juga nggak percaya dengan diriku saat itu. Kadang aku nggak percaya sama diriku sendiri. Semua terjadi gitu aja, Mas.”
Mas Ganta mengacak rambut pomade-nya hingga berantakan. Dia juga memejamkan mata seolah tak percaya dengan kehidupan mengerikanku ini. Kurasa dia juga mulai ragu dengan hubungan ini. Mungkin hendak meninggalkanku sendiri. Kumohon tidak, aku tak mau kehilangan sumber kasih sayang.
“Apa Mas Ganta membenciku?” tanyaku gantung sedikit ketakutan karena dia akan membenciku.
“Pantas kamu sangat menolak ciuman dan kontak fisik, ternyata …,” desahnya lirih, seperti tak percaya. “Kamu sangat takut kotor ….”
“Aku minta maaf, Mas,” ucapku pilu sambil meremas-remas jari.
Kecemasanku bertambah. Kali ini aku takut kehilangan dia setelah tahu masa kelam itu. Aku takut dia akan meninggalkanku karena jijik dan sejenisnya. Sungguh, hari ini adalah hari yang buruk sepanjang hidup. Hari di mana aku harus membuka luka lama yang menganga dan infeksi. Bau busuk yang kututup begitu rapat lolos jua.
“Apa Mas Ganta akan meninggalkanku?” sambungku lagi dengan wajah penasaran. Kuburu wajahnya dengan ekspresi kacau. Namun, Mas Ganta hanya diam menunduk tak mau berkontak mata denganku, mulutnya mengerucut entah kenapa. Sepertinya dia mulai kehilangan rasa.
Dia kemudian menatapku kacau. Tangannya menyentuh punggung tanganku dengan hangat dengan kedua alis berkerut. “Nala, aku cuma terlalu nggak percaya dengan semua ini. Kenapa orang sepertimu harus menanggung semua beban ini, Na? Malang sekali kamu.” Dia memangkas tindakannya dengan mengelus keningku. Sepertinya rasa cinta itu masih ada.
“Apa Mas masih mau jadi support system-ku?” tanyaku menahan malu. Lidahku bak tercekat karena seperti meminta belas kasih. Namun, tampaknya aura semangat muncul dari wajah tampannya.
Dia menggangguk pelan. “Kucoba, Nala. Kucoba menerimamu, semua di dirimu. Kamu tetap kuat, ya!” ujarnya dengan suara kuat, bahkan dia menepuk bahuku dua kali.
Dia masih mendukungku. Kurasa ini bukan hari terburuk. Masih ada sisa kebahagiaanku dari Mas Ganta.
“Kamu percaya aku, ‘kan?” Mas Ganta menyentuh tanganku. Meski ragu, aku mengabaikan itu. Bersentuhan dengan orang lain yang belum mencuci tangannya itu membuatku sedikit tidak nyaman. Namun, demi tidak merusak situasi yang mulai membaik aku diam.
“Maaf kalau aku penuh beban. Tak seperti dugaan Mas Ganta selama ini,” sesalku lirih sambil meremas-remas kebaya yang kusut di sana-sini. Aku lupa masih berseragam, saking sibuknya hari ini.
Mas Ganta menggeleng kuat. Dia memandangku penuh keyakinan. “Nggak masalah, Nala. Kamu pasti bisa sembuh kok. Ini bisa disembuhkan, ‘kan?” tegasnya sembari menatapku lembut.
Aku mengangguk. “Aku pasti sembuh buat Mas Ganta kok,” ucapku penuh keyakinan. Perlahan aku mulai kuat dan percaya pada diri sendiri lagi.
“Kamu mau dipeluk?” tawarnya pelan. “Aku nggak berkuman kok.” Mas Ganta melebarkan kedua tangannya di depan wajahku yang mulai merona.
Namun, aku tetap menggeleng kuat. Pertama, aku tak enak berkontak fisik saat masih memakai seragam. Takutnya hubungan kami ketahuan maskapai, aku tak mau kehilangan lagi. Kedua, aku masih tidak nyaman bersentuhan dengannya.
Toh, air mataku sudah sembuh secepat ini karenanya. Kurasa tak perlu sampai berpelukan atau apa. Cukup senyumnya yang cerah dengan mata sipit itu saja. Senyum khas milik mas Ganta itu selalu kurindukan kala lelah bekerja naik turun ketinggian. Keceriaan dan kebaikan Mas Ganta bisa menyembuhkan sakit hatiku. Semoga aku tak salah percaya dan memilihnya.
Hari ini aku cukup membaik setelah bercerita. Tak seperti biasa saat orang tahu gangguan yang kualami mereka langsung pergi. Seperti memandangku jijik dan aneh. Mas Ganta tidak, dia justru membuatku nyaman. Tanpa terasa kulewati hari dengan ringan karena dia mengobatiku.
Hari telah berganti menjadi pagi. Kejutan datang dari mas Ganta saat dia mendatangiku di pagi buta. Dia memberiku sekotak salad buah yang bungkusnya sudah disemprot desinfektan dengan wajah ceria tanpa beban. Dia bilang akan mulai menerima diriku apa adanya. Diucapkannya riang seolah tanpa memikirkan risiko ke depannya.
Mungkinkah ada orang yang setulus mas Ganta di dunia ini? Krisis percaya diri membuatku tak mudah untuk percaya.
“Tapi kamu harus berusaha sembuh, ya! Jadilah normal seperti manusia lain!” ucapnya sambil mencolek ujung hidungku lantas berlalu ke kubikel sebelah.
Sudah kuduga, bukan? Tidak ada sesuatu yang murni, tak mudah benar-benar menerima kekurangan seseorang. Buktinya, dia masih ingin menuntut bukti bahwa aku harus sembuh! Ya memang mungkin sekedar semangat, tapi tandanya beban hidupku bertambah.
Tenang saja, aku pasti melakukan itu. Semua butuh proses, ‘kan? Meski susah, aku terus saja mencoba hidup normal tanpa memamerkannya ke siapa-siapa. Sebenarnya, tidak usah ditegaskan seperti itu.
Jujur, aku selalu mencobanya. Seperti pagi ini, kucoba berkaca di depan cermin cukup sekali saja! Tidak perlu sampai tiga atau empat kali. Sekali jadi, sudah rapi dan cantik. Walau didera kecemasan dan tidak percaya diri, berusaha kukaburkan lewat bekerja di pesawat. Aku melawannya sekuat tenaga meski sampai berkeringat dingin.
Sukses, aku berhasil bekerja dengan sedikit nyaman hari ini. Satu rute berhasil dengan mulus. Walau harus meminggirkan beberapa kebiasaan, tapi semua baik-baik saja sampai detik ini. Yah, semua baik saja, aku masih sehat dan hidup walau cuma sekali berkaca. Tak ada teguran dari purser atau siapapun perihal seragam atau riasanku.
Aku bisa normal, semoga!
Aku tetap tampil wajar meski hanya berkaca satu kali. Ya, aku baik saja. Meski jujur napasku sesak untuk melawan dorongan lain di hati ini. Kuat sekali hati ini mengaburkan logikaku. Seolah ada suara yang berbisik, aku harus mengulang perbuatan yang sama sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi.
“Aku harus melawannya, ya, harus!” gumamku sambil meluruskan seragam di badan di depan kaca crew centre, menunggu jam pulang. Napas kutarik panjang dua kali dan bertekad bahwa semua masih baik-baik saja.
Masih baik-baik saja sampai terdengar bisikan-bisikan seru dari sisi yang lain. Entah kenapa mereka menyebut namaku dengan sedikit lantang. Apa sesuatu yang berhubungan denganku muncul lagi?
“Pssst, itu si Nala, ya?” bisik suara satu.
“Sssttt, diem lu!” balas suara dua diiringi suara pukulan pada pemilik tubuh suara satu.
“Bukannya dia yang disebut Captain Markus sebagai pramugari tercantik?” sahut suara ketiga.
“Sering dikasih coklat, ‘kan?” balas suara satu makin seru.
“Psssttt!!” Mereka tampak menyadari bahwa aku mulai sadar.
“Eh beneran, ya?” Suara dua masih tidak sadar diri.
“Ih, pelak … or ….”
“Psssttt!”
Aku menoleh spontan pada asal suara, dan bisikan seru itu seketika diam. Tiga orang seniorku sedang membicarakanku dengan serunya, walau niatnya bisikan tapi itu terlalu lantang. Aku bahkan mendengarnya dengan jelas mereka membicarakanku.
Merasa aku sudah memperhatikan, ketiganya langsung ngeloyor keluar ruangan. Dasar tidak sopan, pergi setelah mengacaukan hati seseorang. Apa salahku kepada mereka hingga perbuatan mereka seusil itu? Aku adalah manusia paling apatis di tempat ini, tidak mau mengurus orang lain. Namun, kenapa sekarang aku malah jadi pusat perhatian … akibat gosip miring itu.
Gangguan apalagi ini? Baru saja kucoba menjalani hari yang normal, cobaan datang lagi? Kali ini dari selentingan usil yang makin lama makin nyata. Bisikan yang berubah jadi seruan. Hatiku makin teraduk.
Kutegaskan, aku bukan pengganggu lelaki mana pun seperti yang dituduh mereka bertiga atau mungkin kru yang lain. Bahkan, aku telah memiliki seorang kekasih yang baik hati. Dan itu bukan Captain Markus, tapi Mas Ganta! Gosip gila nggak masuk akal dari mana ini? Sungguh menggelikan!
Mereka memang beraninya main keroyokan! Buktinya pergi secepat itu tanpa sempat kutegur atau dapat penjelasanku. Benar-benar buruk sekali lisan mereka! Seburuk pandangan itu … pandangan dari Mbak Astri.
“Mbak, mau terbang ke mana?” Aku berusaha memperbaiki suasana dengan mendatanginya ke ambang pintu. Senyum ramahku terulas sempurna.
Namun, wajahnya aneh seperti enggan padaku. Tiada senyum dan mulut ceriwis seperti biasa. “Ke Banjarmasin, Dek,” jawabnya pendek dengan mimik datar.
Tumbenan Mbak Astri memanggilku sekaku itu? Nggak biasanya dia sesenyap itu kala melihatku. Dia biasa menghambur ke pelukanku saat bertemu. Celotehnya langsung menguar ke udara saat kami berjumpa. Kami cukup dekat, sumpah!
Tunggu, jangan bilang kalau dia terpengaruh dengan gosip-gosip itu! Apakah aku tidak punya kesempatan untuk menjelaskan? Kenapa semudah itu aku dihakimi? Kenapa semua orang mulai meremehkanku? Pandangan mereka seolah berkata bahwa aku adalah pengganggu lelaki orang lain.
Pun dengan pandangan tiga orang di belakang mbak Astri. Mereka seolah berkata, “Idih, nggak tahu malu! Nggak nyadar apa dia godain siapa? Masa iya dia genitin cowok yang pantas jadi bapaknya? Jijik banget!”. Semacam itulah, jelas aku bisa membaca sorot mata mereka.
Ya, mereka meremehkanku. Merundungku dengan pandangan tajam dan sinis sambil melipat tangan ke dada dengan mulut cemberut. Mata mereka juga menatapku dari atas ke bawah, seolah meremehkanku. Di mata mereka, termasuk Mbak Astri aku tampak seperti sampah yang hina-dina.
Seburuk itukah gosip yang tersebar? Aku seperti tak tahu apa-apa, seolah baru kembali dari luar dunia. Sumpah, tak suka situasi ini!
Seketika aku menunduk dan berjalan pelan keluar crew centre. Kulewati mbak Astri yang sudah membenciku itu tanpa banyak kata lagi. Perutku mulai mual dan teraduk. Seluruh dunia mulai menghakimiku sebagai pendosa. Pengganggu suami orang dan lain sebagainya terembus begitu saja. Sungguh, inginku berteriak, aku bukan seperti yang mereka tuduhkan.
Sampai pada sebuah sepatu mengkilat yang menghentikan langkahku. Hatiku penuh debar tak karuan. Aku mendongak dan mendapati Mas Ganta mencuram penuh. Seperti hendak memulai penghakiman atau apa, entah. Jangan bilang kalau dia mulai termakan gosip itu!
“Terima kasih Mas Ganta, mari …!” ucap kru yang baru terbang bersamanya sambil melewatiku dengan wajah aneh. Suara mereka terdengar ragu saat melihatku berjalan mendekati mas Ganta.
Para kru itu menatapku remeh. Seperti sudah termakan gosip murahan juga. Mereka tampak merendahkanku dengan sesekali berdecak dan menggelengkan kepala. Beberapa dari mereka tampak berbisik-bisik. Entah dari mana datangnya kabar murahan ini, berhasil merusak hariku lagi.
Serusak ekspresi wajahnya saat menjawab salam para kru dengan wajah cuek. Pun dengan salam Captain Anin yang dijawab dengan dingin. Mas Ganta tampak sangat marah saat aku makin mendekat penuh salah tingkah.
“Ikut aku!” suruhnya dingin sambil berjalan di depanku. Dia terlihat tak bersahabat karena beberapa kali membanting kopernya ke lantai bandara. Seolah ingin menunjukkan kuasanya, siapa yang sedang marah kali ini.
Penghakiman apalagi ini? Akankah dia mulai tak percaya padaku? Ternyata baru kusadari kebodohanku yang terlupa. Masih ada satu rahasia yang belum kuceritakan padanya, perihal Captain Markus yang intens menggangguku! Ya, Captain Markus yang menyimpan rasa itu masih jadi rahasia dan terbuka saat ini bukan dari mulutku, melainkan dari mulut-mulut orang tidak bertanggung jawab.
Saat inilah aku mulai menyesali semuanya.
---
“Sampai ketemu lusa, ya, Ta! Kita terbang ke Pangkalpinang,” ucap Captain Markus sambil mematikan mesin Boeing 737-900NG sebagai salah satu prosedur sebelum selesai bertugas hari ini.
“Siap, Captain!” balas Ganta ceria. Seperti pembawaannya selama ini.
Apalagi di darat dia telah ditunggu Shanala, kekasihnya yang cantik, yang baru landing dari Surabaya. Kadang dia senyam-senyum sendiri jika membayangkan kecantikan wajah Nala. Tak hanya itu, semangatnya menggelora karena merasa ada tugas baru yakni meyakinkan Shanala untuk semangat sembuh. Ganta terlalu sayang walau kadang merasa aneh dengan sikapnya.
“Lo masih sama Shanala?” Langkah melesat Ganta mengendur seiring candaan Captain Markus yang diiringi perubahan mimik jadi serius.
Dia menoleh ragu dengan hati penuh debar. “Eng … benar, Capt. Izin ada masalahkah?” tanya Ganta memberanikan diri sambil menggaruk janggutnya.
Sebenarnya lelaki satu ini mulai penasaran karena gosip murahan yang belakangan ini santer terdengar. Kabarnya, Shanala ada rasa dengan captain Markus. Ganta memang memilih untuk mengabaikan desas-desis itu. Dia cuek meski mulai terganggu. Masa iya kekasihnya ditaksir pilot senior macam Captain Markus? Tidak salah apa! Sekali lagi, ah itu cuma gosip, pikirnya.
“Lo sering kasih dia bunga, nggak?” sambung Captain Markus yang mulai membuat Ganta berpikir. Pilot dua bar emas itu tercenung untuk sekian detik, dan hatinya mulai berkecamuk.
Ganta menggeleng. “Nala nggak suka bunga, Capt. Katanya terlalu wangi dan tidak bermanfaat,” jawabnya dengan mata polos.
Captain Markus tergelak keras. “Ah yang bener?” canda Captain Markus mulai menjurus. “Setiap bunga yang saya kirimkan nggak pernah tertolak tuh!” ceplosnya yang kontan membuat Ganta cengo
Pandangan Ganta seketika aneh. Dia hanya melongo saat Captain Markus menyodorinya sebuket mawar merah yang semerbak wangi dengan mata mengerling genit. Tak hanya itu, wajah captain paruh baya itu penuh ledekan karena mulai berhasil mengacaukan hubungan Ganta dan Nala.
“Lo dekat sama Shanala, ‘kan? Keberatan nggak kalau gue nitip ini buat dia?” ujarnya percaya diri. Hatinya puas karena berhasil mengerjai Ganta, pengganggu geloranya untuk mendekati Nala.
“Perempuan seistimewa dia harus diperlakukan sebaik ini. Bunga dan coklat nggak sebanding dengan wajah cantik dan performanya di setiap penerbangan,” pungkas Captain Markus sembari mengenakan topi pilot ke kepalanya.
Seketika darah Ganta mendidih, tapi pria itu berusaha kalem menyembunyikannya. Ledakan amarahnya disembunyikan dalam bentuk senyum kaku dan remasan kuat di karangan bunga. “Saya harus bilang dari siapa, Capt?” tanyanya sentimental.
“Bilang saja dari penggemarnya! Lo tahu Shanala cantik dan menarik, ‘kan? Kita dekat dengan orang yang sama,” ucap Captain Markus sambil keluar kokpit.
“Apa istri Captain tahu semua ini?” tahan Ganta dengan suara gemetar. Darahnya sudah mendidih siap meletus.
Captain Markus menoleh. “Kenapa tidak? Mengagumi keindahan ciptaan Tuhan itu sah-sah saja kok,” jawabnya cuek. “Oh iya, katakan juga pada Shanala, kalau coklat dari Belanda kemarin habis bilang saja. Nanti dibawakan lagi setelah gue flight dari Amsterdam.”
Captain Markus benar-benar berlalu dan menandaskan wajah Ganta yang kecewa berat. Dia sama sekali tak menyangka jika mengetahui semua ini dari orangnya langsung. Bagaimana bisa Nala sekuat itu menyembunyikannya?
“Coklat …?” Ganta makin kesal.
Amarahnya tak tertahan lagi. Dengan gontai dia menuruni tunggangannya. Hatinya remuk redam, penuh emosi. Jadi, gosip itu benar adanya? Yang membuatnya marah, Nala menolak bunga dan pemberiannya, tapi tidak dari Captain Markus.
Ya, Nala sering sekali melakukannya. Menolak bunga dari Ganta karena bilang terlalu wangi dan memusingkan. Atas dasar itulah, sekarang Ganta menawan Nala berbincang berdua. Ekspresi wajahnya tak damai dan ceria lagi, cenderung emosional saat menghadapi Nala yang kebanyakan menunduk bingung.
Jelas, dia salah tingkah dan takut salah ambil langkah. Maka Nala hanya bisa meremas-remas ujung seragamnya dengan keringat dingin menetes dari pelipis.
“Kenapa, Nala? Kenapa!” Suara Ganta meninggi saat keduanya berbincang serius di tangga sepi. Ganta menahan tubuh Nala dengan kedua tangannya. Membuat gadis itu makin terpojok ketakutan.
“Mas …,” desah Nala lirih dengan bibir dan tangan gemetaran.
Apalagi suasana di sekitar tak mendukung, bising karena mesin pesawat yang sedang parkir. Ganta sengaja mengajak Nala ke dekat apron supaya pertengkaran mereka tak diperhatikan orang. Berteriak keras pun tak mengapa karena Ganta kadung emosi pada gadis malang itu.
“Kamu menolak bungaku dan menerima bunganya, iya!” bentak Ganta galak dengan mata menyala, melotot penuh emosi.
“Aku nggak nerima pemberiannya, Mas. Udah kubuang semua,” jawab Nala jujur. Dia berusaha menjangkau hati Ganta dengan air matanya yang mulai berleleran.
Ganta meninju tembok sekali. “Bohong kamu! Mana mungkin benda yang jadi kesukaan perempuan kamu buang gitu aja!” vonis Ganta keras. Wajahnya merah padam penuh emosi.
Nala menghimpun kedua tangan di dadanya sebagai sikap memohon ampun. Matanya meredup meminta iba dari kemarahan Ganta. “Sumpah, Mas. Aku bahkan nggak sentuh benda-benda itu. Kurir membawa mereka pergi.” Nala berusaha menjangkau tangan Ganta meski dia tak nyaman berkontak fisik.
Namun, Ganta menampik keras tangan ringkihnya. “Kamu perempuan normal, ‘kan? Nggak mungkin kamu tolak gitu aja,” tuduh Ganta menyudutkan. “Tunggu, kecuali kalau kamu nggak normal.” Pandangannya mulai nanar.
“Yah,” Ganta tertawa lebar penuh emosi. Pongah seperti sedang mengejek Shanala. “Kamu bukan perempuan normal, Nala!” tuding Ganta keji.
Nala menatapnya kacau. Tangannya terbanting lemas ke sisi badannya. “Mas, sungguh! Percayalah sama aku, jangan ikut seperti mereka! Pandangan mereka sedang merundungku sebagai perempuan kotor pengganggu rumah tangga orang,” mohon Nala sekaligus ingin membujuk Ganta.
Nala menggosokkan kedua tangannya memohon iba. “Kumohon percayalah aku, Mas. Ini hari yang buruk,” curah Nala frustrasi.
“Kamu kira aku gimana, hah?” Ganta merengkuh kasar kedua pundak Nala sambil melotot tajam.
Air mata Nala berleleran. Tindakan Ganta yang kasar cukup mengejutkannya. “Sumpah … Mas …,” ucapnya dengan tenggorokan tercekat.
Dia mulai tak nyaman karena sentuhan fisik Ganta mulai mengganggunya. Ketakutan akan kotor dan sejenisnya tak lantas hilang semudah itu. Apalagi pikiran Nala jadi kacau beberapa jam ini.
Merasa menangkap gelagat aneh dari sorot mata Nala, Ganta tidak mengendur. Dia justru makin semangat menyudutkan Nala ke sisi tembok yang keras. “Kenapa? Kamu merasa kotor? Apa tanganku najis, iya!” bentaknya dengan keras. Nala hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya berkali-kali sebagai sikap ketakutan.
Seketika Nala merasa blank. Seolah masa lalu mengerikannya terputar lagi. Situasi di mana saat dia dibentak dan dihakimi ibunya, suasana yang sangat seram. Bibir Nala bergetar, dia amat ketakutan saat ini. Tangan dan kakinya melemah, seperti hendak jatuh pingsan.
Trauma itu masih ada, selalu ada karena Nala hanya berusaha menutupinya, bukan menyembuhkannya. Apalagi menghapusnya, itu sangat susah. Gadis itu telah berjuang hidup dengan keras, tapi hari ini menamparnya tak kalah keras.
Satu-satunya sisa semangat Nala, “rumah” terakhirnya kini tidak percaya dengan perkataannya. Tidak dipercaya oleh orang yang dicintai itu yang sangat menyakitkan bagi Shanala.
“Aku kecewa sama kamu, Nala!” ucap Ganta tajam. Pandangannya menusuk mata Nala kuat-kuat.
Nala hanya bisa menunduk dengan napas tersengal-sengal. Tanpa sadar dia mulai ngawur. “Please, Bu! Jangan sakiti Nala. Ampun,” racau Nala kacau.
Ganta makin naik pitam. Didorongnya kepala Nala agar dia sadar. Namun, Nala makin bersikap aneh dan menaikkan tensi amarah Ganta. “Manusia macam apa kamu, hah! Beraninya berakting di depanku! Sengaja mengambil hatiku agar kelakuanmu yang busuk itu tertutup, ‘kan?” tudingnya makin seru.
“Nggak … ampun, Bu. Percaya padaku,” ucap Nala makin kacau.
“Ba Bu, aku Ganta, bukan ibumu! Gila kamu!” Ganta akhirnya menampar pipi Nala keras dan emosi. Nala terhenyak diam termasuk saat Ganta mengguncang keras kedua bahunya. “Sadar kamu, Gadis Gila! Brengsek, capek gue bersikap kalem selama ini! Kamu nggak ubahnya dari sampah!” kutuknya sembari melepas pegangan pada kedua bahu Nala.
Dorongan dari tenaga Ganta cukup keras hingga membuat gadis itu terduduk di atas lantai dingin. Kedua kakinya tak lagi bertenaga. Bahkan, mata indahnya tertutup air yang menggenang. Otaknya kacau menyaksikan Ganta membuka jati dirinya. Sakitnya fisik tak seberapa, sakitnya kecewa tiada duanya.
“Mas Ganta …,” desah Nala tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Nala tak percaya Ganta masuk ke dalam jajaran orang yang melayangkan tangan ke tubuhnya untuk menyakitinya.
Ganta mengendurkan dasi dan kerahnya sembari menatap Nala emosi. Dia meniup kasar udara di depannya. “Kenapa? Nggak nyangka kalau gue kasar? Iya! Ini karena gue kecewa sama lo, Nala!” hardiknya tajam.
“Mas Ganta mukul aku?” desah Nala masih tak percaya sambil memegang pipi dan meremas kebayanya.
Ganta tertawa remeh tanpa rasa bersalah. “Why not? Nyokap lo aja tega mukul bahkan nendang lo! Kenapa gue nggak, hah!” bentaknya sambil meludah di dekat Nala bersimpuh.
Hati Nala sakit seperti ditusuk pedang saat sadar bahwa kejadian ini sangat buruk. “Ap …,” gumam Nala kosong. Matanya nanar saat melihat wajah santai Ganta. Bak tanpa beban Ganta melakukan semua ini padanya, seperti tidak ada penyesalan.
Rasa percaya di hatinya hancur begitu saja. Sesakit bekas tamparan Ganta di pipinya. Hatinya tak kalah sakit dibanding fisik. Serasa kehidupan suram lama itu telah kembali. Saat dia hendak membuka diri untuk lebih baik, dipupuskan begitu saja oleh kenyataan.
Ganta lebih percaya pada gosip dibanding penjelasannya. Padahal Nala bisa menceritakan semua utuh tanpa embel-embel, tapi Ganta terlalu tidak sabar menunggunya. Ya, seperti yang sudah diduga Nala, Ganta takkan semudah itu menerima dia apa adanya. Pasti semua ada apa-apanya.
Ganta kembali mendorong pelipis Nala dengan kasar setelah sebelumnya celingukan takut ada saksi mata atau CCTV. “Gue nyesel kenal sama lo, Nala! Cewek freak, aneh! Bikin gue kayak kuman aja selama ini!” Ganta merapikan rambutnya yang berantakan setelah ‘menghajar’ Nala barusan.
Nala hanya bungkam dan menahan sedu tangisnya sampai Ganta berkata lagi, “berpura-puralah nggak kenal saat kita ketemu! Lagi, jangan adukan ini ke siapa-siapa! Gue bisa bikin lo dipecat dari perusahaan ini!” ancam Ganta sebelum berlalu.
“Jangan ngadu bapakmu! Nanti Ibu pukul lagi kamu!” Suara serupa datang dari benak Nala. Suara dari penoreh lukanya.
Shanala tergugu sembari meremas lantai yang kaku. Dia melipat kedua kaki ke dekat wajahnya dan melepas tangis pada akhirnya. Tangisnya tak henti, menderu seperti mesin turbin pesawat yang sedang dipanasi di apron. Suara itu berpadu, tertutupi bising agar tak seorang pun tahu lukanya.
Kecuali Astri yang sedari tadi menyaksikan kejadian nahas itu.
Kini teman yang entah masih teman itu berjalan mendekati Nala. Wajahnya ragu antara iya atau tidak saat menyaksikan Nala menangis sambil menyembunyikan mukanya. Akhirnya, Astri memutuskan untuk jongkok di dekatnya. Dia pikir Nala sedang membutuhkan sesuatu, mungkin telinga untuk siap menampung curahan hatinya.
“Na … lo nggak apa-apa?” Astri menyentuh ragu lengan Nala yang terguncang.
Merasa sadar ada yang mendekatinya, Nala mendongak dan dengan cepat mengusap kasar air matanya. “Maaf, Mbak,” ucap Nala sembari berdiri dan beringsut menghindari Astri. Nala berlalu dengan satu tangan menutup pipi kirinya, tentu menutupi kemerahan yang perih.
“Nala, ada yang nyari lo di depan kantor. Bu Rasmina,” ucap Astri yang membuat langkah Nala berhenti.
Mata Nala tak terarah, ke kanan dan kiri. Mulutnya mulai komat-kamit seperti meracau atau merapal mantra. Sementara itu, kedua tangannya diremas-remas seperti orang yang sedang grogi. Napas gadis itu tersengal-sengal saat satu nama disebut.
“Ibu … mau apa lagi?” batin Nala makin kacau.
Hari ini sangat buruk bagi Nala. Dia harus rela ditinggal Ganta dengan cara tidak manusiawi seperti tadi. Tak hanya itu, hari ini adalah kedatangan masa lalu yang kelam. Dan hal itu berhasil mengobrak-abrik hidup nyaman Nala yang susah payah dibangun. Kali ini mau apa si ibu – penyebab utama sakitnya – datang lagi? Setelah setahun mereka tak bertemu, kali ini mau apa? Susah payah Nala menghindar, mereka masih bertemu juga.
***
Bu Rasmina tertawa pongah sambil menatap wajah kosong Nala. Ibu paruh baya itu bahkan tak menurunkan pandangan sombongnya sambil melipat tangan di depan ruangan crew centre. Entah apa alasannya cepat-cepat datang ke tempat kerja Shanala setelah mendapat info dari mantan suaminya. Mungkin untuk sekedar menengok putri bungsunya, atau hanya ingin menghancurkan kehidupan si bungsu yang tak pernah indah. “Jangan di sini!” larang Nala dingin sambil berjalan keluar. Niatnya mengusir sang ibu dari depan ruang crew centre agar mereka leluasa berdebat atau sekedar melepas emosi. Nala tak mau makin merusak namanya di tempat itu. Meski masih tinggi hati, bu Rasmina mengekori Nala. Mereka sampai di sebuah kafe bandara yang sepi dan sedikit temaram. Sepertinya suasana cocok untuk berdebat panas melepas “rindu pahit”. “Mau apa, Bu?” Sapaan Shanala lebih kepada sebuah sindiran tajam. Apalagi mata sembabnya seolah badai yang siap menerjang siapa saja. Bu Rasmina berde
Lelaki bertubuh tinggi berkulit putih itu terlihat gusar. Berulang-ulang dia mengetukkan sepatu PDL hitam tebalnya ke lantai sambil menggigiti jemari. Kadang dia melongok pada arloji di tangan kirinya dan kembali mondar-mandir dengan bingung di depan sebuah ruang. Hatinya berada di ambang cemas dan gusar karena memikirkan nasib seseorang. Kava tak bisa tenang, sangat teramat cemas dengan sesekali melongok ke arah pintu ruang crew centre Sentani Airport. Sesekali menggigit bibirnya karena pintu itu tak kunjung terbuka. Dia memikirkan nasib Shanala yang tadi ditandu keluar dari lavatory pesawat dalam kondisi pingsan, lalu dibawa ke ruang itu. Kava cemas berbalut rasa sesal. Penyesalannya cuma satu, kenapa dia tadi tak menolong gadis itu. Andai saja dia lebih berani melangkah tadi. Entah bagaimana cerita bisa berubah secepat ini. Awalnya rasa di hati cuma penasaran karena kecantikan Nala dan seny
Episode 8 Maukah Kau Menjabat Tanganku? 10 Maret 2019, aku sedang menatap lurus pemandangan di depan mata. Duduk sendirian berteman sepi meski di tengah keramaian pasien rumah sakit. Rumah sakit ini berbatasan dengan Danau Sentani yang teduh nan hijau. Danau tenang itu seperti tak mampu menghapus gulanaku. Tidak ada yang membuat anganku tertarik meski angin sejuk menerpa kulit putih ini. Ketenangan air danau itu juga tak bisa menenangkan gejolak ombak hatiku. Tak ada yang menarik selain pikiranku yang berkecamuk di benak. Pikiran itu melayang ke wajah seseorang yang membuatku mulai tak bisa tidur. Dia teramat baik untuk dipandang. Kata tampan sudah cukup mewakili parasnya saat tersenyum padaku. Kata santun mungkin sudah jadi nama tengahnya saat bicara denganku. Siapakah dia, yang tiba-tiba datang dan menyelamatkanku? Matanya sipit dengan iris hitam legam, sorot matanya tajam s
Di sebuah ruang berlatar hitam, ada sebuah lampu yang menyala terang. Kulihat ada seorang ibu berdaster bunga-bunga nan cantik sedang membelai seorang anak sekolah berseragam merah putih. Wajahnya terlihat penuh sayang dan kasih, sedangkan si anak menimang piala di tangannya dengan riang. Kemudian dari sudut yang lain, ada anak berbaju daster merah muda nan lusuh sedang memegang bunga mawar merah yang berantakan. Maklum itu bunga tangan buatannya sendiri. Namun, maknanya tulus untuk diberi kepada sang ibu yang tak memperhatikannya sama sekali. Memang kentara sekali kalau si anak berdaster lusuh dipinggirkan, diabaikan. Entah kenapa hatiku sakit saat melihat pemandangan di depan ini. Ingin kuhentikan, kualihkan pada adegan lain. Namun, semua berada di luar
Sesekali kulirik tangan jenjang berotot itu, hati ini berdebar lagi. Tangan besar yang hangat dan kuat membawa setir pesawat tempur itu bisa membuatku terpukau. Tangan orang dari profesi yang teramat kukagumi, mungkin profesi dari orang yang pernah menyakitiku. Tangan tegas itu baru saja memelukku dan sekarang kami berjalan beriringan. Captain Kava mengajakku berteduh di sebuah hanoi di depan rumah bernuansa cokelat. Sebab hawa juga mulai panas menusuk kulit. Di bawah rumah tradisional ini kami mungkin sekedar duduk berdua. Entah, aku tak terlalu berani menduga yang lebih dari itu. Dia masuk terlalu jauh dalam hidupku. Terlibat pada kerumitan dan kekusutan seorang Shanala. Hanya karena dalih peduli.“Duduklah, Mbak! Saya mau panggil teman dulu,” suruhnya sambil menatapku lekat. Dia kemudian menunjuk seb
Dia menyodorkan selembar kertas berisi tulisan yang rapi. Sebuah deretan angka bernama ‘Kavalery Kartiko’. “Saya tetap menunggu jawaban Mbak Nala. Ini nomor saya, jangan sungkan menghubungi saya meskipun itu pukul 12 malam. Saya akan datang ke Jakarta untuk menjemput Mbak.” Kalimatnya kembali terngiang, saat di parkiran bandara Sentani tadi, dia mengucapkan itu. Hingga sekarang aku sudah berada di atas langit Makassar, semua masih terngiang jelas. Captain Kava masih jadi penghias lamunan kesepianku. Sepanjang jalan di langit malam yang sedih, hatiku mulai berani merindukannya. Apa pernikahan itu memang serius? Sumpah, aku tak berani memikirkannya. Siapalah aku ini? Kenapa harus menikah? Kenapa tidak dijadikan adik atau anak angkat keluarganya saja kalau cuma bermotif identi
Kukira akan menghabiskan dua bulan masa hukuman ini dengan hari yang sedih. Kukira aku akan pontang-panting ke sana-sini dengan mencari uang tambahan untuk menyambung hidup. Kukira akan menghabiskan hari yang sunyi dengan merindukan setiap penerbangan. Ternyata semua perkiraan itu salah.Aku malah berada pada sebuah perjalanan menuju pangkalan udara di daerah Jawa Timur. Bersamanya, lelaki yang nekat mengajakku menikah demi sebuah pertolongan. Lelaki ngeyel yang rela mengorbankan hidupnya, merelakan hidupnya yang sempurna demi aku. Captain Kava mungkin sudah gila sejak dia mengenalku.Nyatanya, aku manut pada keputusan gilanya itu. Ikut dalam perjalanan untuk menghadap sidang pernikahan militer, mungkin. Aku awam tentang dunia itu, termasuk pernikahan. Bahkan, aku tak menyangka akan menikah secepat ini. Menikah di masa hukumanku, sama sekali tak kusangka.Kata dia, semua niat baik pasti dimudahkan. Kurasa itu benar. Setelah tinggal di Jakarta selama tiga hari un
“Jihan!” Kupeluk erat tubuh wanita itu sembari memanggil namanya. Tetap hangat seperti biasa. Dia tersenyum riang sambil menimang pipiku. Dia bahkan menggodaku dengan tatapan nakalnya, sesekali dilempar pada Captain Kava yang sedang memesan nasi pecel. Entah bagaimana bisa Jihan datang ke kota ini dan menemuiku.“Sumpah Na, kamu nemu manusia ganteng itu di mana sih? Bukan cuma itu, dia membuatku nangis semalaman saat bilang akan meminangmu!” curah Jihan dengan mata berkaca-kaca.“Kapan kalian bertemu?” tanyaku bingung sambil mengambil duduk berdua. Kami berbincang, dia memberikanku kesempatan. Captain Kava berbincang berdua dengan suami Jihan yang rupanya diajak juga ke Magetan. Seperti dapat hadiah besar yang tak kusangka-sangka.
Blak! Sebuah pintu kayu dibanting dengan kuat oleh dua buah tangan yang gemetaran. Bibir wanita ayu bermata lentik itu bergetar, berusaha dikatupkan erat, dan digigit kuat-kuat. Dia jua menempelkan punggungnya kuat-kuat pada pintu pembatas antara kamar dan ruang tengah rumah dinas itu. Matanya yang lentik perlahan menelurkan bulir bening tiga kali. Kini ada sebuah aliran air mata yang seperti sungai di pipi tembam itu. Wanita ayu itu sedang menangis. Pagi ini sebuah harapannya dipatahkan oleh sebuah kenyataan pahit. Dia kira anak bayi itu adalah sosok yang menyenangkan bila di dekatnya. Nyatanya, wanita ayu bernama Shanala itu merasa salah besar. Justru dia merasa tertekan saat harus menghadapi bayinya yang menangis keras. Suara tangisnya tetap tembus kendat
Pagi baru saja mendatangi hari saat aku tercenung sendiri di kamar mandi. Dari kejauhan terdengar merdu suara azan Subuh yang menentramkan hati. Saking syahdunya, air mata satu tetes jatuh di pipi. Apalagi pemandangan alat kecil di atas ubin kamar mandi itu sejenak menimbulkan haru. Dua garis merah nan terang, positif. Aku sedang mengandung buah hati mas Kava. Tentu saja napasku tertahan tak percaya. Untung saja terantisipasi dengan hasil dari alat yang satunya. Aku menoleh ke gelas satunya dan mendapati hasil yang sama. Dua bahkan lima alat kecil pipih itu tetap bergaris dua merah terang. Aku hamil. Jadi, inilah
Jika bekerja di udara yang penuh risiko itu seperti tidur, maka berkumpul dengan keluarga seperti mimpi yang indah. Setelah menikmati pekerjaan yang menyenangkan itu, serasa mimpi bisa berkumpul dengan bapak, mamak, dan juga dia, Mas Kava. Sekarang kami berempat duduk di meja makan bulat. Sedang menikmati ikan kuah kuning, nasi beras merah, ikan bakar, dan juga kerupuk bawang. Tak lupa mamak memotong buah semangka merah dan kuning. Bapak memecah beberapa kelapa muda dan dibuat es kuwut bali. Makan sederhana seperti ini sudah membuatku sangat bahagia. Mereka lebih mahal dari makanan restoran super mewah. Sebab tak setiap hari aku menikmatinya. “Non, makan yang banyak. Kenapa ko pu badan makin kurus ka?” Mamak membelai pipiku lembut. (Kenapa badanm
Dini hari pukul 1 sudah menyapa langit Makassar. Burung besi itu sedang mengarungi langit setinggi 37.000 kaki dengan kecepatan sekitar 600 kilometer/jam. Udara kabin terasa dingin menusuk, sebab udara ketinggian bisa di suhu minus derajat. Rerata penumpang NA-990 sedang terlelap meski di tengah desing mesin jet. Namun, ada sebuah suara yang berbeda dan terasa sedikit mengganggu suasana bising itu. Berisik di tengah kebisingan. Tangis bayi berusia lima bulan terasa menyayat sebagian hati, sebagian lagi memilih tak peduli. Namun, ada jua yang merasa sangat terganggu hingga menoleh ke kursi belakang – tempat si bayi berusaha ditenangkan. Ada si ibu yang frustrasi sebab bayi mungilnya tak henti menangis. Entah karena apa, si ibu sedang menerka-nerka. Mana
Terbiasa bekerja dalam risiko membuat semua hal kecil berarti pertanda. Kukira firasat tak enak itu terjadi karena perubahan kecil mas Kava yang senang memanggilku “Sayang” belakangan ini. Ternyata bukan. Ternyata perasaan buruk itu karena sebuah musibah akan menimpa salah seorang sahabat terbaikku. Mbak Astri, yang super ceriwis nan cantik itu telah pergi. Bersama dengan 42 orang penumpang burung besi nahas itu. Mereka terbang terlalu tinggi hingga tak bisa mendarat lagi di dunia. Menyakitkan harus bertutur seperti ini. Lagi, mataku membasah jika menceritakannya. Tak hanya itu, ada rekan baik Mas Kava yang tanpa sadar sering dia ceritakan. Turut pergi selamanya dalam musibah itu. Semua terasa kebetulan, tidak, ini sudah ta
“Selamat pagi Desember tanggal 28, semoga baik dan lancar untuk semuanya,” harap Nala sambil menghimpun kedua tangannya di depan hidung dan mulut. Dia memejamkan matanya yang lentik lalu membukanya perlahan. Menghadap ke arah pukul tiga, ada Senior Flight Attendant Donna yang sedang tersenyum manis. Pagi ini, Donna menjadi cabin 1 penerbangan rute Surabaya – Jakarta – Jakarta – Surabaya. Pramugari semampai itu menyapa Nala dengan ramahnya. “Sudah siap, Dek? Lavatory?” Nala mengangguk penuh hormat dengan senyuman indah. “Siap, Mbak. Sudah bersih dan siap digunakan.” Nala menjawab dengan sig
Terima kasih Matahari Pagi yang Hangat telah menyapaku di permulaan Desember. Tak terasa, tlah sampailah aku di penghujung tahun ini, bulan Desember tanggal 1. Masih di tahun yang sama, 2019. Tahun penuh kejutan, setelah kesakitan dan air mata. Tahun aku melepas predikat gadis dan lajang, menjadi seorang wanita bersuami. Aku bahagia meski musim sedang hujan. Meski arunika pagi jarang menyapaku, menyisakan hawa dingin di jajaran embun. Tak mengapa sebab sudah ada yang memelukku siang dan malam – saat sedang tak bekerja. Untung saja pagi ini matahari itu menyapaku dengan hangat bahagia. Ini adalah bulan keduaku pindah ke base 2 di Surabaya. Jarak yang lebih dekat dari Magetan. Hanya beberapa jam aku bisa bertemu dengannya, kami tak lagi didera j
Nelayan yang sudah berpengalaman pasti sudah terbiasa dengan datangnya badai. Mereka bersiap, mereka telah kuat. Mereka mempersiapkan, membangun tiang-tiang kapal nan kuat. Jika diterjang, mereka akan mudah untuk hidup dan bertahan. Kapal dan nelayannya selamat melewati samudera. Pun sama denganku, badai yang datang lagi ini berusaha kuatasi sekuat tenaga. Meski rasanya sama, sakit sekali. Aku berusaha melewati badai kehidupan seperti seorang nelayan yang berpengalaman. Bukankah sejak kecil aku sudah hidup dalam badai. Maka, air mata di pipiku terasa sudah kering. Mata hanya bisa kosong terpaku pada suatu titik saat mereka sibuk mengurusi “badai”. “Badai” dari masa laluku itu bernama ibu. Dan aku telah terlibat dengannya
Berulang-ulang pintu itu diketuk tangan berotot Kava, masih tak ada jawaban. Bujukan manis lembutnya menguap ke udara. Tak ada jawaban berarti dari dalam kamar mandi dingin itu. Hanya terdengar suara air gemericik tanpa suara manusia. Membuat lelaki itu makin cemas dari detik hingga detik. “Dek … buka pintunya, ya? Saya mohon, Dek!” Kava kembali mengetuk pintu sambil menggenggam sebuah kresek kecil. Bujukan dengan suara lembutnya terus mengalir, tapi Nala hanya diam. Keputusannya pergi ke apotek untuk membeli obat luka berbuah sesal. Sepeninggal Kava, Nala beranjak lemas dari ranjang menuju kamar mandi. Dia mengguyur sekujur badannya dengan dinginnya air. Matanya kosong tak ada ekspresi. Tak hanya itu, tangis dan pandangan datar adalah hia