Dulu, setiap hari adalah hari yang buruk bagiku. Kenapa, sebab selalu menangis saat hari itu. Awalnya aku tidak mengerti buruk itu apa, sampai pada rasa sakit di badan yang memancing tangisku. Baru kusadari itulah rasa sakit, rasanya buruk sekali hingga membuatku takut. Bahkan, untuk tidur saja aku takut – ibu nanti datang ke mimpiku.
Setiap kali bapak pergi bekerja, kejadian buruk itu langsung dimulai. Ibu menjadi sosok yang sangat berbeda bila hanya ada aku dan mbak Vanya. Baru saja aku senang bermain boneka, datang ibu yang marah karena aku terlalu berisik. Baru saja aku senang bermain masak-masakan, datang ibu yang marah dan membuang semua mainanku. Tak lupa beberapa buah cubitan mendarat di kulitku. Berakhir dengan aku yang menangis sambil menutup mulut biar ibu tidak makin terganggu.
Ibu sangat suka melihatku menangis, mungkin menurutnya lucu.
Namun, semenjak mengambil keputusan besar di usia 18 tahun saat itu, sekarang perlahan aku mulai lupa dengan hari yang buruk. Setiap hari kuawali dengan indah dan penuh syukur. Bahkan, saking bahagianya hidupku kadang sampai tak percaya, ini aku benar masih hidup atau sudah di surga. Tak percaya jika pada akhirnya aku mengalami hari penuh senyum juga.
Seperti pagi ini, aku bangun di Kota Batam yang indah di sebuah kasur hotel bintang empat yang sedikit berantakan karena Mbak Astri. Rasanya cemas melihat berantakan seperti itu. Tangan gatal pengen rapikan selimut, bantal, perintilan hotel dari warna yang terang sampai gelap. Namun, suara mencicit ceriwis itu datang saat aku mulai berkreasi dengan kasur ini.
“Sumpah Nalaaa, ngapain sih lo pakai ngerapiin kasur selicin itu! Nanti ada OB, Na! Ada OB!” Mbak Astri ribut sendiri mengomeliku.
Aku hanya menoleh sedikit sambil tersenyum. Kali ini kami kembali sekamar lagi karena terlibat penerbangan Jakarta – Banda Aceh – Batam dengan transit di Batam. Dia mengomeliku sepanjang tiga menit. Aku hanya menyelingi omelannya dengan memandang layar ponsel, melirik kalender. Ternyata sudah tanggal 28 Februari 2019, sudah akhir bulan.
Makin dekat dengan bulan dimana tepat setahun aku bergabung dengan Nusantara Airlines. Setahun, ya? Seperti baru kemarin aku ikut pelatihan dan terbang sebagai pegawai magang. Karena performa baikku selama magang, cukup lima bulan aku langsung diangkat jadi pegawai tetap.
Kenangan indahku harus terpecah karena sebuah omelan kembali datang dari bibir tipisnya. “Belum lagi nih, vas hotel kenapa lo tata ulang? Harus, ya, dimulai dari putih sampai abu?” Mbak Astri kembali mengomel sambil mengangkat hasil karyaku tadi. Wajahnya terlihat kesal dan malas.
Aku mendatanginya dan meletakkan kembali vas ke meja dengan hati-hati. “Enakan rapi gini, Mbak. Sedap dipandang,” bantahku pelan sambil mengerlingkan mata.
Dia tak menyerah, kali ini dia mengusili koperku yang sedang terbuka sambil berdecak lelah. “Ckck, terus isi kopermu itu kok botol-botol desinfektan buat apa sih? Separah itu fobia kotormu, Na? Kamu ini obsesif banget sama kebersihan!” omelnya sambil menatapku heran.
Kemudian, dia kembali membolak-balik isi koperku. “Mana oleh-oleh nih, kamu nggak bawain orang tua?” tanyanya dengan mata penasaran.
Wajahku langsung kecut tatkala mendengar kata itu. “Nggak ada yang dibawain, Mbak,” ceplosku dingin. Kurampas resleting koper dari tangannya dan kututup benda itu dengan sedikit keras.
Dia menahan tanganku dengan sodoran wajahnya di depan wajahku. “Lha, bapak ibumu?” Suara Mbak Astri tergantung kemudian raut matanya melonjak salah tingkah. “Oops, maaf kalau gue salah bicara ya, Na ….” sesalnya.
“Its okay, Mbak,” sambutku cuek sambil berjalan pelan dan membanting tubuh ke tepi kasur yang sudah rapi.
Pembahasan tentang oleh-oleh, kebiasaan buruk, dan tentu saja … orang tua, mampu membuatku masam seketika. Itu adalah hal-hal yang bisa mengacaukan sedikit kesempurnaan hariku. Padahal tidak mudah menyusunnya sedari pagi. Sebelum mandi, aku harus menyemproti seluruh isi kamar mandi dengan desinfektan. Baru kemudian harus menyabun tubuhku sampai dua tiga kali karena tidur di kamar baru. Ya begitulah, sibuk sekali.
Dia terdiam sejenak, enggan berkomentar lagi. Mungkin karena sedang mengutak-atik ponselnya. Entah sebentar lagi dia akan berkata apa. Sekamar dengan Mbak Astri memang harus banyak sabarnya sih. Dia super ceriwis. Apa-apa dikomentari.
Baru saja aku diam, dia lalu mengangkat wajahnya. Bibir ceriwisnya itu hendak menelurkan kalimat baru yang sepertinya masih membahas hal yang sama. Kali ini ditambah dengan mimik serius. “Serius, Na. Masalah kebersihanmu itu udah keterlaluan. Sesekali kamu harus berteman sama kuman dan bakteri. Kerja kita ketemu orang banyak, ‘kan?”
Sudah kuduga. Mungkin saatnya memberi Mbak Astri jawaban pamungkas. Aku menatapnya lembut dua detik. “Aku penderita OCD, Mbak,” ceplosku begitu saja.
Pernyataan itu sanggup membungkam lagi mulut ceriwis Mbak Astri. Dia melongo hingga aku selesai merapikan handbag dan bersiap turun ke lobi untuk berangkat ke bandara dan terbang ke Jakarta lagi.
Sepertinya dia baru sadar jika aku seorang penderita gangguan mental. Wajahnya bak terhempas angin gunung yang kuat. Dia membeku dan bingung harus berkata apa, kacau seperti tidak percaya mungkin. Entah apa reaksinya, ini perdana kulakukan – membocorkan rahasia terbesarku pada orang lain.
Mbak Astri menahan tanganku saat aku hendak keluar kamar. “Nala, lo mah cinta kebersihan ya cinta aja. Nggak usah disebut OCD juga. Berasa denger Dedy Corbuzier gue nih. OCD di sini jenis diet, ‘kan?” candanya berusaha mencairkan situasi.
Aku menggeleng dan tersenyum. “Kelainan mental. Serius, Mbak,” tegasku pelan,
“Hah?” Dia melongo lagi.
Aku tersenyum sambil menarik tuas pintu. “Berangkat yuk, Mbak!” alihku cuek tak menanggapi wajahnya cengonya lagi.
Mungkin dia terlalu tak percaya bahwa di balik kelakuan anehku ini tersimpan masalah yang lebih pelik lagi, yakni mental yang serius. Dia kira aku cuma sekedar cinta kebersihan, bukan karena aku pernah menderita PTSD. Dia kira aku cuma parnoan sama kuman, nyatanya aku lebih dari itu. Aku bisa saja ketakutan setengah mati setelah menyentuh benda baru, sebab kuman itu bisa menginfeksiku sampai sakit hingga mati.
Bagaimana kalau dia tahu masa laluku? Mungkin lebih nggak percaya lagi kalau aku adalah anak yang dibuang oleh ibunya. Aku adalah anak yang dicap durhaka atau aku adalah anak kandung rasa anak tiri. Dia takkan tahu bahwa di dunia yang indah ini, ada kehidupan manusia yang mengerikan di balik senyum ramahnya.
“Nala, lo sehat, ‘kan?” Mbak Astri menyenggol lenganku cemas saat kami berjalan di lorong menuju lift.
Aku hanya tersenyum tak menanggapinya. Lebih baik menggeret koper, segera turun dan menemui awak kabin yang lain. Memilih untuk tidak masuk ke resto, skip sarapan karena aku lebih suka roti pesawat. Menurutku jelas lebih bersih dan makanan bungkus membuatku nyaman. Gimana kalau makanan hotel kotor dan ada racunnya? Aku nggak mau sakit.
---
Aku sibuk menata isi pocket seat. Umumnya memang diurutkan dari yang selebaran besar hingga kecil. Majalah Pictures di belakang sendiri, katalog in-flight shop, disusul buku doa, dan airsickness bag. Namun, jika mereka di tanganku, kususun dengan sangat rapi dan lurus hingga sedap di pandang mata. Semua sama untuk 175 seats kelas ekonomi penerbangan NA777 Nusantara Airlines.
Selanjutnya, peletakan bantal abu kecil itu. Semua juga harus sama, tak ada yang miring satu derajat pun. Rapi dan presisi hingga aku harus dua tiga kali menepuknya. Kemudian berdiri tegak dan memandangnya dari sisi lain hanya untuk memastikan kursi per kursi sudah rapi.
Jujur, ini sangat melelahkan. Pekerjaan yang lima belas menit selesai, bisa jadi 30 menit di tanganku. Kadang aku sampai ditegur purser karena kebanyakan melamun sambil menatap satu persatu seat. Atau aku disenggoli senior saat termangu di depan kompartemen kabin dengan mata kosong.
Perlu kukatakan bahwa menjadi penderita OCD ringan maupun berat itu menguras pikiran dan mempengaruhi kehidupan. Oleh karena itu, aku ingin sembuh entah bagaimana caranya. Aku yakin perlahan aku pasti sembuh, suatu saat nanti. Ya, aku akan bangkit.
“Selamat datang di Nusantara, seat-nya, Pak?” sapaku riang saat seorang bapak 40 tahunan mendekat. Tentu kakiku mulai menjauh, menjaga kontak fisik. Padahal seharusnya aku menerima boarding pass-nya untuk mengecek apa dia masuk di penerbangan yang sudah benar atau tidak. Sayangnya, aku terlalu takut pada kuman di kertas-kertas itu.
“36F, Mbak,” jawabnya pelan yang membuatku kembali fokus.
Aku tersenyum ramah.“Oh di sini, silakan!” Kutunjuk kursi rapi tepat di sebelahku.
Aku minggir dan membiarkan pax alias penumpang itu lewat. Dia lalu meletakkan barangnya di kompartemen kabin. Tampaknya kesulitan, perlu bantuanku. Namun, tas si bapak kelihatan kotor. Kayaknya bekas tanah atau apa gitu.
Hal ini mulai membuatku risau. Aduh, gimana nih? Nggak bantu nanti kena tegur purser. Dibantu kok kotor, nanti tanganku kena kuman. Apa yang harus kulakukan? Membiarkannya sajalah, sampai ada awak kabin lain yang membantunya. Namun, posisi mereka cukup jauh dari si Bapak. Terdekat adalah aku karena dia tepat di belakangku.
Hela napas panjang! Tahan jijikmu, Nala! Bantu lalu cuci tangan, selesai!
Akhirnya aku mendatangi si Bapak. “Saya bantu, Pak?” tawarku ragu sambil menggeser posisi tubuhnya.
Si Bapak tersenyum kecil. “Tadi saya numpang truk bawa sapi, Mbak. Maaf,” ucap si Bapak malu-malu seolah membaca pikiranku yang sedang menahan rasa jijik.
Hmmm, mungkinkah kotoran ini bekas tahi sapi? Oh no, mendadak mual dan merinding semua bulu romaku. Semoga nggak ada kuman yang masuk sebelum aku mencuci tangan. Aku nggak mau sentuh kotoran sejenis itu. Nanti aku kena penyakit gatal-gatal atau sapi gila, gimana? Aduh, kenapa akhir-akhir ini aku makin parah sih.
“Sudah,” ucapku dengan napas tertahan sambil menutup kompartemen kabin tanpa sadar. Aku berjalan cepat-cepat menuju lavatory depan, sejenak lupa dengan tugasku yakni menyambut penumpang di pintu masuk. Tak peduli, aku hanya ingin mencuci tanganku sebersih mungkin.
“Kamu harus bersih!” gumamku sambil menggosok sabun kedua di tanganku. Rasanya pedih karena aku menggosoknya terlalu kuat dan dengan sabun yang banyak. Napasku sampai tersengal-sengal karena isi otak memburu ingin keluar, isinya ketakutan.
Sejujurnya, alasan lainku menjadi pramugari yang berkontak dengan banyak orang adalah healing. Maksudnya, aku berusaha untuk sembuh dengan mulai membuka diri pada lingkungan sekitar, dalam hal ini jadi awak kabin. Mungkin jika aku terbiasa kontak dengan banyak hal, fobia kotorku ini akan lenyap. Mungkin jika aku bersikap layaknya orang normal, aku bisa normal beneran.
I’m struggling, untuk melalui semua ini saat resmi divonis OCD sejak lulus SMA dulu. Awalnya, aku sangat menutup diri. Takut kotor, takut sakit, dan mati. Aku bahkan sampai tak tidur berhari-hari karena Jihan mengajakku duduk di taman. Pada akhirnya, dia mengerti kondisiku. Dia tak lagi memaksaku dan memberiku pengertian bahwa bangku taman tidak kotor.
Sejak saat itu aku hanya nyaman berada di sekitar orang yang tahu kondisiku. Serasa kita tak perlu menjelaskan apa-apa. Namun, itu tak selamanya terjadi. Aku tetap harus hidup berdampingan dengan banyak hal, banyak orang.
Maka sejak itu, dorongan Jihan untuk jadi pramugari makin getol. Katanya, dengan bertemu banyak orang aku akan ketularan normal dan standar. Kuiyakan setelah berpikir panjang dan mantap. Kuikuti seleksi dan masuk dalam sekali coba. Menjalani hari sebagai pramugari, berdampingan dengan banyak hal baru dan pribadi baru sembari menyembuhkan diri.
Nyatanya, sampai setahun aku berjuang, gangguan itu masih ada, bahkan semakin mengkhawatirkan. Terkadang aku mulai letih dan hendak menyerah. Namun, jika ingat rentetan jobdesk milikku, aku kembali bersemangat. Dunia udara ini lumayan menyegarkanku dari penatnya daratan.
Aku kembali semangat menjalani sisa hari dengan seabrek tugas. Kali ini waktunya membagikan makanan kepada para penumpang. Dibantu Mbak Anneke, aku mulai berjalan anggun di aisle sambil mendorong troli.
“Silakan nasinya, Pak!” Kuberikan sekotak alumunium foil berisi nasi ikan yang masih panas kepada penumpang 29A.
Tangan halus itu menyambutku lembut. “Terima kasih, Mbak,” ucap si Ibu dengan ramah.
Tampaknya si Ibu tak membiarkanku begitu saja. Ditatapnya wajahku lebih lekat sambil tersenyum tipis. “Mbaknya cantik,” pujinya yang membuatku tersipu.
Tak ada waktu untuk tersipu lebih lama, kulanjutkan kembali tugas ini. Hatiku berdebar sambil mendorong lagi troli ke seat belakangnya. “Silakan Pak dan Ibu mau nasi ikan atau nasi ayam?” tawarku sopan.
“Tidak usah, Mbak. Roti saja ada?” tolak si Bapak.
“Ada, sebentar saya ambilkan,” ucap Mbak Anneke di depanku dengan ramah.
Kulirik penumpang di dekat jendela yang sedang tidur dan menutupi wajahnya dengan masker. “Bisa minta tolong dibukakan meja kecilnya, Pak?” pintaku ramah pada Bapak yang di tengah.
Bapak yang kumaksud langsung melakukan permintaanku. Meja kecil di hadapan bapak yang bermasker itu dibukakan. Ternyata hal itu membuatnya terbangun. Bapak itu menegakkan badannya dan menatapku. Anehnya, dia langsung melepas masker dan menajamkan tatapannya. Kami saling memandang.
Tak aneh sebenarnya, sebab dia adalah orang yang kukenal. “Bapak …,” desahku.
“Nala?” balasnya tak kalah terkejut.
Bapak yang sudah kurindukan bertahun-tahun ada di satu penerbangan denganku, di pesawat tujuan Batam – Jakarta. Ada apa dengan hari ini? Bukankah ini terlalu indah.
Saat tiba di Cengkareng, kami memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe roti kopi di dekat bandara. Kupandangi wajah bapak hingga puas sebab teramat merindukannya. Gurat wajahnya tidak berubah, tetap meneduhkan dan rupawan seperti dulu. Hanya saja beberapa uban mulai tumbuh di kepala sampingnya, serta ada beberapa kerutan di sudut matanya. Menandakan waktu berlalu dan memisahkan kami.
“Shana rindu, Pak ….” Kusentuh tangan Bapak dengan tangisan. Di badanku masih melekat seragam kerja. Selepas terbang aku memang langsung berlari menuju tempat ini hanya untuk menemui bapak. Aku takut beliau pergi lagi, tanpa sempat berucap sepatah kata seperti dulu.
Mungkin pembicaraan kami akan mengalir banyak. Ya, banyak yang ingin kuutarakan pada beliau. Aku merindukannya, sepuluh tahun kami tak berjumpa. Sekarang garis takdir berpihak pada kami. Kami dipertemukan jua.
Bapak merengkuh kedua tanganku dengan gemetar. “Boleh Bapak memelukmu, Shana?” tanya Bapak tanpa pikir panjang langsung melakukannya.
Shana adalah panggilan yang dipilih bapak untukku. Dalam Bahasa Arab artinya baik sekali, bahasa Ibrani artinya Allah didamaikan. Bukan Nala, tapi Shana. Katanya lebih enak didengar telinga. Menurutku mungkin lebih dramatis, mirip nasibku.
Kami berpelukan untuk beberapa detik. Aku tak berpikir banyak, bahkan tak cemas apakah bapak bersih atau tidak. Tak ragu sama sekali berkontak fisik, sebab bapak adalah orang yang kupercaya. Ya, aku bisa sembuh jika dekat dengan orang yang kupercaya. Sama seperti saat aku bersama Jihan, sekarang saat bersama Bapak aku berlaku layaknya orang normal.
“Bagaimana kabarmu, Shana? Sepuluh tahun kita tidak bertemu, kamu udah jadi pramugari, Nak. Bapak kangen sekali denganmu, berusaha mencarimu tapi selalu gagal,” cerocos Bapak di dekat telingaku.
Kujeda pelukan sembari menghapus tangis dengan tawa bangga. Kupandang Bapak saat kembali ke posisi awal. “Shana juga kangen sekali sama Bapak. Bapak ke mana saja?” tanyaku tanpa menjawab rasa penasarannya.
“Bapak kerja di sebuah perusahaan di Batam. Tak pernah sekali pun pulang ke Jawa atau Jakarta. Belum ada alasan yang kuat, karena tak kunjung bisa mengontakmu. Ibumu selalu menghalangi upaya Bapak,” jelas Bapak dramatis.
“Oh iya, bagaimana kabar ibumu?” Pertanyaan Bapak membuat perutku mulas dan teraduk.
Aku menunduk, napasku sesak jika nama itu disebut. Tanpa terasa hidungku mengembun dan mataku mengabur karena air. “Shana udah nggak di rumah itu lagi, Pak.”
“Kenapa?” tanya Bapak kaget.
“Shana diusir, ya udah pergi,” jelasku begitu saja dengan air mata mengalir perlahan. Namun, kuhapus dengan cepat karena enggan menangis demi ibu.
Bapak menjangkau wajahku. “Shana nggak apa-apa, ‘kan? Terus Shana sekarang gimana?” berondong Bapak cemas.
“Kenapa ibu membenci Shana, Pak? Apa Shana bukan anak kandungnya?” ceplosku tiba-tiba sambil memandang Bapak lekat. Wajah Bapak langsung berubah, beliau meminum kopi cepat-cepat.
Bapak berdehem salah tingkah. “Shana, kamu sekarang tinggal di mana?” Bapak menepis pertanyaanku dan makin mengguratkan keanehan terpendam.
“Jawab pertanyaan Shana, Pak. Kenapa Ibu sangat membenciku? Apa Shana ini bukan anak Bapak?” desakku makin pelik.
Kenapa aku sampai beranggapan sekacau ini, karena melihat perlakuan ibu padaku. Perlakuan keji yang kudapatkan dulu hanya wajar jika dilakukan oleh ibu tiri atau ibu angkat. Tidak mungkin seorang ibu kandung bisa sekejam itu pada anaknya.
Bapak menunduk dan menghela napasnya yang tersengal. Kami hening di tengah keramaian lalu lalang orang. “Benar, Shana bukan anak kandung Bapak,” jawab Bapak lirih.
Hatiku runtuh, terhenyak kacau. Jadi, itu bukan sekedar anggapan. Itu benar?
“Shana adalah anak Ibu dengan … mantan pacarnya,” jelas Bapak sepotong-potong.
“Maksud Bapak, aku anak haram?” tegasku tak percaya dengan alis berkerut ke tengah karena mataku sangat sepat, pedih.
Bapak menatapku lekat. “Cinta mereka kandas karena ibu dinikahkan dengan Bapak. Namun, sesudah kelahiran Vanya kami banyak bertengkar. Kami sempat bercerai lantas rujuk lagi. Saat bercerai itulah ibumu bertemu dengan mantan kekasihnya,” jelas Bapak tanpa berani menatapku.
“Apa …,” desahku kehabisan kata-kata.
Ternyata hidupku jauh lebih mengerikan dari yang kukira. Jadi, karena itulah ibu membenciku. Karena itulah ibu selalu menyiksaku, aku bukan anak resmi. Aku bukan anak sah. Aku benar-benar anak haram, penuh dosa.
Pantas wajahku dan Mbak Vanya tidak mirip. Garis wajah dan hidung kami sangatlah beda. Itu jelas karena kami bukan saudara kandung. Bapaknya jelas siapa, sedangkan bapakku entah siapa. Aku anak haram!
“Lalu kenapa Bapak sangat menyayangiku?” tanyaku kacau dengan suara bergetar.
Bapak menghapus air mataku dengan lembut. Dibelainya anak rambutku dengan penuh kasih sayang. “Seorang anak tetap suci, Shana. Meskipun ibumu membenci kehadiranmu, Bapak sangat menyayangimu seperti Vanya. Kamu tetap anak Bapak yang membutuhkan kasih sayang.”
“Jadi ini alasan Bapak pergi? Karena tak tahan dengan ibu?” Kuelakkan sentuhan lembut Bapak dengan terus menghakiminya.
Bapak mengangguk dengan mata hancur. Matanya teramat penuh sesal terwujud dalam tangan yang tanpa sadar meremas-remas tisu cokelat di dekat kopinya. “Jujur, susah bagi Bapak memaafkan ibu. Penghianatan itu susah untuk dimaafkan. Namun, semua bukan mutlak salahnya. Ada kesalahan Bapak juga. Mungkin Bapak tidak bisa memenuhi harapan ibu, makanya dia berpaling.”
“Pak …,” keluhku lirih.
Kuhela napas cukup berat karena hatiku sesak oleh anggapan-anggapan menyakitkan. “Tadinya, Shana ingin sekali bertemu dan ikut Bapak ke mana saja. Cuma Bapak tempat Shana mengadu, Bapak bisa mengobati sakitku. Namun, sekarang urung karena tahu siapa aku. Aku tak ubahnya seorang anak hasil zina, haram jadah,” gumamku dengan suara bergetar.
Tak tahan lagi, aku mengemasi ponsel dan tas di pangkuan. Ingin segera hengkang dari hadapan bapak. Merasa aku hanyalah dosa besar yang berjalan, aku ingin lenyap ke sisi yang lain.
“Shana … kamu tetaplah anak Bapak,” Bapak menyentuh lenganku berusaha menahanku pergi.
“Nggak, Pak! Enggak! Aku bukan anak Bapak. Bahkan, aku nggak pantas disebut manusia, apalagi anak!” Aku berjalan mundur menjauhinya sambil menatapnya sentimental.
“Shana!” panggil Bapak sambil memburu langkahku. “Tunggu, Nak. Kita bisa bicara!” tahannya yang tak kutanggapi.
Kuseret koper dengan buru-buru karena suasana semakin memburuk. Mataku sudah tak bisa menatap jalanan di depan karena sudah buram dengan air mata. Aku menangis dan disaksikan ratusan orang di lorong bandara. Lupa jika aku masih berseragam milik maskapai. Semoga tak ada masalah setelah ini.
Kukira hari ini indah, ternyata tak lebih buruk dari yang lalu. Hari yang buruk adalah hari di mana aku membuka luka lama dan tertorehnya luka baru karena kenyataan baru terbuka. Ini sangat mengerikan!
“Auw!” Langkahku tertahan karena ada teriakan kecil dari depan wajahku yang memerah penuh tangis. Orang itu sedang kesakitan karena aku menabraknya.
“Auw!” pekik suaraku yang juga bersamaan dengan suara orang di depanku itu. Aku menunduk dan mengambil handbag yang jatuh.
“Nala?” panggil suara itu. Suara yang tidak asing.
Langsung aku mendongak dan mendapati pria berkemeja putih, berdasi tosca, berjas hitam dan bertopi pilot menatapku bingung. “Mas Ganta …,” desahku.
“Shanala,” ucap Bapak sambil memapahku berdiri. Ternyata Bapak masih mengejar dan mengikuti langkahku.
Mas Ganta ‘merebutku’ dari Bapak, dia meraih tangan lemasku. “Kamu kenapa, Na?” tanyanya dengan mata cemas dengan alis berkerut.
“Bawa aku pergi, Mas!” pintaku lirih.
Mungkin aku lupa jika aku masih punya satu ‘rumah’ selain bapak. Masih ada Mas Ganta yang sedang memegang tanganku erat. Dia masih bisa jadi tempatku kembali dan mengadu setiap masalah dan kelelahanku. Harapanku untuk ikut bapak agar punya tempat untuk pulang setiap selesai terbang itu sudah pupus. Aku tak mau jadi beban untuknya.
Dan Mas Ganta adalah satu-satunya ‘rumah’ yang kumiliki saat ini. Tempatku pulang dan mengisi ulang semangat hatiku yang lemah. Sama seperti beberapa tahun silam saat suara lembutnya menenangkanku di tengah berisiknya deru pesawat.
“Jangan takut terbang! Pesawat ini aman kok. Aku sudah memeriksa semua komponennya bersama Captain. Tenang saja, aku sudah bar 2, tandanya jam terbangku sudah cukup tinggi. Aku sudah punya 700 jam terbang, keren ‘kan?”
Tangannya yang hangat itu menyentuh tanganku yang gemetaran. Sama seperti saat ini, dia menenangkanku saat aku hancur karena kenyataan.
“Kamu pasti bisa melewati terbang pertama ini! Semangat, Mbak!” ucapnya lagi lantas tersenyum.
Senyumnya sama hangat dengan senyumnya saat ini. Saat dia berusaha menenangkanku, saat Bapak bertanya tanpa perlu kujawab. Tentang siapa lelaki tinggi yang sedang memapahku saat ini.
Sementara itu, aku masih tenggelam dalam lamunan kacau karena tidak sadar situasi. Entah apa yang sedang kulakukan, kuhadapi saat ini. Seolah sedang tak sadar, aku kacau dan melayang di awang-awang.
“Siapa namamu?” Dia menelisik wajahku yang kebanyakan menunduk.
“Shanala Arunika,” ucapku pelan, nyaris tak terdengar.
“Oh, Shanala? Nama yang unik, menarik.” Dia mengulurkan tangan jenjang berhias jam rantai Fossil warna hitam. “Arganta Syahreza, panggil aja Ganta!”
Aku melamunkan saat pertama berjumpa dengannya, mas Ganta yang saat ini sedang menggandengku menjauh dari Bapak. Senyumnya menghangatkan hatiku, menghapus takut dan cemas. Kuingat baru kali itu aku tak membersihkan tangan seusai bersalaman dengan orang asing, dengannya. Mas Ganta orang yang bisa kupercaya sejak detik itu. Dia membawaku ke ketinggian langit 36.000 kaki, di penerbangan pertama mendebarkan itu sampai mendarat dengan selamat.
***
“Seorang anak tetap suci, Shana. Sekalipun ibumu membenci kehadiranmu, Bapak sangat menyayangimu seperti Vanya.” Suara bapak terngiang lagi di benakku. Berulang-ulang hingga sepuluh kali lebih. Kusadari bahwa bapak adalah malaikat yang tak bersayap, lebih layak disebut seperti itu. Sehebat itu hatinya bisa menerima anak hasil zina yakni aku. Bahkan, berapa kali bapak pasang badan untukku, membelaku di depan ibu. Bahkan, bapak pergi setelah membelaku. Wajar tak mau hidup dengan ibu. Bisa memaafkan ibu saja sudah luar biasa. Dan tadi aku telah menyakiti bapak untuk kesekian kalinya. Aku pergi meninggalkannya saat bapak masih ingin memelukku. Sebab aku terlalu hina untuk disentuh bapak. Aku hanyalah penghancur rumah tangganya. Sebab karena aku rumah
Bu Rasmina tertawa pongah sambil menatap wajah kosong Nala. Ibu paruh baya itu bahkan tak menurunkan pandangan sombongnya sambil melipat tangan di depan ruangan crew centre. Entah apa alasannya cepat-cepat datang ke tempat kerja Shanala setelah mendapat info dari mantan suaminya. Mungkin untuk sekedar menengok putri bungsunya, atau hanya ingin menghancurkan kehidupan si bungsu yang tak pernah indah. “Jangan di sini!” larang Nala dingin sambil berjalan keluar. Niatnya mengusir sang ibu dari depan ruang crew centre agar mereka leluasa berdebat atau sekedar melepas emosi. Nala tak mau makin merusak namanya di tempat itu. Meski masih tinggi hati, bu Rasmina mengekori Nala. Mereka sampai di sebuah kafe bandara yang sepi dan sedikit temaram. Sepertinya suasana cocok untuk berdebat panas melepas “rindu pahit”. “Mau apa, Bu?” Sapaan Shanala lebih kepada sebuah sindiran tajam. Apalagi mata sembabnya seolah badai yang siap menerjang siapa saja. Bu Rasmina berde
Lelaki bertubuh tinggi berkulit putih itu terlihat gusar. Berulang-ulang dia mengetukkan sepatu PDL hitam tebalnya ke lantai sambil menggigiti jemari. Kadang dia melongok pada arloji di tangan kirinya dan kembali mondar-mandir dengan bingung di depan sebuah ruang. Hatinya berada di ambang cemas dan gusar karena memikirkan nasib seseorang. Kava tak bisa tenang, sangat teramat cemas dengan sesekali melongok ke arah pintu ruang crew centre Sentani Airport. Sesekali menggigit bibirnya karena pintu itu tak kunjung terbuka. Dia memikirkan nasib Shanala yang tadi ditandu keluar dari lavatory pesawat dalam kondisi pingsan, lalu dibawa ke ruang itu. Kava cemas berbalut rasa sesal. Penyesalannya cuma satu, kenapa dia tadi tak menolong gadis itu. Andai saja dia lebih berani melangkah tadi. Entah bagaimana cerita bisa berubah secepat ini. Awalnya rasa di hati cuma penasaran karena kecantikan Nala dan seny
Episode 8 Maukah Kau Menjabat Tanganku? 10 Maret 2019, aku sedang menatap lurus pemandangan di depan mata. Duduk sendirian berteman sepi meski di tengah keramaian pasien rumah sakit. Rumah sakit ini berbatasan dengan Danau Sentani yang teduh nan hijau. Danau tenang itu seperti tak mampu menghapus gulanaku. Tidak ada yang membuat anganku tertarik meski angin sejuk menerpa kulit putih ini. Ketenangan air danau itu juga tak bisa menenangkan gejolak ombak hatiku. Tak ada yang menarik selain pikiranku yang berkecamuk di benak. Pikiran itu melayang ke wajah seseorang yang membuatku mulai tak bisa tidur. Dia teramat baik untuk dipandang. Kata tampan sudah cukup mewakili parasnya saat tersenyum padaku. Kata santun mungkin sudah jadi nama tengahnya saat bicara denganku. Siapakah dia, yang tiba-tiba datang dan menyelamatkanku? Matanya sipit dengan iris hitam legam, sorot matanya tajam s
Di sebuah ruang berlatar hitam, ada sebuah lampu yang menyala terang. Kulihat ada seorang ibu berdaster bunga-bunga nan cantik sedang membelai seorang anak sekolah berseragam merah putih. Wajahnya terlihat penuh sayang dan kasih, sedangkan si anak menimang piala di tangannya dengan riang. Kemudian dari sudut yang lain, ada anak berbaju daster merah muda nan lusuh sedang memegang bunga mawar merah yang berantakan. Maklum itu bunga tangan buatannya sendiri. Namun, maknanya tulus untuk diberi kepada sang ibu yang tak memperhatikannya sama sekali. Memang kentara sekali kalau si anak berdaster lusuh dipinggirkan, diabaikan. Entah kenapa hatiku sakit saat melihat pemandangan di depan ini. Ingin kuhentikan, kualihkan pada adegan lain. Namun, semua berada di luar
Sesekali kulirik tangan jenjang berotot itu, hati ini berdebar lagi. Tangan besar yang hangat dan kuat membawa setir pesawat tempur itu bisa membuatku terpukau. Tangan orang dari profesi yang teramat kukagumi, mungkin profesi dari orang yang pernah menyakitiku. Tangan tegas itu baru saja memelukku dan sekarang kami berjalan beriringan. Captain Kava mengajakku berteduh di sebuah hanoi di depan rumah bernuansa cokelat. Sebab hawa juga mulai panas menusuk kulit. Di bawah rumah tradisional ini kami mungkin sekedar duduk berdua. Entah, aku tak terlalu berani menduga yang lebih dari itu. Dia masuk terlalu jauh dalam hidupku. Terlibat pada kerumitan dan kekusutan seorang Shanala. Hanya karena dalih peduli.“Duduklah, Mbak! Saya mau panggil teman dulu,” suruhnya sambil menatapku lekat. Dia kemudian menunjuk seb
Dia menyodorkan selembar kertas berisi tulisan yang rapi. Sebuah deretan angka bernama ‘Kavalery Kartiko’. “Saya tetap menunggu jawaban Mbak Nala. Ini nomor saya, jangan sungkan menghubungi saya meskipun itu pukul 12 malam. Saya akan datang ke Jakarta untuk menjemput Mbak.” Kalimatnya kembali terngiang, saat di parkiran bandara Sentani tadi, dia mengucapkan itu. Hingga sekarang aku sudah berada di atas langit Makassar, semua masih terngiang jelas. Captain Kava masih jadi penghias lamunan kesepianku. Sepanjang jalan di langit malam yang sedih, hatiku mulai berani merindukannya. Apa pernikahan itu memang serius? Sumpah, aku tak berani memikirkannya. Siapalah aku ini? Kenapa harus menikah? Kenapa tidak dijadikan adik atau anak angkat keluarganya saja kalau cuma bermotif identi
Kukira akan menghabiskan dua bulan masa hukuman ini dengan hari yang sedih. Kukira aku akan pontang-panting ke sana-sini dengan mencari uang tambahan untuk menyambung hidup. Kukira akan menghabiskan hari yang sunyi dengan merindukan setiap penerbangan. Ternyata semua perkiraan itu salah.Aku malah berada pada sebuah perjalanan menuju pangkalan udara di daerah Jawa Timur. Bersamanya, lelaki yang nekat mengajakku menikah demi sebuah pertolongan. Lelaki ngeyel yang rela mengorbankan hidupnya, merelakan hidupnya yang sempurna demi aku. Captain Kava mungkin sudah gila sejak dia mengenalku.Nyatanya, aku manut pada keputusan gilanya itu. Ikut dalam perjalanan untuk menghadap sidang pernikahan militer, mungkin. Aku awam tentang dunia itu, termasuk pernikahan. Bahkan, aku tak menyangka akan menikah secepat ini. Menikah di masa hukumanku, sama sekali tak kusangka.Kata dia, semua niat baik pasti dimudahkan. Kurasa itu benar. Setelah tinggal di Jakarta selama tiga hari un
Blak! Sebuah pintu kayu dibanting dengan kuat oleh dua buah tangan yang gemetaran. Bibir wanita ayu bermata lentik itu bergetar, berusaha dikatupkan erat, dan digigit kuat-kuat. Dia jua menempelkan punggungnya kuat-kuat pada pintu pembatas antara kamar dan ruang tengah rumah dinas itu. Matanya yang lentik perlahan menelurkan bulir bening tiga kali. Kini ada sebuah aliran air mata yang seperti sungai di pipi tembam itu. Wanita ayu itu sedang menangis. Pagi ini sebuah harapannya dipatahkan oleh sebuah kenyataan pahit. Dia kira anak bayi itu adalah sosok yang menyenangkan bila di dekatnya. Nyatanya, wanita ayu bernama Shanala itu merasa salah besar. Justru dia merasa tertekan saat harus menghadapi bayinya yang menangis keras. Suara tangisnya tetap tembus kendat
Pagi baru saja mendatangi hari saat aku tercenung sendiri di kamar mandi. Dari kejauhan terdengar merdu suara azan Subuh yang menentramkan hati. Saking syahdunya, air mata satu tetes jatuh di pipi. Apalagi pemandangan alat kecil di atas ubin kamar mandi itu sejenak menimbulkan haru. Dua garis merah nan terang, positif. Aku sedang mengandung buah hati mas Kava. Tentu saja napasku tertahan tak percaya. Untung saja terantisipasi dengan hasil dari alat yang satunya. Aku menoleh ke gelas satunya dan mendapati hasil yang sama. Dua bahkan lima alat kecil pipih itu tetap bergaris dua merah terang. Aku hamil. Jadi, inilah
Jika bekerja di udara yang penuh risiko itu seperti tidur, maka berkumpul dengan keluarga seperti mimpi yang indah. Setelah menikmati pekerjaan yang menyenangkan itu, serasa mimpi bisa berkumpul dengan bapak, mamak, dan juga dia, Mas Kava. Sekarang kami berempat duduk di meja makan bulat. Sedang menikmati ikan kuah kuning, nasi beras merah, ikan bakar, dan juga kerupuk bawang. Tak lupa mamak memotong buah semangka merah dan kuning. Bapak memecah beberapa kelapa muda dan dibuat es kuwut bali. Makan sederhana seperti ini sudah membuatku sangat bahagia. Mereka lebih mahal dari makanan restoran super mewah. Sebab tak setiap hari aku menikmatinya. “Non, makan yang banyak. Kenapa ko pu badan makin kurus ka?” Mamak membelai pipiku lembut. (Kenapa badanm
Dini hari pukul 1 sudah menyapa langit Makassar. Burung besi itu sedang mengarungi langit setinggi 37.000 kaki dengan kecepatan sekitar 600 kilometer/jam. Udara kabin terasa dingin menusuk, sebab udara ketinggian bisa di suhu minus derajat. Rerata penumpang NA-990 sedang terlelap meski di tengah desing mesin jet. Namun, ada sebuah suara yang berbeda dan terasa sedikit mengganggu suasana bising itu. Berisik di tengah kebisingan. Tangis bayi berusia lima bulan terasa menyayat sebagian hati, sebagian lagi memilih tak peduli. Namun, ada jua yang merasa sangat terganggu hingga menoleh ke kursi belakang – tempat si bayi berusaha ditenangkan. Ada si ibu yang frustrasi sebab bayi mungilnya tak henti menangis. Entah karena apa, si ibu sedang menerka-nerka. Mana
Terbiasa bekerja dalam risiko membuat semua hal kecil berarti pertanda. Kukira firasat tak enak itu terjadi karena perubahan kecil mas Kava yang senang memanggilku “Sayang” belakangan ini. Ternyata bukan. Ternyata perasaan buruk itu karena sebuah musibah akan menimpa salah seorang sahabat terbaikku. Mbak Astri, yang super ceriwis nan cantik itu telah pergi. Bersama dengan 42 orang penumpang burung besi nahas itu. Mereka terbang terlalu tinggi hingga tak bisa mendarat lagi di dunia. Menyakitkan harus bertutur seperti ini. Lagi, mataku membasah jika menceritakannya. Tak hanya itu, ada rekan baik Mas Kava yang tanpa sadar sering dia ceritakan. Turut pergi selamanya dalam musibah itu. Semua terasa kebetulan, tidak, ini sudah ta
“Selamat pagi Desember tanggal 28, semoga baik dan lancar untuk semuanya,” harap Nala sambil menghimpun kedua tangannya di depan hidung dan mulut. Dia memejamkan matanya yang lentik lalu membukanya perlahan. Menghadap ke arah pukul tiga, ada Senior Flight Attendant Donna yang sedang tersenyum manis. Pagi ini, Donna menjadi cabin 1 penerbangan rute Surabaya – Jakarta – Jakarta – Surabaya. Pramugari semampai itu menyapa Nala dengan ramahnya. “Sudah siap, Dek? Lavatory?” Nala mengangguk penuh hormat dengan senyuman indah. “Siap, Mbak. Sudah bersih dan siap digunakan.” Nala menjawab dengan sig
Terima kasih Matahari Pagi yang Hangat telah menyapaku di permulaan Desember. Tak terasa, tlah sampailah aku di penghujung tahun ini, bulan Desember tanggal 1. Masih di tahun yang sama, 2019. Tahun penuh kejutan, setelah kesakitan dan air mata. Tahun aku melepas predikat gadis dan lajang, menjadi seorang wanita bersuami. Aku bahagia meski musim sedang hujan. Meski arunika pagi jarang menyapaku, menyisakan hawa dingin di jajaran embun. Tak mengapa sebab sudah ada yang memelukku siang dan malam – saat sedang tak bekerja. Untung saja pagi ini matahari itu menyapaku dengan hangat bahagia. Ini adalah bulan keduaku pindah ke base 2 di Surabaya. Jarak yang lebih dekat dari Magetan. Hanya beberapa jam aku bisa bertemu dengannya, kami tak lagi didera j
Nelayan yang sudah berpengalaman pasti sudah terbiasa dengan datangnya badai. Mereka bersiap, mereka telah kuat. Mereka mempersiapkan, membangun tiang-tiang kapal nan kuat. Jika diterjang, mereka akan mudah untuk hidup dan bertahan. Kapal dan nelayannya selamat melewati samudera. Pun sama denganku, badai yang datang lagi ini berusaha kuatasi sekuat tenaga. Meski rasanya sama, sakit sekali. Aku berusaha melewati badai kehidupan seperti seorang nelayan yang berpengalaman. Bukankah sejak kecil aku sudah hidup dalam badai. Maka, air mata di pipiku terasa sudah kering. Mata hanya bisa kosong terpaku pada suatu titik saat mereka sibuk mengurusi “badai”. “Badai” dari masa laluku itu bernama ibu. Dan aku telah terlibat dengannya
Berulang-ulang pintu itu diketuk tangan berotot Kava, masih tak ada jawaban. Bujukan manis lembutnya menguap ke udara. Tak ada jawaban berarti dari dalam kamar mandi dingin itu. Hanya terdengar suara air gemericik tanpa suara manusia. Membuat lelaki itu makin cemas dari detik hingga detik. “Dek … buka pintunya, ya? Saya mohon, Dek!” Kava kembali mengetuk pintu sambil menggenggam sebuah kresek kecil. Bujukan dengan suara lembutnya terus mengalir, tapi Nala hanya diam. Keputusannya pergi ke apotek untuk membeli obat luka berbuah sesal. Sepeninggal Kava, Nala beranjak lemas dari ranjang menuju kamar mandi. Dia mengguyur sekujur badannya dengan dinginnya air. Matanya kosong tak ada ekspresi. Tak hanya itu, tangis dan pandangan datar adalah hia