“Ini aku?” Lira memandang dirinya di depan cermin. Ia tampak sangat anggun dan layak menjadi seorang ratu. Itulah rencana Arsa pada salah satu pecahan arwah Hara. “Iya, kau terlihat sama dengannya.” Mata kuning dewa perang itu bahkan tak berkedip memandang saking rindunya pada Hara yang dulu. “Dengan siapa? Hara? Dia siapamu?” Lira mendekat, Arsa mundur karena terlalu gugup. “Berhenti di sana. Suatu hari nanti kau akan tahu siapa Hara. Kau sudah cukup cantik dan kau siap untuk hari ini?” Lelaki tegap dan kekar itu memegang jantungnya yang berdegup kencang. Tidak bisa dibiarkan, Lira terlalu sama persis dengan Dewi Hara. “Untuk apa?” Lira sama sekali tak diberi tahu apa rencana Arsa. “Maaf, Tuan dan Nyonya, tapi semua orang penting termasuk para orang suci telah menunggu di aula. Mereka menanti kedatangan kalian berdua.” Seorang pelayan datang dan berbicara dengan menunduk. Begitulah etika berbicara dengan seorang penguasa, dengan dewa lebih jauh lagi harus disembah. “Baik, kami
Suara ketukan di pintu membuat Ratu Lira bangun dari tidurnya. Gadis itu lekas bangkit dari ranjang dan membuka pintu. Beberapa pelayan datang membawakan air cuci muka untuknya. “Mana dia?” tanya Lira pada pelayan. “Dia siapa, Yang Mulia Ratu.” “Itu, Dewa Arsa, lelaki yang dari kemarin ada bersamaku,” tunjuk Lira di tempat Arsa berbaring di sisinya kemarin malam. “Maaf, Ratuku, tapi kami tidak tahu apa-apa soal itu. Pintu kamar tertutup rapat dan kami tidak ada yang berani masuk. Sekarang ganti baju tidur dengan yang ini. Kita memiliki jadwal untuk bertemu dengan perdana menteri beserta jajarannya. Kau harus terlihat cantik dan memukau, Yang Mulia.” “Haa, perdana menteri serta jajarannya. Aku harus tampil cantik. Tunggu dulu, tapi dia di mana, aku tak bisa kalau tak ada dia.” Lira bahkan mencari di bawah kolong ranjang, dalam lemari serta di balik tirai jendela. Tapi dewa perang itu memang sedang tidak ada di tempat. “Yang Mulia, kita kehabisan waktu nanti. Sebaiknya cepat, dan
“Tuan, kau di sini.” Ratu Lira bangun agak sedikit kaget ketika Arsa memperhatikannya dengan tatapan sendu. “Iya, aku di sini belum berencana pergi,” jawab dewa perang itu sembari menyembunyikan pedangnya. “Pergi, pergi ke mana?” Lira sangka lelaki dengan bola mata kuning itu akan menemani dirinya sampai kapan pun. “Nanti, tiba saatnya aku akan pergi, tenanglah aku belum dipanggil.” Hanya jawaban oh saja yang bisa Lira berikan. Lagi pula siapa dia yang bisa mencegah seseorang pergi, begitu pikir Lira. Hari masih larut malam ketika Arsa kembali dari tengah laut. Lelaki itu berpikir keras, satu tahun lebih sudah perjalanan yang ia tempuh dan baru empat pecahan arwah yang ia temukan. Sisa tiga lagi dan tak tahu kapan akan selesai. Waktu terus berjalan ke depan tanpa peduli dengan rasa lelahnya. Iya, dewa juga perlu tenang dan istirahat sejenak. Arsa memejamkan mata dan tertidur di kursi goyang milik sang ratu. Lira bangkit dan menggerakkan lima jemarinya di wajah Arsa. Tidak ada r
Lira terbangun di atas ranjang dengah tubuh tertutup selimut. Iya, tadi malam mereka berdua melewati malam penuh romansa setelah Ratu Lira benar-benar terpesona oleh seorang dewa. “Apakah dia pergi begitu saja tanpa bicara padaku?” Lira tak mau ditinggal tanpa pesan oleh Arsa walau ia tahu lelaki itu akan tetap pergi. Pintu kamarnya diketuk, kalang kabut sang ratu menggunakan pakaian agar tak diketahui para pelayan apa yang telah ia lalui berdua bersama Arsa tadi malam. Meski secara umum orang-orang sudah tahu kedekatan mereka dan tak mungkin tak terjadi sesuat, tetap saja Lira malu. “Ehm.” Tepat waktu Lira memakai semua bajunya ketika pelayan masuk. Kakinya menutupi pakaian dalam yang tak sempat ia gunakan. “Yang Mulia Ratu, hari ini engkau akan mandi dengan aroma bunga apa?” tanya pelayan. Hidung Lira mencium aroma yang tidak sedap.“Kau sendiri sudah mandi?” tanya balik sang ratu. Para pelayan itu hanya menggeleng saja. Sudah tradisi turun temurun para raja, ratu, bangsawan, k
Setelah menunggu satu pekan lamanya, akhirnya panggilan dari zodiak sagitarius datang juga. Arsa tersenyum, tapi tidak dengan Lira. “Kupikir kebersamaan kita akan terasa lebih lama, ternyata kau memang harus pergi juga,” ucap Lira lalu duduk di ranjang. Akhir-akhir ini ia tak tahan untuk berdiri terlalu lama. “Sudah kukatakan dari awal, bukan?” “Iya, aku tahu, aku hanya belum siap saja. Aku inginnya kau ada di sini terus, berat sekali jadi ratu, seminggu lagi ada parade militer pula. Aku takut tak kuat bangun.” Lira mengembuskan napas perlahan. “Kau baik-baik saja?” Arsa memegang dahi Lira, tapi tak terasa panas apa pun. “Mungkin kelelahan. Hari ini aku ingin berbaring di kamar seharian, jangan bukakan pintu, ya, walau mereka mengantar makanan dan kalau kau akan berangkat, setidaknya katakan sesuatu padaku.” Kemudian setelah itu Lira berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut. Padahal musim sedang panas-panasnya, sang ratu merasa kedinginan. Arsa mengembuskan napas. Sedikit b
Leher salah satu pelayan itu dijerat dari belakang. Kemudian dalam sekejap saja yang menjerat berhasil mencekiknya sampai mati. Tersisa salah satu pelayan yang masih hidup dan hampir kencing di celana. “Katakan.” Lira menodongkan pisau ke arah leher pelayan yang ia percaya. Benar kata Arsa, jangan mempercayai siapa pun di kerajaan. “Ratuku.” Hamba itu bersujud dan menicum kaki sang ratu daripada dihukum mati. “Aku bilang cepat katakan. Atau kau aku jerat sampai mati seperti dia.” Ancam sang ratu tak main-main. “Ratuku, kau terbukti hamil dan perdana menteri tak menginginkan kelahiran anakmu, tolong jangan bunuh hamba, hamba hanya orang lemah.” “Bodoh.” Lira menendang sang pelayan hingga jatuh tersungkur. Kemudian ia memegang perutnya yang masih rata. Tak disangka Lira akan hamil anak Arsa. Bahkan selama hampir ribuan tahun bersama di langit sepasang suami istri itu belum dikaruniai keturunan. “Urus mayat temanmu. Untuk sementara waktu kau aku maafkan dan jangan bicara apa-apa p
Arsa sampai di satu tempat atas petunjuk zodiak Dewi Sagitarius. Di mana dia sekarang? Di dalam lorong sebuah bangunan dengan aroma obat-obatan yang menyengat hidung. Kemudian tak lama setelah itu ada beberapa orang dengan pakaian putih mendorong brankar berisikan korban kecelakaan. “Di mana aku sekarang?” gumam Arsa perlahan. Ia masih menggunakan baju di era Kalira ketika sampai. Masuk seorang perempuan dengan baju biru kedokteran dan sudah mencuci tangan. Arsa dan perempuan itu saling memandang sejenak. “Hara, begitu mudah kau ditemukan,” ucap Arsa tapi pecahan arwah kelima itu tak peduli. “Kok, bisa ada orang asing di sini. Panggil security, usir dia dari ruang operasi!” perintah sang dokter pada dua orang perawat. Arsa diminta keluar oleh perawat dan menunggu di ruang tunggu saja. Untuk sementara ia akan mengalah sampai tahu di mana dan di zaman apa dirinya berada sekarang. Tak tahu arah dan tujuan yang jelas, serta sudah setengah jam menunggu tapi Hara tidak juga keluar. A
Samara—nama pecahan arwah kelima sedang mengoperasi pasien korban kecelakaan tunggal di trotoar jalanan. Sudahlah sambil berkendara main handphone dan tak menggunakan helm pula. Kepala itu pecah dan darah merembes sangat banyak. Tangan yang diberi hand skoon itu menjahit luka yang amat sangat dalam. Dipotong benang, ganti jarum jahit, begitu saja terus hingga luka demi luka tertutup. Samara berkeringat, seorang perawat membersihkan dahinya. Napas Mara—begitu panggilannya ditarik cukup panjang. Sudah beberapa jam ia berdiri tegak. Untung saja dia tak punya pasangan yang sudah menunggu. Setidaknya begitu caranya menghibur diri dari kesendirian. Mana kala lelaki takut mendekati Mara karena terlalu pintar, cantik, dan banyak uang. “Selesai,” ucap dokter itu menutup luka. Operasi yang memakan waktu empat jam itu berakhir juga. Korban tak akan baik-baik saja, dan masih berada dalam pengawasan Mara. Gadis itu membuang celemek yang telah terciprat darah, sarung tangan, tutup kepala dan
Kuwara mengubah wujudnya menjadi seekor serigala besar dan berdiri di dua kakinya. Dewa perang itu juga mengubah wujudnya menjadi seekor harimau kuning besar dengan otot yang kokoh serta taring dan kuku yang tajam. Dua binatang buas yang saling berteriak dan memamerkan kekuatan mereka. Suara auman yang terdengar membahana sampai menembus portal keamanan milik Dewa Rama. Bahkan Hara terkejut dan hampir pegangannya pada Dewi Anjas terlepas. Di bumi, suara dua dewa yang sedang bertikai itu terdengar seperti naga yang sedang bangkit dari tidurnya. Macam-macam legenda yang berkembang. Terutama ketika tubuh binatang buas itu menutupi bulan yang bersinar terang. Penduduk bumi akan mulai memukul kentungan agar mereka yang bertikai memuntahkan bulan yang ditelan. Harimau dan serigala itu saling bergelut. Mencakar, menggigit, menendang, mematahkan tulang belulang. Kuku mereka masuk ke menembus kulit, tulang serta daging. Darah bercucuran sampai menetes ke bumi hingga membuat tumbuhan yang
Hara memegang pedang api neraka di tangan kanannya. Ia bersiap menghadapi pasukan iblis yang jumlahnya begitu banyak. Sang dewi melompat dan menaikkan lalu menebas pedangnya hingga timbul gelombang energi angin yang cukup besar. Gelombang itu tajam sesuai dengan pedangnya dan membuat beberapa bagian tubuh iblis terputus. Kemudian ibu dari Dewa Kembar itu berlarian dari satu atap ke atap lainnya sembari mengayunkan senjata mengikuti gerakan para iblis yang begitu gesit. Peluh Hara bercucuran. Ia melompat lebih tinggi dan mencoba meretakkan portal iblis yang dibuat oleh Kuwara. Portal hancur sedikit demi sedikit. Cahaya hijau terang dari tubuh Dewi Anjas keluar menembus langit. “Besar juga kekuatanmu sejak kembali dari bumi.” Kuwara memperhatikan pertarungan sengit dari atas singgasananya. Di sisi kirinya Dewi Anjasmara terkulai lemah tanpa bisa melawan.Sementara itu Reksi berdiri di antara barisan para prajurit neraka yang menghadapi Arsa. Pelayan Raja Iblis itu memiliki dendam yan
Seekor rubah ekor tujuh berlarian di atas gunung es. Ekornya bergerak ke sana kemari dengan lincah hingga membuat pola yang cahayanya berpendar begitu indah. Rubah ekor tujuh itu melompat ketika seekor harimau mengejarnya. Sang dewi api sedang menguji kekuatan barunya. Benar ia telah menyatu dengan makhluk kuno yang habitatnya dulu hancur diburu para iblis. Seekor harimau besar melompat cukup tinggi, mata rubah ekor tujuh itu bersinar terang. Dengan kekuatannya ia bersusaha menghindar dari terkaman. Namun, setelah rubah melompat tetap saja harimau yang merupakan perwujudan dari dewa perang mampu menangkapnya. “Ah, sudah, sudah hentikan! Aku tak tahan geli!” Dewi Hara mengubah wujud menjadi seperti biasa ketika kuku-kuku harimau yang tajam menelisik bulu-bulu rubah yang halus. Hara tak berhenti tertawa sampai menangis ketika Arsa terus menggodanya. “Ternyata seorang Dewi Api bisa geli juga. Kupikir seluruh tubuhnya akan dilindungi perisai sampai tak bisa tersentuh.” Arsa menyudahi
Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el
Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen
Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat
Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m
Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb
Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.