“Tuan, kau di sini.” Ratu Lira bangun agak sedikit kaget ketika Arsa memperhatikannya dengan tatapan sendu. “Iya, aku di sini belum berencana pergi,” jawab dewa perang itu sembari menyembunyikan pedangnya. “Pergi, pergi ke mana?” Lira sangka lelaki dengan bola mata kuning itu akan menemani dirinya sampai kapan pun. “Nanti, tiba saatnya aku akan pergi, tenanglah aku belum dipanggil.” Hanya jawaban oh saja yang bisa Lira berikan. Lagi pula siapa dia yang bisa mencegah seseorang pergi, begitu pikir Lira. Hari masih larut malam ketika Arsa kembali dari tengah laut. Lelaki itu berpikir keras, satu tahun lebih sudah perjalanan yang ia tempuh dan baru empat pecahan arwah yang ia temukan. Sisa tiga lagi dan tak tahu kapan akan selesai. Waktu terus berjalan ke depan tanpa peduli dengan rasa lelahnya. Iya, dewa juga perlu tenang dan istirahat sejenak. Arsa memejamkan mata dan tertidur di kursi goyang milik sang ratu. Lira bangkit dan menggerakkan lima jemarinya di wajah Arsa. Tidak ada r
Lira terbangun di atas ranjang dengah tubuh tertutup selimut. Iya, tadi malam mereka berdua melewati malam penuh romansa setelah Ratu Lira benar-benar terpesona oleh seorang dewa. “Apakah dia pergi begitu saja tanpa bicara padaku?” Lira tak mau ditinggal tanpa pesan oleh Arsa walau ia tahu lelaki itu akan tetap pergi. Pintu kamarnya diketuk, kalang kabut sang ratu menggunakan pakaian agar tak diketahui para pelayan apa yang telah ia lalui berdua bersama Arsa tadi malam. Meski secara umum orang-orang sudah tahu kedekatan mereka dan tak mungkin tak terjadi sesuat, tetap saja Lira malu. “Ehm.” Tepat waktu Lira memakai semua bajunya ketika pelayan masuk. Kakinya menutupi pakaian dalam yang tak sempat ia gunakan. “Yang Mulia Ratu, hari ini engkau akan mandi dengan aroma bunga apa?” tanya pelayan. Hidung Lira mencium aroma yang tidak sedap.“Kau sendiri sudah mandi?” tanya balik sang ratu. Para pelayan itu hanya menggeleng saja. Sudah tradisi turun temurun para raja, ratu, bangsawan, k
Setelah menunggu satu pekan lamanya, akhirnya panggilan dari zodiak sagitarius datang juga. Arsa tersenyum, tapi tidak dengan Lira. “Kupikir kebersamaan kita akan terasa lebih lama, ternyata kau memang harus pergi juga,” ucap Lira lalu duduk di ranjang. Akhir-akhir ini ia tak tahan untuk berdiri terlalu lama. “Sudah kukatakan dari awal, bukan?” “Iya, aku tahu, aku hanya belum siap saja. Aku inginnya kau ada di sini terus, berat sekali jadi ratu, seminggu lagi ada parade militer pula. Aku takut tak kuat bangun.” Lira mengembuskan napas perlahan. “Kau baik-baik saja?” Arsa memegang dahi Lira, tapi tak terasa panas apa pun. “Mungkin kelelahan. Hari ini aku ingin berbaring di kamar seharian, jangan bukakan pintu, ya, walau mereka mengantar makanan dan kalau kau akan berangkat, setidaknya katakan sesuatu padaku.” Kemudian setelah itu Lira berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut. Padahal musim sedang panas-panasnya, sang ratu merasa kedinginan. Arsa mengembuskan napas. Sedikit b
Leher salah satu pelayan itu dijerat dari belakang. Kemudian dalam sekejap saja yang menjerat berhasil mencekiknya sampai mati. Tersisa salah satu pelayan yang masih hidup dan hampir kencing di celana. “Katakan.” Lira menodongkan pisau ke arah leher pelayan yang ia percaya. Benar kata Arsa, jangan mempercayai siapa pun di kerajaan. “Ratuku.” Hamba itu bersujud dan menicum kaki sang ratu daripada dihukum mati. “Aku bilang cepat katakan. Atau kau aku jerat sampai mati seperti dia.” Ancam sang ratu tak main-main. “Ratuku, kau terbukti hamil dan perdana menteri tak menginginkan kelahiran anakmu, tolong jangan bunuh hamba, hamba hanya orang lemah.” “Bodoh.” Lira menendang sang pelayan hingga jatuh tersungkur. Kemudian ia memegang perutnya yang masih rata. Tak disangka Lira akan hamil anak Arsa. Bahkan selama hampir ribuan tahun bersama di langit sepasang suami istri itu belum dikaruniai keturunan. “Urus mayat temanmu. Untuk sementara waktu kau aku maafkan dan jangan bicara apa-apa p
Arsa sampai di satu tempat atas petunjuk zodiak Dewi Sagitarius. Di mana dia sekarang? Di dalam lorong sebuah bangunan dengan aroma obat-obatan yang menyengat hidung. Kemudian tak lama setelah itu ada beberapa orang dengan pakaian putih mendorong brankar berisikan korban kecelakaan. “Di mana aku sekarang?” gumam Arsa perlahan. Ia masih menggunakan baju di era Kalira ketika sampai. Masuk seorang perempuan dengan baju biru kedokteran dan sudah mencuci tangan. Arsa dan perempuan itu saling memandang sejenak. “Hara, begitu mudah kau ditemukan,” ucap Arsa tapi pecahan arwah kelima itu tak peduli. “Kok, bisa ada orang asing di sini. Panggil security, usir dia dari ruang operasi!” perintah sang dokter pada dua orang perawat. Arsa diminta keluar oleh perawat dan menunggu di ruang tunggu saja. Untuk sementara ia akan mengalah sampai tahu di mana dan di zaman apa dirinya berada sekarang. Tak tahu arah dan tujuan yang jelas, serta sudah setengah jam menunggu tapi Hara tidak juga keluar. A
Samara—nama pecahan arwah kelima sedang mengoperasi pasien korban kecelakaan tunggal di trotoar jalanan. Sudahlah sambil berkendara main handphone dan tak menggunakan helm pula. Kepala itu pecah dan darah merembes sangat banyak. Tangan yang diberi hand skoon itu menjahit luka yang amat sangat dalam. Dipotong benang, ganti jarum jahit, begitu saja terus hingga luka demi luka tertutup. Samara berkeringat, seorang perawat membersihkan dahinya. Napas Mara—begitu panggilannya ditarik cukup panjang. Sudah beberapa jam ia berdiri tegak. Untung saja dia tak punya pasangan yang sudah menunggu. Setidaknya begitu caranya menghibur diri dari kesendirian. Mana kala lelaki takut mendekati Mara karena terlalu pintar, cantik, dan banyak uang. “Selesai,” ucap dokter itu menutup luka. Operasi yang memakan waktu empat jam itu berakhir juga. Korban tak akan baik-baik saja, dan masih berada dalam pengawasan Mara. Gadis itu membuang celemek yang telah terciprat darah, sarung tangan, tutup kepala dan
Samara melepaskan jas putih dan melipat serta membawanya di tangan sebelah kiri. Rambut merah ia gerai begitu saja, membawa tas tangan dengan rantai kecil, lalu kaca mata hitam di malam yang gelap, demi apa entah. Gadis itu keluar dari rumah sakit dan menuju mobil. “Bener, dia di sini, nungguin aku apa nungguin orderan kang gojek,” heran Mara dengan perangai Arsa. Ingin GR takut kebablasan, tapi pandangan mata Arsa jelas mengarah padanya. Dokter bedah itu hanya menundukkan kepala sedikit saja. “Huuuh, hancur hatiku melihat senyummu. Ah, apa, sih, semurah ini aku jadi perempuan, gegara nggak pernah pacaran sama sekali. Oke, come on, Mara, jual mahal, jual mahal jual mahal.” Gadis yang memiliki tato zodiak sagi itu menyalakan mobil dan memanaskan sebentar. Tak ia hiraukan Arsa memandangnya tanpa berkedip. Saat mobil ingin dimajukan, ponsel Mara berdering. Panggilan dari mamanya yang cerewet nanyain soal jodoh. Mara dijodohin nggak mau, tapi cari sendiri nggak ketemu juga sampai umur
“Kau lihat bukan di bagian kepalanya ada yang pecah dan mengalirkan darah, menurutmu yang jadi tabib k—” “Dokter keles,” sela Mara. “Iya, maksudku dokter, kira-kira dengan darah yang keluar sebanyak itu, selamat tidak korbannya?” tanya balik Arsa. Mara berpikir sejenak.“Ya, nggak, sih, kecuali ada keajaiban.” Mara turun dari brangkar ketika perawat dan dokter jaga di ruang tindakan telah datang. “Gadis pintar,” ucap Arsa. “Meninggal saat ditolong, penanggung jawab Dokter Mara.” Gadis berambut kemerahan itu menandatangani berkas yang diperlukan. Arsa menunggu dengan sabar. Entah sudah berapa lama ia sabar mengumpulkan semua pecahan arwah istrinya. Dan kini hanya harus mengulangi siklus kelima saja. Dewa perang itu mengembuskan napas panjang. Bolehlah kali ini merasa lelah. Biasanya dulu saat letih ia akan mencari Hara. Sekarang Hara tak mengenalinya untuk yang kelima kali. “Hei, masih di sini,” sapa suara istrinya yang dulu biasa menawarkan kelembutan. “Aku di sini menunggumu