Ratu Marry berduka atas tewasnya Charles di tangan lelaki asing. Sang ratu meratapi jasad anaknya yang mati dengan mata terbuka. Kematian pangeran menjadi bukti bahwa Arsa tak main-main dengan siapa pun yang menyakiti pecahan arwah Dewi Hara. “Dia ini aku lihat kadang kejam, tapi tak pernah aku lihat berbuat baik,” ucap Lira dari balik dinding. Permasalahan tidak berhenti di sana saja. Ratu Marry menjerit dan meminta siapa saja untuk membunuh dewa perang yang masih berdiri dengan angkuhnya. “Siapa pun yang bisa membunuhnya akan aku berikan kedudukan sebagai perdana menteri.” Terang saja tawaran menggiurkan itu langsung disambut para kesatria. Bahkan mereka mengeluarkan senjata termasuk prajurit masing-masing. Meriam, bedil, bom, granat, dalam sekejap mata telah sampai di depan mata Arsa. “Yang Mulia Ratu, ayo, kita menyingkir dulu. Bisa mati kita di tengah peperangan.” Dua orang pelayan menarik paksa tubuh Ratu Marry. Sedangkan Charles tak dipedulikan. Semua bisa menilai bahwa A
“Ini aku?” Lira memandang dirinya di depan cermin. Ia tampak sangat anggun dan layak menjadi seorang ratu. Itulah rencana Arsa pada salah satu pecahan arwah Hara. “Iya, kau terlihat sama dengannya.” Mata kuning dewa perang itu bahkan tak berkedip memandang saking rindunya pada Hara yang dulu. “Dengan siapa? Hara? Dia siapamu?” Lira mendekat, Arsa mundur karena terlalu gugup. “Berhenti di sana. Suatu hari nanti kau akan tahu siapa Hara. Kau sudah cukup cantik dan kau siap untuk hari ini?” Lelaki tegap dan kekar itu memegang jantungnya yang berdegup kencang. Tidak bisa dibiarkan, Lira terlalu sama persis dengan Dewi Hara. “Untuk apa?” Lira sama sekali tak diberi tahu apa rencana Arsa. “Maaf, Tuan dan Nyonya, tapi semua orang penting termasuk para orang suci telah menunggu di aula. Mereka menanti kedatangan kalian berdua.” Seorang pelayan datang dan berbicara dengan menunduk. Begitulah etika berbicara dengan seorang penguasa, dengan dewa lebih jauh lagi harus disembah. “Baik, kami
Suara ketukan di pintu membuat Ratu Lira bangun dari tidurnya. Gadis itu lekas bangkit dari ranjang dan membuka pintu. Beberapa pelayan datang membawakan air cuci muka untuknya. “Mana dia?” tanya Lira pada pelayan. “Dia siapa, Yang Mulia Ratu.” “Itu, Dewa Arsa, lelaki yang dari kemarin ada bersamaku,” tunjuk Lira di tempat Arsa berbaring di sisinya kemarin malam. “Maaf, Ratuku, tapi kami tidak tahu apa-apa soal itu. Pintu kamar tertutup rapat dan kami tidak ada yang berani masuk. Sekarang ganti baju tidur dengan yang ini. Kita memiliki jadwal untuk bertemu dengan perdana menteri beserta jajarannya. Kau harus terlihat cantik dan memukau, Yang Mulia.” “Haa, perdana menteri serta jajarannya. Aku harus tampil cantik. Tunggu dulu, tapi dia di mana, aku tak bisa kalau tak ada dia.” Lira bahkan mencari di bawah kolong ranjang, dalam lemari serta di balik tirai jendela. Tapi dewa perang itu memang sedang tidak ada di tempat. “Yang Mulia, kita kehabisan waktu nanti. Sebaiknya cepat, dan
“Tuan, kau di sini.” Ratu Lira bangun agak sedikit kaget ketika Arsa memperhatikannya dengan tatapan sendu. “Iya, aku di sini belum berencana pergi,” jawab dewa perang itu sembari menyembunyikan pedangnya. “Pergi, pergi ke mana?” Lira sangka lelaki dengan bola mata kuning itu akan menemani dirinya sampai kapan pun. “Nanti, tiba saatnya aku akan pergi, tenanglah aku belum dipanggil.” Hanya jawaban oh saja yang bisa Lira berikan. Lagi pula siapa dia yang bisa mencegah seseorang pergi, begitu pikir Lira. Hari masih larut malam ketika Arsa kembali dari tengah laut. Lelaki itu berpikir keras, satu tahun lebih sudah perjalanan yang ia tempuh dan baru empat pecahan arwah yang ia temukan. Sisa tiga lagi dan tak tahu kapan akan selesai. Waktu terus berjalan ke depan tanpa peduli dengan rasa lelahnya. Iya, dewa juga perlu tenang dan istirahat sejenak. Arsa memejamkan mata dan tertidur di kursi goyang milik sang ratu. Lira bangkit dan menggerakkan lima jemarinya di wajah Arsa. Tidak ada r
Lira terbangun di atas ranjang dengah tubuh tertutup selimut. Iya, tadi malam mereka berdua melewati malam penuh romansa setelah Ratu Lira benar-benar terpesona oleh seorang dewa. “Apakah dia pergi begitu saja tanpa bicara padaku?” Lira tak mau ditinggal tanpa pesan oleh Arsa walau ia tahu lelaki itu akan tetap pergi. Pintu kamarnya diketuk, kalang kabut sang ratu menggunakan pakaian agar tak diketahui para pelayan apa yang telah ia lalui berdua bersama Arsa tadi malam. Meski secara umum orang-orang sudah tahu kedekatan mereka dan tak mungkin tak terjadi sesuat, tetap saja Lira malu. “Ehm.” Tepat waktu Lira memakai semua bajunya ketika pelayan masuk. Kakinya menutupi pakaian dalam yang tak sempat ia gunakan. “Yang Mulia Ratu, hari ini engkau akan mandi dengan aroma bunga apa?” tanya pelayan. Hidung Lira mencium aroma yang tidak sedap.“Kau sendiri sudah mandi?” tanya balik sang ratu. Para pelayan itu hanya menggeleng saja. Sudah tradisi turun temurun para raja, ratu, bangsawan, k
Setelah menunggu satu pekan lamanya, akhirnya panggilan dari zodiak sagitarius datang juga. Arsa tersenyum, tapi tidak dengan Lira. “Kupikir kebersamaan kita akan terasa lebih lama, ternyata kau memang harus pergi juga,” ucap Lira lalu duduk di ranjang. Akhir-akhir ini ia tak tahan untuk berdiri terlalu lama. “Sudah kukatakan dari awal, bukan?” “Iya, aku tahu, aku hanya belum siap saja. Aku inginnya kau ada di sini terus, berat sekali jadi ratu, seminggu lagi ada parade militer pula. Aku takut tak kuat bangun.” Lira mengembuskan napas perlahan. “Kau baik-baik saja?” Arsa memegang dahi Lira, tapi tak terasa panas apa pun. “Mungkin kelelahan. Hari ini aku ingin berbaring di kamar seharian, jangan bukakan pintu, ya, walau mereka mengantar makanan dan kalau kau akan berangkat, setidaknya katakan sesuatu padaku.” Kemudian setelah itu Lira berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut. Padahal musim sedang panas-panasnya, sang ratu merasa kedinginan. Arsa mengembuskan napas. Sedikit b
Leher salah satu pelayan itu dijerat dari belakang. Kemudian dalam sekejap saja yang menjerat berhasil mencekiknya sampai mati. Tersisa salah satu pelayan yang masih hidup dan hampir kencing di celana. “Katakan.” Lira menodongkan pisau ke arah leher pelayan yang ia percaya. Benar kata Arsa, jangan mempercayai siapa pun di kerajaan. “Ratuku.” Hamba itu bersujud dan menicum kaki sang ratu daripada dihukum mati. “Aku bilang cepat katakan. Atau kau aku jerat sampai mati seperti dia.” Ancam sang ratu tak main-main. “Ratuku, kau terbukti hamil dan perdana menteri tak menginginkan kelahiran anakmu, tolong jangan bunuh hamba, hamba hanya orang lemah.” “Bodoh.” Lira menendang sang pelayan hingga jatuh tersungkur. Kemudian ia memegang perutnya yang masih rata. Tak disangka Lira akan hamil anak Arsa. Bahkan selama hampir ribuan tahun bersama di langit sepasang suami istri itu belum dikaruniai keturunan. “Urus mayat temanmu. Untuk sementara waktu kau aku maafkan dan jangan bicara apa-apa p
Arsa sampai di satu tempat atas petunjuk zodiak Dewi Sagitarius. Di mana dia sekarang? Di dalam lorong sebuah bangunan dengan aroma obat-obatan yang menyengat hidung. Kemudian tak lama setelah itu ada beberapa orang dengan pakaian putih mendorong brankar berisikan korban kecelakaan. “Di mana aku sekarang?” gumam Arsa perlahan. Ia masih menggunakan baju di era Kalira ketika sampai. Masuk seorang perempuan dengan baju biru kedokteran dan sudah mencuci tangan. Arsa dan perempuan itu saling memandang sejenak. “Hara, begitu mudah kau ditemukan,” ucap Arsa tapi pecahan arwah kelima itu tak peduli. “Kok, bisa ada orang asing di sini. Panggil security, usir dia dari ruang operasi!” perintah sang dokter pada dua orang perawat. Arsa diminta keluar oleh perawat dan menunggu di ruang tunggu saja. Untuk sementara ia akan mengalah sampai tahu di mana dan di zaman apa dirinya berada sekarang. Tak tahu arah dan tujuan yang jelas, serta sudah setengah jam menunggu tapi Hara tidak juga keluar. A