Fira duduk di hadapan meja kasir, menikmati malam yang dipenuhi dengan lompatan kaki anak-anak muda. Beberapa dari mereka bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Lagu band lokal mengiring keberangkatan malam. Bintang-bintang di angkasa merasa terganggu maka mereka putuskan memilih jalur keramaian kabut. Lampu disko berkelip menerangi ballroom yang temaram. Kursi-kursi makan penuh dengan wajah-wajah orang riang namun bimbang. Mereka berpesta meski sebenarnya simpan sepi di dada masing-masing. Waiter bergerak tetap seumpama eskalator. Komputer tak henti-hentinya mencetak bukti pembayaran.
Tempat itu surga bagi sebagian manusia yang dipenuhi dengan kehidupan fana. Tempat pemfilter kenangan buruk dan pengabadian kesedihan di balik kelakar-kelakar palsu. Sebuah ruang penghamburan rupiah, tak pernah mengingat buruh-buruh gendong di pasar-pasar kumuh susah payah membangunkan lutut.Fira tak menyangka hidupnya terjebak dalam garis hitam pekat. Ia tidak menangis, tidak juga tersenyum, hanya ingin membuang jauh-jauh kepedihannya setelah kehilangan seorang ayah tiga hari silam. Ia melarikan diri dari rumah yang sedang dipenuhi duka ke kota Yogyakarta dengan dalih mencari nafkah. Tidak tunggu restu orang tua, pergi begitu saja tanpa tetesan air mata. Ia tegar, setegak dinding tua menunggu ajal. Tegar dalam arti yang tidak sebenarnya, sebab, lihatlah malam itu, di bawah atap langit tanpa cahaya bulan, ia berkali-kali mengelus dada dan mengusap peluh. Tetes demi tetes membanjiri pipi, masih saja ia merasa tidak menangis juga baik-baik saja.“Minum, Ra! Ini bisa mendinginkan hatimu yang panas,” teman di sisinya tersenyum tipis. Ia menyulut rokok usai menuangkan air putih ke dalam gelas. Aldi, seorang waiters berambut pirang yang sedang istirahat. Ia gunakan waktu singkatnya untuk menyapa gadis yang sedang dirundung pilu. Fira tertangkap matanya berkali-kali usap cairan perih dengan punggung tangan secara sembunyi-sembunyi."Harusnya jangan kembali kemari dulu sebelum perasaanmu membaik!"Saat itu Fira ingin menyendiri. Mencari kesunyian di tengah lautan dukanya, sayang yang dijumpai justru kebisingan.“Aku tidak butuh air putih, ambilkan aku kopi!” perintahnya pada Aldi, orang yang lancang meniupkan asap nikotin pada wajahnya sehingga dirinya batuk.“Kau sudah minum lima gelas kopi, Ra! Bisa overdosis! Berlakulah adil pada lambung dan ususmu! Jangan siksa mereka, mentang-mentang hatimu sedang sedih.”Benar, meja kerjanya berkali-kali menjadi saksi gelas kopi pahit meninggalkan ampas. Malam itu ia sungguh tak bertenaga, mengingat masalalu yang tidak pernah ingin diceritakan dan nasib ayahnya yang berakhir tragis. Ia ingin segera pergi, tenggelam dalam sunyi yang utuh. Ia tidak membutuhkan teman, ia sungguh ingin menyendiri.Aldi menyingkir dari sisinya, bergabung dengan pengunjung yang sedang bergoyang di tengah ballroom. Dirinya masih berdiam diri di hadapan meja kasir, menerawang kosong. Air mata kembali menitik.Pekerjaannya tidak berjalan dengan baik, dua kali ia mendapat semprot dari pengunjung karena kembalian kurang. Terpaksa ia absen lebih awal. Rebah di kos-kosan, memandang langit-langit kamar. Meneguk pedih bersama hening dan menumpahkan seluruh air mata, setelah tiga harian lalu sama sekali tidak menangis. Baginya waktu itu haram menangis, ia berjanji pada jiwanya sendiri ketika melihat tubuh kaku ayahnya dibaluti kafan, tidak akan ada titik air di pipi lembutnya."Ayahmu meninggal di pasungan. Sabar, Ra! Ini keputusan tepat dari takdir, belajarlah untuk menerimanya.” Seorang tetangga memberitahu.Kalimat itu tidak ingin pernah didengar pun diingat. Ia mengutuk yang mengucap apalagi yang memasungnya. Ia tak pernah memahami pikiran-pikiran orang dewasa, selalu merasa benar padahal melakukan tindakan bodoh. Ia membenci orang-orang yang hidup di sekitar ayahnya namun tidak memberi pertolongan ketika ia merantau. Ia benci, sangat membenci, tiga kali lipat benci. Ia tidak butuh penjelasan yang kurang bisa dinalar.Waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB dini hari, penghuni kos yang lain sudah siulkan dengkur. Beberapa kamar kos-kosan kosong, penghuninya masih membanting tulang shift malam di sebuah pabrik konveksi dan di restoran Fira mengabdikan keringat. Malam itu terasa sunyi, ia sendirian menelan getir, meremas amarah-amarah yang mengendap di hatinya. Ia menggigil dengan lukanya yang tidak dapat diurai satu persatu.“Fira, kau sudah kembali ke kos-kosan?” suara ibu kos. Punggung tangan wanita yang tak bersuami itu bergerak memantul-mantulkan di permukaan pintu.Fira diam, ia tak menggagas panggilan perhatian dari luar. Ibu kos yang baru saja pulang dari diskotik, seperti biasanya memeriksa satu persatu kamar. Jika lampu kamar masih menyala, itu artinya ada penghuni terjaga. Ibu kos tidak mau keuntungannya berkurang karena lampu dinyalakan 24 jam. Fira memang tidak membukakan pintu, namun ia berdiri, memencet sakelar lampu, seperkian detik ruangan menjadi gelap.“Ibu tidak menyuruhmu mematikan lampu, Ra! Ibu ingin melihatmu,” kalimat yang tidak pernah Fira dengar dari ibu kos.“Aku sedang tidak ingin diganggu, Bu! Pergilah!”Brak!Fira menendang pintu kamar. Ibu kos terkesiap. Untuk pertama kalinya, Fira yang riang, Fira yang selalu kaya dengan lelucon di tempat kerja dan dengan teman-temannya, Fira yang menyenangkan, selalu sembunyikan pedihnya, Fira yang terkenal baik hati, lembut, penyayang dan perhatian, Fira mungil yang dikisahkan waktu penuh dengan keluguan, mendadak berubah terbalik 180 derajat. Ibu kos merasa sedang bermimpi buruk.“Ra! Ini ibu kos! Sembarangan kau bertingkah! Kau mau ibu masuk rumah sakit karena jantungan? Ayo bukakan pintu! Bagaimana cerita ayahmu meninggal?”Ibu kos berniat ingin memberikan simpati, namun justru menusukkan belati di hatinya yang sedang dibaluti dengan luka. Air mata itu muntah dengan amat deras, Fira membuka pintu, mengusir ibu kos dengan tatapan amarah. “Pergi!”“Ada apa, Ra?” ibu kos meletakkan tangannya di bahu Fira. Gelang-gelang yang melingkar di lengan bergemerincing mengusik suasana. Membuat detik sedikit memiliki kesempatan untuk bernapas. Angin malam lancang masuk ke kamar gelap Fira."Pergi!”Ibu kos tak berkutik. Fira membanting pintu. Kembali ia rebah. Dadanya diremas, menahan perih, menelan semua pikiran pahitnya sendiri. Malam itu ia menggantungkan kecewa pada kebisuan langit-langit kamar.***Akhtar masih terjaga. Ia sibuk dengan tugas-tugas kampus. Beberapa buku tebal tertumpuk di sebelah laptop yang masih menyala. Matanya membidik pendahuluan skripsi di layar, sementara pikirannya terbang ke satu titik. Titik jauh yang baginya tidak akan pernah ditemukan."Akhtar, kau sungguh tidak ingin pergi menemui Fira? Ia sedang terluka, apakah kau tega, Tar?”“Ibu paham, kamu masih sakit hati dengan Fira yang memanggilmu Pangeran Kursi Roda bertahun-tahun lalu, tapi tanpa dia, kau tidak akan pernah sakit hati dan memiliki semangat untuk berjalan, Tar! Sebaiknya kau pertimbangkan dulu keputusanmu.”Ia masih memikirkan suara Bila tadi pagi. Kabar datang menyedihkan, Ayah Fira meninggal di pasungan. Nasib lelaki malang itu mendadak menjadi tranding topik semua kampung-kampung yang dekat dengan tempat kejadian. Orang-orang berkerumun bukan untuk berbela sungkawa, melainkan menggosipkan hal-hal yang tidak perlu dibicarakan saat itu. Dunia ikut heran dengan kekejaman yang diberikan kepada ayah Fira. Tragisnya, orang terdekat yang mengetahui keadaan ayah Fira secara langsung tidak menolong sama sekali. Dari tetangganya pula ia mendengar bahwa ayahnya Fira pernah direncanakan untuk dibuang ke laut. Di mana peri kemanusiaan mereka?Akhtar menutup layar laptop, ia mematikan lampu kamar, bergegas mengeluarkan sepeda motornya.“Mau ke mana, Tar?”Tak ada jawaban, sepeda Akhtar melesat cepat. Bila mematung di teras rumah.Jalananan yang berliku ia lalui, tebalnya kabut ia terobos, dinginnya malam ia abaikan, udara yang membuat pernapasan sesak ia lawan. Sepeda motor melaju dengan kecepatan 60 KM/Jam di jalan tanjakan. Malam itu bintang tidak tersenyum, ladang yang membentang terlihat gelap menghanyutkan. Bias cahaya rembulan pun ikut terlelap, kunang-kunang yang biasanya berterbangan di semak-semak mengambil cuti libur. Akhtar sendirian di jalan itu. Ia menuju rumah tingkat yang tak lagi megah, rumah yang menjadi pelindung seorang wanita kuli panggul.Kursi-kursi sepi, meja duka dipenuhi dengan toples dan gelas-gelas air mineral. Embun menyerbuk di kain penyekat. Ia mengetuk pintu. Rumah duka seperti sedang menangis. Jendela rumah tidak tertutup tirai, lampu ruangan tidak dipadamkan membuat leluasa melihat orang-orang tertidur sembarang di atas tikar.Seorang lelaki tua terbangun, mengusap matanya pelan-pelan, kemudian menatap ke arah pintu yang diketuk oleh Akhtar. Lelaki itu melihat tubuh Akhtar dari jendela, segera ia membukakan pintu.“Ada apa, Mas? Malam seperti ini menyempatkan diri kemari, pasti ada suatu hal yang sangat penting!”“Saya ingin bertemu dengan Fira,”“Fira sudah berangkat kerja.”“Apa? Kerja?” Akhtar tidak percaya. “Ayahnya meninggal tragis dan ia pergi bekerja?” lanjut kalimat Akhtar.Malam itu… Ia ingin menelan mentah-mentah udara dingin yang dihirupnya. Ia berharap semua hawa yang ikut serta menyisir waktu mampu membekukan kecewa kepada gadis yang menurutnya sangat menyebalkan. Mendadak ia malas mengingat namanya, enggan pula ikut berbela sungkawa kepadanya. Mulai detik itu ia tidak akan peduli dengan kabar Fira. Biarlah ia menjadi sejarah dalam lembar hidupnya yang akan ditutup.Bila belum tidur ketika ia tiba di rumah. Ruang tamu masih terang, Ayah lembur hari itu. Hening menyeluruh, baik di dalam maupun di dalam rumah. Deru kendaraan yang masuk ke garasi membuat Bila terbangun dari tempat duduknya. Ia menyambut anaknya yang memasuki ruang tamu.“Dari mana? Ibu kira kau akan menginap di rumah temanmu, kenapa hanya sebentar sekali?”“Kenapa Ibu belum tidur? Ini sudah sangat larut!”“Ibu sedang memikirkan Fira,” jawab Bila dengan nada lembut. Ia duduk kembali di atas sofa. Meraih majalah yang sedari tadi menemani waktunya, membuka-buka lembar demi lembar, “Ibu merasa sakit jika mengingat cerita orang-orang.”“Ibu sakit hati?” suara Akhtar memantul di dinding rumah, menerkam detik yang berputar, menghentikan embusan angin, meretakkan sel-sel dingin, membakar waktu yang semula hening. “Nggak usah terlalu simpati kepada gadis itu, Bu! Dia saja tidak peduli dengan ayahnya sendiri!”“Maksudmu apa, Tar?” majalah digeletakkan di atas meja dengan keadaan terlentang.“Tenda duka masih terpasang, orang-orang masih banyak yang mendoakan almarhum ayahnya di rumah, sementara Fira justru berangkat kerja! Ibu bisa berpikir otaknya di mana?”“Mungkin Fira hanya diberi izin libur dua hari saja, Tar!”“Hah, dengan berita seperti itu? Dengan kabar menyakitkan itu, apakah penting peraturan dari sebuah perusahaan, Bu?”Bila tak tahu kalimat apa yang perlu disuarakan lagi, ia mengembuskan napasnya yang mendadak dirasa berat. “Ibu lelah, Tar. Mau tidur, tapi ibu yakin, Fira bukan orang yang tidak tahu diri, ia anak baik dan menyenangkan.”“Omong kosong semua itu, Bu! Dari dulu Fira selalu menyebalkan! Aku amat membencinya, lebih-lebih karena masalah ini, aku tiga kali benci gadis itu yang tidak peduli dengan ayahnya sendiri!”Akhtar melangkah menuju kamar. Ia membanting pintu, lantas melempar tubuhnya ke atas ranjang. Ia tak mengerti mengapa malam itu begitu marah pada kehidupan yang terjadi dengan Fira. Rasa-rasanya ada sesuatu yang ingin dipukul, diremas, ditendang, lebih dalam ingin dihancurkan. Namun apa? Apa yang mendadak membuatnya menitikkan air mata?Ah, Akhtar, pemilik hidup yang seharusnya menyenangkan, mendadak ditumpuki kelu bertubi-tubi. Sejak pertamakali dipertemukan dengan bocah lugu bernama Fira ia mendapati sial bertumpuk-tumpuk. Hidup yang semula penuh dengan kedamaian dan perlindungan dari seorang ayah juga ibu, mendadak dilikukan dengan tantangan-tantangan yang tak dapat diuraikan oleh kata-kata. Secara tidak langsung, ia diseret paksa masuk ke dunia Fira. Sebuah tempat dan alam yang baginya amat sangat asing.Akhtar menatap dinding kamar yang dipenuhi dengan lukisan Fira. Bingkai-bingkai tergantung menjadi rumahnya. Rupa Fira sedang menangis, tertawa, makan, tertidur, bahkan duduk termenung, tergambar dengan jelas di dinding-dindingnya. Ia ingat seorang gadis lari tergopoh-gopoh usai dirinya menampar wajah lembut Fira di beranda rumah.Hari itu langit berlinang. Enam belas tahun lamanya ia belajar berjalan, merangkak, membelai-belai lantai dengan lututnya, menggagapi tiang-tiang, menjadikan tongkat sebagai kekuatan, memakan waktu bermain-mainnya, menjadikan malam sebagai tempat penghabisan lelah, menjadikan pagi sebagai penanam tekad mimpi-mimpi. Mimpi sederhana, hanya agar bisa berjalan normal di hadapan Fira dengan alasan ia tidak ingin bocah itu memanggilnya Pangeran Kursi Roda, baginya hal tersebut sangat menyakitkan, sebuah ledekan yang disampaikan dengan lembut.Dan— usahanya membuahkan hasil. Ia datang ke kampung Fira, sendirian, tanpa kursi roda.“Mulai saat ini kau haram memanggilku Pangeran Kursi Roda! Aku benci sebutan itu meski kau ucapkan dengan sebuah senyuman!”Bocah yang telah menjadi seorang gadis manis itu tersenyum, air matanya menitik di pipi, seperkian detik ia melompat girang. Menunjukkan kebahagiaannya dengan gerakan spontan yang membuat Caca dan Lala terbengong-bengong.“Oh kau sempurna! Saat ini kau bertambah tampan! Tapi kau bodoh—” entah itu bentuk dari pujian atau hinaan. "Bodoh karena semua yang kau perjuangkan bertahun-tahun itu hanya digunakan untuk menutup kekuranganmu, harusnya kau terima kenyataan, kenyataan bahwa kakimu pernah luka. Harusnya kau tak perlu mengeluh di waktu-waktu lalu, kau hanya perlu berusaha untuk sembuh tanpa membenciku!"Akhtar diam saja, ia hanya merasa puas karena berhasil mewujudkan mimpinya di hadapan Fira.“Tapi buat apa kau tampan jika otakmu tumpul, Tar? Besar nanti kau hanya akan menjadi seperti suami yang pergi lupa jalan pulang!”ucap Fira tiba-tiba.“Eh, Fir! Jaga ucapanmu! Jangan semena-mena kalau bicara! Bisa kupukul itu bibir!”Akhtar naik pitam. Gerahamnya bergemeletuk sementara napas memburu cepat.“Pukul saja kalau berani, Tar! Lelaki yang baik adalah lelaki yang cerdas, mampu menggunakan otaknya untuk berpikir bijak!”Mereka sudah sama-sama dewasa. Kalimat-kalimat yang terucap tak lagi selugu di masa capung dan gelembung. Mereka mengerti kehidupan secara utuh.Caca bosan melihat persekutuan dua manusia itu, selalu saja penuh dengan perdebatan tak masuk akal. Lala merekamnya dengan jelas, ia kemudian mengaplod vidionya ke akun i*******m dengan hastag, ‘dua kucing kelaparan di bawah hujan’. Ya! Saat itu, hujan mendadak turun tanpa diundang. Tanaman-tanaman basah. Mereka masih saja adu argumen di beranda rumah. Ibu mereka belum pulang dari pasar.“Kau memang gadis yang perlu diberi pelajaran, Fir! Maafkan aku, tapi setidaknya ini untuk menjaga mulutmu yang menyakiti perasaanku bertahun-tahun!” Akhtar mengepalkan tinju di permukaan udara, tepat di depan kening Fira.Caca dan Lala yang mengintip dari jendela langsung tersentak, reflek ia mendorong Lala hingga ponsel yang dibawanya jatuh, tergeletak di atas lantai. “Kekerasan! Buruan suruh Kak Akhtar pulang, dia orang yang terkadang sangat berbahaya untuk Kak Fira!” Mereka berdua lari keluar. Ponsel yang terpisah dengan batrainya tak lagi penting.Plak!Kepalan tinju itu secepat kilat berubah menjadi tamparan. Pipi Fira memerah. Hujan mengamuk deras, angin bertiup kencang. Lala dan Caca kecewa. Mereka marah kakaknya diperlakukan dengan tidak baik.“Ayo, tampar lagi sampai kau puas! Lelaki bodoh!”“Sudah cukup, hentikan! Masuk!” teriak Caca. Ia mengerti perasaan kakaknya yang sedang panas. Pada dasarnya dada Fira terpenuhi amarah tersebab gosip ayah yang lupa jalan pulang, lupa memeluknya, lupa membelikan boneka untuknya, lupa membelikan jajan, lupa memberikan senyuman kepadanya, lupa dengan dongeng-dongeng kancil mencuri timun, dan lupa segala-galanya. Kedatangan Akhtar pamer keberhasilan berjalan dengan menyuarakan nada tinggi membuatnya bertambah geram."Berterima kasihlah pada Tuhan karena menginginkanmu berjalan lagi, jangan menyombongkan dirimu di hadapanku! Tidak berguna!""Dari dulu kamu memang gadis yang tidak bisa menjaga mulutmu! Sebaiknya Tuhan membuatmu bisu!"“Kak Fira masuuukkkk!!!!” begitu pun, Fira adalah orang yang paling berharga di kehidupan Caca dan Lala.Fira berdiam diri di tempatnya, ia menangis.“Kau tahu apa yang paling aku sesali di dunia ini, Fir?”Fira bungkam.“Mengenalmu.” Ucap Akhtar pelan dan lembut, namun menyayat uluh hati. Ia kemudian membalik tubuhnya, berjalan menembus hujan menuju mobilnya yang diparkir sengaja di luar pintu gerbang rumah.Lala mematung, entah apa yang harus dia lakukan. Ia merasakan pedih yang menyayat uluh hati. Sesuatu yang belum bisa ia jelaskan.Caca lari tergopoh-gopoh ke dalam rumah, menaiki tangga, masuk ke dalam kamarnya, mengambil seluruh lukisan yang dipajang, membungkusnya dengan kardus, kemudian membawanya turun, ia pontang-panting mengejar langkah Akhtar. Mobil melaju pelan-pelan. Caca memacu kecepatan kaki.“Kak Akhtar! Berhenti!”“Kak Akhtaaarrr!!!”Rem diinjak. Spionnya merekam dengan jelas, seorang gadis berambut sebahu berdiri di bawah hujan membawa kardus besar. Akhtar turun, menghampiri.Kau boleh marah pada Kak Fira, tapi jangan pernah menganggap dia bodoh! Dia orang yang paling baik di dunia ini, dia orang yang paling cerdas, terakhir, dia orang yang sangat berarti bagi kehidupanku! Jaga ini, jangan sampai rusak!”Kardus diberikan kepada Akhtar.“Cepetan masuk ke dalam mobil! Nanti basah dan rusak!”Akhtar tidak mengerti, “apa ini?”“Kau akan menyesal karena telah membuatnya menangis, jika tidak hari ini mungkin beberapa tahun yang akan datang!”Akhtar masuk ke dalam mobil. Ia meletakkan kardusnya di kursi.Waktu itu ia amat terkejut mendapati isi kardus yang dipenuhi dengan lukisan wajah Fira. Ia membenci, namun ada hasrat untuk memajangnya di dinding kamar, demi Caca. Demi menghargai seniman penciptanya.“Seberapa berartikah gadis gila itu di matamu, Ca?” gumamnya. Ia jadikan dua tangannya sebagai bantal. Malam itu dihabiskan dengan nostalgia masalalu.***Tentangnya yang membungkuk di emper trotoar. Menelan getir, punggung ditindih beban berkilo-kilo gram. Hendak mengumpat bahwa hal itu kejam, namun senyumnya menggigit takdir. Demi hidup, ia tak menginginkan tiga ruh melayang bebas karena kelalaiannya. Mengatasnamakan cinta suci yang sudah dianggap basi oleh jutaan rakyat. Abai. Ia acuh, merangkak perlahan sementara mata puluhan menyongsongnya sangsi. Beberapa menelan cemooh kemiskinan. Acuh! Ia menyeimbangkan beban di punggung, melangkah maju. Menerabas keramaian. Menghentikan kendaraan. Tergesa-gesa, harus segera bermuara. Beban tak direlakannya menumpang terlalu lama.Jika Tuhan memberikannya pilihan, maka tak mungkin ia mengizinkan ratusan beban memperbudaknya, sementara cintanya kesepian. Terkelepar di rumah berteman kesunyian. Tatkala mengenang beberapa waktu mundur seorang gadis menatap wajah datarnya di pusar kegelapan, ia tak lagi mempunyai alasan untuk duduk berleha-leha mengusap peluh di kening. Gadis bermata
Gadis dengan rambut terurai sebahu itu memperlihatkan karya baru. Ia keluar dari kampus seni. Hari itu senja menampilkan keanggunannya. Senyum langit merekah cerah meskipun deru kendaraan di jalan raya tak pernah menampilkan kesunyian. Kabut terbang ke tempat asing yang tak tampak. Alam riang menyenangkan sepadan bibir Caca yang menyudut. Ia raba lukisan seorang gadis sedang menangis, digambarkan meratap-ratap, dalam imajinasi kuasnya, gadis itu memeluk lutut, rambut panjangnya awut-awutan amat berantakan, gaun abu-abu dikenakan sang tokoh, lukisan sedikit diperciki noda berwarna cokelat, bigronnya dinding putih kusam pelengkap kesenduan.“Itu pasti kakakmu lagi,” kata Akhtar sembari menarik kursi.Mereka berdua sedang menikmati sore di depan toko Indomaret. Parkiran lengang. Beberapa lampu jalan mulai dihidupkan. Angkringan di seberang jalan mengepulkan asap. Pengamen memetik gitar. Pelancong berjalan hilir mudik bergandengan tang
Pukul lima senja, ia belum melayangkan tekad pulang. Hujan membasahi aspal. Ribuan air mengguyur tubuhnya. Baju dan selendang basah kuyub. Titik-titik air meresap ke dalam kepala. Bibirnya membiru pucat. Raganya bergetar. Kedinginan. Namun ia tetap mengangsur langkah. Menggendong beban, berjalan ke arah tuan menunjukkan. Tak peduli kepala langsung mencium reruntuhan air hujan. Tidak sempat meneduhkannya menggunakan payung. Yang penting baginya adalah uang ribuan di kantongnya bertambah.Hujan membuat pelanggannya kabur. Tiga jam lamanya ia duduk di emperan toko. Mengadu harap pada pencipta langit agar ada yang menggunakan punggungngnya. Malang, tak seorang pun. Membeli beras dan sayuran menjadi momok mustahil beberapa waktu. Getir. Tak lagi hendak dibayangkan.Mobil melaju cepat, sepeda motor saling menyalib. Tukang parkir meringkuk di bawah ruko-ruko, menutup jog sepeda motornya menggunakan mantel. Angkutan umum melangkah perlahan, menjauhi h
Tangisan tumpah di mana-mana, membuat penyaksinya menelan bulir demi bulir perih tanpa kejelasan. Sebaris kalimat membuat air liur tak tertelan. Mereka merupakan kata-kata terkutuk yang dibenci waktu. Angin senja menggiring kesengsaraan tajam yang menyusup ke relung jiwa keluarga Fira. Meski ia berdiri tegak tanpa tetes berarti di pipi, makhluk langit dapat menyaksikan betapa terlunta-lunta perasaannya. Caca tak kuasa menahan sesak dadanya, Lala menjerit meronta. Ibu pasrah dengan sungai-sungai yang membanjir di dagunya. Sebuah mobil plat A datang menjemput mereka. Keluarga Fira pergi tanpa salam perpisahan.Akhtar masih belum mengerti dengan apa yang terjadi, ia hanya menunaikan tugas mengantar Caca pulang.Fira mengacuhkan Aldi, ia bahkan belum sempat mengucap terima kasih, namun langkahnya telah pergi, hanya punggung mobil yang menyampaikan lambaian juga permintaan maaf karena telah merepotkan. Lelaki itu memahami, ia bukanlah bocah yang segalanya harus
Embun mengusap kening bumi. Angin bersenandung riang dengan menggesekkan tubuhnya pada puluhan daun bambu. Burung duduk manis menyambut sapaan mentari. Pagi terbangun. Detik menunjukkan waktu terang. Aktivitas mulai meratap. Peluh bersiap mengeluh. Penduduk telah berbisik-bisik membahas gosip selebriti di teras rumah masing-masing sembari menggesekkan lidi ke tanah, yang lain ikut menyahut, tertawa atau hanya diam saja.Tiga gadis masih meringkuk di dalam selimut. Bibirnya menganga, matanya sedikit terbuka, begitulah ia lelap sepanjang hari. Fira memeluk tubuh mungil, membelakangi adik kecilnya. Ia lelap sangat, matanya belum terbuka sama sekali semenjak pukul dua dini hari. Kelelahan. Tubuhnya menggigil, selimut kembali ditarik, memeluk lebih erat tubuh yang lembut. Bantal guling seukuran tubuh Lala menjadi tempatnya membuang rindu pada peluk ibu. Kaki Lala terbuka lebar, yang kiri di atas punggung Fira, yang satu di perut Caca. Wajahnya telah diperciki s
Damai sekali melihatnya lelap usai sebulan bekerja meninggalkan rumah, meninggalkan cinta hanya mengangkut jejak ke tanah rantau. Ia menggadaikan lelahnya demi kasih tak terhingga dalam hayat. Ia pelipur lara yang tertanam dalam ceruk-ceruk rindu. Ia penerang gulita saat malam terpeluk. Sesosok pria dewasa yang kini rebah di pembaringan. Ialah yang menggendong Fira kecil, penumpah cinta dalam jantung gadis lugu itu yang penuh.Sepaham Fira ayah tidak pernah marah. Ia selalu berbuat baik, terbukti ketika ayah pulang dari pekerjaannya, ia membawa banyak jajanan, esoknya mengajak Fira dan kedua adik jalan-jalan ke pasar, bahkan tak segan menuruti seluruh permintaan anak-anaknya. Ayah sosok ramah, setiap tetangga bahkan orang asing yang berpapasan dengannya akan mendapatkan lengkung pelangi di bibir dengan gratis. Ayah bukan orang pelit, jika ada pengamen dan pengemis, satu lembar entah seribu, atau lima ribu bahkan sepuluh ribuan diberikan cuma-cuma. Ayah buk
Tidur nyenyak Akhtar terganggu dering telpon. Pukul satu dini hari, ponselnya bergetar memohon perhatian. Ia acuh, membalik punggung dan menarik selimut. Malam telah larut, tidak logis orang menelpon di waktu istirahat seperti itu jika bukan hal mendesak. Sayangnya Akhtar tak berpikir panjang. Ia melanjutkan tidur, melipat mimpi-mimpinya dengan rapi. Membuang lelah ke dalam pejaman mata rapatnya. Memeluk dingin di balik selimut tebal. Hujan di luar menciptakan suasana tidur yang nikmat. Cicak bernyanyi mengiringi kegaduhan percik air yang jatuh menimpa asbes-asbes rumah. Dedaunan di luar basar kuyup, bunga mawar menggugurkan beberapa kelopak cantiknya sebab tak mampu menampung beban hujan dari langit. Angin berembus kencang. Orang tua Akhtar lelap saling peluk. Pembantu mendengkur.Ponsel Akhtar masih berdering, melantunkan lagu Westlife, Flying Without Wings. Kali ini Akhtar membuka selimut, membuang bantal guling ke lantai, dengan geram ia menggayuh pons
Ibu gesit meracik bumbu, memasukkan ke dalam wajan. Mengingat kekasih dalam setiap adukan. Membayangkan senyum menawan saat yang dicinta merasakan masakan. Peluh tak lagi dipikirkan, bau badan menjadi aroma yang menyempurnakan. Butiran keringat menetes di kening. Ia usap, lantas merapikan rambut yang berantakan. Hari ini ia ingin memberikan perhatian lebih kepada buah kasih sayangnya. Tak rela jika waktu terus memanjakannya hidup susah di sudut-sudut pasar, memohon receh dengan mengorbankan punggung menjadi bengkok. Ada waktu yang memang disenggangkan untuk beristirahat di rumah bersama anak-anak. Sebuah kebebasan direngkuh oleh Fira.Hari ini ibu tidak memanggul beban di pasar. Fira melonjat histeris. Gadis periang dua kali lebih senang. Esok, tak dipersibuk meracik sarapan. Ia juga cuti sejenak dari membersihkan badan Lala. Malam tak bangun menciderai raga dengan gigil. Ia beristirahat melototi jalanan menanti obor melintas. Layaknya seorang PNS ya
Lantas kotak yang dibawa Akhtar ia sembunyikan, ia kulum senyum sembari memandang wajah Fira. Pemuda yang dianggap tampan oleh bening embun tersebut berusaha tegar meski ada sedikit gelenyar perih yang mengendap di dadany—gadis yang diam-diam ia cintai dan ingin dimiliki—sudah disematkan cincin indah di jari manisnya—lantas berkenan untuk dijadikan putri, rupanya memikirkan laki-laki lain. Akhtar memacu kendaraannya menuju Yogyakarta, ke tempat yang dipenuhi dengan kenangan emosinya mengenai Fira. Bayangan saat dirinya memukul tubuh Aldi yang mabuk kembali terpampang. Amarahnya yang saat itu sungguh tidak mampu dibendung masih terasa kental dalam ingatan. Lantas detik itulah ia sadar bahwa Fira adalah gadis yang ingin ia jaga. "Terima kasih kau sudah banyak membuat Caca berkembang," kata Fira memulai obrolan. Di hadapan mereka bangunan ruko-ruko menjulang tinggi. Lampu-lampu kendaraan menyala terang-benderang. Senja menyelinap di ufuk timur, terlihat anggun dan mengagumkan serupa l
Waktu cepat berlalu, pergerakan detik pada dinding berputar sangat cepat. Fira merasa Lukisan-lukisan Caca banyak yang memesan, meski potretnya hanya gambar sketsa perempuan dan pemandangan. Semula ia ingin fokus pada kegiatan baru mengurus butik pakaian bersama Mamak dan Fira, tetapi saudata perempuannya melarang. "Mimpimu harus tetap berkembang, Ca! Jangan menderita karena diriku," kata Fira di suatu senja ketika mereka menyesap teh hangat di balkon rumah. "Kau tidak suka aku melukis, kan, Kak?" "Mulanya begitu, tetapi sekarang aku tidak bisa memungkiri kemampuanmu yang hebat, orang-orang akan sedih jika kau berhenti menjadi seniman. Berkembang biaklah dengan menjadi Caca yang utuh, jangan jadikan aku alasan dirimu melukis atau menghentikan lukisanmu," ucap Fira lagi sambil menepuk bahunya. "Hmm, akan aku pertimbangkan jika kau tidak keras kepala lagi, Kak." Lalu mereka tertawa berdua. Tetiba ada bening yang singgah di wajah Fira, ada perasaan haru tak tanggung-tanggung. Ia hend
Cairan bening asin dan getir dimuntahkan. Wajahnya lesu. Ia tidak berselera makan. Jika diibaratkan sebagai bunga, maka kali itu dirinya adalah kelopak berguguran. Fira putus asa, ia tak tahu bagaimana lagi membuat Caca bicara apalagi sampai mau mendengarkannya. Adiknya berubah menjadi sosok tak tahu diri, egois, bahkan enggan mendengar nasihatnya untuk tidak pulang larut malam. Ia stres, sampai lupa makan sehari kemarin. Sudah bisa ditebak, maagnya kambuh.Mengapa kenyataan sering berjalan tidak seimbang? Ketika perasaan manusia siap menerima takdir yang diberikan, yang diharap malah bertolak belakang, akhirnya— menggerutu lagi, lupa bersyukur, bahkan sampai menyerah pada titik terendah. Buat apa semangat? Jika kehidupan tidak pernah berubah? Fira merasa hari-harinya berada di titik koordinat sebelah kiri, berhenti pada angka nol, jarang maju ke angka satu, lebih sering mundur menjadi minus! Ya! Perasaan bahagianya semakin berkurang seiring bertambahnya detik.&nb
Caca kali ini menyadari keikhlasan kakaknya yang amat suci. Setelah tahu Fira susah payah hilir mudik dari kampung ke kecamatan, ke pusat kota, browsing sana sini, namun tak menemukan pekerjaan cocok dengannya. Ia tak tahan melihat kemurungan Fira memandang langit dengan gerakan bibir putus asa menghitung bintang-bintang sementara telunjuknya diarahkan ke angkasa, lalu pelan bulir-bulir diterpa cahaya rembulan. Malam merekam sesok gadis berambut panjang duduk bersandar tembok di balkon rumah, tangan kirinya dipangku di atas lutut sementara satunya bergerak ke kanan ke kiri di udara."Ibu, keahlian apa yang harus kubeli agar punggungmu berhenti bekerja?" ceracaunya sambil menyeka air mata sendiri.Caca mengintip dan menguping dari balik jendela. Ibu dan Lala telah pergi ke tanah mimpi untuk mengubur kepingan lelah yang dipanen sewaktu terang. Caca ingat betul ucapan terima kasih bertumpuk-tumpuk terbubuhi peluh dan ungkapan maaf ketika dirinya menyampaikan u
Kisah ini akan usai, seperti pengalaman kerja Fira yang berhenti tanpa diminati. Ia anggap semua ini terjadi sudah sesuai porsi takdir. Menyesalinya? Mustahil, toh dirinya memang berbuat salah, pantas diundurkan. Ia akan berpisah dengan kamar kos, meninggalkan ballroom, dan tentunya tak akan sentuh botol miras serta setumpuk lembar rupiah di kasir. Paling akhir, ia akan menjadikan Aldi beserta rekan kerja lain sebagai kenangan."Jangan pernah main ke sini lagi!" kata Aldi terdengar seperti sebuah ancaman padahal suaranya keluar begitu lembut. Fira ditemani membereskan kamarnya. Ibu kos mengijinkan pria masuk ke tempat Fira karena ditemani Caca juga Akhtar. Barang-barang Fira dikeluarkan semua, kecuali kasur dan bantal.Caca menyeret koper baju, sementara Akhtar membawa boneka beruang dan beberapa buku bacaan. Mereka semua bergantian memasukkan ke dalam mobil. Aldi dan Fira melangkah pelan-pelan di belakang menikmati hari-hari akhir."Kenapa? Be
Hari ini sabtu, anak-anak berseragam cokelat melipat kesenangan mereka di dada. Wajah diluruskan demi menatap gerik bibir Caca menjelaskan. Ada sebuah kanvas di depan papan tulis, Caca memberi coretan sketsa sungai dan rumput, kemudian bibir dan tangannya bekerjasama menuntun para siswa. Kuas bergerak ragu-ragu. Ruang kelas disorot cahaya pagi melalui gorden jendela.Sepekan lalu ada surat datang ke rumah, sebuah permohonan pengajar ekstrakurikuler seni lukis di sebuah SMA swasta, sekali dalam satu pekan itu ia setujui. Karir Caca melonjak. Ia tidak sempat membaca komentar netizen di dunia maya. Sengaja melupakan tragedi malam pameran. Bahkan jika mampu menghapus maka akan dihapus secepat kilat. Caca tahu banyak makian dan umpatan ditujukan kepada Fira, ia hanya meyakini umpatan mereka sebentar lagi sirna. Sekali lagi ia tidak pendam amarah, hanya saja ada hal ganjil yang membuatnya belum siap menemui Fira. Entah apa itu—'Ca, kau harus bertemu kakakm
ATM dimasukkan ke mesin, ia pencet sandi kemudian menentukan nominal yang akan ditransfer ke rekening Caca. Ia tak mau berspekulasi apa-apa mengenai ibu, yang mendadak membutuhkan uang. Ibu tidak suka berbohong, Fira yakin ibu tidak melakukan tindakan memalukan tersebut. Sungguh ibu dalam kesusahan. Ada hal terbesit dalam keningnya, mengapa Caca yang notobenenya sedang berlimpah uang tidak tahu masalah ibu?Fira tak sadar berapa jam lamanya ia menyiksa kedua mata Akhtar. Pemuda itu semalaman menemani perasaan nanar bercampur tangisnya, puluhan kilometer dihabiskan berkawan angin dan kesunyian jalan. Fira memohon dirinya untuk mengantar ke ATM setibanya di kos-kosan. Harusnya Fira pulang ke kampung halaman, namun ia menutup hati, raut mukanya belum siap dipertemukan dengan Caca.Ketika media masa sibuk membicarakan kelancangan tangan Fira menampar seorang seniman, Akhtar justru lelap bersaksikan setir mobil. Rambut awut-awutan, dua kancing kemeja yang lepas,
Aldi seumpama bohlam lampu di atas kepala Fira, sinarnya menyinari seluruh wajah namun tak mudah digapai. Begitu karakternya belakangan ini, meski setiap hari bertemu namun ia jarang memberi sapa. Senyumnya seolah baru dicuri hantu, rautnya sedingin es apalagi jika Fira mengajaknya bicara. Ada pagar yang membatasi pergaulan Aldi, entah itu apa. Siapa pun yang mengajaknya bicara, responnya hanya deheman atau anggukan kepala, bahkan ia tak lagi seramah dahulu tatkala menyambut tamu. Aldi kehilangan harta paling berharga, meski ia sendiri buta dengan yang diharga."Apa aku membuat kesalahan?" Fira menerka-nerka sambil meletakkan nampan di meja. Ia baru selesai mengantarkan pesanan. Hari ini hari terakhir dirinya menjalani hukuman, pekan depan kembali menjadi kasir."Kau malas bicara padaku?"Aldi diam, ia menenggak mineral lalu meninggalkan Fira. Maka yang bisa gadis itu lakukan hanyalah mengutus kedua langkahnya untuk mengejar sampai ke ruang wai
Ibu orang jujur dan selalu menerima apa adanya. Ia tak pernah protes sekalipun jasanya lupa belum diupahi. Senyumnya juga senantiasa subur, walaupun ucapan pahit dari teman-teman seperjuangannya menciptakan kemarau panjang di dada. Orang-orang melunasi lelah malam mereka dengan menjalankan aktivitas pagi seperti biasa.Lidi bergesekan dengan tanah, permukaan genting mengepulkan asap-asap dapur, anak-anak kecil berlomba menuju sekolah dan kaki lima menyiapkan dagangan dalam gerobak, sementara kucing tetangga malas-malasan dengan tidur di bangku teras.Ketika semua orang menjelmakan cinta dalam kesibukan, Ibu justru mondar-mandir pendam gelisah. Usai menyibak gorden jendela ia mengintip kamar Caca. Memperhatikan setiap gerik jari-jari putrinya menuangkan cat dalam kanvas. Sudah beberapa hari ini Caca bangun sebelum fajar bernapas untuk menyapa kanvas-kanvas kosongnya yang tergeletak di sebelah dipan.Kamar Caca lebih layak disebut gudang lukisan