Beranda / Romansa / Rindu yang Lupa / Episode Tiga : Pulang ke Rumah Akhir

Share

Episode Tiga : Pulang ke Rumah Akhir

Penulis: Titin Widyawati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Gadis dengan rambut terurai sebahu itu memperlihatkan karya baru. Ia keluar dari kampus seni. Hari itu senja menampilkan keanggunannya. Senyum langit merekah cerah meskipun deru kendaraan di jalan raya tak pernah menampilkan kesunyian. Kabut terbang ke tempat asing yang tak tampak. Alam riang menyenangkan sepadan bibir Caca yang menyudut. Ia raba lukisan seorang gadis sedang menangis, digambarkan meratap-ratap, dalam imajinasi kuasnya, gadis itu memeluk lutut, rambut panjangnya awut-awutan amat berantakan, gaun abu-abu dikenakan sang tokoh, lukisan sedikit diperciki noda berwarna cokelat, bigronnya dinding putih kusam pelengkap kesenduan. 

“Itu pasti kakakmu lagi,” kata Akhtar sembari menarik kursi. 

Mereka berdua sedang menikmati sore di depan toko Indomaret. Parkiran lengang. Beberapa lampu jalan mulai dihidupkan. Angkringan di seberang jalan mengepulkan asap. Pengamen memetik gitar. Pelancong berjalan hilir mudik bergandengan tangan, ada pula yang sendirian sembari memelototi gadged. Dua botol mineral berdiri tegak di atas meja. Indomaret di dekat kampus memang memfasilitasi kursi santai untuk pengunjung beristirahat, atau menunggu di luar. 

“Tebakanmu belum pernah salah,” Caca menjawab mantap. Lukisannya diletakkan di atas meja. “Karya ini terpilih untuk dipamerkan, kau mau datang ke acaraku, Kak?”

“Kau memberiku undangan atau menyuruhku mengantarkanmu ke sana?” Akhtar tahu isi kepala Caca. Gadis itu cerdas dan pintar mengelabuhi orang. 

“Aahh, aku tak perlu banyak waktu untuk menjelaskan. Awal bulan depan, pukul tujuh pagi jemput diriku.”

“Kenapa harus Fira yang kau pamerkan, Ca? Aku yakin, imajinasimu bisa berpikir lebih liar lagi dari pada gadis itu,”

Caca tertawa, ia menatap wajah Akhtar sejenak sebelum menanggapi pertanyaan lelaki itu. Wajah bersih yang di matanya sendu penuh kepiluan. Sorot mata tajam yang indah namun terkadang menegangkan. Suara datar yang jarang bergelombang, penuh teka-teki kebencian terhadap kakaknya. Tampan sayang auranya tertutup kedengkian. 

Sejak dulu... Caca mulai berkisah. 

Fira yang memandikan Caca dan Lala, menyuapi mereka, mengelus ubun-ubun ketika waktu tidur menjemput. Siap berjaga malam saat Ibu pergi ke pasar. Menyiapkan sarapan pagi sampai ia sendiri lupa mandi. Menyetrikakan pakaiannya. Menggendong Lala dan Caca kecil, mengajak bermain hingga mereka berdua tersenyum lupa dengan tangis. 

Baginya Fira adalah ayah sekaligus ibu yang lebih layak dihormati juga dicintai. Ia kuliah tidak berniat menimba ilmu. Sungguh! Barangkali waktu berdecak ia gadis amat bodoh! Namun ia tidak peduli, ia hanya ingin mengabadikan nama abadi dengan layak, melukis segala ekspresi kakaknya pada kanvas yang suci, memamerkan karakter kakaknya dengan elegan, tidak sembrono cerita ke sana sini tanpa bingkai, sungguh! Sekali lagi sungguh, itu semua bentuk kasih dan sayang tak terhingga juga ucap terima serta kasih tak terbatas untuk sang kakak yang belum memahaminya. Jika tidak ada kakak seperti sosok Fira, gadis kecil yang dulu menggendongnya berangkat ke sekolah, menuntunnya berangkat mengaji, tentu tidak akan tercipta pelukis bernama Caca. 

Akhtar diam. Ia memerhatikan bola mata Caca yang dipenuhi dengan ketulusan. 

“Kau sangat mengaguminya?”

Leher Caca mengangguk. “Lebih dari itu, maka jangan sekali-kali menyakitinya lagi, apalagi sampai aku bisa melihat dengan mata kepalaku.”

“Tapi aku sangat membencinya, aku kurang yakin jika kakakmu sehebat itu. Di mataku ia gadis konyol menyebalkan, bicara semau diri tak tahu sopan santun dan...”

“Karena kau laki-laki.” Kata Caca seketika, membiarkan kalimat Akhtar terpotong. 

“Apa hubungannya?”

Caca hendak menjawab, sayang perhatiannya teralihkan pada dering ponselnya. Jemarinya dengan gesit menjawab. Suara serak terdengar jelas. Ada air mata tak kasap, ada ketakutan bercampur dengan kesepian. Ada hilang yang tak akan pernah ketemu. Ada gulungan rindu yang mendadak terburai. Senja itu dilinangi pertanyaan-pertanyaan sangsi kepada Tuhan. Jiwa Caca nanar, cairan hangat muntah, membasahi pipinya, menghamburkan keceriaannya. 

“Antarkan aku pulang, Kak!” Ungkap Caca setengah terisak dan sangat buru-buru.

“Pameran lukisannya dibatalkan?”

Hening tak ada balasan. 

***

 Lima hari berlalu semenjak kepergian ayahnya. Ia menjalani aktivitas tak lagi dengan senyuman, melainkan dengan ribuan diam dan kesedihan yang ia bungkam rapat-rapat. Tatapan mata kawan-kawannya seringkali berontak ingin tahu tentang apa yang ia pendam, namun bahunya yang tidak mau diusap menjelaskan bahwa ia sedang tak ingin diganggu oleh siapa pun. 

Pagi itu, langit cerah, awan gemawan menggantung indah, mereka mengusir mendung. Jalan raya sesak dengan kendaraan. Orang-orang yang berangkat ke kantor meninggalkan parfume mereka di trotoar. Membuat beberapa pengamen malas-malasan membuka mata untuk menyambut esok. Fira melangkah lunglai dari kos-kosannya. Ia tak menggagas tawa penghuni kos yang sedang asyik menceritakan pacar mereka masing-masing di koridor kos-kosan. Ia melaju lurus, fokus menuju tempat kerja. 

 “Sarapan dulu, Fir!” ajak Karin sambil menyodorkan sepiring bubur ayam. 

 Ia diam dan terus menggerakkan kakinya. 

 “Suasana hatinya belum pulih, Rin!” Anggun memberi pembelaan agar Karin tidak kecewa. Mereka melupakan sikap Fira, melanjutkan cerita yang dibarengi dengan sarapan bubur ayam. 

 Ia tak menoleh kanan dan kiri, kakinya terus melaju, tidak ada rem yang dikeluarkan, jejak-jejak menapak tanpa kepedulian. Begitupun tatkala menyebrangi jalan aspal, lima meter di hadapannya adalah restoran besar tempatnya mengumpulkan rupiah, di belakangnya kamar-kamar mungil yang dijadikan rebah.

 Klakson berbunyi nyaring, wajah-wajah sopir geram. Pagi-pagi itu orang berburu-buru, dan Fira mengacaukan semuanya, kaki-kaki dipaksa mengingjak rem secara mendadak, mau tak mau mereka mengurangi laju kecepatan. 

 Tiiiinnnn… 

 Hal itu membuat perhatian Aldi yang baru saja mematikan kendaraannya di tempat parkir restoran menuju jalan raya. Riuh dan tegang. Tangan sopir melambai-lambai, menginstruksikan kepada Fira agar hati-hati jika menyebrang. Yang diberi arahan justru diam saja dan terus berjalan, bus umum yang mengangkut orang-orang mau belanja dan beberapa mahasiswa nyaris oleng dibuatnya. 

 Aldi bergegas menghampirinya. Ia menyuruh beberapa mobil dan sepeda motor untuk berhenti, membiarkan Fira berjalan maju. 

 “Kau sudah gila? Habis berapa bir? Mabuk, Hah?”

 Fira mendorong dada Aldi, ia memberi tatapan garang, tentang dirinya yang sedang malas diganggu oleh siapa pun. Ia merasa Aldi telah mengusik perasaannya yang sedang tidak bersahabat dengan kehidupan. 

 ‘Andaikan saja mati itu menyelesaikan masalah dan tak membutuhkan pertanggungjawaban, aku ingin menghabisi hidupku!’ Ucap batinnya seraya melengang pergi. 

 Meja kasir hening. Ballroom menyisakan pesta semalam suntuk. Sementara di luar sana bunga-bunga kertas berguguran di atas kolam di dekat gazebo-gazebo taman yang dihuni ikan Aparaima. Aldi kesal, ia menendang udara dan mengepalkan tinju di garis celananya sebelum mengambil kain lap dan sabun untuk membersihkan meja makan. Waiter lain sudah sedari tadi beraksi dengan tanggungjawab masing-masing. Ada yang membersihkan kamar mandi, ada yang mengepel, menyiram tanaman, dan menjaring sampah bunga maupun daun di atas permukaan kolam. 

 Koki dapur menari-nari dengan panci dan sayur-sayuran. Aroma masakan tercium sampai ke hidung pekerja. Meja kasir hening masih berusia pagi— dirayapi kesunyian. Fira duduk menatap layar komputer. Ia bahkan tak memeriksa buku laporan pemasukan semalam. Ia juga tak menata minuman dingin yang berjajar di kulkas. Ia khidmat dengan posisi dan pikirannya yang diterbangkan ke masa kanak-kanak. 

 “Fir, minta stok daftar minuman dan rokok yang habis, biar aku ambilkan di gudang!” pinta Roni. Ia menyandarkan tangannya di atas bar. Mulutnya menyemburkan asap ke wajah Fira. Wanita itu mendadak melotot, jika saja perasaannya sedang dalam keadaan baik, tentu saja ia sudah melayangkan telunjuknya ke jidad Roni. Waktu itu, ia konsisten diam. Tangannya bergerak menarik pintu meja kasir yang terletak tepat di bawah laci kasir. 

 Ia memberikan data yang diminta. 

 “Kau tahu Fir, kenapa kupu-kupu diberi sayap yang indah?”

 Roni geram karena pertanyaannya tak mendapatkan jawaban. 

 “Karena ulat paham betul pentingnya sabar dan ikhlas!”

 “Kau tahu Ron? Aku manusia bukan ulat” Pada akhirnya Fira kalah. Ia reflek mengeluarkan suaranya. Membuat Aldi yang sedang mengelap meja di ruangan Ballroom tersenyum sinis. 

 “Pikir saja sendiri!” Roni pergi. 

 Ia melangkah konyol, sengaja menggoyang-goyangkan pantatnya yang kerempeng. Berusaha menghibur kepedihan Fira. Usahanya tak menghasilkan apa pun, Aldi berpikir picik, ia mengambil peralatan untuk mengepel lantai. Segera mungkin lantai dilap bersih hingga licin. Roni tergelincir, pantatnya mencium lantai yang basah. Beberapa karyawan yang melihat kejadian itu tertawa terbahak-bahak. Sementara Fira diam, ia hanya melenguh dan memberikan ekspresi datar. Kembali duduk menatap layar komputer. 

Aldi, terus memerhatikannya dari kejauhan. 

Ketika itu Tuhan sangat menyayanginya. Ia memang sedang jatuh dan sangat terpuruk. Tak ada alasan yang membuatnya bahagia, juga ia kubur rindu beratnya kepada ayah dan keluarga. Perasaannya dipaksa buta, ia membunuh semua sesal dan menyisakan segala bentuk luka nanar di palung hidupnya. Kepedulian Tuhan diberikan langsung kepadanya beberapa jam, setelah kepergian ayah. 84 jam yang lalu laki-laki yang paling berharga bagi hidupnya pergi tanpa pamit dari kehidupan duniawi. Satu menit setelahnya, kabar menegangkan itu tiba. Ponsel Fira berdenging-denging. Ia tak pernah berniat mengangkat, namun penelpon tak berputus asa mengganggunya. 

Aldi, masih setia memerhatikan dari kejauhan, baru saja ia selesai mengepel lantai. Peralatan kebersihan ia kembalikan ke tempatnya semula. Kali ini ia berdiri di muka pintu Ballroom, pura-pura menunggu tamu datang, padahal hanya ingin memastikan raut wajah Fira yang bertambah suram. 

“Fira? Kenapa susah sekali menghubungimu?”

Fira diam, hanya desahan napas yang keluar pasrah dari hidungnya. 

“Sekarang kau di mana? Pulang ke kota ibumu, kakek meninggal!”

Jaringan telepon dimatikan. Fira membiarkan teleponnya jatuh ke permukaan lantai. Batrai dan casingnya terpisah. Air mata yang dirasanya telah mengering semalam lalu, mendadak kembali cair. Tak ada yang mengundang kesedihan itu, tak ada pula yang menghendaki ia datang secara bersamaan. Fira terpuruk kemudian dileburkan oleh waktu. Fira tak bisa menjelaskan perasaanya yang hancur bukan sekadar berkabung namun menjadi abu. Fira yang jarang menangis di muka umum, mendadak membuat tatapan orang-orang bingung. 

Aldi langsung menghampirinya. Menurutnya ada hal buruk yang kembali menimpa rekan kerjanya tersebut. Fira harus segera ditolong!

“Ada apa, Fir?”

Fira berusaha sekuat tenaga agar tubuhnya tetap mampu berdiri tegak. Ia tidak ingin merobohkannya meskipun sekujur organ hidupnya terasa lemas. Ia merasa sedang ditidurkan oleh Tuhan kemudian diberi mimpi buruk dengan paksa. Bagaimana mungkin, berita itu datang tanpa jeda masuk akal? 

Roni meletakkan minuman-minuman di bar kasir. Ia melemparkan sedikit banyolan. Tak tahu dengan permasalahan baru yang dihadapi oleh Fira. 

“Kau menangis? Ada nyamuk yang merampas kehormatanmu, Fir? Kemarilah aku akan menjadi pangeran baja hitam untukmu dengan senang hati!” bibir Roni merekah. Aldi menjitak kepala Roni dengan kasar. 

“Situasi sedang tidak mendukung.” Aldi menegaskan. 

“Aldi, kau izin kerja hari ini lantas antarkan aku pulang, sekarang! Secepatnya!” 

“Apa? Pu—pulang?” Aldi tidak yakin dengan kalimat yang baru saja didengarnya. Ia mendongakkan alis tebalnya. Wajahnya berkerut-kerut heran. “Kalau kau sekarang minta pulang lalu untuk apa kemarin kau kembali kemari, Fir?”

“Baiklah jika memang tidak mau, aku bisa pulang sendiri!”

“Kau mau pulang untuk lamaran, Fir?” Roni kembali nyeletuk. 

“Roniii!!!” Aldi menghardik. 

Satu rombongan tamu yang ingin makan datang, mereka melambaikan tangan memanggil waiter yang bekerja. Aldi siap bertugas. 

“Aku layani mereka dulu baru aku ijin pulang, Fir! Sementara itu absen dan siap-siaplah, tunggu aku di depan pintu gerbang kosmu! Tapi sebelumnya kau harus memberitahuku, apa alasanmu pulang, Fir?”

“Kakekku meninggal!”

“Apa?” Roni dan Aldi kompak tak percaya. “Aku tidak salah dengar?”

“Fir, yang sabar!” Roni menabahkan. Ia memperlihatkan mimik wajah menyesalnya sebab beberapa detik lampau mengajak Fira bercanda. “Semua ujian ini diberikan kepadamu sebab kau mampu melaluinya, Fir!” ungkapnya bijaksana. 

Aldi tak mengucapkan apa-apa. Ia menghampiri tamu yang datang. Jawaban Fira membuatnya buru-buru ingin menyelesaikan pekerjaan melayani tamu-tamu tak diharapkan itu. Dalam kondisi seperti itu, ia menghendaki restoran tempatnya bekerja tutup, biarlah waktu ikut berduka cita atas kepedihan yang sedang menimpa Fira. 

 ***

Berjam-jam lamanya ia menangis, menelan segala pedih sendirian, meringkuk di dalam gigil yang curam, jiwanya bergetar hebat karena tak tahan membendung siksa. Matanya lembab dan bengkak. Roda sepeda motor terus melaju, mengiringi riak tangisnya yang mengabu-abu. 

Langit hari itu cerah, namun di matanya semuanya terlihat samar-samar kemudian kabur. Ia belum bisa menyikapi musibah yang menimpanya dengan bijaksana. Uluh hatinya dirasa seperti baru saja disayati dengan pisau. Ia sesak sampai sesenggukannya tak berhenti. Hidungnya merah. Pipinya basah penuh kesengsaraan. 

Aldi, tak mampu berkata-kata lagi. Berpuluh-puluh kali ia berusaha mendiamkan isaknya, namun tak dihiraukan. Ia fokus dengan sepeda motornya. Mereka berdua pulang ke Magelang, membawa berita nanar. 

‘Kenapa Tuhan tidak pernah adil pada hidupku? Aku tak pernah diberi hal indah sejak kecil, sejak ayahku pergi, sejak hidupku sendiri hanya dengan Caca dan Lala, sejak ibu berangkat ke pasar sendirian, bahkan sejak ayah kembali dari perantauan, hal yang selama ini selalu aku bungkus rapat, tak pernah ingin aku ingat, hal yang membuat air mata ibu berderai-derai, dan bahkan tak akan pernah niat diingatkan namun selalu terbayang lekat-lekat! Ayah, begitu pun aku mencintai AYAH! Sangat menyayanginya, TUHAN! Kau dengar? Lalu— belum selesai luka sepeninggalan Ayah diobati, Engkau ambil kakekku? Di mana bisa kuterjemahkan kata adil dalam kehidupanku? Sementara anak-anak yang lain masih memiliki orang tua utuh sampai mereka ikrarkan akad dan mencetak akta lahir cucu-cucu mereka?’ 

Fira menatap awan gemawan, ia menerawang kekuasaan di luar angkasa, ia menciptakan hening saat klakson kendaraan saling bersiul merebutkan jalan, ia memasang wajah agar dibelai sinar matahari, kaca helmnya tak ditutup, angin masuk ke lubang hidung dengan rileks. 

Langit mendadak terbelah, menyembul wajah yang tak asing, ruang angkasa terlihat dengan jelas, sayang dalam pandangnya saat itu hanya kegelapan yang dipenuhi dengan wajah-wajah kabur ayah dan ibu, juga tetangga-tetangganya. Air matanya berderai-derai. Aldi berhenti di lampu merah, ia menawarinya agar istirahat terlebih dahulu, namun dirinya hanya menggeleng tanpa sepatah kata apa pun. 

Wajah itu tampak payah, kantung matanya menyimpan lelah, senyumnya tidak merekah, gigi-giginya kuning dan pucat, rambutnya awut-awutan, ia datang dari negeri yang di mata kecilnya saat itu amat jauh. Ia membuka pintu rumah lalu duduk. 

Fira ada di depannya, Caca dan Lala pun demikian, ia hanya menatap kosong, seolah tak mengenal siapa-siapa, seolah tak tahu jika yang ada di hadapannya adalah anak-anaknya. Mungkinkah ia amnesia? Fira bermuka senang, Caca berisak sedu- sedan, Lala bertepuk tangan meminta jajan. 

“Aku pikir, ayah telah lupa jalan pulang.” Ungkap Caca lugu, lantas minta dipangku. Namun tangan yang dirindukan, senyum yang diharapkan, gurauan yang diimpi-impikan, kebersamaan yang lama dikubur dalam ingatan kemudian ingin digali untuk dimunculkan di permukaan hilang, dengan sebaris kalimat yang saat itu belum dimengerti oleh Fira dan adik-adiknya. 

“Mereka adalah harta berharga yang tidak dapat aku tinggalkan, kau mengerti?” Kata lelaki itu tiba-tiba. 

Kemudian sebuah hardikan datang. Fira mundur, Caca menatap heran, Lala menangis karena kaget. 

“Jika kau berani mengusik ketenangan hidupku, aku akan membunuhmu!” kalimat asing itu kembali terdengar dengan jelas. Caca membopong Lala, ia mengajak Fira naik ke lantai atas, masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat-rapat. 

Sayangnya Fira masih berdiri kokoh, ia tak bergerak sama sekali, membiarkan kedua adiknya merangkaki tangga rumah. 

Ayah tertawa, semula pelan kemudian terbahak-bahak. “Aku sangat mencintainya?” 

Apakah itu anak orang lain? Apakah itu keluarga lain? 

Bermula dari hari itu, rumah tangga Maryam, ibu Fira hancur lebur, kehidupan selanjutnya dipenuhi dengan riak-riak tangis yang selalu memunculkan ombak kepedihan. Ibu berselisih dengan ayah di dalam kamar ketika senja datang. Ibu mengumpat hal-hal yang tidak baik. Ibu marah-marah. Ibu libur tidak bekerja. Tiga hari ibu tidak memasak, hingga Fira masak sendirian kemudian tidak sengaja menumpahkan kuah panas sehingga kakinya melepuh, tiga hari ibu tidak mencuci baju, ibu tidak memberi uang saku, yang ibu lakukan tiga hari hanya menangis dan menangis, saat sadar orang yang dinanti dan dihormati juga disayangi selama ini sama sekali tidak mengerti perkataannya. 

Ayah lupa! Lupa yang mengerikan! Lupa yang pantas dirawat di Rumah Sakit Gila, lupa yang memilukan perasaan, lupa yang menghadirkan milyaran sakit bertubi-tubi melalui kalimat barunya. 

“Sebenarnya selama ini kau pergi ke mana, Mas Rudi? Kau ini tidak ingat aku dan anak-anakmu yang aku kandung?” 

Ayah tidak menghiraukan. Fira kecil melihat ayah keluar dari rumah, lari pontang-panting, tunggang-langgang, orang yang ada di depannya ditabrak sembarang, ia tertawa, berteriak, mengacung-acungkan tangan ke langit, melompat-lompat, kemudian pergi di telan tikungan. Ayah lupa, akalnya sedang dipermainkan alam. 

Ia berbisik pada dedaunan mawar yang tumbuh di halaman rumah, ‘Aku ingin ayah kembali pergi.’ 

Orang-orang mulai berkasak-kusuk. Ibu mendapatkan gunjingan dan belas kasihan yang tidak wajar. Fira menjadi omongan di kelas. Membuatnya malas sekolah, malas mengaji, malas bertemu Pak Guru, malas bermain bersama teman dekatnya, malas bermain sepeda, dan malas apa saja, yang ia sukai hanyalah mengkhayal, mengkhayal bisa terbang ke negeri antah berantah, untuk mengungsikan ibu dan adik-adiknya dari malapetaka yang datang. 

Fira sering mendapat gertakan dan kalimat tidak menyenangkan karena beum bisa membaca, kini ia harus menerima omongan pahit tentang kondisi ayahnya yang berbeda. 

Ibu telah putus asa dalam menghadapi kenyataan, tapi ibu tidak ingin menyerah bertanggungjawab menghidupi Fira dan kedua adiknya. Ibu kembali berangkat malam, pulang sore menjadi kuli gendong. 

Sementara ayah pulang pergi membawa kenangan perih. Ayah kadang mengamuk orang, memecahkan piring, melempar obyek yang ada di depannya, bahkan pisau pernah nyaris mengenai wajah Lala. 

Hari itu, Fira ketakutan, mereka sering mengunci diri di dalam kamar, membiarkan suara-suara gaduh dari luar ruangan. Pura-pura abai, padahal mereka bertiga berpelukan, menangis diam-diam. Merintih memanggil ibu, dan hanya kelabu yang tergambar di balik pintu. Ibu sedang berjuang mencari nafkah, sebab jika tidak mendapatkan uang, meja makan akan kosong dengan harapan, tak ada makanan yang dapat digunakan untuk mengganjal perut, jajan-jajan jarang terbelikan seperti dulu. Ayah sering meracau tidak jelas dan membuat suasana ruangan menjadi mencekam. Orang-orang bertanya apa yang membuat ayah menjadi seperti itu? 

Ibu tak pernah berani mengusir ayah, meskipun ayah lupa, tapi ada seberkas cinta yang masih tertinggal. Fira melihat ibu saat malam datang, diam-diam mengelus ubun ayah ketika ia tertidur di lantai. Fira paham, ada sebuah nama yang lahir diam-diam, nama itu adalah ‘rindu.’ 

Di suatu pagi yang tenang ketika ayah tertidur di halaman rumah. Ada seorang wanita cantik datang, ia berpakaian seksi dan membawa jajan yang sangat banyak. Hari itu ibu tidak ada di rumah, hanya Fira, Lala dan Caca yang menyambut wanita itu. Mereka bertiga tampak semringah dan merasa mendapatkan teman baru. Sayangnya usai wanita yang entah siapa namanya itu pergi, ayah mengamuk lebih histeris, kaca-kaca rumah bertingkat itu dipecah, dipukuli dengan tangannya sendiri, darah dan serpihan kaca menyatu menjadi satu di atas lantai. Tetangga menyelamatkan Fira, Caca, dan Lala. Rumah tingkat yang megah itu kini berlubang, di malam yang gigil penghuninya akan bertambah gigil. 

“Ayah kau kenapa?”

‘Ayah seperti berandalan sedang mabuk. Ayah tidak ingat apa-apa. Ayah tidak menyayangi Caca lagi.’ Gumam Caca sembari menahan tangis. 

Cobaan Fira dan kedua adiknya bertambah saat mendapati ibunya yang pingsan sepulang dari pasar. 

Mereka tidur di rumah saudara. Saudara dekat yang terasa sangat jauh. Di malam yang larut, Fira menangis sesenggukan. Sendirian. Ia menyadari sebuah pelajaran hidup, bahwa kehidupannya tidak indah, tidak seperti kehidupan teman-temannya di sekolah yang penuh perhatian dari kedua orangtuanya. 

‘Ya Allah, apa salah Fira?’ rintih Fira, wajahnya menatap langit-langit kamarnya yang asing. Ibu terbaring lemah di sisi kanannya, sementara Caca dan Lala ada di sebelah kirinya. 

***

“Sebentar lagi kau sampai, Fir! Tapi sebelum sampai rumahmu aku ingin kau makan dulu, pasti sampai di sana kau tidak sempat makan, kau mau makan apa?” tanya Aldi. Entah sejak kapan laju sepeda motor Aldi telah berhenti di depan kedai makan. 

“Aku ingin mati menyusul kakek,” Fira asal bicara, ia belum sadar dari alam masa lalunya. 

Fira ingat dengan benar, wanita itu tidak disambut dengan baik oleh ayah. Wanita itu, wanita pembuat onar keluarganya, ia yang menyebabkan kekacauan dan keperihan keluarga mereka melanda. Sosok jelita tak tahu malu yang mengganggu kehidupan utuh Fira, sosok mengerikan seperti nenek sihir yang meramukan racun supaya atap kebahagiaan Fira dan adik-adiknya porak-poranda. Hari itu ia belum paham, namun sudah mencium aroma asing yang membingungkan, aroma penuh dengki ketidaksukaan, aroma yang membuat wanita itu terusir dari hatinya. 

Bab terkait

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat : Sebuah Pertemuan di Bawah Hujan

    Pukul lima senja, ia belum melayangkan tekad pulang. Hujan membasahi aspal. Ribuan air mengguyur tubuhnya. Baju dan selendang basah kuyub. Titik-titik air meresap ke dalam kepala. Bibirnya membiru pucat. Raganya bergetar. Kedinginan. Namun ia tetap mengangsur langkah. Menggendong beban, berjalan ke arah tuan menunjukkan. Tak peduli kepala langsung mencium reruntuhan air hujan. Tidak sempat meneduhkannya menggunakan payung. Yang penting baginya adalah uang ribuan di kantongnya bertambah.Hujan membuat pelanggannya kabur. Tiga jam lamanya ia duduk di emperan toko. Mengadu harap pada pencipta langit agar ada yang menggunakan punggungngnya. Malang, tak seorang pun. Membeli beras dan sayuran menjadi momok mustahil beberapa waktu. Getir. Tak lagi hendak dibayangkan.Mobil melaju cepat, sepeda motor saling menyalib. Tukang parkir meringkuk di bawah ruko-ruko, menutup jog sepeda motornya menggunakan mantel. Angkutan umum melangkah perlahan, menjauhi h

  • Rindu yang Lupa   Episode Lima : Senyuman yang Hilang di Masa Depan

    Tangisan tumpah di mana-mana, membuat penyaksinya menelan bulir demi bulir perih tanpa kejelasan. Sebaris kalimat membuat air liur tak tertelan. Mereka merupakan kata-kata terkutuk yang dibenci waktu. Angin senja menggiring kesengsaraan tajam yang menyusup ke relung jiwa keluarga Fira. Meski ia berdiri tegak tanpa tetes berarti di pipi, makhluk langit dapat menyaksikan betapa terlunta-lunta perasaannya. Caca tak kuasa menahan sesak dadanya, Lala menjerit meronta. Ibu pasrah dengan sungai-sungai yang membanjir di dagunya. Sebuah mobil plat A datang menjemput mereka. Keluarga Fira pergi tanpa salam perpisahan.Akhtar masih belum mengerti dengan apa yang terjadi, ia hanya menunaikan tugas mengantar Caca pulang.Fira mengacuhkan Aldi, ia bahkan belum sempat mengucap terima kasih, namun langkahnya telah pergi, hanya punggung mobil yang menyampaikan lambaian juga permintaan maaf karena telah merepotkan. Lelaki itu memahami, ia bukanlah bocah yang segalanya harus

  • Rindu yang Lupa   Episode Enam : Yang Tidak Ia Mengerti

    Embun mengusap kening bumi. Angin bersenandung riang dengan menggesekkan tubuhnya pada puluhan daun bambu. Burung duduk manis menyambut sapaan mentari. Pagi terbangun. Detik menunjukkan waktu terang. Aktivitas mulai meratap. Peluh bersiap mengeluh. Penduduk telah berbisik-bisik membahas gosip selebriti di teras rumah masing-masing sembari menggesekkan lidi ke tanah, yang lain ikut menyahut, tertawa atau hanya diam saja.Tiga gadis masih meringkuk di dalam selimut. Bibirnya menganga, matanya sedikit terbuka, begitulah ia lelap sepanjang hari. Fira memeluk tubuh mungil, membelakangi adik kecilnya. Ia lelap sangat, matanya belum terbuka sama sekali semenjak pukul dua dini hari. Kelelahan. Tubuhnya menggigil, selimut kembali ditarik, memeluk lebih erat tubuh yang lembut. Bantal guling seukuran tubuh Lala menjadi tempatnya membuang rindu pada peluk ibu. Kaki Lala terbuka lebar, yang kiri di atas punggung Fira, yang satu di perut Caca. Wajahnya telah diperciki s

  • Rindu yang Lupa   Episode Tujuh : Cinta yang Lupa

    Damai sekali melihatnya lelap usai sebulan bekerja meninggalkan rumah, meninggalkan cinta hanya mengangkut jejak ke tanah rantau. Ia menggadaikan lelahnya demi kasih tak terhingga dalam hayat. Ia pelipur lara yang tertanam dalam ceruk-ceruk rindu. Ia penerang gulita saat malam terpeluk. Sesosok pria dewasa yang kini rebah di pembaringan. Ialah yang menggendong Fira kecil, penumpah cinta dalam jantung gadis lugu itu yang penuh.Sepaham Fira ayah tidak pernah marah. Ia selalu berbuat baik, terbukti ketika ayah pulang dari pekerjaannya, ia membawa banyak jajanan, esoknya mengajak Fira dan kedua adik jalan-jalan ke pasar, bahkan tak segan menuruti seluruh permintaan anak-anaknya. Ayah sosok ramah, setiap tetangga bahkan orang asing yang berpapasan dengannya akan mendapatkan lengkung pelangi di bibir dengan gratis. Ayah bukan orang pelit, jika ada pengamen dan pengemis, satu lembar entah seribu, atau lima ribu bahkan sepuluh ribuan diberikan cuma-cuma. Ayah buk

  • Rindu yang Lupa   Episode Delapan : Salah Alamat! 

    Tidur nyenyak Akhtar terganggu dering telpon. Pukul satu dini hari, ponselnya bergetar memohon perhatian. Ia acuh, membalik punggung dan menarik selimut. Malam telah larut, tidak logis orang menelpon di waktu istirahat seperti itu jika bukan hal mendesak. Sayangnya Akhtar tak berpikir panjang. Ia melanjutkan tidur, melipat mimpi-mimpinya dengan rapi. Membuang lelah ke dalam pejaman mata rapatnya. Memeluk dingin di balik selimut tebal. Hujan di luar menciptakan suasana tidur yang nikmat. Cicak bernyanyi mengiringi kegaduhan percik air yang jatuh menimpa asbes-asbes rumah. Dedaunan di luar basar kuyup, bunga mawar menggugurkan beberapa kelopak cantiknya sebab tak mampu menampung beban hujan dari langit. Angin berembus kencang. Orang tua Akhtar lelap saling peluk. Pembantu mendengkur.Ponsel Akhtar masih berdering, melantunkan lagu Westlife, Flying Without Wings. Kali ini Akhtar membuka selimut, membuang bantal guling ke lantai, dengan geram ia menggayuh pons

  • Rindu yang Lupa   Episode Sembilan : Kesempatan Emas

    Ibu gesit meracik bumbu, memasukkan ke dalam wajan. Mengingat kekasih dalam setiap adukan. Membayangkan senyum menawan saat yang dicinta merasakan masakan. Peluh tak lagi dipikirkan, bau badan menjadi aroma yang menyempurnakan. Butiran keringat menetes di kening. Ia usap, lantas merapikan rambut yang berantakan. Hari ini ia ingin memberikan perhatian lebih kepada buah kasih sayangnya. Tak rela jika waktu terus memanjakannya hidup susah di sudut-sudut pasar, memohon receh dengan mengorbankan punggung menjadi bengkok. Ada waktu yang memang disenggangkan untuk beristirahat di rumah bersama anak-anak. Sebuah kebebasan direngkuh oleh Fira.Hari ini ibu tidak memanggul beban di pasar. Fira melonjat histeris. Gadis periang dua kali lebih senang. Esok, tak dipersibuk meracik sarapan. Ia juga cuti sejenak dari membersihkan badan Lala. Malam tak bangun menciderai raga dengan gigil. Ia beristirahat melototi jalanan menanti obor melintas. Layaknya seorang PNS ya

  • Rindu yang Lupa   Episode Sepuluh : Masa Depan Vs Masa Lampau

    Aroma tanah menguar, menghantarkan perasaan-perasaan kelabu di bulan ini. Langit yang mengabu membuat tunggu menjadi membosankan. Bumi terasa basah, amat basah hingga membangunkan gigil pada sela-sela kebimbangan seorang gadis. Ia mengenakan pakaian rapi, sebuah kemeja sewarna melati dengan stelan rok panjang berwarna hitam, poninya diombang-ambingkan tanpa arah oleh angin. Hujan dan menunggu seperti paket setia di pertengahan tahun. Dan gadis itu terus menunggu ponselnya berdering meski hujan melambai-lambai riang.Waktu tidak tenang, ia gusar, khawatir acaranya terpaksa ditinggalkan, bukan tersebab hujan turun mendayu-dayu membuat pedagang asongan meringkuk di bawah atap-atap ruko, menghalangi pejalan kaki menuju tempat terdekat, membiarkan lampu merah diterobos laju mobil-mobil mewah, mengacuhkan riak air yang menggenang di jalan berlubang, hujan tetaplah menjadi momen menyenangkan baginya meski perasaannya gelisah, ia tidak marah hujan turun bukan pada waktu senggan

  • Rindu yang Lupa   Episode Sebelas : Gigitan Caca

    Ibu menangis sesenggukan mendapati rumah kosong. Selendangnya langsung dilempar sembarang, jajan kesayangan Fira menggelinding di lantai, kawan tentu kau masih ingat buah kesukaan Fira, apel merah! Ya! Apel-apel itu baru dipinang ibu dari pasar sebagai oleh-oleh terbaiknya, ia membayangkan teriakan kegembiraan Fira dan kedua adik ketika mengetahui ada buah kesukaan mereka. Sayang takdir tak mau memperindah keadaan, justru semuanya terbalik tiga puluh derajat.Ibu tergopoh-gopoh lari menuju rumah kakek. Perasaannya hancur lebur diburai kesengsaraan, khawatir jika jangan-jangan suaminya lepas, lantas kembali mengamuk, mencari tiga gadis buah biologisnya dan mengombang-ambingkan di jalan. Ibu panik, panik mengerikan!Pagi tadi, paman masuk membawa sepiring sarapan. Ia tidak tahu jika tiga bocah bersembunyi di balik tumpukan rumput, Fira membungkam mulut Lala agar tidak menciptakan suara. Dengan mata kepala mereka masing-masing, mereka menya

Bab terbaru

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Sembilan: Menjadi Rukun

    Lantas kotak yang dibawa Akhtar ia sembunyikan, ia kulum senyum sembari memandang wajah Fira. Pemuda yang dianggap tampan oleh bening embun tersebut berusaha tegar meski ada sedikit gelenyar perih yang mengendap di dadany—gadis yang diam-diam ia cintai dan ingin dimiliki—sudah disematkan cincin indah di jari manisnya—lantas berkenan untuk dijadikan putri, rupanya memikirkan laki-laki lain. Akhtar memacu kendaraannya menuju Yogyakarta, ke tempat yang dipenuhi dengan kenangan emosinya mengenai Fira. Bayangan saat dirinya memukul tubuh Aldi yang mabuk kembali terpampang. Amarahnya yang saat itu sungguh tidak mampu dibendung masih terasa kental dalam ingatan. Lantas detik itulah ia sadar bahwa Fira adalah gadis yang ingin ia jaga. "Terima kasih kau sudah banyak membuat Caca berkembang," kata Fira memulai obrolan. Di hadapan mereka bangunan ruko-ruko menjulang tinggi. Lampu-lampu kendaraan menyala terang-benderang. Senja menyelinap di ufuk timur, terlihat anggun dan mengagumkan serupa l

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Delapan: Teman yang Hilang

    Waktu cepat berlalu, pergerakan detik pada dinding berputar sangat cepat. Fira merasa Lukisan-lukisan Caca banyak yang memesan, meski potretnya hanya gambar sketsa perempuan dan pemandangan. Semula ia ingin fokus pada kegiatan baru mengurus butik pakaian bersama Mamak dan Fira, tetapi saudata perempuannya melarang. "Mimpimu harus tetap berkembang, Ca! Jangan menderita karena diriku," kata Fira di suatu senja ketika mereka menyesap teh hangat di balkon rumah. "Kau tidak suka aku melukis, kan, Kak?" "Mulanya begitu, tetapi sekarang aku tidak bisa memungkiri kemampuanmu yang hebat, orang-orang akan sedih jika kau berhenti menjadi seniman. Berkembang biaklah dengan menjadi Caca yang utuh, jangan jadikan aku alasan dirimu melukis atau menghentikan lukisanmu," ucap Fira lagi sambil menepuk bahunya. "Hmm, akan aku pertimbangkan jika kau tidak keras kepala lagi, Kak." Lalu mereka tertawa berdua. Tetiba ada bening yang singgah di wajah Fira, ada perasaan haru tak tanggung-tanggung. Ia hend

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Tujuh : Seorang Putri

    Cairan bening asin dan getir dimuntahkan. Wajahnya lesu. Ia tidak berselera makan. Jika diibaratkan sebagai bunga, maka kali itu dirinya adalah kelopak berguguran. Fira putus asa, ia tak tahu bagaimana lagi membuat Caca bicara apalagi sampai mau mendengarkannya. Adiknya berubah menjadi sosok tak tahu diri, egois, bahkan enggan mendengar nasihatnya untuk tidak pulang larut malam. Ia stres, sampai lupa makan sehari kemarin. Sudah bisa ditebak, maagnya kambuh.Mengapa kenyataan sering berjalan tidak seimbang? Ketika perasaan manusia siap menerima takdir yang diberikan, yang diharap malah bertolak belakang, akhirnya— menggerutu lagi, lupa bersyukur, bahkan sampai menyerah pada titik terendah. Buat apa semangat? Jika kehidupan tidak pernah berubah? Fira merasa hari-harinya berada di titik koordinat sebelah kiri, berhenti pada angka nol, jarang maju ke angka satu, lebih sering mundur menjadi minus! Ya! Perasaan bahagianya semakin berkurang seiring bertambahnya detik.&nb

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Enam : Caca

    Caca kali ini menyadari keikhlasan kakaknya yang amat suci. Setelah tahu Fira susah payah hilir mudik dari kampung ke kecamatan, ke pusat kota, browsing sana sini, namun tak menemukan pekerjaan cocok dengannya. Ia tak tahan melihat kemurungan Fira memandang langit dengan gerakan bibir putus asa menghitung bintang-bintang sementara telunjuknya diarahkan ke angkasa, lalu pelan bulir-bulir diterpa cahaya rembulan. Malam merekam sesok gadis berambut panjang duduk bersandar tembok di balkon rumah, tangan kirinya dipangku di atas lutut sementara satunya bergerak ke kanan ke kiri di udara."Ibu, keahlian apa yang harus kubeli agar punggungmu berhenti bekerja?" ceracaunya sambil menyeka air mata sendiri.Caca mengintip dan menguping dari balik jendela. Ibu dan Lala telah pergi ke tanah mimpi untuk mengubur kepingan lelah yang dipanen sewaktu terang. Caca ingat betul ucapan terima kasih bertumpuk-tumpuk terbubuhi peluh dan ungkapan maaf ketika dirinya menyampaikan u

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Lima : Dendam Usang

    Kisah ini akan usai, seperti pengalaman kerja Fira yang berhenti tanpa diminati. Ia anggap semua ini terjadi sudah sesuai porsi takdir. Menyesalinya? Mustahil, toh dirinya memang berbuat salah, pantas diundurkan. Ia akan berpisah dengan kamar kos, meninggalkan ballroom, dan tentunya tak akan sentuh botol miras serta setumpuk lembar rupiah di kasir. Paling akhir, ia akan menjadikan Aldi beserta rekan kerja lain sebagai kenangan."Jangan pernah main ke sini lagi!" kata Aldi terdengar seperti sebuah ancaman padahal suaranya keluar begitu lembut. Fira ditemani membereskan kamarnya. Ibu kos mengijinkan pria masuk ke tempat Fira karena ditemani Caca juga Akhtar. Barang-barang Fira dikeluarkan semua, kecuali kasur dan bantal.Caca menyeret koper baju, sementara Akhtar membawa boneka beruang dan beberapa buku bacaan. Mereka semua bergantian memasukkan ke dalam mobil. Aldi dan Fira melangkah pelan-pelan di belakang menikmati hari-hari akhir."Kenapa? Be

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Empat : Rival

    Hari ini sabtu, anak-anak berseragam cokelat melipat kesenangan mereka di dada. Wajah diluruskan demi menatap gerik bibir Caca menjelaskan. Ada sebuah kanvas di depan papan tulis, Caca memberi coretan sketsa sungai dan rumput, kemudian bibir dan tangannya bekerjasama menuntun para siswa. Kuas bergerak ragu-ragu. Ruang kelas disorot cahaya pagi melalui gorden jendela.Sepekan lalu ada surat datang ke rumah, sebuah permohonan pengajar ekstrakurikuler seni lukis di sebuah SMA swasta, sekali dalam satu pekan itu ia setujui. Karir Caca melonjak. Ia tidak sempat membaca komentar netizen di dunia maya. Sengaja melupakan tragedi malam pameran. Bahkan jika mampu menghapus maka akan dihapus secepat kilat. Caca tahu banyak makian dan umpatan ditujukan kepada Fira, ia hanya meyakini umpatan mereka sebentar lagi sirna. Sekali lagi ia tidak pendam amarah, hanya saja ada hal ganjil yang membuatnya belum siap menemui Fira. Entah apa itu—'Ca, kau harus bertemu kakakm

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Tiga : Ayah Hebat

    ATM dimasukkan ke mesin, ia pencet sandi kemudian menentukan nominal yang akan ditransfer ke rekening Caca. Ia tak mau berspekulasi apa-apa mengenai ibu, yang mendadak membutuhkan uang. Ibu tidak suka berbohong, Fira yakin ibu tidak melakukan tindakan memalukan tersebut. Sungguh ibu dalam kesusahan. Ada hal terbesit dalam keningnya, mengapa Caca yang notobenenya sedang berlimpah uang tidak tahu masalah ibu?Fira tak sadar berapa jam lamanya ia menyiksa kedua mata Akhtar. Pemuda itu semalaman menemani perasaan nanar bercampur tangisnya, puluhan kilometer dihabiskan berkawan angin dan kesunyian jalan. Fira memohon dirinya untuk mengantar ke ATM setibanya di kos-kosan. Harusnya Fira pulang ke kampung halaman, namun ia menutup hati, raut mukanya belum siap dipertemukan dengan Caca.Ketika media masa sibuk membicarakan kelancangan tangan Fira menampar seorang seniman, Akhtar justru lelap bersaksikan setir mobil. Rambut awut-awutan, dua kancing kemeja yang lepas,

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Dua : Sebuah Ingatan

    Aldi seumpama bohlam lampu di atas kepala Fira, sinarnya menyinari seluruh wajah namun tak mudah digapai. Begitu karakternya belakangan ini, meski setiap hari bertemu namun ia jarang memberi sapa. Senyumnya seolah baru dicuri hantu, rautnya sedingin es apalagi jika Fira mengajaknya bicara. Ada pagar yang membatasi pergaulan Aldi, entah itu apa. Siapa pun yang mengajaknya bicara, responnya hanya deheman atau anggukan kepala, bahkan ia tak lagi seramah dahulu tatkala menyambut tamu. Aldi kehilangan harta paling berharga, meski ia sendiri buta dengan yang diharga."Apa aku membuat kesalahan?" Fira menerka-nerka sambil meletakkan nampan di meja. Ia baru selesai mengantarkan pesanan. Hari ini hari terakhir dirinya menjalani hukuman, pekan depan kembali menjadi kasir."Kau malas bicara padaku?"Aldi diam, ia menenggak mineral lalu meninggalkan Fira. Maka yang bisa gadis itu lakukan hanyalah mengutus kedua langkahnya untuk mengejar sampai ke ruang wai

  • Rindu yang Lupa   Empat Puluh Satu : Uang Hilang

    Ibu orang jujur dan selalu menerima apa adanya. Ia tak pernah protes sekalipun jasanya lupa belum diupahi. Senyumnya juga senantiasa subur, walaupun ucapan pahit dari teman-teman seperjuangannya menciptakan kemarau panjang di dada. Orang-orang melunasi lelah malam mereka dengan menjalankan aktivitas pagi seperti biasa.Lidi bergesekan dengan tanah, permukaan genting mengepulkan asap-asap dapur, anak-anak kecil berlomba menuju sekolah dan kaki lima menyiapkan dagangan dalam gerobak, sementara kucing tetangga malas-malasan dengan tidur di bangku teras.Ketika semua orang menjelmakan cinta dalam kesibukan, Ibu justru mondar-mandir pendam gelisah. Usai menyibak gorden jendela ia mengintip kamar Caca. Memperhatikan setiap gerik jari-jari putrinya menuangkan cat dalam kanvas. Sudah beberapa hari ini Caca bangun sebelum fajar bernapas untuk menyapa kanvas-kanvas kosongnya yang tergeletak di sebelah dipan.Kamar Caca lebih layak disebut gudang lukisan

DMCA.com Protection Status