Damai sekali melihatnya lelap usai sebulan bekerja meninggalkan rumah, meninggalkan cinta hanya mengangkut jejak ke tanah rantau. Ia menggadaikan lelahnya demi kasih tak terhingga dalam hayat. Ia pelipur lara yang tertanam dalam ceruk-ceruk rindu. Ia penerang gulita saat malam terpeluk. Sesosok pria dewasa yang kini rebah di pembaringan. Ialah yang menggendong Fira kecil, penumpah cinta dalam jantung gadis lugu itu yang penuh.
Sepaham Fira ayah tidak pernah marah. Ia selalu berbuat baik, terbukti ketika ayah pulang dari pekerjaannya, ia membawa banyak jajanan, esoknya mengajak Fira dan kedua adik jalan-jalan ke pasar, bahkan tak segan menuruti seluruh permintaan anak-anaknya. Ayah sosok ramah, setiap tetangga bahkan orang asing yang berpapasan dengannya akan mendapatkan lengkung pelangi di bibir dengan gratis. Ayah bukan orang pelit, jika ada pengamen dan pengemis, satu lembar entah seribu, atau lima ribu bahkan sepuluh ribuan diberikan cuma-cuma. Ayah bukan orang malas, ketika ia di rumah, maka perabot dan lantai akan bersih pun tak ada cucian menumpuk di kamar mandi. Ayah ringan membantu ibu. Demi anak-anak ayah juga mahir memasak. Dua hal yang tidak pernah ayah lakukan, mendongeng ketika tidur dan memberi contoh gambar untuk ditiru Caca.
Itu dahulu ketika usia anak-anak masih belia, juga sebelum wanita cantik itu datang.
Ada tragedi hebat yang tertanam di benak Fira lekat-lekat. Senja itu berembun, langit mengabu-abu. Fisik ayah sehat. Ia tak tampak seperti orang sekarat. Senyumnya memang tidak merekah, namun ia sanggup menelusuri gang demi gang menuju tempat mengaji Fira dan Caca. Alunan melodi huruf hijaiyyah terdengar terbata-bata. Suara merdu anak-anak kecil terdengar damai sampai ke dada. Beberapa anak usil melompati dampar, bergurau dengan sajadah yang disampirkan di bahu mereka, imajinasinya membayangkan sebuah pedang. Ustadzah geram, mereka meringkuk di sudut pintu beberapa menit kemudian duduk rapi, jika sudah bosan kembali membuat ulah.
Gadis-gadis kecil memamerkan mainan barbie yang mereka angkut dari rumah, diam-diam dimasukkan ke tas mengaji bercampur dengan buku iqro’ atau juga Al-Qur'an. Ustadzah melenguh panjang, menyita sebentar, ada yang merengek minta dikembalikan, beliau tidak peduli.
“Kita ngaji dulu nanti mainannya Ustadzah kembalikan.”
Mau tak mau anak-anak tunduk. Tapi lain cerita dengan gadis kecil Fira, ia memainkan bonekanya di bawah meja dampar, melucuti pakaiannya, hendak diberi ganti, katanya biar tidak gerah, sebab kelas terasa panas, kipas anginnya mati.
“Kak Fira nanti kena tegur loh!” Caca mengingatkan.
“Ssstt, jangan berisik nanti bonekanya kebangun bisa nangis!”
Caca menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menepuk jidadnya sendiri. Rasanya malu memiliki kakak yang kurang kerjaan seperti Fira.
Tiba-tiba ketika semuanya sibuk dengan kegiatan mengaji masing-masing, ketika Fira dan Caca saling main mata pelotot-pelototan, ketika Ustadzah sibuk mengajari ejaan huruf hijaiyyah, ketika seorang lelaki tua lari pontang-panting di luar gedung mengaji dengan kepala penuh lumuran darah. Ketika tetangga-tetangga sekitar dihunus aura takut pada sosok tak asing. Ketika ayam-ayam berhenti berkokok. Ketika senja mulai melinangkan air mata langit, embun-embun menyerbuki jalan, kering menjadi basah, gerah menjadi gigil, ketika suara mereka dikalahkan jeritan warga sekitar. Lala, si gadis mungil itu menangis menjerit-jerit. Ustadzah membopongnya berusaha mendiamkan. Kegiatan mengaji berjeda. Fira meletakkan bonekanya, ia melompati dampar sembarang, langsung merebut Lala.
“Ada apa adikku sayang? Kau takut kena marah Ustadzah karena belum bisa membaca? Tenanglah Ustadzah tak segalak guru sekolah Kak Fira!”
Caca geram dengan kalimat kakaknya, jika mampu ia ingin menimpuk kepala kakaknya. Ustadzah melotot. Ia tak mau tahu, sesegera mungkin mengeluarkan pakaian ganti adiknya dari dalam tas, meminta ijin kepada Ustadzah untuk ke kamar mandi. Hal yang pertama Caca perhatikan ketika adiknya menangis adalah pantatnya, basah itu pertanda si gadis kecil ngompol. Anak balita jijik dengan ompol dan kotoran tinja mereka.
“Ayo Kak, kita ke kamar mandi!”
“Cup! Cup! Cup Cantik!”
Fira bergaya seperti seorang ibu sesungguhnya. Ustadzah tak lagi melotot, ia tersenyum seketika. Sayang alam tak mengizinkan mereka pergi ke kamar mandi, takdir membiarkan pantat Lala basah karena ompolnya. Ia pun meraung tak henti-henti. Teman-teman Fira dan Caca serempak mentertawakan kepedihan yang di mata mereka sebuah lelucon. Ustadzah hendak membantu tapi dijeda keputusan detik.
Lelaki dengan kepala berlumuran darah masuk tiba-tiba, membuat ruang gaduh karena tawa tercekam ketakutan. Semua murid berebut memeluk Ustadzah. Napas-napas tercekat, semula hanya Lala yang menangis, kini bertambah. Senja itu dipenuhi dengan paduan suara tangisan memilukan. Orang tua yang mengantarkan anak-anaknya dan menunggu di luar ruangan berusaha menolong lelaki berlumur darah, namun lagi-lagi takdir tak membiarkan lelaki itu tertolong. Semuanya dihunus hawa ketakutan dalam, senyum mereka ditelan keputusan takdir yang tak mau memahami. Tuhan seolah tak berkendak senja berembun itu disambut dengan keceriaan. Seorang lelaki tua yang lain berteriak-teriak sembari menudingkan pisau ke atas langit.
“Dengarkan! Aku sangat mencintai keluargaku! Aku bukan orang yang berkhianat! Aku sudah memiliki tiga putri cantik-cantik. Bagiku mereka cukup membuat hidupku berarti! Kau… jangan sekali-kali meretakkan kebahagiaan utuh keluargaku! Atau kubunuh kau!” suara itu menjelegar, merontokkan terang, gelap seketika menyelimuti langit beriringan dengan adzan maghrib.
Tetangga sedang berkasak-kusuk mengenai nasib lelaki tua yang kehilangan ingatan tersebab perasaannya hancur dikeping-kepingkan waktu. Lugunya mereka menghilang dari kerumunan gosip senja, mereka menutup pintu rumah rapat-rapat, tak berkenan angin sore menyibak kedamaian pikir mereka, semuanya kompak bersembunyi di balik rumah, namun mengintip keadaan luar melalui jendela, kecuali tiga orang; lelaki berlumur darah, lelaki tua malang itu dan seorang ibu setengah renta yang berlari tergopoh-gopoh menuju tempat mengaji.
Caca menyadari ada hal ganjil. Ia secepat kilat membopong Lala yang masih berderai air mata, Fira diseret tangannya. Cepat-cepat ia lari melalui pintu belakang.
“Caca, sakit!”
Caca tidak mendengarkan keluhan kakaknya, ia abai, yang terpenting saat itu ia hendak lari dari kenyataan. Kenyataan bahwa lelaki tua itu yang melukai lelaki satunya hingga berlumur darah.
“Cacaaaa! Berhentiiii!” Fira berteriak keras-keras. Lagi-lagi Caca tidak mau tahu, ia terus berlari, menggendong Lala yang menangis dan menarik lengan Fira amat erat, langkah Fira terpaksa mengimbangi laju adiknya.
“Untuk apa kita lari, ada ibu di belakang…”
“Ada pisau di tangannya, benda tajam tak boleh berada di dekat anak kecil,” ungkap Caca dengan keluguannya, “kita harus pergi, lelaki itu berlumur darah,”
“Ibu ada di belakang, dia akan kebingungan mencari kita!”
Caca acuh, ia terus berlari mencari persembunyian, menerobos temaramnya langit. Tiga bocah kecil-kecil menghiasi bigron lelapnya senja. Mereka terlukis di jalan utama desa, di hadapan gunung megah menjulang tinggi, disaksikan burung-burung prenjak pulang ke sangkar, dipotret ayam-ayam buta yang telah dirabunkan waktu. Tangan kiri Caca mencengkeram lengan Fira, sementara tangan kanan memegangi pantat Lala, ia sedikit membungkuk supaya tubuh adiknya imbang dan tidak jatuh, tak hirau dengan bau ompol, tak peduli kain punggungnya basah terkena ompol, ia ingin adik dan kakaknya terhindar dari kecelakaan.
Pada batas rapuh tenaga Caca, ketika napasnya terengah-engah. Ia menurunkan Lala di emper jalan, mendudukkannya serta melepas lengan Fira. “Kakak tidak mampu berlari lagi,”
“Siapa yang menyuruhmu berlari, Ca?”
“Kak Caca! Lala mau digendong lagi!” tangis Lala reda. Bocah manis itu kali ini merengek minta digendong, ia merasa nyaman diombang-ambingkan langkah Caca di atas punggung. Ia belum mampu memahami kejadian perih, si pemilik mata bulat indah tanpa dosa itu, rasa-rasanya hendak dipeluk angin malam.
“Ca, apa pun yang terjadi ayah tetaplah ayah kita, aku kangen ayah!” pilu kalimat Fira, ia membalik langkah, hendak menjemput lelaki tua itu, lelaki yang mengacungkan pisau ke atas langit, lelaki tua yang dikejar oleh seorang ibu renta, ibu mereka.
“Kak Fira boleh kangen dengan ayah, tidak salah! Tapi kali ini dia membawa pisau! Caca sendiri sedikit bingung, mengapa orang dewasa seperti ayah bisa bermain-main dengan pisau apalagi dibawa ke tempat mengaji, sungguh kekanak-kanakan!”
“Ayo kita hampiri ayah dan ibu, aku ingin bertemu dengan mereka, kita ajak mereka pulang!” Fira ngotot.
Hari itu ibu libur ke pasar karena ayah ada di rumah. Ibu hendak melindungi mereka dari ketidaksadaran lelaki yang mereka cinta dan kasihi. Ibu rela berhutang ke sana kemari demi mencukupi kebutuhan, tahan malu, tahan cemooh, terpenting didekatkan dengan anak-anak. Ibu tak ingin membuat jarak ketika ayah ada di rumah. Ibu hanya mengantarkan anak-anaknya mengaji, menjemput, memasakkan makanan, dan menunggui mereka tidur. Ibu penjaga malam tiba-tiba, menggantikan tugas Fira.
“Anakku,” ucap ibu dengan suara parau. Matanya sembab. Entah sejak kapan ia sudah berdiri di belakang tubuh anak-anaknya yang sedang berselisih. Secepat kilat ia bopong Lala, mencium keningnya, lalu menuntun Caca. Fira disuruh memegang ujung bajunya.
“Kita ke rumah kakek, ya! Ayah sedang tidak bisa diganggu!”
"Kenapa ayah membuat lelaki tadi berlumur darah dengan pisau?” tanya Fira.
“Kau menanyakan sesuatu yang seharusnya tidak ditanyakan, Kak!”
“Sudahlah, kita pulang ke rumah kakek.” Kata ibu lagi.
“Apakah ayah selamanya akan seperti itu, apakah ayah tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi? Ayah selalu mengamuk, marah-marah, mengancam akan membunuh, melempar segala barang yang ada di depannya, apakah ayah tidak lelah?” Fira menanyakan panjang lebar. Ibu menarik napas dalam-dalam, menelan air liurnya, memeluk Lala dalam gendongan lebih erat. Diam seribu bahasa.
“Ayah seperti itu karena menyayangi kita kan, Bu? Kenapa kita harus meninggalkannya? Di mana ayah sekarang?” rajuk Caca.
Angin mulai berembus kencang, malam menggeliat malu-malu. Senja sungguh telah terbenam, tak ada lagi warna kemerahan di ufuk timur, birunya langit telah diburamkan. Lelaki tua itu diikat di kandang kambing. Tubuhnya diterlentangkan, kakinya dipasung. Ia meronta-ronta, semua orang mendengar, namun mereka menulikan pendengaran.
Cinta ayah yang besar tak terhingga, sayang ayah lebih luas dari semesta, keikhlasannya lebih dalam dari samudera, tak rela dilukai, tak mau diusik, tak dibiarkan terpecah belah meskipun menjadi tanpa arah.
Kenyataan pahit itu justru membuktikan perasaan putihnya sesuci ruh manusia dalam kandungan. Sayang sungguh malang, cintanya berakhir dalam pasungan.
***
Tiga gadis kecil-kecil, melihat bintang dari balkon rumah. Setengah jam lalu ibu pamit berangkat ke pasar. Ibu sudah berani meninggalkan putri-putrinya, karena ayah tidak lagi di rumah. Ayah tidur di bawah atap kandang kambing, ayah mengigil di rumah yang berbeda, ayah sedang berteriak-teriak, namun mereka tak mendengar, jauh dalam hati alam bawah sadar ayah menangis meraung-raung kesakitan juga tak kuasa menahan rindu kepada istri dan anak terkasih, kadang ia lupa, kadang juga ia ingat meski hanya samar-samar itu pun sebentar.
Ayah mengompol dan buang air besar di pasungan, ayah makan disuapi paman, ayah minum diminumkan paman, ayah mengamuk ditemani suara kambing. Kaki dan tangannya merah-merah, namun tak seorang pun membantu mengurangi rasa perihnya. Ikatannya terlalu erat, seerat cintanya kepada keluarga yang tak seorang pun mampu memahami. Saat itulah Fira dan adik-adik melihat dan menghitung bintang-bintang.
Caca dan Lala tiduran di kaki Fira sementara tubuhnya bersandar di tembok. Mata mereka sama-sama tertuju ke langit malam, terlihat cerah, hitam dan tak berkabut, ada biru yang sedikit jelas di pinggiran tubuh rembulan, melingkar seperti sebuah sketsa. Caca melukis momen pagi itu dalam ingatan.
“Kak Fira, kenapa ibu dan ayah selalu tidak di rumah?” tanya Lala, ia mulai memahami perbedaan hidup keluarganya dengan keluarga orang lain, sebentar lagi ia akan duduk di kelas TK besar.
“Ibu perempuan, La. Ayah laki-laki, menurut pelajaran agama Fira di sekolah laki-laki dan perempuan tidak boleh bersama-sama kalau bukan muhrimnya, mungkin ayah dan ibu sekarang sudah bukan semuhrim lagi.” Ungkap Fira sepengetahuannya yang tak mempertimbangkan realitas.
“Ada foto pernikahan di kamar kita,” Caca ikut nyambung. “Artinya mereka semuhrim!”
“Mereka menikah sebelum kita lahir, Ca. Pernah kau lihat ayah dan ibu menikah?” pertanyaan tak masuk akal Fira diabaikan oleh Caca. Ia tidak meresponnya, justru mengungkapkan kenyataan.
“Ayah gila suka mengamuk, makanya ayah dipasung dan tidak tinggal di rumah, ibu bekerja untuk memberi kita makan.” Ungkap Caca apa adanya, adiknya mendadak menangis histeris. Ia bangkit dari rebahnya, duduk menghadap wajah Fira.
“Kak Fira, apakah ayah kita seperti orang gila yang ditakuti teman-teman Lala? Ketika sekolah ada orang gila yang sering lewat depan sekolahan Lala, dia bernyanyi sembarang sambil menggendong sampah-sampah. Apakah ayah kita juga akan seperti itu?”
“Adikku, Lala yang cantik! Ayah kita adalah ayah hebat, tanpa dia kita tidak lahir. Ayah kita memang gila, tapi gila yang berbeda,”
Lala menyimak dengan seksama setiap kata yang keluar dari bibir kakaknya.
“Orang gila lain hidup di jalanan, tapi ayah kita tidak, dia hidup di kandang, orang gila lain menggendong sampah meracau tidak jelas dan menyanyi tidak jelas, tapi ayah kita tidak, ayah kita selalu ungkap cinta dan rindu kepada kita semua, hebat bukan? Kita harus bangga punya ayah gila karena ia berbeda!”
Mereka bangga, bangga yang tidak pernah mampu diperjelas oleh detik-detik malam.
Pada suatu minggu di waktu subuh, Fira mengajak kedua adiknya menerobos ke kandang kambing. Ia sudah tidak mampu menampung rindu yang ditumpuk-tumpuk berhari-hari di dalam hati. Lala digendong, Caca dituntun di pagi buta yang masih enggan menampilkan cahayanya. Warga kampung sedang bersujud di masjid, ibu telah mempersibukkan punggung dengan beban-beban di pasar. Embun masih melekat di pucuk-pucuk daun. Ayam mulai bersiul membangunkan bebek-bebek dan kambing-kambing. Burung prenjak bertengger di kabel-kabel listrik enggan mencari makan karena dipeluk gigil, sayap mereka terkatup semuanya mengerat hangat. Sisa kantuk tiga bocah perempuan digiring ke kandang kambing kakek dan nenek mereka.
“Orang dewasa selalu membingungkan, mereka tidak pernah paham bahwa sebenarnya ayah kita orang hebat!” umpat Fira sembari membuka kunci pintu yang hanya ditali dengan kawat.
“Orang dewasa lebih banyak egois!” tambah Caca.
Lala sendiri hanya tersenyum-senyum, ia tidak sabar ingin memeluk ayahnya.
Pintu terbuka.
Kayu-kayu bakar tertata rapi. Rumput-rumput stok makanan kambing berjajar bergulung-gulung. Pencahayaan kandang minim, hanya ada lampu kuning lima watt berumur senja. Udara lembab bercampur dengan bau kotoran kambing menyengat di lubang hidung. Suara kambing mulai menggonggong, sadar ada makhluk yang menjamah persemayaman mereka. Ayah tergeletak dalam ikatan pasung di sebelah tumpukan kayu bakar. Ia tidak tidur semalaman. Fira menyorot wajah ayah dengan senter yang dibawanya dari rumah. Caca jongkok mengelus kedua kaki bengkak. Lala meraba perut lalu memeluknya.
“Ayah apakah kau mengenali kami?” tanya Caca.
“Ayah, ayo tangkap kupu-kupu dan capung di lapangan!” kata Lala.
“Ayah, aku bawakan padamu cahaya agar gelap tidak menakutimu.” Ungkap Fira lembut.
“Apakah kau benar-benar gila, Yah?” pertanyaan kedua Caca.
“Dulu ayah berjanji membelikan Lala jajan, lupakah?” pertanyaan kedua Lala.
“Jika kau gila, kududukkan kau di singgasana bintang, supaya orang-orang bisa melihatmu dari bumi, Yah! Karena di mataku, ayah tidak pernah gila, ayah sesosok raja yang pantas dijunjung jasanya.” Kalimat Fira keluar tergiring imajinasi yang, membuat Caca mendengus sebal.
“Sampai kapan Kak Fira hidup di dunia khayalan?”
Mereka berdebat. Lala membiarkan kedua kakaknya ribut, ia sibuk membelai tubuh ayahnya yang terlentang tak berdaya dan tak bisa berbuat apa-apa, bahkan meski hanya mengeluarkan suara. Hari itu ayah bungkam beribu bahasa, pikirannya pergi seperti cahaya senter Fira yang tiba-tiba dimatikan karena mendengar langkah kaki di luar pintu kandang. Debat kusir terpaksa diselesaikan.
***
Tidur nyenyak Akhtar terganggu dering telpon. Pukul satu dini hari, ponselnya bergetar memohon perhatian. Ia acuh, membalik punggung dan menarik selimut. Malam telah larut, tidak logis orang menelpon di waktu istirahat seperti itu jika bukan hal mendesak. Sayangnya Akhtar tak berpikir panjang. Ia melanjutkan tidur, melipat mimpi-mimpinya dengan rapi. Membuang lelah ke dalam pejaman mata rapatnya. Memeluk dingin di balik selimut tebal. Hujan di luar menciptakan suasana tidur yang nikmat. Cicak bernyanyi mengiringi kegaduhan percik air yang jatuh menimpa asbes-asbes rumah. Dedaunan di luar basar kuyup, bunga mawar menggugurkan beberapa kelopak cantiknya sebab tak mampu menampung beban hujan dari langit. Angin berembus kencang. Orang tua Akhtar lelap saling peluk. Pembantu mendengkur.Ponsel Akhtar masih berdering, melantunkan lagu Westlife, Flying Without Wings. Kali ini Akhtar membuka selimut, membuang bantal guling ke lantai, dengan geram ia menggayuh pons
Ibu gesit meracik bumbu, memasukkan ke dalam wajan. Mengingat kekasih dalam setiap adukan. Membayangkan senyum menawan saat yang dicinta merasakan masakan. Peluh tak lagi dipikirkan, bau badan menjadi aroma yang menyempurnakan. Butiran keringat menetes di kening. Ia usap, lantas merapikan rambut yang berantakan. Hari ini ia ingin memberikan perhatian lebih kepada buah kasih sayangnya. Tak rela jika waktu terus memanjakannya hidup susah di sudut-sudut pasar, memohon receh dengan mengorbankan punggung menjadi bengkok. Ada waktu yang memang disenggangkan untuk beristirahat di rumah bersama anak-anak. Sebuah kebebasan direngkuh oleh Fira.Hari ini ibu tidak memanggul beban di pasar. Fira melonjat histeris. Gadis periang dua kali lebih senang. Esok, tak dipersibuk meracik sarapan. Ia juga cuti sejenak dari membersihkan badan Lala. Malam tak bangun menciderai raga dengan gigil. Ia beristirahat melototi jalanan menanti obor melintas. Layaknya seorang PNS ya
Aroma tanah menguar, menghantarkan perasaan-perasaan kelabu di bulan ini. Langit yang mengabu membuat tunggu menjadi membosankan. Bumi terasa basah, amat basah hingga membangunkan gigil pada sela-sela kebimbangan seorang gadis. Ia mengenakan pakaian rapi, sebuah kemeja sewarna melati dengan stelan rok panjang berwarna hitam, poninya diombang-ambingkan tanpa arah oleh angin. Hujan dan menunggu seperti paket setia di pertengahan tahun. Dan gadis itu terus menunggu ponselnya berdering meski hujan melambai-lambai riang.Waktu tidak tenang, ia gusar, khawatir acaranya terpaksa ditinggalkan, bukan tersebab hujan turun mendayu-dayu membuat pedagang asongan meringkuk di bawah atap-atap ruko, menghalangi pejalan kaki menuju tempat terdekat, membiarkan lampu merah diterobos laju mobil-mobil mewah, mengacuhkan riak air yang menggenang di jalan berlubang, hujan tetaplah menjadi momen menyenangkan baginya meski perasaannya gelisah, ia tidak marah hujan turun bukan pada waktu senggan
Ibu menangis sesenggukan mendapati rumah kosong. Selendangnya langsung dilempar sembarang, jajan kesayangan Fira menggelinding di lantai, kawan tentu kau masih ingat buah kesukaan Fira, apel merah! Ya! Apel-apel itu baru dipinang ibu dari pasar sebagai oleh-oleh terbaiknya, ia membayangkan teriakan kegembiraan Fira dan kedua adik ketika mengetahui ada buah kesukaan mereka. Sayang takdir tak mau memperindah keadaan, justru semuanya terbalik tiga puluh derajat.Ibu tergopoh-gopoh lari menuju rumah kakek. Perasaannya hancur lebur diburai kesengsaraan, khawatir jika jangan-jangan suaminya lepas, lantas kembali mengamuk, mencari tiga gadis buah biologisnya dan mengombang-ambingkan di jalan. Ibu panik, panik mengerikan!Pagi tadi, paman masuk membawa sepiring sarapan. Ia tidak tahu jika tiga bocah bersembunyi di balik tumpukan rumput, Fira membungkam mulut Lala agar tidak menciptakan suara. Dengan mata kepala mereka masing-masing, mereka menya
Ia meringkuk. Tangan dikaitkan di hadapan lutut. Bersandar pada dinding ruangan. Dagunya terangguk-angguk. Tulangnya dihajar gigil. Angin malam berembus liar. Gumintang bertebaran sembarang. Langit cerah, awan hitam tak membuat resah. Dedaunan semuanya menghitam, sinar rembulan jatuh pada permukaan alam yang lelap, ia pun mengusap ubun seorang bocah. Giginya bergemeletuk. Pandangannya sayu, ia masih dijaga oleh malaikat pemberi kantuk. Tak ada potret keriangan si mungil kala itu, dirinya ditampar nyanyian lembah pedesaan yang membekukan. Angin bersatu padu mendekapnya dari segala penjuru arah. Melahab kehangatan dengan khidmat.“Fira! Lihatin jalan ya? Nanti jika teman ibu sudah berangkat, panggil, ibu!”“Iya, Bu.” Suaranya serak.Wanita itu menyiapkan segala peralatan. Selendang senjatanya. Sebotol mineral amunisi dahaganya. Mengemas bekal nasi. Kemudian menyisihkan waktu untuk bersujud memohon restu k
Kenapa harus aku, Bu? Apakah tidak ada orang lain selain aku? Pembantu kita bisa kan, Bu? Gerutu Akhtar dalam batin.Ia mengamati ruang tamu dengan ekspresi kecut. Bibirnya didatarkan. Senyum dikubur dalam-dalam ke palung waktu. Kantuknya sudah membenam setengah jam lampau. Jika saja mampu dan tidak merasa terbebani kepada seorang ibu, lelaki muda itu hendak protes langsung dengan mengelak ajakan Fira ke alun-alun kota. Minggu menyebalkan sedunia!Akhtar mengarahkan kursi roda menuju ruang tamu. Ia menganggukkan kepala tanpa bantahan ketika Bila menyuruh menemani Fira. Ia tidak bisa menolak karena hal tersebut mampu membuat Bila kecewa. Kelembutan karakter Bila membuat perasaannya luluh."Pangeran Kursi Roda, sudahkah kau mandi?" sapa Fira. Ia yang semula duduk mendadak mengubah posisi, berdiri menyambut kedatangan Akhtar. Ada berkas cahaya matahari yang menerpa wajah Akhtar. Celah jendela membiakkan kehangatan di pagi beku. Lantai ubin
Sama seperti waktu lampau, ibu ketakutan hebat usai mendengar Fira sedang berada di rumah sakit. Dulu hujan deras di penghujung tahun, detik itu hanya mendung. Sungguh mengerikan kabar yang dilayangkan oleh Caca. Putri gadis terpintarnya datang mengoleh-olehi air mata. Sontak beban di punggung langsung diturunkan. Tak peduli upah dan lelah, ia buru-buru menginjakkan kaki menuju kota Fira bekerja.Caca dan ibu naik bus demi berjumpa dengan sosok sedarah di tanah asing. Sosok yang pernah ia buai dalam rahim, sosok yang di waktu purba sering memanjakan senja dengan kelakar, sosok lugu penabur kerinduan di penghujung fajar, sosok mungil yang dahulu mengurangi beban tanggung jawabnya mengurusi titipan Tuhan, sosok yang kini terkapar di bangsal rumah sakit sedang menatap langit-langit ruang. Pikirannya beranjangsana ke bumi-bumi masa lalu, juga masa-masa yang belum teraba.Akhtar sungguh memberitahukan kondisi Fira kepada keluarganya. Fira hendak ma
Tentang murka yang hendak dipadamkan oleh angin. Lensa serupa saganya menjilat kesalahan yang tak pernah diadili oleh dunia. Wajahnya menunduk, mengamati permukaan lantai yang tak pernah memahami rasa sakit hati. Melodi memantul di dinding yang kusam. Jendela kelas ikut berderit meramaikan dendangan lagu dengan angin. Daun-daun bambu di belakang sekolah berguguran, terbang melintasi gedung yang tinggi, kemudian mendarat di halaman sekolah, tergeletak layu. Waktu cerah, culumus bersenda gurau dengan sahabat sejatinya para sirrus, megah panorama yang dipamerkan pemilik Kekuasaan Semesta. Si mungil masih santai di punggung. Kakinya bergoyang-gorang menendang udara.Sosok bertubuh gempal dengan senyum tak menawan berkacak pinggang. Seragam sewarna tanah liat itu menggugurkan karismayang biasanya tersenyum ramah. Aura tegang tergambar dengan jelas di atas penyesalan yang tidak pernah disesali Fira. Gadis itu dihardik. Bahu tak bergidik. Ia ditegur, agar t
Lantas kotak yang dibawa Akhtar ia sembunyikan, ia kulum senyum sembari memandang wajah Fira. Pemuda yang dianggap tampan oleh bening embun tersebut berusaha tegar meski ada sedikit gelenyar perih yang mengendap di dadany—gadis yang diam-diam ia cintai dan ingin dimiliki—sudah disematkan cincin indah di jari manisnya—lantas berkenan untuk dijadikan putri, rupanya memikirkan laki-laki lain. Akhtar memacu kendaraannya menuju Yogyakarta, ke tempat yang dipenuhi dengan kenangan emosinya mengenai Fira. Bayangan saat dirinya memukul tubuh Aldi yang mabuk kembali terpampang. Amarahnya yang saat itu sungguh tidak mampu dibendung masih terasa kental dalam ingatan. Lantas detik itulah ia sadar bahwa Fira adalah gadis yang ingin ia jaga. "Terima kasih kau sudah banyak membuat Caca berkembang," kata Fira memulai obrolan. Di hadapan mereka bangunan ruko-ruko menjulang tinggi. Lampu-lampu kendaraan menyala terang-benderang. Senja menyelinap di ufuk timur, terlihat anggun dan mengagumkan serupa l
Waktu cepat berlalu, pergerakan detik pada dinding berputar sangat cepat. Fira merasa Lukisan-lukisan Caca banyak yang memesan, meski potretnya hanya gambar sketsa perempuan dan pemandangan. Semula ia ingin fokus pada kegiatan baru mengurus butik pakaian bersama Mamak dan Fira, tetapi saudata perempuannya melarang. "Mimpimu harus tetap berkembang, Ca! Jangan menderita karena diriku," kata Fira di suatu senja ketika mereka menyesap teh hangat di balkon rumah. "Kau tidak suka aku melukis, kan, Kak?" "Mulanya begitu, tetapi sekarang aku tidak bisa memungkiri kemampuanmu yang hebat, orang-orang akan sedih jika kau berhenti menjadi seniman. Berkembang biaklah dengan menjadi Caca yang utuh, jangan jadikan aku alasan dirimu melukis atau menghentikan lukisanmu," ucap Fira lagi sambil menepuk bahunya. "Hmm, akan aku pertimbangkan jika kau tidak keras kepala lagi, Kak." Lalu mereka tertawa berdua. Tetiba ada bening yang singgah di wajah Fira, ada perasaan haru tak tanggung-tanggung. Ia hend
Cairan bening asin dan getir dimuntahkan. Wajahnya lesu. Ia tidak berselera makan. Jika diibaratkan sebagai bunga, maka kali itu dirinya adalah kelopak berguguran. Fira putus asa, ia tak tahu bagaimana lagi membuat Caca bicara apalagi sampai mau mendengarkannya. Adiknya berubah menjadi sosok tak tahu diri, egois, bahkan enggan mendengar nasihatnya untuk tidak pulang larut malam. Ia stres, sampai lupa makan sehari kemarin. Sudah bisa ditebak, maagnya kambuh.Mengapa kenyataan sering berjalan tidak seimbang? Ketika perasaan manusia siap menerima takdir yang diberikan, yang diharap malah bertolak belakang, akhirnya— menggerutu lagi, lupa bersyukur, bahkan sampai menyerah pada titik terendah. Buat apa semangat? Jika kehidupan tidak pernah berubah? Fira merasa hari-harinya berada di titik koordinat sebelah kiri, berhenti pada angka nol, jarang maju ke angka satu, lebih sering mundur menjadi minus! Ya! Perasaan bahagianya semakin berkurang seiring bertambahnya detik.&nb
Caca kali ini menyadari keikhlasan kakaknya yang amat suci. Setelah tahu Fira susah payah hilir mudik dari kampung ke kecamatan, ke pusat kota, browsing sana sini, namun tak menemukan pekerjaan cocok dengannya. Ia tak tahan melihat kemurungan Fira memandang langit dengan gerakan bibir putus asa menghitung bintang-bintang sementara telunjuknya diarahkan ke angkasa, lalu pelan bulir-bulir diterpa cahaya rembulan. Malam merekam sesok gadis berambut panjang duduk bersandar tembok di balkon rumah, tangan kirinya dipangku di atas lutut sementara satunya bergerak ke kanan ke kiri di udara."Ibu, keahlian apa yang harus kubeli agar punggungmu berhenti bekerja?" ceracaunya sambil menyeka air mata sendiri.Caca mengintip dan menguping dari balik jendela. Ibu dan Lala telah pergi ke tanah mimpi untuk mengubur kepingan lelah yang dipanen sewaktu terang. Caca ingat betul ucapan terima kasih bertumpuk-tumpuk terbubuhi peluh dan ungkapan maaf ketika dirinya menyampaikan u
Kisah ini akan usai, seperti pengalaman kerja Fira yang berhenti tanpa diminati. Ia anggap semua ini terjadi sudah sesuai porsi takdir. Menyesalinya? Mustahil, toh dirinya memang berbuat salah, pantas diundurkan. Ia akan berpisah dengan kamar kos, meninggalkan ballroom, dan tentunya tak akan sentuh botol miras serta setumpuk lembar rupiah di kasir. Paling akhir, ia akan menjadikan Aldi beserta rekan kerja lain sebagai kenangan."Jangan pernah main ke sini lagi!" kata Aldi terdengar seperti sebuah ancaman padahal suaranya keluar begitu lembut. Fira ditemani membereskan kamarnya. Ibu kos mengijinkan pria masuk ke tempat Fira karena ditemani Caca juga Akhtar. Barang-barang Fira dikeluarkan semua, kecuali kasur dan bantal.Caca menyeret koper baju, sementara Akhtar membawa boneka beruang dan beberapa buku bacaan. Mereka semua bergantian memasukkan ke dalam mobil. Aldi dan Fira melangkah pelan-pelan di belakang menikmati hari-hari akhir."Kenapa? Be
Hari ini sabtu, anak-anak berseragam cokelat melipat kesenangan mereka di dada. Wajah diluruskan demi menatap gerik bibir Caca menjelaskan. Ada sebuah kanvas di depan papan tulis, Caca memberi coretan sketsa sungai dan rumput, kemudian bibir dan tangannya bekerjasama menuntun para siswa. Kuas bergerak ragu-ragu. Ruang kelas disorot cahaya pagi melalui gorden jendela.Sepekan lalu ada surat datang ke rumah, sebuah permohonan pengajar ekstrakurikuler seni lukis di sebuah SMA swasta, sekali dalam satu pekan itu ia setujui. Karir Caca melonjak. Ia tidak sempat membaca komentar netizen di dunia maya. Sengaja melupakan tragedi malam pameran. Bahkan jika mampu menghapus maka akan dihapus secepat kilat. Caca tahu banyak makian dan umpatan ditujukan kepada Fira, ia hanya meyakini umpatan mereka sebentar lagi sirna. Sekali lagi ia tidak pendam amarah, hanya saja ada hal ganjil yang membuatnya belum siap menemui Fira. Entah apa itu—'Ca, kau harus bertemu kakakm
ATM dimasukkan ke mesin, ia pencet sandi kemudian menentukan nominal yang akan ditransfer ke rekening Caca. Ia tak mau berspekulasi apa-apa mengenai ibu, yang mendadak membutuhkan uang. Ibu tidak suka berbohong, Fira yakin ibu tidak melakukan tindakan memalukan tersebut. Sungguh ibu dalam kesusahan. Ada hal terbesit dalam keningnya, mengapa Caca yang notobenenya sedang berlimpah uang tidak tahu masalah ibu?Fira tak sadar berapa jam lamanya ia menyiksa kedua mata Akhtar. Pemuda itu semalaman menemani perasaan nanar bercampur tangisnya, puluhan kilometer dihabiskan berkawan angin dan kesunyian jalan. Fira memohon dirinya untuk mengantar ke ATM setibanya di kos-kosan. Harusnya Fira pulang ke kampung halaman, namun ia menutup hati, raut mukanya belum siap dipertemukan dengan Caca.Ketika media masa sibuk membicarakan kelancangan tangan Fira menampar seorang seniman, Akhtar justru lelap bersaksikan setir mobil. Rambut awut-awutan, dua kancing kemeja yang lepas,
Aldi seumpama bohlam lampu di atas kepala Fira, sinarnya menyinari seluruh wajah namun tak mudah digapai. Begitu karakternya belakangan ini, meski setiap hari bertemu namun ia jarang memberi sapa. Senyumnya seolah baru dicuri hantu, rautnya sedingin es apalagi jika Fira mengajaknya bicara. Ada pagar yang membatasi pergaulan Aldi, entah itu apa. Siapa pun yang mengajaknya bicara, responnya hanya deheman atau anggukan kepala, bahkan ia tak lagi seramah dahulu tatkala menyambut tamu. Aldi kehilangan harta paling berharga, meski ia sendiri buta dengan yang diharga."Apa aku membuat kesalahan?" Fira menerka-nerka sambil meletakkan nampan di meja. Ia baru selesai mengantarkan pesanan. Hari ini hari terakhir dirinya menjalani hukuman, pekan depan kembali menjadi kasir."Kau malas bicara padaku?"Aldi diam, ia menenggak mineral lalu meninggalkan Fira. Maka yang bisa gadis itu lakukan hanyalah mengutus kedua langkahnya untuk mengejar sampai ke ruang wai
Ibu orang jujur dan selalu menerima apa adanya. Ia tak pernah protes sekalipun jasanya lupa belum diupahi. Senyumnya juga senantiasa subur, walaupun ucapan pahit dari teman-teman seperjuangannya menciptakan kemarau panjang di dada. Orang-orang melunasi lelah malam mereka dengan menjalankan aktivitas pagi seperti biasa.Lidi bergesekan dengan tanah, permukaan genting mengepulkan asap-asap dapur, anak-anak kecil berlomba menuju sekolah dan kaki lima menyiapkan dagangan dalam gerobak, sementara kucing tetangga malas-malasan dengan tidur di bangku teras.Ketika semua orang menjelmakan cinta dalam kesibukan, Ibu justru mondar-mandir pendam gelisah. Usai menyibak gorden jendela ia mengintip kamar Caca. Memperhatikan setiap gerik jari-jari putrinya menuangkan cat dalam kanvas. Sudah beberapa hari ini Caca bangun sebelum fajar bernapas untuk menyapa kanvas-kanvas kosongnya yang tergeletak di sebelah dipan.Kamar Caca lebih layak disebut gudang lukisan