Ia meringkuk. Tangan dikaitkan di hadapan lutut. Bersandar pada dinding ruangan. Dagunya terangguk-angguk. Tulangnya dihajar gigil. Angin malam berembus liar. Gumintang bertebaran sembarang. Langit cerah, awan hitam tak membuat resah. Dedaunan semuanya menghitam, sinar rembulan jatuh pada permukaan alam yang lelap, ia pun mengusap ubun seorang bocah. Giginya bergemeletuk. Pandangannya sayu, ia masih dijaga oleh malaikat pemberi kantuk. Tak ada potret keriangan si mungil kala itu, dirinya ditampar nyanyian lembah pedesaan yang membekukan. Angin bersatu padu mendekapnya dari segala penjuru arah. Melahab kehangatan dengan khidmat.
“Fira! Lihatin jalan ya? Nanti jika teman ibu sudah berangkat, panggil, ibu!”
“Iya, Bu.” Suaranya serak.
Wanita itu menyiapkan segala peralatan. Selendang senjatanya. Sebotol mineral amunisi dahaganya. Mengemas bekal nasi. Kemudian menyisihkan waktu untuk bersujud memohon restu k
Kenapa harus aku, Bu? Apakah tidak ada orang lain selain aku? Pembantu kita bisa kan, Bu? Gerutu Akhtar dalam batin.Ia mengamati ruang tamu dengan ekspresi kecut. Bibirnya didatarkan. Senyum dikubur dalam-dalam ke palung waktu. Kantuknya sudah membenam setengah jam lampau. Jika saja mampu dan tidak merasa terbebani kepada seorang ibu, lelaki muda itu hendak protes langsung dengan mengelak ajakan Fira ke alun-alun kota. Minggu menyebalkan sedunia!Akhtar mengarahkan kursi roda menuju ruang tamu. Ia menganggukkan kepala tanpa bantahan ketika Bila menyuruh menemani Fira. Ia tidak bisa menolak karena hal tersebut mampu membuat Bila kecewa. Kelembutan karakter Bila membuat perasaannya luluh."Pangeran Kursi Roda, sudahkah kau mandi?" sapa Fira. Ia yang semula duduk mendadak mengubah posisi, berdiri menyambut kedatangan Akhtar. Ada berkas cahaya matahari yang menerpa wajah Akhtar. Celah jendela membiakkan kehangatan di pagi beku. Lantai ubin
Sama seperti waktu lampau, ibu ketakutan hebat usai mendengar Fira sedang berada di rumah sakit. Dulu hujan deras di penghujung tahun, detik itu hanya mendung. Sungguh mengerikan kabar yang dilayangkan oleh Caca. Putri gadis terpintarnya datang mengoleh-olehi air mata. Sontak beban di punggung langsung diturunkan. Tak peduli upah dan lelah, ia buru-buru menginjakkan kaki menuju kota Fira bekerja.Caca dan ibu naik bus demi berjumpa dengan sosok sedarah di tanah asing. Sosok yang pernah ia buai dalam rahim, sosok yang di waktu purba sering memanjakan senja dengan kelakar, sosok lugu penabur kerinduan di penghujung fajar, sosok mungil yang dahulu mengurangi beban tanggung jawabnya mengurusi titipan Tuhan, sosok yang kini terkapar di bangsal rumah sakit sedang menatap langit-langit ruang. Pikirannya beranjangsana ke bumi-bumi masa lalu, juga masa-masa yang belum teraba.Akhtar sungguh memberitahukan kondisi Fira kepada keluarganya. Fira hendak ma
Tentang murka yang hendak dipadamkan oleh angin. Lensa serupa saganya menjilat kesalahan yang tak pernah diadili oleh dunia. Wajahnya menunduk, mengamati permukaan lantai yang tak pernah memahami rasa sakit hati. Melodi memantul di dinding yang kusam. Jendela kelas ikut berderit meramaikan dendangan lagu dengan angin. Daun-daun bambu di belakang sekolah berguguran, terbang melintasi gedung yang tinggi, kemudian mendarat di halaman sekolah, tergeletak layu. Waktu cerah, culumus bersenda gurau dengan sahabat sejatinya para sirrus, megah panorama yang dipamerkan pemilik Kekuasaan Semesta. Si mungil masih santai di punggung. Kakinya bergoyang-gorang menendang udara.Sosok bertubuh gempal dengan senyum tak menawan berkacak pinggang. Seragam sewarna tanah liat itu menggugurkan karismayang biasanya tersenyum ramah. Aura tegang tergambar dengan jelas di atas penyesalan yang tidak pernah disesali Fira. Gadis itu dihardik. Bahu tak bergidik. Ia ditegur, agar t
Musim basah telah berlalu. Januari pembuka tahun menjadi lintasan tercepat memperbarui masa lampau. Hidup kembali berulang dengan usia berkurang. Sebagian orang mengartikan awal tahun adalah lembaran baru dengan menutup semua kejadian-kejadian perih di tahun sebelumnya ada yang melaluinya dengan suka cita, ada juga yang justru menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu lalu dengan menorehkan catatan hidup kurang berguna. Sesuatu paling pedih yang dipikir oleh kaum peka terhadap kehidupan yaitu waktu hilang tak akan kembali datang. Kembang api meletus di langit, menyaingi keindahan alamiah bintang-bintang. Malam itu Fira menyaksikan dari beranda rumah. Fira tidak bisa menutup mata sampai kalender berganti.Ia berdiri di beranda rumah menyaksikan sekitar. Hening. Jalanan sepi tak perbenghuni. Lampu lima watt di pertigaan jalan dikerubungi serangga kecil-kecil, ada siluet melingkar seperti cincin. Matanya bergerilnya mengamati gerbang pintu masuk rumah. Kunci
Kawan lihatlah. Ia Fira. Camkan dalam otakmu!Ia gadis yang pandai berkelit dari hardikan guru. Bibirnya belum mampu menyenandungkan alvabet dengan benar meski sudah menduduki kelas 3 SD. Ia seringkali membuat guru-guru gemas dengan ulahnya, apalagi jika pagi datang dan ia terlambat. Ruangan guru mendadak akan ramai dipenuhi kasak-kusuk yang tidak jelas. Hendak melabelinya anak pemalas, namun sesungguhnya ia tidak malas, mengatakannya gadis nakal, ia tidak pernah melanggar peraturan.Yang ia lakukan hanya sederhana, ya begitu kata imajinasinya, ia melakukan kesalahan yang sederhana sehingga tidak layak mendapatkan hukuman. Fira baru saja tidak mengerjakan PR dan kembali datang terlambat. Guru Bahasa Indonesia menggebrak mejanya. Penghapus bergetar ketakutan. Kapur yang bersangkar di dalam kotaknya menerima sebuah guncangan kecil. Buku pelajaran yang terbuka di atas permukaan taplak lusuh itu malas mendengarkan ocehan, andaikan mampu maka ia hendak menyuruh
Terang cepat menjadi lalu. Sunyi dipinang keramaian titik hitam. Remang cahaya bergelayut manja pada denting-denting waktu. Meja-meja dipenuhi minum penglayang akal. Piring, tisu, gelas berserak di meja-meja tamu. Biduan terus bergoyang menyesuaikan dengan irama gendang. Lantunan lagu menelusup ruang telinga, masuk ke dalam jiwa-jiwa lena. Pengunjung menyesap rasa masing-masing, mencairkan perih yang dibekam kesadaran. Langkah-langkah menyelinap ragu, naik ke panggung hendak menyelipkan rupiah di genggaman biduan. Perih kehidupan tersimpan pada rekahan senyuman mereka. Ada yang hendak menggenggam kuasa, namun kekuasaan tak mau bersahabat. Ada yang hendak ikat takdir bersama, sayang keputusan detik tak mengikat.Satu sendok, dua suap, tiga tenggak air minum, lalu gerakan tangan Fira terhenti. Ada suara aneh yang menahan pencernaan, suatu hal yang menghambarkan rasa makanan. Ia sedang mengambil jatah istirahat malam. Langit menjelma kenangan dalam bungkusan gerimis. Titik
Tubuh siang berangsur melepaskan diri, terang melayang ke naungannya di balik malam. Azan maghrib berteriak membangunkan jiwa-jiwa yang kelelahan. Penduduk bergegas mengambil air wudu, sebagian masih asyik di depan layar bercahaya. Anak-anak dibimbing melangkah menuju masjid dekat rumah atau surau-surau terdekat. Langit tetap biru, namun birunya pudar, ada abu yang tidak terlalu jelas. Mentari tenggelam, nyawanya tersisa remang di balik pegunungan. Bintang perlahan menyembul, bulan siap-siap membuka matanya. Jalanan remang dipenuhi penduduk yang menyandang sajadah menuju tempat ibadah. Sementara Ibu justru bermuka pucat, langkahnya tergopoh-gopoh. Ranjang sayurnya dijatuhkan begitu saja ke lantai. Tempe goreng dan cotot, jajanan yang dibeli dari pasar tercecer di lantai. Ibu bergegas memapah Fira yang tersungkur di lantai. Ia lantas duduk di anak tangga ke dua.“Apa yang kau lakukan Fira?”“Kepala Fira sak
Pipinya tertimpa reruntuhan sinar ruangan. Terlihat berseri-seri manis meski keningnya ditambal perban. Malam menggantungkan bulan di musim tanpa hujan. Lorong ruang sunyi, jejak-jejak telah berhenti. Pasien-pasien rebah dalam mimpi di atas bangsal masing-masing. Kota menyalakan lampu-lampu ketika mentari melengserkan tugas. Denting detik dan cicak di dinding saling melengkapi siulan. Hening. Bila terlelap di pinggiran bangsal sembari menggenggam telapak tangan Akhtar. Sementara gadis itu, —Fira, sedang lelap di kursi sofa. Tubuhnya dibalut selimut. Pandangan Akhtar t ertuju pada wajah Fira. Ia mencermati setiap lekuk permukaan rupa gadis itu. Rambut poni berantakan menutup sebagian perban. Bibir mungilnya sedikit terbuka, seolah tidak peduli nyamuk masuk ke rongga mulut.'Aku benci dirimu karena selalu memanggil kekurangan fisikku. Aku bersumpah pada takdir, kelak akan bisa berjalan normal seperti orang-orang lainnya lagi, Fir.' Umpatnya dalam hati. Ia lantas men
Lantas kotak yang dibawa Akhtar ia sembunyikan, ia kulum senyum sembari memandang wajah Fira. Pemuda yang dianggap tampan oleh bening embun tersebut berusaha tegar meski ada sedikit gelenyar perih yang mengendap di dadany—gadis yang diam-diam ia cintai dan ingin dimiliki—sudah disematkan cincin indah di jari manisnya—lantas berkenan untuk dijadikan putri, rupanya memikirkan laki-laki lain. Akhtar memacu kendaraannya menuju Yogyakarta, ke tempat yang dipenuhi dengan kenangan emosinya mengenai Fira. Bayangan saat dirinya memukul tubuh Aldi yang mabuk kembali terpampang. Amarahnya yang saat itu sungguh tidak mampu dibendung masih terasa kental dalam ingatan. Lantas detik itulah ia sadar bahwa Fira adalah gadis yang ingin ia jaga. "Terima kasih kau sudah banyak membuat Caca berkembang," kata Fira memulai obrolan. Di hadapan mereka bangunan ruko-ruko menjulang tinggi. Lampu-lampu kendaraan menyala terang-benderang. Senja menyelinap di ufuk timur, terlihat anggun dan mengagumkan serupa l
Waktu cepat berlalu, pergerakan detik pada dinding berputar sangat cepat. Fira merasa Lukisan-lukisan Caca banyak yang memesan, meski potretnya hanya gambar sketsa perempuan dan pemandangan. Semula ia ingin fokus pada kegiatan baru mengurus butik pakaian bersama Mamak dan Fira, tetapi saudata perempuannya melarang. "Mimpimu harus tetap berkembang, Ca! Jangan menderita karena diriku," kata Fira di suatu senja ketika mereka menyesap teh hangat di balkon rumah. "Kau tidak suka aku melukis, kan, Kak?" "Mulanya begitu, tetapi sekarang aku tidak bisa memungkiri kemampuanmu yang hebat, orang-orang akan sedih jika kau berhenti menjadi seniman. Berkembang biaklah dengan menjadi Caca yang utuh, jangan jadikan aku alasan dirimu melukis atau menghentikan lukisanmu," ucap Fira lagi sambil menepuk bahunya. "Hmm, akan aku pertimbangkan jika kau tidak keras kepala lagi, Kak." Lalu mereka tertawa berdua. Tetiba ada bening yang singgah di wajah Fira, ada perasaan haru tak tanggung-tanggung. Ia hend
Cairan bening asin dan getir dimuntahkan. Wajahnya lesu. Ia tidak berselera makan. Jika diibaratkan sebagai bunga, maka kali itu dirinya adalah kelopak berguguran. Fira putus asa, ia tak tahu bagaimana lagi membuat Caca bicara apalagi sampai mau mendengarkannya. Adiknya berubah menjadi sosok tak tahu diri, egois, bahkan enggan mendengar nasihatnya untuk tidak pulang larut malam. Ia stres, sampai lupa makan sehari kemarin. Sudah bisa ditebak, maagnya kambuh.Mengapa kenyataan sering berjalan tidak seimbang? Ketika perasaan manusia siap menerima takdir yang diberikan, yang diharap malah bertolak belakang, akhirnya— menggerutu lagi, lupa bersyukur, bahkan sampai menyerah pada titik terendah. Buat apa semangat? Jika kehidupan tidak pernah berubah? Fira merasa hari-harinya berada di titik koordinat sebelah kiri, berhenti pada angka nol, jarang maju ke angka satu, lebih sering mundur menjadi minus! Ya! Perasaan bahagianya semakin berkurang seiring bertambahnya detik.&nb
Caca kali ini menyadari keikhlasan kakaknya yang amat suci. Setelah tahu Fira susah payah hilir mudik dari kampung ke kecamatan, ke pusat kota, browsing sana sini, namun tak menemukan pekerjaan cocok dengannya. Ia tak tahan melihat kemurungan Fira memandang langit dengan gerakan bibir putus asa menghitung bintang-bintang sementara telunjuknya diarahkan ke angkasa, lalu pelan bulir-bulir diterpa cahaya rembulan. Malam merekam sesok gadis berambut panjang duduk bersandar tembok di balkon rumah, tangan kirinya dipangku di atas lutut sementara satunya bergerak ke kanan ke kiri di udara."Ibu, keahlian apa yang harus kubeli agar punggungmu berhenti bekerja?" ceracaunya sambil menyeka air mata sendiri.Caca mengintip dan menguping dari balik jendela. Ibu dan Lala telah pergi ke tanah mimpi untuk mengubur kepingan lelah yang dipanen sewaktu terang. Caca ingat betul ucapan terima kasih bertumpuk-tumpuk terbubuhi peluh dan ungkapan maaf ketika dirinya menyampaikan u
Kisah ini akan usai, seperti pengalaman kerja Fira yang berhenti tanpa diminati. Ia anggap semua ini terjadi sudah sesuai porsi takdir. Menyesalinya? Mustahil, toh dirinya memang berbuat salah, pantas diundurkan. Ia akan berpisah dengan kamar kos, meninggalkan ballroom, dan tentunya tak akan sentuh botol miras serta setumpuk lembar rupiah di kasir. Paling akhir, ia akan menjadikan Aldi beserta rekan kerja lain sebagai kenangan."Jangan pernah main ke sini lagi!" kata Aldi terdengar seperti sebuah ancaman padahal suaranya keluar begitu lembut. Fira ditemani membereskan kamarnya. Ibu kos mengijinkan pria masuk ke tempat Fira karena ditemani Caca juga Akhtar. Barang-barang Fira dikeluarkan semua, kecuali kasur dan bantal.Caca menyeret koper baju, sementara Akhtar membawa boneka beruang dan beberapa buku bacaan. Mereka semua bergantian memasukkan ke dalam mobil. Aldi dan Fira melangkah pelan-pelan di belakang menikmati hari-hari akhir."Kenapa? Be
Hari ini sabtu, anak-anak berseragam cokelat melipat kesenangan mereka di dada. Wajah diluruskan demi menatap gerik bibir Caca menjelaskan. Ada sebuah kanvas di depan papan tulis, Caca memberi coretan sketsa sungai dan rumput, kemudian bibir dan tangannya bekerjasama menuntun para siswa. Kuas bergerak ragu-ragu. Ruang kelas disorot cahaya pagi melalui gorden jendela.Sepekan lalu ada surat datang ke rumah, sebuah permohonan pengajar ekstrakurikuler seni lukis di sebuah SMA swasta, sekali dalam satu pekan itu ia setujui. Karir Caca melonjak. Ia tidak sempat membaca komentar netizen di dunia maya. Sengaja melupakan tragedi malam pameran. Bahkan jika mampu menghapus maka akan dihapus secepat kilat. Caca tahu banyak makian dan umpatan ditujukan kepada Fira, ia hanya meyakini umpatan mereka sebentar lagi sirna. Sekali lagi ia tidak pendam amarah, hanya saja ada hal ganjil yang membuatnya belum siap menemui Fira. Entah apa itu—'Ca, kau harus bertemu kakakm
ATM dimasukkan ke mesin, ia pencet sandi kemudian menentukan nominal yang akan ditransfer ke rekening Caca. Ia tak mau berspekulasi apa-apa mengenai ibu, yang mendadak membutuhkan uang. Ibu tidak suka berbohong, Fira yakin ibu tidak melakukan tindakan memalukan tersebut. Sungguh ibu dalam kesusahan. Ada hal terbesit dalam keningnya, mengapa Caca yang notobenenya sedang berlimpah uang tidak tahu masalah ibu?Fira tak sadar berapa jam lamanya ia menyiksa kedua mata Akhtar. Pemuda itu semalaman menemani perasaan nanar bercampur tangisnya, puluhan kilometer dihabiskan berkawan angin dan kesunyian jalan. Fira memohon dirinya untuk mengantar ke ATM setibanya di kos-kosan. Harusnya Fira pulang ke kampung halaman, namun ia menutup hati, raut mukanya belum siap dipertemukan dengan Caca.Ketika media masa sibuk membicarakan kelancangan tangan Fira menampar seorang seniman, Akhtar justru lelap bersaksikan setir mobil. Rambut awut-awutan, dua kancing kemeja yang lepas,
Aldi seumpama bohlam lampu di atas kepala Fira, sinarnya menyinari seluruh wajah namun tak mudah digapai. Begitu karakternya belakangan ini, meski setiap hari bertemu namun ia jarang memberi sapa. Senyumnya seolah baru dicuri hantu, rautnya sedingin es apalagi jika Fira mengajaknya bicara. Ada pagar yang membatasi pergaulan Aldi, entah itu apa. Siapa pun yang mengajaknya bicara, responnya hanya deheman atau anggukan kepala, bahkan ia tak lagi seramah dahulu tatkala menyambut tamu. Aldi kehilangan harta paling berharga, meski ia sendiri buta dengan yang diharga."Apa aku membuat kesalahan?" Fira menerka-nerka sambil meletakkan nampan di meja. Ia baru selesai mengantarkan pesanan. Hari ini hari terakhir dirinya menjalani hukuman, pekan depan kembali menjadi kasir."Kau malas bicara padaku?"Aldi diam, ia menenggak mineral lalu meninggalkan Fira. Maka yang bisa gadis itu lakukan hanyalah mengutus kedua langkahnya untuk mengejar sampai ke ruang wai
Ibu orang jujur dan selalu menerima apa adanya. Ia tak pernah protes sekalipun jasanya lupa belum diupahi. Senyumnya juga senantiasa subur, walaupun ucapan pahit dari teman-teman seperjuangannya menciptakan kemarau panjang di dada. Orang-orang melunasi lelah malam mereka dengan menjalankan aktivitas pagi seperti biasa.Lidi bergesekan dengan tanah, permukaan genting mengepulkan asap-asap dapur, anak-anak kecil berlomba menuju sekolah dan kaki lima menyiapkan dagangan dalam gerobak, sementara kucing tetangga malas-malasan dengan tidur di bangku teras.Ketika semua orang menjelmakan cinta dalam kesibukan, Ibu justru mondar-mandir pendam gelisah. Usai menyibak gorden jendela ia mengintip kamar Caca. Memperhatikan setiap gerik jari-jari putrinya menuangkan cat dalam kanvas. Sudah beberapa hari ini Caca bangun sebelum fajar bernapas untuk menyapa kanvas-kanvas kosongnya yang tergeletak di sebelah dipan.Kamar Caca lebih layak disebut gudang lukisan