Home / Romansa / Rindu yang Lupa / Episode Enam : Yang Tidak Ia Mengerti

Share

Episode Enam : Yang Tidak Ia Mengerti

Author: Titin Widyawati
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Embun mengusap kening bumi. Angin bersenandung riang dengan menggesekkan tubuhnya pada puluhan daun bambu. Burung duduk manis menyambut sapaan mentari. Pagi terbangun. Detik menunjukkan waktu terang. Aktivitas mulai meratap. Peluh bersiap mengeluh. Penduduk telah berbisik-bisik membahas gosip selebriti di teras rumah masing-masing sembari menggesekkan lidi ke tanah, yang lain ikut menyahut, tertawa atau hanya diam saja. 

Tiga gadis masih meringkuk di dalam selimut. Bibirnya menganga, matanya sedikit terbuka, begitulah ia lelap sepanjang hari. Fira memeluk tubuh mungil, membelakangi adik kecilnya. Ia lelap sangat, matanya belum terbuka sama sekali semenjak pukul dua dini hari. Kelelahan. Tubuhnya menggigil, selimut kembali ditarik, memeluk lebih erat tubuh yang lembut. Bantal guling seukuran tubuh Lala menjadi tempatnya membuang rindu pada peluk ibu. Kaki Lala terbuka lebar, yang kiri di atas punggung Fira, yang satu di perut Caca. Wajahnya telah diperciki sinar mentari yang lancang masuk dari celah tirai jendela. 

 Gerungan kucing di dapur berusaha membangunkan. Ia mengendap masuk. Mendorong pintu kamar yang tidak dikunci. Loncat ke atas tubuh Lala. Gadis itu terhentak dari alam mimpinya. Melonjat histeris. Menangis keras. Bangun. Terduduk sendirian. Menoleh kakaknya yang masih khidmat memejamkan mata. Menepuk bahu Fira. Diam. Kakaknya tidak merespon. Kantuk menguasai kesadarannya. Menengok ke arah Caca, gadis itu mendengar suara tangisan, membuka matanya perlahan, kemudian menutupnya kembali, acuh! Caca belum pengertian. Waktu mendenyutkan nadi pada detakan ke enam lewat lima belas menit. Senyum alam semakin riang. Hujan semalam berhenti. Ibu berangkat digiring kerlip bintang juga senyum rembulan. Kerajaan awan mengusir kabut, sang lawan. Maka malam tadi, embun yang menetes usai fajar menguap berpesta pora merayakan binaran tawa langit yang cerah.

 Kucing duduk manis di bantal Lala. Merebahkan tubuh, tak peduli dengan benua peta khayalan yang dibuat oleh pemiliknya. Gadis yang matanya basah itu tidak senang, reflek menarik bantal, memangkunya, kuncing mengeong, mengeluarkan bahasa binatang yang tidak dimengerti Lala. Ia berdiri, melangkah maju mendekati Lala. Hendak menyandarkan kepalanya di pangkuan Lala. Gadis itu justru menendang kasar, terjadilah peperangan anak adam dengan seekor kucing. Lala memukul kepala kucing, binatang itu berusaha mencakar kepalan Lala. Bantal dijadikannya tameng. Sebab geram, ia memukulkan kain berisi kapuk itu ke tubuh kucing. Tidak terima mendapatkan perlakuan kasar, kucing mendekatinya, ancang-ancang siap melompat. 

 Kasur memantul-mantul, pagi yang dramatis, ayam jago milik tetangga berkokok menjadi suporter kucing. 

“Au!” Wajah Lala memerah. Tiga garis membekas di pipi. “Huaaaaaaaaaaaaa.........” Menangis lebih kencang. Kucing merasa menang, ia lompat dari ranjang, melangkah keluar. Fira bangun. 

 “Ada apa?” Suaranya masih parau. Perlahan ia kucek matanya, menguap. Caca ikut bangun. Wajah sayu tiga belia berpandangan. “Kenapa menangis, La?” Bangkit. Menyibak selimut, mengabaikan guling. “Sini,” menarik tubuh adiknya. Mengusap ubun. “Kucing! Sakit! Pipi Lala sakit!” Merengek minta diperhatikan. 

 “Lain kali Lala boleh berbuat baik kepada kucing, dielus kepalanya pasti kucingngya tidak nyakar Lala lagi,”

 Dua belas tahun, ya usia gadis itu mengangkat tubuh Lala. Membopong, mendudukkan di kamar mandi, perlahan mengusap wajah, menyiram kaki. Kembali ke kamar, menyisir rambut acaknya. “Adik harus menyayangi binatang,” bibirnya terus berceloteh. Lala acuh, meraih boneka panda memeluk atau memukul-mukuli kepala. 

 “Ibu di mana?”

 “Sudah berangkat ke pasar,”

 Mata Lala berkaca, ia menatap jam yang menempel di dinding, berharap jarumnya segera berhenti pada titik angka lima atau di sela-sela angka lima dan enam, maka ibu akan ada di hadapan, sementara Caca turun dari ranjang, meraih handuk, bergegas mandi, siap-siap berangkat ke sekolah. “Ibu,” kembali merengek. Tabah sekali Fira mengusap ubunnya. 

 “Doakan ibu baik-baik saja ya? Ibu sedang membelikan adik jajan,”

 Akhirnya gadis itu diam. “Ayo turun, kakak mau buat sarapan.” 

Lala taat. 

Selimut masih berantakan. Bantal berserakan. Tak peduli. Jendela dibuka, tirai tertarik lebar, alam pamer kecantikan. Langit biru mempesona, burung berkicau, angin membuat berpuluh-puluh macam tanaman hias berdendang. Ayam tetangga sibuk mencari cacing. Warga mulai menjejak langkah mencari nafkah. Anak-anak sekolah pamer ransel di beranda rumah, ada pula yang merengek meminta uang saku tambah.

Sementara Fira. Menyalakan kompor. Mengaduk telur dengan garam, menyatukannya, lantas memasukkan ke teflon usai minyak mendidih. Menu pagi, telor goreng nasi putih. Ia siapkan di meja makan lantas menghampiri Lala yang duduk manis melempar-lempar bola di ruang tengah. Merayunya agar mau mandi. Air dingin dipanaskan. Sabar, tangannya merajuk adiknya agar taat. Berkali-kali lari tak mau masuk kamar mandi. Caca usai, merapikan buku-buku sekolah. Memasukkan pensil dan gerutan pensil ke ransel. Menyisir rambut, juga seragam meski lupa belum disetrika. 

 “Adik ayo mandi! Mandi air hangat!” Menangkap tubuh Lala yang bersembunyi di balik sofa, menghempaskan boneka, melempar bola ke wajah Fira. Gadis kecil itu tersenyum, adik meronta. Digendong paksa. Pakaian dilucuti. “Harus mandi biar cantik!” 

“Tidak mau!” Mendorong tubuh kakaknya. 

Mereka bertiga ditakdirkan Tuhan hidup mandiri, berteman embun pagi, di dalam gedung mewah yang tak memiliki harga diri. Mereka bertiga yang setiap senja menunggu kehadiran senyum malaikat dengan mata berkaca-kaca. Tegak tak rapuh meskipun waktu hendak merobohkan. Sanggup beraktivitas. Alam mendidik dengan riang. Bagi Fira, pagi adalah momen menyenangkap, sanggup berkejaran dengan adiknya yang lugu. 

 Byur! Air diguyur. Baju tidurnya basah. Lala memercikkan air ke tubuhnya. Ia acuh. Tertawa tak marah. Tubuh dipoles sabun, lembut. Amat sangat lembut. Ia senantiasa mengenang gerakan tangan ibu menggosok punggungnya waktu dulu, kini dirinya praktik meski tidak disuruh. Lala diangkat, dibawa ke kamar. Menghandukinya. Menyiapkan pakaian tercantik. Memoles wajah dengan bedak. Menjepit rambut dengan penghias rambut bunga warna pink. 

Adiknya terlihat anggun menggemaskan, Wangi! Caca siap! Sudah duduk di meja makan. Ia membopong Lala, menyuapinya. Mengingatkan agar Caca makan dengan pelan, tidak membuahkan bunyi gaduh sendok dengan piring. 

Setengah tujuh. Waktu berjalan cepat. Fira belum siap-siap. Bergegas meraih handuk. Mencuci muka. Gosok gigi! Cuci muka saja! Tak sempat mandi, terpenting adiknya harum. Terpenting mereka tampak jelita. Ia melupakan nilai keindahan dalam dirinya. Maka bumi berguncang, menjerit dengan luapan emosi yang mengiris. Si kecil itu, bahkan belum memahami makna pengorbanan. Sementara ia telah melakukannya. 

 Berangkat sekolah. Mengantar Lala. Ia duduk di TK kecil SD. Sementara dirinya belajar di Madrasah Ibtidaiyah, jaraknya satu kilo meter dari rumah. Lalalah yang sekolah paling dekat dengan rumah. Caca dan Fira jauh. Mungkin kau akan mengatakan jarak itu dekat, namun si kecil itu, menapak dengan langkah, jejaknya belumlah selebar jangkauan kakimu. Mereka lari mengejar terlambat. Tertawa riang. Kendaraan hilir-mudik abai. Ransel bergoyang-goyang. 

Caca ditakdirkan dengan kecerdasan alam. Sementara Fira, Fira yang buta dengan makna perjuangan, jangankan menghitung, membaca pun ia tak bisa. Huruf alvabet hanya tahu, A juga U! Gadis kecil itu mahir merayu dan menenangkan tangisan kedua adik, namun jarang mampu menundukkan emosi guru yang kesal dengan ulahnya. 

 Mengantar terlebih dahulu ke kelas Caca. Tingkatan satu. Menambah lajuan, lebih mempercepat. Kelas tiga tertulis di papan pintu. Tersenyum. Mengetuk pintu. Melirik sekilas halaman sekolah. Sepi. Semua siswa telah masuk ke dalam kelas masing-masing. Ia berdiri mematung usai guru membukakan pintu. Menatap garang. “Telat lagi?”

 Nilai jarang indah, lebih sering datang terlambat. “Maaf, saya bangun telat, Pak!”

 Telinga dijewer. Mata teman menatap geli. Tertawa sebagai hiburan di pagi hari. Meja kursi protes, tak terima anak itu diperlakukan kejam. Maka dinding mengusam, coretan tangan jahil semakin bertambah. Papan tulis menjatuhkan debu kapur, sementara penghapus hendak melemparkan diri ke wajah guru yang dianggapnya beringas. Kumis hitam sok gagah. Baju cokelat yang setrikaannya rapi pun tak menampakkan kekuasaan, arlojinya menyeringai. Sementara dasi di leher, tak mau ikut campur permasalahan anak adam. Kaca mata yang dikenakan melorot beberapa senti ke hidung. 

 “Sudah sana! Duduk!” Jeweran dilepas. Ia melangkah perlahan menuju bangkunya yang terletak di belakang. Menyapa teman. Ingat! Ia tidak menangis. Tetap dapat tertawa. Riang. Wajahnya tampak manis, meski napasnya tersengal-sengal kelelahan. Beberapa menit lalu lari di koridor sekolah. Menjebakkan langkah pada pusara waktu agar tetap diizinkan belajar. Sebab, lima belas menit terlambat, maka ia harus hormat di hadapan tiang bendera. Baru sepuluh menit. Bibirnya tertarik menakjubkan.  

 Pikirannya melayang bebas. Tak fokus dengan perkataan guru di depan papan tulis. Catatan putih. Tak ada noda yang dimuntahkan ke dalam buku. Ia melirik jam dinding. Berharap waktu cepat berlalu. Maka pintu akan terbuka, secepatnya ia akan mengambil ancang-ancang untuk melesat. Lari maraton, satu kilometer. Memeras peluh. Mempermaikan detak jantung. Membuang malu. Acuh dengan tatapan guru yang meratap di kantor. Yah! Sepuluh menit lagi. Jemarinya menghitung mundur sampai angka satu, dari detik enam puluh. Begitu diulang-ulang sampai enam ribu detik. Guru berkacamata telah berdiri di sisinya, melirik buku kosong, teman menyenggol pundak, memberi isyarat. Ia abai! Kepala masih dipusatkan menatap jam dinding. Kapur mengenai pelipisnya. Leher reflek tergerak menoleh. Menyeringai tanpa merasa bersalah. 

 “Dari mana kamu akan sanggup membaca? Menulis saja kamu tidak mau? Selalu saja melamun di dalam kelas! Bagaimana jika kau tidak naik kelas?”

 Tersenyum. Lagi-lagi tidak merasa bersalah. Jiwanya kalut. Ia hanya sedang mengkhawatirkan nasib Lala. Duduk di ayunan TK, menatap iri kawan yang pulang dijemput ibunda. Memainkan kaki, melambai-lambaikannya sendirian, mengusir penat, jika bosan maka akan berkaca-kaca. Ia tak akan membiarkan adiknya menunggu terlalu lama. “Maaf, Pak! Saya izin ke kamar mandi!” Lari, pura-pura kebelet. Memegangi pantat. Di depan melambaikan tangan, seolah meledek. 

 “Firaaa!!!” Geram sekali guru itu. Anak-anak terbahak. Ia lari menelusuri koridor sekolah. Mendorong gerbang saat penjaganya lengah. Berhasil kabur lebih awal. Adiknya, pulang setengah sepuluh. Ia harus menjemput, tak mungkin membiarkan adiknya merana di rumah sendirian. Tidak rela jika kejadian buruk menimpanya. Si kecil itu! Bahkan belum mengerti arti kata peduli!

 Terengah-engah. Lala sudah menunggu di gerbang dengan seorang guru. “Maaf, Bu! Saya sedikit terlambat menjemput adik saya, Pak Guru ngomel terus, nyebelin!” Ia merajuk.  

Guru tersenyum. Mengelus ubun Fira. “Tidak papa. Besar nanti kau akan menjadi anak cerdas!” Doa dilayangkan. Langit menerima. Alam mendukung. 

 Lala dinaikkan ke punggung. Lihatlah dengan seksama! Gadis kecil itu, melangkah tanpa beban, riang sangat. Menerabas jalanan. Kadang berjingkat-jingkat menghentakkan tubuh adiknya. Lala tertawa. Kadang menjambak kepalanya. Jika pagi tubuh ransel yang bergoyang, maka menyambut siang, pantat Lala yang bergoyang. Dua lengan menjadi tumpuan di punggung, erat ia mengaitkan. Cinta tumbuh tanpa disadari, kasih sayang mekar. 

Kembali berlari, ia tidak ingin mengulangi kata terlambat. Absensi dengan namanya akan selalu merah. Bosan diceramahi. Ia yang berumur dua belas tahun, dibebani bocah empat tahun. Pemandangan getir yang membuat awan tak tega terisak. Maka, siang itu, sungguh indah dan cerah. 

 Sukses! Ia tidak terlambat. Lala diajak masuk ke dalam kelas. Bayangkan, Kawan! Ia yang kecil, bahkan tak diberi kesempatan waktu istirahat. Teman yang lain bermain petak umpet, ia lari menjemput separuh bagian hidupnya, yang lain menikmati jajanan di kantin, ia melupakan haus dan lelah tersengat terik di jalanan. Yang lain, membincangkan benda pemberian orang tua di rumah, ia justru memikirkan nasib adiknya yang sendirian. Gadis itu! Pantas direkam dan diabadikan jejaknya oleh alam. Namun siapakah yang hendak mempedulikan? Kembali, wajah memuakkan dipamerkan guru. 

 “Kau mengajak adikmu? Di mana ibumu, Fira? Ia akan sangat mengganggu kosentrasimu! Dan kapan kau akan sanggup membaca?”

 “Lala! Beri salam kepada ibu guru!” Runtuh amarah guru. Dadanya bergemuruh. Sesak rasanya. Ada linangan hangat yang hendak meluncur. Si kecil yang lebih mungil mengulurkan tangan. Cermati, tatapan tanpa dosa itu, menarik sebuah pelangi di bibir. Guru menjabat, jidad Lala diciumkan. Sungguh adegan yang dramatis. Waktu bertepuk tangan. Fira menuntun adiknya ke bangku. Memangku. Meraih bukunya. Membuka, menyiapkan pensil. Teman melirik heran. Beberapa acuh. Devi, sahabat sebangkunya menjawil pipi Lala. Ia senang, tak merasa keberatan jika Fira membuat bangkunya sedikit sesak, sebab ia amat gemar mencubit Lala gemas.

 “Baik, buka catatan! Kita ulangan!” Guru berteriak. Ia mulai menulis soal di papan tulis. Lala dinaikkan ke atas meja. Diserahkan harta penumpas kebodohannya. 

 “Adik, ini polpen untukmu menulis, coba gambar sesuatu di sini!” Menunjuk halaman kosong. Lala patuh, garis tak jelas dirangkainya asal-asalan. Fira bertepuk tangan. 

Related chapters

  • Rindu yang Lupa   Episode Tujuh : Cinta yang Lupa

    Damai sekali melihatnya lelap usai sebulan bekerja meninggalkan rumah, meninggalkan cinta hanya mengangkut jejak ke tanah rantau. Ia menggadaikan lelahnya demi kasih tak terhingga dalam hayat. Ia pelipur lara yang tertanam dalam ceruk-ceruk rindu. Ia penerang gulita saat malam terpeluk. Sesosok pria dewasa yang kini rebah di pembaringan. Ialah yang menggendong Fira kecil, penumpah cinta dalam jantung gadis lugu itu yang penuh.Sepaham Fira ayah tidak pernah marah. Ia selalu berbuat baik, terbukti ketika ayah pulang dari pekerjaannya, ia membawa banyak jajanan, esoknya mengajak Fira dan kedua adik jalan-jalan ke pasar, bahkan tak segan menuruti seluruh permintaan anak-anaknya. Ayah sosok ramah, setiap tetangga bahkan orang asing yang berpapasan dengannya akan mendapatkan lengkung pelangi di bibir dengan gratis. Ayah bukan orang pelit, jika ada pengamen dan pengemis, satu lembar entah seribu, atau lima ribu bahkan sepuluh ribuan diberikan cuma-cuma. Ayah buk

  • Rindu yang Lupa   Episode Delapan : Salah Alamat! 

    Tidur nyenyak Akhtar terganggu dering telpon. Pukul satu dini hari, ponselnya bergetar memohon perhatian. Ia acuh, membalik punggung dan menarik selimut. Malam telah larut, tidak logis orang menelpon di waktu istirahat seperti itu jika bukan hal mendesak. Sayangnya Akhtar tak berpikir panjang. Ia melanjutkan tidur, melipat mimpi-mimpinya dengan rapi. Membuang lelah ke dalam pejaman mata rapatnya. Memeluk dingin di balik selimut tebal. Hujan di luar menciptakan suasana tidur yang nikmat. Cicak bernyanyi mengiringi kegaduhan percik air yang jatuh menimpa asbes-asbes rumah. Dedaunan di luar basar kuyup, bunga mawar menggugurkan beberapa kelopak cantiknya sebab tak mampu menampung beban hujan dari langit. Angin berembus kencang. Orang tua Akhtar lelap saling peluk. Pembantu mendengkur.Ponsel Akhtar masih berdering, melantunkan lagu Westlife, Flying Without Wings. Kali ini Akhtar membuka selimut, membuang bantal guling ke lantai, dengan geram ia menggayuh pons

  • Rindu yang Lupa   Episode Sembilan : Kesempatan Emas

    Ibu gesit meracik bumbu, memasukkan ke dalam wajan. Mengingat kekasih dalam setiap adukan. Membayangkan senyum menawan saat yang dicinta merasakan masakan. Peluh tak lagi dipikirkan, bau badan menjadi aroma yang menyempurnakan. Butiran keringat menetes di kening. Ia usap, lantas merapikan rambut yang berantakan. Hari ini ia ingin memberikan perhatian lebih kepada buah kasih sayangnya. Tak rela jika waktu terus memanjakannya hidup susah di sudut-sudut pasar, memohon receh dengan mengorbankan punggung menjadi bengkok. Ada waktu yang memang disenggangkan untuk beristirahat di rumah bersama anak-anak. Sebuah kebebasan direngkuh oleh Fira.Hari ini ibu tidak memanggul beban di pasar. Fira melonjat histeris. Gadis periang dua kali lebih senang. Esok, tak dipersibuk meracik sarapan. Ia juga cuti sejenak dari membersihkan badan Lala. Malam tak bangun menciderai raga dengan gigil. Ia beristirahat melototi jalanan menanti obor melintas. Layaknya seorang PNS ya

  • Rindu yang Lupa   Episode Sepuluh : Masa Depan Vs Masa Lampau

    Aroma tanah menguar, menghantarkan perasaan-perasaan kelabu di bulan ini. Langit yang mengabu membuat tunggu menjadi membosankan. Bumi terasa basah, amat basah hingga membangunkan gigil pada sela-sela kebimbangan seorang gadis. Ia mengenakan pakaian rapi, sebuah kemeja sewarna melati dengan stelan rok panjang berwarna hitam, poninya diombang-ambingkan tanpa arah oleh angin. Hujan dan menunggu seperti paket setia di pertengahan tahun. Dan gadis itu terus menunggu ponselnya berdering meski hujan melambai-lambai riang.Waktu tidak tenang, ia gusar, khawatir acaranya terpaksa ditinggalkan, bukan tersebab hujan turun mendayu-dayu membuat pedagang asongan meringkuk di bawah atap-atap ruko, menghalangi pejalan kaki menuju tempat terdekat, membiarkan lampu merah diterobos laju mobil-mobil mewah, mengacuhkan riak air yang menggenang di jalan berlubang, hujan tetaplah menjadi momen menyenangkan baginya meski perasaannya gelisah, ia tidak marah hujan turun bukan pada waktu senggan

  • Rindu yang Lupa   Episode Sebelas : Gigitan Caca

    Ibu menangis sesenggukan mendapati rumah kosong. Selendangnya langsung dilempar sembarang, jajan kesayangan Fira menggelinding di lantai, kawan tentu kau masih ingat buah kesukaan Fira, apel merah! Ya! Apel-apel itu baru dipinang ibu dari pasar sebagai oleh-oleh terbaiknya, ia membayangkan teriakan kegembiraan Fira dan kedua adik ketika mengetahui ada buah kesukaan mereka. Sayang takdir tak mau memperindah keadaan, justru semuanya terbalik tiga puluh derajat.Ibu tergopoh-gopoh lari menuju rumah kakek. Perasaannya hancur lebur diburai kesengsaraan, khawatir jika jangan-jangan suaminya lepas, lantas kembali mengamuk, mencari tiga gadis buah biologisnya dan mengombang-ambingkan di jalan. Ibu panik, panik mengerikan!Pagi tadi, paman masuk membawa sepiring sarapan. Ia tidak tahu jika tiga bocah bersembunyi di balik tumpukan rumput, Fira membungkam mulut Lala agar tidak menciptakan suara. Dengan mata kepala mereka masing-masing, mereka menya

  • Rindu yang Lupa   Episode Dua Belas : Kesendirian dalam Sepiring Nasi Goreng

    Ia meringkuk. Tangan dikaitkan di hadapan lutut. Bersandar pada dinding ruangan. Dagunya terangguk-angguk. Tulangnya dihajar gigil. Angin malam berembus liar. Gumintang bertebaran sembarang. Langit cerah, awan hitam tak membuat resah. Dedaunan semuanya menghitam, sinar rembulan jatuh pada permukaan alam yang lelap, ia pun mengusap ubun seorang bocah. Giginya bergemeletuk. Pandangannya sayu, ia masih dijaga oleh malaikat pemberi kantuk. Tak ada potret keriangan si mungil kala itu, dirinya ditampar nyanyian lembah pedesaan yang membekukan. Angin bersatu padu mendekapnya dari segala penjuru arah. Melahab kehangatan dengan khidmat.“Fira! Lihatin jalan ya? Nanti jika teman ibu sudah berangkat, panggil, ibu!”“Iya, Bu.” Suaranya serak.Wanita itu menyiapkan segala peralatan. Selendang senjatanya. Sebotol mineral amunisi dahaganya. Mengemas bekal nasi. Kemudian menyisihkan waktu untuk bersujud memohon restu k

  • Rindu yang Lupa   Episode Tiga Belas : Badai di Alun-alun Kota

    Kenapa harus aku, Bu? Apakah tidak ada orang lain selain aku? Pembantu kita bisa kan, Bu? Gerutu Akhtar dalam batin.Ia mengamati ruang tamu dengan ekspresi kecut. Bibirnya didatarkan. Senyum dikubur dalam-dalam ke palung waktu. Kantuknya sudah membenam setengah jam lampau. Jika saja mampu dan tidak merasa terbebani kepada seorang ibu, lelaki muda itu hendak protes langsung dengan mengelak ajakan Fira ke alun-alun kota. Minggu menyebalkan sedunia!Akhtar mengarahkan kursi roda menuju ruang tamu. Ia menganggukkan kepala tanpa bantahan ketika Bila menyuruh menemani Fira. Ia tidak bisa menolak karena hal tersebut mampu membuat Bila kecewa. Kelembutan karakter Bila membuat perasaannya luluh."Pangeran Kursi Roda, sudahkah kau mandi?" sapa Fira. Ia yang semula duduk mendadak mengubah posisi, berdiri menyambut kedatangan Akhtar. Ada berkas cahaya matahari yang menerpa wajah Akhtar. Celah jendela membiakkan kehangatan di pagi beku. Lantai ubin

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Belas : Kerinduan Aldi

    Sama seperti waktu lampau, ibu ketakutan hebat usai mendengar Fira sedang berada di rumah sakit. Dulu hujan deras di penghujung tahun, detik itu hanya mendung. Sungguh mengerikan kabar yang dilayangkan oleh Caca. Putri gadis terpintarnya datang mengoleh-olehi air mata. Sontak beban di punggung langsung diturunkan. Tak peduli upah dan lelah, ia buru-buru menginjakkan kaki menuju kota Fira bekerja.Caca dan ibu naik bus demi berjumpa dengan sosok sedarah di tanah asing. Sosok yang pernah ia buai dalam rahim, sosok yang di waktu purba sering memanjakan senja dengan kelakar, sosok lugu penabur kerinduan di penghujung fajar, sosok mungil yang dahulu mengurangi beban tanggung jawabnya mengurusi titipan Tuhan, sosok yang kini terkapar di bangsal rumah sakit sedang menatap langit-langit ruang. Pikirannya beranjangsana ke bumi-bumi masa lalu, juga masa-masa yang belum teraba.Akhtar sungguh memberitahukan kondisi Fira kepada keluarganya. Fira hendak ma

Latest chapter

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Sembilan: Menjadi Rukun

    Lantas kotak yang dibawa Akhtar ia sembunyikan, ia kulum senyum sembari memandang wajah Fira. Pemuda yang dianggap tampan oleh bening embun tersebut berusaha tegar meski ada sedikit gelenyar perih yang mengendap di dadany—gadis yang diam-diam ia cintai dan ingin dimiliki—sudah disematkan cincin indah di jari manisnya—lantas berkenan untuk dijadikan putri, rupanya memikirkan laki-laki lain. Akhtar memacu kendaraannya menuju Yogyakarta, ke tempat yang dipenuhi dengan kenangan emosinya mengenai Fira. Bayangan saat dirinya memukul tubuh Aldi yang mabuk kembali terpampang. Amarahnya yang saat itu sungguh tidak mampu dibendung masih terasa kental dalam ingatan. Lantas detik itulah ia sadar bahwa Fira adalah gadis yang ingin ia jaga. "Terima kasih kau sudah banyak membuat Caca berkembang," kata Fira memulai obrolan. Di hadapan mereka bangunan ruko-ruko menjulang tinggi. Lampu-lampu kendaraan menyala terang-benderang. Senja menyelinap di ufuk timur, terlihat anggun dan mengagumkan serupa l

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Delapan: Teman yang Hilang

    Waktu cepat berlalu, pergerakan detik pada dinding berputar sangat cepat. Fira merasa Lukisan-lukisan Caca banyak yang memesan, meski potretnya hanya gambar sketsa perempuan dan pemandangan. Semula ia ingin fokus pada kegiatan baru mengurus butik pakaian bersama Mamak dan Fira, tetapi saudata perempuannya melarang. "Mimpimu harus tetap berkembang, Ca! Jangan menderita karena diriku," kata Fira di suatu senja ketika mereka menyesap teh hangat di balkon rumah. "Kau tidak suka aku melukis, kan, Kak?" "Mulanya begitu, tetapi sekarang aku tidak bisa memungkiri kemampuanmu yang hebat, orang-orang akan sedih jika kau berhenti menjadi seniman. Berkembang biaklah dengan menjadi Caca yang utuh, jangan jadikan aku alasan dirimu melukis atau menghentikan lukisanmu," ucap Fira lagi sambil menepuk bahunya. "Hmm, akan aku pertimbangkan jika kau tidak keras kepala lagi, Kak." Lalu mereka tertawa berdua. Tetiba ada bening yang singgah di wajah Fira, ada perasaan haru tak tanggung-tanggung. Ia hend

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Tujuh : Seorang Putri

    Cairan bening asin dan getir dimuntahkan. Wajahnya lesu. Ia tidak berselera makan. Jika diibaratkan sebagai bunga, maka kali itu dirinya adalah kelopak berguguran. Fira putus asa, ia tak tahu bagaimana lagi membuat Caca bicara apalagi sampai mau mendengarkannya. Adiknya berubah menjadi sosok tak tahu diri, egois, bahkan enggan mendengar nasihatnya untuk tidak pulang larut malam. Ia stres, sampai lupa makan sehari kemarin. Sudah bisa ditebak, maagnya kambuh.Mengapa kenyataan sering berjalan tidak seimbang? Ketika perasaan manusia siap menerima takdir yang diberikan, yang diharap malah bertolak belakang, akhirnya— menggerutu lagi, lupa bersyukur, bahkan sampai menyerah pada titik terendah. Buat apa semangat? Jika kehidupan tidak pernah berubah? Fira merasa hari-harinya berada di titik koordinat sebelah kiri, berhenti pada angka nol, jarang maju ke angka satu, lebih sering mundur menjadi minus! Ya! Perasaan bahagianya semakin berkurang seiring bertambahnya detik.&nb

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Enam : Caca

    Caca kali ini menyadari keikhlasan kakaknya yang amat suci. Setelah tahu Fira susah payah hilir mudik dari kampung ke kecamatan, ke pusat kota, browsing sana sini, namun tak menemukan pekerjaan cocok dengannya. Ia tak tahan melihat kemurungan Fira memandang langit dengan gerakan bibir putus asa menghitung bintang-bintang sementara telunjuknya diarahkan ke angkasa, lalu pelan bulir-bulir diterpa cahaya rembulan. Malam merekam sesok gadis berambut panjang duduk bersandar tembok di balkon rumah, tangan kirinya dipangku di atas lutut sementara satunya bergerak ke kanan ke kiri di udara."Ibu, keahlian apa yang harus kubeli agar punggungmu berhenti bekerja?" ceracaunya sambil menyeka air mata sendiri.Caca mengintip dan menguping dari balik jendela. Ibu dan Lala telah pergi ke tanah mimpi untuk mengubur kepingan lelah yang dipanen sewaktu terang. Caca ingat betul ucapan terima kasih bertumpuk-tumpuk terbubuhi peluh dan ungkapan maaf ketika dirinya menyampaikan u

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Lima : Dendam Usang

    Kisah ini akan usai, seperti pengalaman kerja Fira yang berhenti tanpa diminati. Ia anggap semua ini terjadi sudah sesuai porsi takdir. Menyesalinya? Mustahil, toh dirinya memang berbuat salah, pantas diundurkan. Ia akan berpisah dengan kamar kos, meninggalkan ballroom, dan tentunya tak akan sentuh botol miras serta setumpuk lembar rupiah di kasir. Paling akhir, ia akan menjadikan Aldi beserta rekan kerja lain sebagai kenangan."Jangan pernah main ke sini lagi!" kata Aldi terdengar seperti sebuah ancaman padahal suaranya keluar begitu lembut. Fira ditemani membereskan kamarnya. Ibu kos mengijinkan pria masuk ke tempat Fira karena ditemani Caca juga Akhtar. Barang-barang Fira dikeluarkan semua, kecuali kasur dan bantal.Caca menyeret koper baju, sementara Akhtar membawa boneka beruang dan beberapa buku bacaan. Mereka semua bergantian memasukkan ke dalam mobil. Aldi dan Fira melangkah pelan-pelan di belakang menikmati hari-hari akhir."Kenapa? Be

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Empat : Rival

    Hari ini sabtu, anak-anak berseragam cokelat melipat kesenangan mereka di dada. Wajah diluruskan demi menatap gerik bibir Caca menjelaskan. Ada sebuah kanvas di depan papan tulis, Caca memberi coretan sketsa sungai dan rumput, kemudian bibir dan tangannya bekerjasama menuntun para siswa. Kuas bergerak ragu-ragu. Ruang kelas disorot cahaya pagi melalui gorden jendela.Sepekan lalu ada surat datang ke rumah, sebuah permohonan pengajar ekstrakurikuler seni lukis di sebuah SMA swasta, sekali dalam satu pekan itu ia setujui. Karir Caca melonjak. Ia tidak sempat membaca komentar netizen di dunia maya. Sengaja melupakan tragedi malam pameran. Bahkan jika mampu menghapus maka akan dihapus secepat kilat. Caca tahu banyak makian dan umpatan ditujukan kepada Fira, ia hanya meyakini umpatan mereka sebentar lagi sirna. Sekali lagi ia tidak pendam amarah, hanya saja ada hal ganjil yang membuatnya belum siap menemui Fira. Entah apa itu—'Ca, kau harus bertemu kakakm

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Tiga : Ayah Hebat

    ATM dimasukkan ke mesin, ia pencet sandi kemudian menentukan nominal yang akan ditransfer ke rekening Caca. Ia tak mau berspekulasi apa-apa mengenai ibu, yang mendadak membutuhkan uang. Ibu tidak suka berbohong, Fira yakin ibu tidak melakukan tindakan memalukan tersebut. Sungguh ibu dalam kesusahan. Ada hal terbesit dalam keningnya, mengapa Caca yang notobenenya sedang berlimpah uang tidak tahu masalah ibu?Fira tak sadar berapa jam lamanya ia menyiksa kedua mata Akhtar. Pemuda itu semalaman menemani perasaan nanar bercampur tangisnya, puluhan kilometer dihabiskan berkawan angin dan kesunyian jalan. Fira memohon dirinya untuk mengantar ke ATM setibanya di kos-kosan. Harusnya Fira pulang ke kampung halaman, namun ia menutup hati, raut mukanya belum siap dipertemukan dengan Caca.Ketika media masa sibuk membicarakan kelancangan tangan Fira menampar seorang seniman, Akhtar justru lelap bersaksikan setir mobil. Rambut awut-awutan, dua kancing kemeja yang lepas,

  • Rindu yang Lupa   Episode Empat Puluh Dua : Sebuah Ingatan

    Aldi seumpama bohlam lampu di atas kepala Fira, sinarnya menyinari seluruh wajah namun tak mudah digapai. Begitu karakternya belakangan ini, meski setiap hari bertemu namun ia jarang memberi sapa. Senyumnya seolah baru dicuri hantu, rautnya sedingin es apalagi jika Fira mengajaknya bicara. Ada pagar yang membatasi pergaulan Aldi, entah itu apa. Siapa pun yang mengajaknya bicara, responnya hanya deheman atau anggukan kepala, bahkan ia tak lagi seramah dahulu tatkala menyambut tamu. Aldi kehilangan harta paling berharga, meski ia sendiri buta dengan yang diharga."Apa aku membuat kesalahan?" Fira menerka-nerka sambil meletakkan nampan di meja. Ia baru selesai mengantarkan pesanan. Hari ini hari terakhir dirinya menjalani hukuman, pekan depan kembali menjadi kasir."Kau malas bicara padaku?"Aldi diam, ia menenggak mineral lalu meninggalkan Fira. Maka yang bisa gadis itu lakukan hanyalah mengutus kedua langkahnya untuk mengejar sampai ke ruang wai

  • Rindu yang Lupa   Empat Puluh Satu : Uang Hilang

    Ibu orang jujur dan selalu menerima apa adanya. Ia tak pernah protes sekalipun jasanya lupa belum diupahi. Senyumnya juga senantiasa subur, walaupun ucapan pahit dari teman-teman seperjuangannya menciptakan kemarau panjang di dada. Orang-orang melunasi lelah malam mereka dengan menjalankan aktivitas pagi seperti biasa.Lidi bergesekan dengan tanah, permukaan genting mengepulkan asap-asap dapur, anak-anak kecil berlomba menuju sekolah dan kaki lima menyiapkan dagangan dalam gerobak, sementara kucing tetangga malas-malasan dengan tidur di bangku teras.Ketika semua orang menjelmakan cinta dalam kesibukan, Ibu justru mondar-mandir pendam gelisah. Usai menyibak gorden jendela ia mengintip kamar Caca. Memperhatikan setiap gerik jari-jari putrinya menuangkan cat dalam kanvas. Sudah beberapa hari ini Caca bangun sebelum fajar bernapas untuk menyapa kanvas-kanvas kosongnya yang tergeletak di sebelah dipan.Kamar Caca lebih layak disebut gudang lukisan

DMCA.com Protection Status