Tangisan tumpah di mana-mana, membuat penyaksinya menelan bulir demi bulir perih tanpa kejelasan. Sebaris kalimat membuat air liur tak tertelan. Mereka merupakan kata-kata terkutuk yang dibenci waktu. Angin senja menggiring kesengsaraan tajam yang menyusup ke relung jiwa keluarga Fira. Meski ia berdiri tegak tanpa tetes berarti di pipi, makhluk langit dapat menyaksikan betapa terlunta-lunta perasaannya. Caca tak kuasa menahan sesak dadanya, Lala menjerit meronta. Ibu pasrah dengan sungai-sungai yang membanjir di dagunya. Sebuah mobil plat A datang menjemput mereka. Keluarga Fira pergi tanpa salam perpisahan.
Akhtar masih belum mengerti dengan apa yang terjadi, ia hanya menunaikan tugas mengantar Caca pulang.
Fira mengacuhkan Aldi, ia bahkan belum sempat mengucap terima kasih, namun langkahnya telah pergi, hanya punggung mobil yang menyampaikan lambaian juga permintaan maaf karena telah merepotkan. Lelaki itu memahami, ia bukanlah bocah yang segalanya harus diterangkan melalui perkataan. Cukup ia membaca binar mata Fira, ia paham dengan bibirnya yang hendak berucap.
“Hati-hati Fira, aku harap kita bisa bertemu lagi di tempat kerja,” kata Aldi sembari melambaikan tangannya.
Mobil tertelan tikungan jalan, ia berpamitan dengan tetangga Fira yang berdiri di halaman rumah Fira, adat penduduk jika ada di antara mereka yang sedang dilanda susah, tentu mereka akan langsung berbondong-bondong datang, mendampingi tuan rumah, seolah-olah ikut memikul beban yang ditanggung. Meski tidak mengurangi, namun keberadaan mereka mengusir sepi.
Aldi menghampiri sepeda motornya yang terparkir malang di depan gerbang rumah, ia hendak kembali ke kotanya, Akhtar mengekor di belakang. Ia bermaksud menanyakan sesuatu tentang Fira.
“Mampirlah ke rumahku, pulanglah esok usai ayam-ayam membangunkan tidur.”
“Maaf, aku tidak bisa tinggal bersama orang asing.” Aldi membalas dingin, ia lantas menghidupkan sepeda motornya.
“Aku kawan Fira dari kecil, jika kau mengenal Fira, maka aku bukan orang asing untukmu, apakah dia baik-baik saja di sana? Kau rekan kerjanya bukan?”
Aldi menghela napas, ia mematikan sepeda motornya, mengurungkan keinginannya untuk segera pulang. Segala hal tentang Fira adalah berharga baginya. Fira tak akan pernah tahu seberapa besar harapan yang ia tambatkan pada kolom-kolom perasaannya, ia berharap gadis itu memahami lantas menutup ruang kolom yang kosong dengan perhatiannya. Meski belum pernah tersampaikan, ia tetaplah menjadi sosok setia pendengar hal yang bersangkutan dengan Fira, mau berkorban demi keinginan-keinginan Fira, baginya berjuang demi Fira adalah indah, sebagaimana waktu itu yang memaksanya izin pulang awal dari restoran demi singgah ke kota Fira menerbangkan pedihnya. Ia merasa sedikit dibutuhkan dan bangga karena padanyalah Fira memohon pertolongan, bukan kepada orang lain, meski punggungnya terasa letih, dan matanya merengek hendak dipejamkan. Maka bukan hal berat mematikan mesin sepeda motornya demi menghargai kalimat yang diucapkan pemuda di hadapannya itu.
“Dia tidak dalam keadaan baik, meski selalu tampil baik-baik saja. Dia terlihat sedingin es batu, keras namun mudah cair. Aku merangkum hal-hal pedih dari gurat wajahnya setiap melihatnya tersenyum, manis namun menyakitkan, seperti ada hal yang ia sembunyikan dan ingin dilupakan. Aku sering mengajaknya keliling kota Yogyakarta untuk melalaikan kepedihan-kepedihannya, tapi ia justru membuka seluruh ruang pedihnya, menampilkannya dan menerbangkan ke langit. Ya, Fira yang kukenal gemar sekali melihat langit dan menghitung bintang, katanya bintang-bintang adalah sahabatnya yang rela menampung seluruh pedih.” Aldi berkata panjang lebar, bukan lebih tepatnya ia berkisah sembari bernostalgia bersama Fira yang manis, ketika berjalan menyusuri keramaian Marlioboro, mendengar riak-riak suara angklung, melihatnya bertepuk tangan, lalu rebah di alun-alun utara Yogyakarta, ia yang terus berkicau tanpa henti, mengungkap sejarah-sejarah yang berkecamuk di dada, lantas memangkas semua paragraf yang telah disusun sedramatis mungkin dengan kalimat, “maka dari itu kau harusnya bersyukur karena hidup dengan kedua orang tua dan saudara-saudara yang dekat.”
Menyadari hal pahit yang kembali menimpa Fira ia tak kuasa menahan luka yang entah dari mana datangnya, maka alam bawah sadarnya reflek mengungkap semuanya tentang Fira. Termasuk ketika mereka menikmati es kelapa muda bersama di bibir pantai selatan, bercerita mengenai kehidupan yang sering memuakkan. Oh, Fira! Dialah sosok gadis yang banyak cerita menyedihkan namun disampaikan dengan menggemaskan. Fira tak melulu terlihat sengsara, kalian paham bukan, ia gadis yang tegar dan kokoh saat berdiri menantang hari esok, sebelum ayah dan kakeknya meninggal, ia gemar sekali membuat orang lain tersenyum. Ia berubah drastis karena memang ditinggalkan orang yang berharga sangat menyakitkan.
“Ah rupanya kau orang yang banyak bicara, mungkin akan lebih nikmat jika ada kopi di antara kita!” Akhtar memberi saran.
“Lupakan! Aku hanya bersemangat mengenai Fira, pedih melihatnya terpukul seperti itu, baru saja ayahnya pamit pulang kini disusul kakeknya!”
“Kakek? Maksudmu kakeknya meninggal?”
“Kau bilang sahabat kecilnya, tapi tidak tahu jika hari ini kakeknya meninggal?” Aldi sangsi, ia sedikit menyesal karena sudah banyak bicara dengannya.
Itulah alasan Caca buru-buru ingin pulang.
“Aku salah mengiramu, kau benar-benar orang asing. Aku pulang dulu! Semoga kita tidak bertemu lagi atas nama Fira.”
“Eh,”
Aldi bergegas pergi. Langit gelap. Akhtar masih mematung dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepalanya.
“Semua orang membela Fira. Apakah hanya aku yang tidak menyukainya?”
***
“Fir, Kalau saja kau mau mendengarkanku, aku tidak ingin melihatmu menangis, aku paham rasanya sakit, tapi jangan mempersulit dengan tangisan, ia hanya melegakan bukan? Tetap saja perasaanmu tersiksa, orang lain akan menyuruhmu menangis agar lega, tapi tidak denganku, Fir!”
Restoran baru saja tutup. Tak ada mobil tamu yang terparkir. Daun-daun tanaman penghias tempat itu diraup cahaya rembulan. Sebagaian karyawan telah angkat kaki dari ballrom, melepas seragam kerja mereka, sebagaian yang lain masih bercengkrama dengan waktu, meniarapkan akal pikiran dalam dasar gelas-gelas alkohol.
Hari pedih banyak berlalu, minggu berjalan cepat dan terus maju, bulan masehi baru merangkap menjadi sepasang. Fira telah kembali di meja bar. Jari-jarinya terus bergelut dengan lembar-lembar rupiah, tak pernah alfa sebab wajah Ibu terngiang setiap detik di hadapan cakrawala. Ia ingin mengakhiri semua kisah hidup yang pernah membekap hingga membuatnya sesak. Berlama-lama dalam kesusahan adalah hal bodoh, lagi pula hidup telah digariskan oleh Tuhan, tak selamanya kepedihan akan diraupkan pada manusia, pasti akan ada cahaya putih walau seringkali gelap menutup sinar.
Fira dan Aldi duduk di parkiran yang lengang, menatap bintang-bintang. Gadis itu tersenyum, meski beningnya pecah.
“Di, dahulu aku anak yang selalu bahagia meski malamku tak pernah dipeluk Ayah dan Ibu, aku tak menyangka jika kesadaran menjadi dewasa akan menyakitkan seperti ini, rasa-rasanya masa kecil itu terlalu percuma hadir di ingatan.” Fira meluapkan perasaannya. Ia masukkan hatinya yang dingin pada ruang keibaan Aldi, mengharap hanya malam itu saja, Aldi mampu memberikan kehangatan yang entah diharapkan sebagai apa.
Aldi mengisap rokoknya, temaram malam membuat asap yang mengepul tak begitu jelas dalam pandangan.
“Ayahku gila, aku seperti dikucilkan para tetangga, ke sana kemari dipenuhi dengan ketakutan, dan baru bulan lalu ia meninggal dalam pasungan keluarganya sendiri. Tragis benar, belum usai penderitaan disusul kakekku meninggal, tidak hanya selesai pada itu saja. Semenjak aku kecil, aku menyaksikan penderitaan Ibu yang membawa beban-beban orang yang berpura-pura mengaku kaya di pasar. Demi tiga putrinya, Ibu rela menyerahkan harga dirinya digendong selendang murahan, menjadi babu kuli gendong. Kau pasti mampu membayangkan betapa melelahkannya bukan?”
Aldi tak lagi berkata-kata, ia memandang wajah Fira yang utuh dihujani temaramnya neon jalan. Malam semakin memuramkan raut pedihnya. Beberapa helai rambut terbang menutup wajahnya, angin yang berdesis malu-malu ingin ikut mendinginkan suasana batin Fira.
“Kisah hidup ini sepertinya tidak mungkin terjadi jika Ayah tidak ditaksir oleh wanita memuakkan dulu itu, harusnya Ibu tidak sakit, bukan lebih tepatnya harusnya wanita itu tidak pernah dilahirkan ke dunia.”
“Jadi ada orang yang sengaja menghancurkan keharmonisan keluargamu, Fir?”
“Entahlah, itu kisah klasik novel-novel, yang jelas semuanya adalah takdir Tuhan. Meski itu kuanggap takdir, sekali lagi ini rasanya tidak mungkin!”
Air mata Fira tumpah ruah, ia menangis sesenggukan, sakit batinnya tak mampu ditahannya lagi. “Apa ini adil, Di?”
“Apa ini yang dinamakan kasih sayang Tuhan?”
“Apakah ini cobaan hidup yang harus dihadapi dengan tegar?”
“Kupikir ia penderitaan tiada ujung!”
Fira memukuli lututnya, tangannya mengepal, seperti ada hal yang ingin dihancurkan. Raut wajahnya amat nanar, seluruh rambutnya maju ke depan, diembus angin lalu ditarik bulir-bulir air mata. Ia benar-benar lelah dengan kehidupan. Ia tidak ingin berlama-lama dalam kesusahan, namun menghilangkannya bukan hal mudah. Perlu proses dan tahapan.
“Fira,” setelah sekian lama diam, akhirnya Aldi angkat bicara, ia membuang putung rokoknya di tempat sampah, kemudian kembali duduk di sisi Fira, ikut menerawang ruang langit yang penuh taburan bintang-bintang. “Menyesali hidup sendiri itu tidak ada gunanya, kau mungkin memandang bahwa kehidupan keluarga lain lebih beruntung dan membahagiakan, itu di matamu, Fir! Tentunya ada masalah besar pula yang mereka alami. Kau bukan orang yang paling menderita di dunia ini. Terima saja apa yang telah menjadi hidupmu, terima dan hadapi, jangan pernah berpikir untuk kabur dari kenyataan apalagi meratap-ratap di hadapan Tuhan.”
“Aku bisa berbicara seperti itu juga, Di. Apakah kau bisa menerapkan itu jika kini kau berada di posisiku?”
“Itu pertanyaan yang tidak masuk akal! Selamat malam, Fir! Cepatlah rebah ke kos-kosan.” Aldi beranjak, ia menghampiri sepeda motornya yang terparkir sendirian. Ia pulang. Fira bangkit, ia ayunkan langkah kakinya yang malas-malasan. Jalan raya waktu itu benar-benar dikerubungi sunyi. Detik berhenti pada titik tiga pagi. Fira rangkul keputus asaannya sendirian. Esok ia putuskan untuk mengakhiri kesengsaraan. Ia ingin menyambut mentari, seperti Ibu menyambutnya lahir. Demi Ibu, pedih ini harus cepat ditinggalkan. Ia sudah puas membagi kisah hidupnya dengan Aldi, meski tidak mampu mengubah ketentuan takdir, Fira sadar itu amat melegakan. Adakalanya manusia perlu membagi kisah hidup perihnya kepada orang lain. Jika beruntung itu akan menjadi pelajaran bagi mereka, atau setidaknya cukup untuk mengurangi kesengsaraan batin.
Embun mengusap kening bumi. Angin bersenandung riang dengan menggesekkan tubuhnya pada puluhan daun bambu. Burung duduk manis menyambut sapaan mentari. Pagi terbangun. Detik menunjukkan waktu terang. Aktivitas mulai meratap. Peluh bersiap mengeluh. Penduduk telah berbisik-bisik membahas gosip selebriti di teras rumah masing-masing sembari menggesekkan lidi ke tanah, yang lain ikut menyahut, tertawa atau hanya diam saja.Tiga gadis masih meringkuk di dalam selimut. Bibirnya menganga, matanya sedikit terbuka, begitulah ia lelap sepanjang hari. Fira memeluk tubuh mungil, membelakangi adik kecilnya. Ia lelap sangat, matanya belum terbuka sama sekali semenjak pukul dua dini hari. Kelelahan. Tubuhnya menggigil, selimut kembali ditarik, memeluk lebih erat tubuh yang lembut. Bantal guling seukuran tubuh Lala menjadi tempatnya membuang rindu pada peluk ibu. Kaki Lala terbuka lebar, yang kiri di atas punggung Fira, yang satu di perut Caca. Wajahnya telah diperciki s
Damai sekali melihatnya lelap usai sebulan bekerja meninggalkan rumah, meninggalkan cinta hanya mengangkut jejak ke tanah rantau. Ia menggadaikan lelahnya demi kasih tak terhingga dalam hayat. Ia pelipur lara yang tertanam dalam ceruk-ceruk rindu. Ia penerang gulita saat malam terpeluk. Sesosok pria dewasa yang kini rebah di pembaringan. Ialah yang menggendong Fira kecil, penumpah cinta dalam jantung gadis lugu itu yang penuh.Sepaham Fira ayah tidak pernah marah. Ia selalu berbuat baik, terbukti ketika ayah pulang dari pekerjaannya, ia membawa banyak jajanan, esoknya mengajak Fira dan kedua adik jalan-jalan ke pasar, bahkan tak segan menuruti seluruh permintaan anak-anaknya. Ayah sosok ramah, setiap tetangga bahkan orang asing yang berpapasan dengannya akan mendapatkan lengkung pelangi di bibir dengan gratis. Ayah bukan orang pelit, jika ada pengamen dan pengemis, satu lembar entah seribu, atau lima ribu bahkan sepuluh ribuan diberikan cuma-cuma. Ayah buk
Tidur nyenyak Akhtar terganggu dering telpon. Pukul satu dini hari, ponselnya bergetar memohon perhatian. Ia acuh, membalik punggung dan menarik selimut. Malam telah larut, tidak logis orang menelpon di waktu istirahat seperti itu jika bukan hal mendesak. Sayangnya Akhtar tak berpikir panjang. Ia melanjutkan tidur, melipat mimpi-mimpinya dengan rapi. Membuang lelah ke dalam pejaman mata rapatnya. Memeluk dingin di balik selimut tebal. Hujan di luar menciptakan suasana tidur yang nikmat. Cicak bernyanyi mengiringi kegaduhan percik air yang jatuh menimpa asbes-asbes rumah. Dedaunan di luar basar kuyup, bunga mawar menggugurkan beberapa kelopak cantiknya sebab tak mampu menampung beban hujan dari langit. Angin berembus kencang. Orang tua Akhtar lelap saling peluk. Pembantu mendengkur.Ponsel Akhtar masih berdering, melantunkan lagu Westlife, Flying Without Wings. Kali ini Akhtar membuka selimut, membuang bantal guling ke lantai, dengan geram ia menggayuh pons
Ibu gesit meracik bumbu, memasukkan ke dalam wajan. Mengingat kekasih dalam setiap adukan. Membayangkan senyum menawan saat yang dicinta merasakan masakan. Peluh tak lagi dipikirkan, bau badan menjadi aroma yang menyempurnakan. Butiran keringat menetes di kening. Ia usap, lantas merapikan rambut yang berantakan. Hari ini ia ingin memberikan perhatian lebih kepada buah kasih sayangnya. Tak rela jika waktu terus memanjakannya hidup susah di sudut-sudut pasar, memohon receh dengan mengorbankan punggung menjadi bengkok. Ada waktu yang memang disenggangkan untuk beristirahat di rumah bersama anak-anak. Sebuah kebebasan direngkuh oleh Fira.Hari ini ibu tidak memanggul beban di pasar. Fira melonjat histeris. Gadis periang dua kali lebih senang. Esok, tak dipersibuk meracik sarapan. Ia juga cuti sejenak dari membersihkan badan Lala. Malam tak bangun menciderai raga dengan gigil. Ia beristirahat melototi jalanan menanti obor melintas. Layaknya seorang PNS ya
Aroma tanah menguar, menghantarkan perasaan-perasaan kelabu di bulan ini. Langit yang mengabu membuat tunggu menjadi membosankan. Bumi terasa basah, amat basah hingga membangunkan gigil pada sela-sela kebimbangan seorang gadis. Ia mengenakan pakaian rapi, sebuah kemeja sewarna melati dengan stelan rok panjang berwarna hitam, poninya diombang-ambingkan tanpa arah oleh angin. Hujan dan menunggu seperti paket setia di pertengahan tahun. Dan gadis itu terus menunggu ponselnya berdering meski hujan melambai-lambai riang.Waktu tidak tenang, ia gusar, khawatir acaranya terpaksa ditinggalkan, bukan tersebab hujan turun mendayu-dayu membuat pedagang asongan meringkuk di bawah atap-atap ruko, menghalangi pejalan kaki menuju tempat terdekat, membiarkan lampu merah diterobos laju mobil-mobil mewah, mengacuhkan riak air yang menggenang di jalan berlubang, hujan tetaplah menjadi momen menyenangkan baginya meski perasaannya gelisah, ia tidak marah hujan turun bukan pada waktu senggan
Ibu menangis sesenggukan mendapati rumah kosong. Selendangnya langsung dilempar sembarang, jajan kesayangan Fira menggelinding di lantai, kawan tentu kau masih ingat buah kesukaan Fira, apel merah! Ya! Apel-apel itu baru dipinang ibu dari pasar sebagai oleh-oleh terbaiknya, ia membayangkan teriakan kegembiraan Fira dan kedua adik ketika mengetahui ada buah kesukaan mereka. Sayang takdir tak mau memperindah keadaan, justru semuanya terbalik tiga puluh derajat.Ibu tergopoh-gopoh lari menuju rumah kakek. Perasaannya hancur lebur diburai kesengsaraan, khawatir jika jangan-jangan suaminya lepas, lantas kembali mengamuk, mencari tiga gadis buah biologisnya dan mengombang-ambingkan di jalan. Ibu panik, panik mengerikan!Pagi tadi, paman masuk membawa sepiring sarapan. Ia tidak tahu jika tiga bocah bersembunyi di balik tumpukan rumput, Fira membungkam mulut Lala agar tidak menciptakan suara. Dengan mata kepala mereka masing-masing, mereka menya
Ia meringkuk. Tangan dikaitkan di hadapan lutut. Bersandar pada dinding ruangan. Dagunya terangguk-angguk. Tulangnya dihajar gigil. Angin malam berembus liar. Gumintang bertebaran sembarang. Langit cerah, awan hitam tak membuat resah. Dedaunan semuanya menghitam, sinar rembulan jatuh pada permukaan alam yang lelap, ia pun mengusap ubun seorang bocah. Giginya bergemeletuk. Pandangannya sayu, ia masih dijaga oleh malaikat pemberi kantuk. Tak ada potret keriangan si mungil kala itu, dirinya ditampar nyanyian lembah pedesaan yang membekukan. Angin bersatu padu mendekapnya dari segala penjuru arah. Melahab kehangatan dengan khidmat.“Fira! Lihatin jalan ya? Nanti jika teman ibu sudah berangkat, panggil, ibu!”“Iya, Bu.” Suaranya serak.Wanita itu menyiapkan segala peralatan. Selendang senjatanya. Sebotol mineral amunisi dahaganya. Mengemas bekal nasi. Kemudian menyisihkan waktu untuk bersujud memohon restu k
Kenapa harus aku, Bu? Apakah tidak ada orang lain selain aku? Pembantu kita bisa kan, Bu? Gerutu Akhtar dalam batin.Ia mengamati ruang tamu dengan ekspresi kecut. Bibirnya didatarkan. Senyum dikubur dalam-dalam ke palung waktu. Kantuknya sudah membenam setengah jam lampau. Jika saja mampu dan tidak merasa terbebani kepada seorang ibu, lelaki muda itu hendak protes langsung dengan mengelak ajakan Fira ke alun-alun kota. Minggu menyebalkan sedunia!Akhtar mengarahkan kursi roda menuju ruang tamu. Ia menganggukkan kepala tanpa bantahan ketika Bila menyuruh menemani Fira. Ia tidak bisa menolak karena hal tersebut mampu membuat Bila kecewa. Kelembutan karakter Bila membuat perasaannya luluh."Pangeran Kursi Roda, sudahkah kau mandi?" sapa Fira. Ia yang semula duduk mendadak mengubah posisi, berdiri menyambut kedatangan Akhtar. Ada berkas cahaya matahari yang menerpa wajah Akhtar. Celah jendela membiakkan kehangatan di pagi beku. Lantai ubin
Lantas kotak yang dibawa Akhtar ia sembunyikan, ia kulum senyum sembari memandang wajah Fira. Pemuda yang dianggap tampan oleh bening embun tersebut berusaha tegar meski ada sedikit gelenyar perih yang mengendap di dadany—gadis yang diam-diam ia cintai dan ingin dimiliki—sudah disematkan cincin indah di jari manisnya—lantas berkenan untuk dijadikan putri, rupanya memikirkan laki-laki lain. Akhtar memacu kendaraannya menuju Yogyakarta, ke tempat yang dipenuhi dengan kenangan emosinya mengenai Fira. Bayangan saat dirinya memukul tubuh Aldi yang mabuk kembali terpampang. Amarahnya yang saat itu sungguh tidak mampu dibendung masih terasa kental dalam ingatan. Lantas detik itulah ia sadar bahwa Fira adalah gadis yang ingin ia jaga. "Terima kasih kau sudah banyak membuat Caca berkembang," kata Fira memulai obrolan. Di hadapan mereka bangunan ruko-ruko menjulang tinggi. Lampu-lampu kendaraan menyala terang-benderang. Senja menyelinap di ufuk timur, terlihat anggun dan mengagumkan serupa l
Waktu cepat berlalu, pergerakan detik pada dinding berputar sangat cepat. Fira merasa Lukisan-lukisan Caca banyak yang memesan, meski potretnya hanya gambar sketsa perempuan dan pemandangan. Semula ia ingin fokus pada kegiatan baru mengurus butik pakaian bersama Mamak dan Fira, tetapi saudata perempuannya melarang. "Mimpimu harus tetap berkembang, Ca! Jangan menderita karena diriku," kata Fira di suatu senja ketika mereka menyesap teh hangat di balkon rumah. "Kau tidak suka aku melukis, kan, Kak?" "Mulanya begitu, tetapi sekarang aku tidak bisa memungkiri kemampuanmu yang hebat, orang-orang akan sedih jika kau berhenti menjadi seniman. Berkembang biaklah dengan menjadi Caca yang utuh, jangan jadikan aku alasan dirimu melukis atau menghentikan lukisanmu," ucap Fira lagi sambil menepuk bahunya. "Hmm, akan aku pertimbangkan jika kau tidak keras kepala lagi, Kak." Lalu mereka tertawa berdua. Tetiba ada bening yang singgah di wajah Fira, ada perasaan haru tak tanggung-tanggung. Ia hend
Cairan bening asin dan getir dimuntahkan. Wajahnya lesu. Ia tidak berselera makan. Jika diibaratkan sebagai bunga, maka kali itu dirinya adalah kelopak berguguran. Fira putus asa, ia tak tahu bagaimana lagi membuat Caca bicara apalagi sampai mau mendengarkannya. Adiknya berubah menjadi sosok tak tahu diri, egois, bahkan enggan mendengar nasihatnya untuk tidak pulang larut malam. Ia stres, sampai lupa makan sehari kemarin. Sudah bisa ditebak, maagnya kambuh.Mengapa kenyataan sering berjalan tidak seimbang? Ketika perasaan manusia siap menerima takdir yang diberikan, yang diharap malah bertolak belakang, akhirnya— menggerutu lagi, lupa bersyukur, bahkan sampai menyerah pada titik terendah. Buat apa semangat? Jika kehidupan tidak pernah berubah? Fira merasa hari-harinya berada di titik koordinat sebelah kiri, berhenti pada angka nol, jarang maju ke angka satu, lebih sering mundur menjadi minus! Ya! Perasaan bahagianya semakin berkurang seiring bertambahnya detik.&nb
Caca kali ini menyadari keikhlasan kakaknya yang amat suci. Setelah tahu Fira susah payah hilir mudik dari kampung ke kecamatan, ke pusat kota, browsing sana sini, namun tak menemukan pekerjaan cocok dengannya. Ia tak tahan melihat kemurungan Fira memandang langit dengan gerakan bibir putus asa menghitung bintang-bintang sementara telunjuknya diarahkan ke angkasa, lalu pelan bulir-bulir diterpa cahaya rembulan. Malam merekam sesok gadis berambut panjang duduk bersandar tembok di balkon rumah, tangan kirinya dipangku di atas lutut sementara satunya bergerak ke kanan ke kiri di udara."Ibu, keahlian apa yang harus kubeli agar punggungmu berhenti bekerja?" ceracaunya sambil menyeka air mata sendiri.Caca mengintip dan menguping dari balik jendela. Ibu dan Lala telah pergi ke tanah mimpi untuk mengubur kepingan lelah yang dipanen sewaktu terang. Caca ingat betul ucapan terima kasih bertumpuk-tumpuk terbubuhi peluh dan ungkapan maaf ketika dirinya menyampaikan u
Kisah ini akan usai, seperti pengalaman kerja Fira yang berhenti tanpa diminati. Ia anggap semua ini terjadi sudah sesuai porsi takdir. Menyesalinya? Mustahil, toh dirinya memang berbuat salah, pantas diundurkan. Ia akan berpisah dengan kamar kos, meninggalkan ballroom, dan tentunya tak akan sentuh botol miras serta setumpuk lembar rupiah di kasir. Paling akhir, ia akan menjadikan Aldi beserta rekan kerja lain sebagai kenangan."Jangan pernah main ke sini lagi!" kata Aldi terdengar seperti sebuah ancaman padahal suaranya keluar begitu lembut. Fira ditemani membereskan kamarnya. Ibu kos mengijinkan pria masuk ke tempat Fira karena ditemani Caca juga Akhtar. Barang-barang Fira dikeluarkan semua, kecuali kasur dan bantal.Caca menyeret koper baju, sementara Akhtar membawa boneka beruang dan beberapa buku bacaan. Mereka semua bergantian memasukkan ke dalam mobil. Aldi dan Fira melangkah pelan-pelan di belakang menikmati hari-hari akhir."Kenapa? Be
Hari ini sabtu, anak-anak berseragam cokelat melipat kesenangan mereka di dada. Wajah diluruskan demi menatap gerik bibir Caca menjelaskan. Ada sebuah kanvas di depan papan tulis, Caca memberi coretan sketsa sungai dan rumput, kemudian bibir dan tangannya bekerjasama menuntun para siswa. Kuas bergerak ragu-ragu. Ruang kelas disorot cahaya pagi melalui gorden jendela.Sepekan lalu ada surat datang ke rumah, sebuah permohonan pengajar ekstrakurikuler seni lukis di sebuah SMA swasta, sekali dalam satu pekan itu ia setujui. Karir Caca melonjak. Ia tidak sempat membaca komentar netizen di dunia maya. Sengaja melupakan tragedi malam pameran. Bahkan jika mampu menghapus maka akan dihapus secepat kilat. Caca tahu banyak makian dan umpatan ditujukan kepada Fira, ia hanya meyakini umpatan mereka sebentar lagi sirna. Sekali lagi ia tidak pendam amarah, hanya saja ada hal ganjil yang membuatnya belum siap menemui Fira. Entah apa itu—'Ca, kau harus bertemu kakakm
ATM dimasukkan ke mesin, ia pencet sandi kemudian menentukan nominal yang akan ditransfer ke rekening Caca. Ia tak mau berspekulasi apa-apa mengenai ibu, yang mendadak membutuhkan uang. Ibu tidak suka berbohong, Fira yakin ibu tidak melakukan tindakan memalukan tersebut. Sungguh ibu dalam kesusahan. Ada hal terbesit dalam keningnya, mengapa Caca yang notobenenya sedang berlimpah uang tidak tahu masalah ibu?Fira tak sadar berapa jam lamanya ia menyiksa kedua mata Akhtar. Pemuda itu semalaman menemani perasaan nanar bercampur tangisnya, puluhan kilometer dihabiskan berkawan angin dan kesunyian jalan. Fira memohon dirinya untuk mengantar ke ATM setibanya di kos-kosan. Harusnya Fira pulang ke kampung halaman, namun ia menutup hati, raut mukanya belum siap dipertemukan dengan Caca.Ketika media masa sibuk membicarakan kelancangan tangan Fira menampar seorang seniman, Akhtar justru lelap bersaksikan setir mobil. Rambut awut-awutan, dua kancing kemeja yang lepas,
Aldi seumpama bohlam lampu di atas kepala Fira, sinarnya menyinari seluruh wajah namun tak mudah digapai. Begitu karakternya belakangan ini, meski setiap hari bertemu namun ia jarang memberi sapa. Senyumnya seolah baru dicuri hantu, rautnya sedingin es apalagi jika Fira mengajaknya bicara. Ada pagar yang membatasi pergaulan Aldi, entah itu apa. Siapa pun yang mengajaknya bicara, responnya hanya deheman atau anggukan kepala, bahkan ia tak lagi seramah dahulu tatkala menyambut tamu. Aldi kehilangan harta paling berharga, meski ia sendiri buta dengan yang diharga."Apa aku membuat kesalahan?" Fira menerka-nerka sambil meletakkan nampan di meja. Ia baru selesai mengantarkan pesanan. Hari ini hari terakhir dirinya menjalani hukuman, pekan depan kembali menjadi kasir."Kau malas bicara padaku?"Aldi diam, ia menenggak mineral lalu meninggalkan Fira. Maka yang bisa gadis itu lakukan hanyalah mengutus kedua langkahnya untuk mengejar sampai ke ruang wai
Ibu orang jujur dan selalu menerima apa adanya. Ia tak pernah protes sekalipun jasanya lupa belum diupahi. Senyumnya juga senantiasa subur, walaupun ucapan pahit dari teman-teman seperjuangannya menciptakan kemarau panjang di dada. Orang-orang melunasi lelah malam mereka dengan menjalankan aktivitas pagi seperti biasa.Lidi bergesekan dengan tanah, permukaan genting mengepulkan asap-asap dapur, anak-anak kecil berlomba menuju sekolah dan kaki lima menyiapkan dagangan dalam gerobak, sementara kucing tetangga malas-malasan dengan tidur di bangku teras.Ketika semua orang menjelmakan cinta dalam kesibukan, Ibu justru mondar-mandir pendam gelisah. Usai menyibak gorden jendela ia mengintip kamar Caca. Memperhatikan setiap gerik jari-jari putrinya menuangkan cat dalam kanvas. Sudah beberapa hari ini Caca bangun sebelum fajar bernapas untuk menyapa kanvas-kanvas kosongnya yang tergeletak di sebelah dipan.Kamar Caca lebih layak disebut gudang lukisan