Pukul lima senja, ia belum melayangkan tekad pulang. Hujan membasahi aspal. Ribuan air mengguyur tubuhnya. Baju dan selendang basah kuyub. Titik-titik air meresap ke dalam kepala. Bibirnya membiru pucat. Raganya bergetar. Kedinginan. Namun ia tetap mengangsur langkah. Menggendong beban, berjalan ke arah tuan menunjukkan. Tak peduli kepala langsung mencium reruntuhan air hujan. Tidak sempat meneduhkannya menggunakan payung. Yang penting baginya adalah uang ribuan di kantongnya bertambah.
Hujan membuat pelanggannya kabur. Tiga jam lamanya ia duduk di emperan toko. Mengadu harap pada pencipta langit agar ada yang menggunakan punggungngnya. Malang, tak seorang pun. Membeli beras dan sayuran menjadi momok mustahil beberapa waktu. Getir. Tak lagi hendak dibayangkan.
Mobil melaju cepat, sepeda motor saling menyalib. Tukang parkir meringkuk di bawah ruko-ruko, menutup jog sepeda motornya menggunakan mantel. Angkutan umum melangkah perlahan, menjauhi hujan, memohon penumpang lebih memilihnya, berasalan hujan. Sia-sia. Mobil lebih mewah hilir-mudik mengklakson jalanan, hendak lebih awal.
Ia baru memperkerjakan punggungnya tiga kali dengan upah dua ribu dikali tiga, enam ribu! Beras satu kilo saja tidak dapat ditebusnya. Membayangkan anak yang kesepian di balik tirai jendela. Kelu saat mata bulat Caca tergambar berkaca-kaca. Ia tidak akan membiarkan tiga putrinya esok pagi kelaparan. Ia juga tidak rela memberi harapan kosong, pulang tanpa jajan, anak-anaknya menunggu jajan!
“Ibu bawakan dagangan saya ke kampung dekat pasar!”
Seorang memberinya tugas saat pasukan hujan masih menghajar beringas. Ia sigap berdiri dengan senyum. “Nanti saja jika sudah reda hujannya,” sang tuan sepertinya berhati mutiara.
“Tidak papa, saya sanggup membawanya sekarang!”
“Tapi hujan,”
“Tidak papa, Mbak!” Lensanya berbinar. Ia menatap sayuran satu karung, isinya kubis dan wortel, ditafsir 10 kilogram. Satu keranjang berisi tempe dan buah-buahan. Ada bunga meja yang terselip. Sementara beras karung ditafsirnya berisi 30 kilogram.
“ Yasudah, saya akan menunjukkan jalannya.”
Ia jongkok. Menumpukan lutut untuk menahan beban. Meminta tuannya membantu meletakkan beban di atas punggung. Keranjang dijinjingnya. Melangkah di belakang wanita yang masih muda darinya. Wanita dengan kulit putih merona, bibir merah delima, memakai sweater tebal, menyelematkan kepalanya dari hujan dengan payung transparan.
Kabut hitam belum mampu terpejam. Hujan masih berserakan. Selokan muntah, air keruh menyembur sampai ke trotoar. Jalan raya digenangi air kotor. Kendaraan membelahnya menjadi dua, hingga terpecik ke wajah ibu. Ia acuh, mengusap sejenak, kembali melanjutkan perjalanan.
Di bawah langit Tuhan. Seorang wanita mendekati tua digiring payung transparan, pemiliknya melenggok anggun seraya memoles layar ponsel. Berjalan tak memperhatikan permukaan medan. Warung mulai menutup pintu. Toko-toko hening. Banyak pemilik kendaraan yang berhenti di depan toko kelontong, tak niat membeli, hanya menumpang berteduh, pemiliknya sangsi, berdoa mereka lekas pergi. Pasar kelelahan. Pedagang sayur satu jam lalu mengemas dagangan. Pedagang buah meninggalkan kulit buahnya. Komplek beras tertutup rapat. Ikan asin sudah masuk ke dalam karung. Waktu mulai hening, namun tak sesungguhnya hening, hujan membuat asbes pertokoan bergemeletak.
Lima menit menjejak aspal. Memasuki gang-gang kampung. Rumah penduduk laksana kuburan. Tidak ada tawa bocah mungil yang berlarian di halaman. Tidak ada dengung ayat suci Al-Quran seperti senja biasanya. Waktu benar menenggelamkan kehampaan. Ruh meringkuk hangat di dalam rumah masing-masing, meneduh teh manis, bercengkrama dengan kekasih kehidupan.
Ibu melirik masjid besar yang dilaluinya. Sepi. Satu sendal jepit terdampar di halaman. Seperti tak bernyawa ditinggalkan tuan. Beranda tidak diduduki remaja yang melagukan Al-Quran. Hujan memadamkan pengajian. Aktivitas berpindah nikmat di ruang keluarga.
Ia berhenti sejenak. Menyeimbangkan beban. Napas mulai tersengal. Hujan menambah kesengsaraan. Baru dirasa tubuhnya bergetar lebih hebat. Dingin! Ya! Ia merasakan gigil. Bukan hanya bibir yang membiru, kini jemarinya membiru, wajahnya membiru. Tubuhnya sukses disetubuhi air langit. Dagangannya telah ditutupi plastik besar di atasnya. Butiran air luruh ke bawah saat ia kembali berdiri. Tempe dibungkus plastik keresek hitam. Bunga dibiarkan bermesraan dengan hujan. Kelopaknya tak merunduk, justru semakin mendongak segar. Bertambah menggairahkan pandang.
Lima belas menit, tak kunjung sampai. Jika senja itu mentari bertengger di atas kekuasaannya, tentu peluh akan menghujani keningnya, ketiaknya pun memeras keringat. Bau tak sedap mampu menusuk hidung tuan. Beruntung hujan menyamarkan bau asam tersebut. Awan hitam sepertinya sedang baik hati.
“Lelah, Bu?”
“Tidak, Mbak!” Berbohong. Ia tak mau mengecewakan tuannya. Melangkah lebih bersemangat.
"Rumah saya agak jauh, di ujung kampung. Perbatasan akhir!”
“Tidak papa,”
“Saya sudah menghubungi suami saya untuk menjemput menggunakan mobil, tapi suami saya tidak bisa, anak saya sedang sakit dan tidak mau ditinggal!” kisahnya pilu.
Mendadak jiwanya getir. Hujan, orang kaya tak membiarkan buah hatinya bersungkur sendirian di dalam rumah. Ia merasa menjadi Ibu terbejat yang tega meninggalkan puttrinya. Mereka tentu ketakutan. Fira akan mendapatkan beban jika ke dua adiknya menangis. Hari sudah sangat sore, sementara tubuhnya masih terkapar di dekat pasar. Tiga intannya bukan hanya kesepian, namun khawatir ia tak pulang. Ia telan getir. Matanya berkaca-kaca. Satu bening jatuh di pipi, lantas dibasuh butiran hujan.
“Ibu punya anak?”
“Punya, tiga di rumah. Mereka gadis yang cantik-cantik!”
“Wah! Hebat ya? Mereka bersama ayah di rumah?”
Diam. Ia mengunci bibir. Hujan mereda. Butiran air menjadi serbuk gerimis. Dingin bertambah tajam. Tetes air jatuh dari tubuhnya. Pura-pura tidak mendengar. “Anak Mbak ada berapa?”
“Satu, dia lelaki yang sangat tampan, umurnya menginjak remaja, duduk di kelas 1 SMP.”
“Sudah besar ya? Padahal Anda masih muda, atau mungkin karena cantik, maka umur disamarkan?”
“Ah, ibu jangan membuat pipi saya bersemu merah!”
Mereka beradu pandang sejenak. Payung didekatkan untuk menaungi ibu. Mendadak ada keakraban yang dipotret alam. Hari itu ia merasa menemukan kawan. Dari puluhan orang kaya yang menghina, masih ada yang mau mengajaknya berbicara menyenangkan. Tak ada umpatan meski langkahnya sedikit lamban. Membawa beban di bawah guyuran hujan tak terlalu mudah. Benda dipunggung seakan bertambah berat, ia membutuhkan kosentrasi kuadrat agar tidak terpelanting jika tanah dan gang kampug licin. Kawan! Ia tak hanya menyusuri trotoar atau aspal. Namun jalan rusak yang kerikilnya bertebaran. Tuannya mencari jarak yang lebih dekat.
“Ibu, kenapa bekerja menjadi kuli gendong? Bukankah itu sangat melelahkan?”
Adakah kata lelah yang pantas dilesatkan mengingat tiga putrinya menunggu di rumah tanpa kasih sayang? Lelah adalah pengorbanannya demi membuat isi perut mereka tidak menderita. Apa pun akan dilakukannya, bahkan tak hirau harga diri diacuhkan banyak insan. Ia menginginkan kebutuhan anaknya tercukupi, tak sampai kehabisan jajan, tak mau anaknya melihat dengan tatapan iri ke anak lain yang lebih banyak menenteng jajanan. Tertawa riang di beranda rumah melahabnya. Ia menginginkan hal yang serupa saat waktu tak mengizinkannya berkumpul. Lantas ingatan menjebaknya pada buah apel merah. Kelu.
“Nama saya Sabrila, ibu bisa memanggil Bila.”
Bibirnya digigit. Senja telah merayap. Burung-burung tak ada yang bersantai di kabel-kabel listrik. Bunga hias di teras rumah warga melayu, pasar hening, tentu toko buah menggulung dagangan. Kali ini ia sungguh terisak. Merasa selain tak berguna, juga tak mampu memberikan kesenangan untuk putrinya. Berhenti. Ia menangis. Tidak malu, meski tuan memerhatikan heran.
“Ibu kenapa?” Membelai bahunya. Lembut. “Ibu lelah?” Wanita itu jelita dan berhati bunga. Tak ada intan di pergelangan tangan. Tentu hidupnya sederhana, kekayaan tidak disombongkan. Hanya cincin melingkar di jari manisnya. Itu adalah cincin pernikahan. “Saya bantu membawa ranjang sayurnya!”
“Anak saya ingin apel merah! Tapi dari kemarin saya belum bisa membelikannya!” Hujan kembali mengguyur ganas.
***
“Ibu!” Adik kecil. Lala menangis. ‘Ibu!’ Memekik, membuat mega di barat malas menatap. Fira duduk memeluk. Mengusap ubun. ‘Ibu di mana? Ibuuu!’ Setengah jam lalu adiknya terbangun meraung-raung menanyakan ibu. Caca ikut menggenangkan bening.
Kabut hitam menyelimuti kampung. Hujan masih deras menakutkan. Lampu padam. Listrik sekarat. Petir menyambar. Hujan lebih menegangkan di pedesaan yang datarannya tinggi. Petir berkilat-kilat meretakkan langit. Pelangi bahkan tak berani memberikan hiburan.
“Ibu!” Caca ikut menjerit. Ia tak mampu menahan rindu. Takdir memahami di usia mereka yang mungil, pelukan ibu memang masih sangat dibutuhkan. Cinta dan ketenangan akan terlahir jika ibu berada di sisi.
Rumah yang semula temaram menggelap. Listrik tak mau menyala. Petir beringas menyambar. Angin mengundang badai. Di luar daun-daun bambu kering berterbangan. Beberapa sampah terangkut. Tanaman miring dihempas angin. Tak seorang pun yang menjejakkan kaki di luar. Semuanya meringkuk di dalam rumah.
“Caca. Kamu sudah besar, jangan cengeng!”
“Ibu!” Gadis mungil itu memukul perut Fira. Ia menjerit tak menghiraukan perasaan kakaknya terluka. Tanpa disadari senja, ia pun menahan hangat di sudut mata. Demi kedua adik, ia tak mau terlihat lemah di depan mereka.
“Ada kakak di sini!” Berbisik lembut. Merangkul tubuh Caca . Boneka panda memandang iba. Selimut dan bantal tak tertata rapi. Jendela kamar berdecit. Tirai diombang-ambingkan angin. Fira bahkan tak berani berdiri mengunci engselnya. Ia mempunyai perasaan sama dengan kedua adiknya. Takut! Meski tidak paham untuk apa mereka takut, sementara Tuhan telah berjanji menjaganya? Bukankah sejak dalam kandungan, rizki dan kehidupan anak adam telah ditentukan? Sementara mereka tetap meringkuk ketakutan. Ibu tak pulang-pulang, entah di mana berteduh, yang diharapkan senja, malam tak segera tenggelam, maka cahaya akan menutup jalan, sebab mulai siang tadi rembulan telah ditafsirkan akan lelap tak mau membuka matanya jika petir masih menyambar.
“Ibu di mana?” Lala meronta. Ia melirik jam dinding, merapalkan doa agar jarumnya berhenti di angka lima lebih beberapa menit.
“Lihat sayang? Boneka pandanya sedih kalau adik menangis, ia ingin bermain, coba ambil, Caca!” Kedewasaan Fira tumbuh. Caca menatap boneka kesayangannya. Lala mulai tidak tertarik. Ia tetap merengek. Tembok dengan cat sewarna langit itu merasakan kepedihan. Waktu menghujat alam yang menangis. Almari tidak tega melihat tiga nyawa terduduk merapat di atas ranjang. Sungguh kejam gelap yang menciderai senyum mereka. Lukisan gunung tertempel di tubuh dinging, diwarnai dengan krayon pun ikut serta mengharap ibu segera datang, membawakan oleh-oleh untuk meredamkan ketakutan.
“Lala mau ibu! Bukan Boneka!” Wajah Fira dipukul dengan kepalan. Ia meringis di bawah gelap. Plafon menjadi saksi. Caca bungkam meraih boneka. Sementara anak itu lepas dari pelukan. Menangis sesenggukan. Mengamuk guling dan bantal. Mengacak selimut. “Ibu!” Ia yang paling membutuhkan pelukan. Caca yang semula diam kembali menangis.
Kawan! Apa yang harus Fira lakukan? Ia takut! Bahkan tak berani melangkah ke dapur di lantai bawah, mengambil lilin, menyalakannya! Ah, kelu, dada Fira sesak. Satu butir mengalir. Ia usap perlahan sebelum dua adiknya mengetahui. Suasana akan bertambah kacau jika ke tiga gadis kecil itu merintih dalam tangis bersamaan. Tetangga tak ada yang mendengar. Bahkan enggan memedulikan rumah berlantai dua itu. Mereka sibuk mengurus buah hati di rumah masing-masing.
“Jangan menangis Caca, Jangan menangis Lala, nanti ibu tidak pulang jika kalian berdua terus menangis!” Strategi yang membuat jantung berdesir. “Ibu pasti akan pulang jika hujan reda,” Fira meyakinkan. “Adik sudah ya menangisnya?”
Si kecil akhirnya diam. Anak yang belum tahu apa-apa itu merasa kelelahan. Berhenti menendang kasur yang tidak bersalah. Membiarkan selimut dan bantal yang sudah terjatuh dari ranjang. Menghadap kakaknya. Menatap bulat. Bibirnya mulai menganga. Fira berharap bukan keluhan menanyakan ibu lagi, namun kata lain. Alam mengamini. Si mungil mengucapkan kata yang mengurangi getir. “Lala lapal.”
Tangisan tumpah di mana-mana, membuat penyaksinya menelan bulir demi bulir perih tanpa kejelasan. Sebaris kalimat membuat air liur tak tertelan. Mereka merupakan kata-kata terkutuk yang dibenci waktu. Angin senja menggiring kesengsaraan tajam yang menyusup ke relung jiwa keluarga Fira. Meski ia berdiri tegak tanpa tetes berarti di pipi, makhluk langit dapat menyaksikan betapa terlunta-lunta perasaannya. Caca tak kuasa menahan sesak dadanya, Lala menjerit meronta. Ibu pasrah dengan sungai-sungai yang membanjir di dagunya. Sebuah mobil plat A datang menjemput mereka. Keluarga Fira pergi tanpa salam perpisahan.Akhtar masih belum mengerti dengan apa yang terjadi, ia hanya menunaikan tugas mengantar Caca pulang.Fira mengacuhkan Aldi, ia bahkan belum sempat mengucap terima kasih, namun langkahnya telah pergi, hanya punggung mobil yang menyampaikan lambaian juga permintaan maaf karena telah merepotkan. Lelaki itu memahami, ia bukanlah bocah yang segalanya harus
Embun mengusap kening bumi. Angin bersenandung riang dengan menggesekkan tubuhnya pada puluhan daun bambu. Burung duduk manis menyambut sapaan mentari. Pagi terbangun. Detik menunjukkan waktu terang. Aktivitas mulai meratap. Peluh bersiap mengeluh. Penduduk telah berbisik-bisik membahas gosip selebriti di teras rumah masing-masing sembari menggesekkan lidi ke tanah, yang lain ikut menyahut, tertawa atau hanya diam saja.Tiga gadis masih meringkuk di dalam selimut. Bibirnya menganga, matanya sedikit terbuka, begitulah ia lelap sepanjang hari. Fira memeluk tubuh mungil, membelakangi adik kecilnya. Ia lelap sangat, matanya belum terbuka sama sekali semenjak pukul dua dini hari. Kelelahan. Tubuhnya menggigil, selimut kembali ditarik, memeluk lebih erat tubuh yang lembut. Bantal guling seukuran tubuh Lala menjadi tempatnya membuang rindu pada peluk ibu. Kaki Lala terbuka lebar, yang kiri di atas punggung Fira, yang satu di perut Caca. Wajahnya telah diperciki s
Damai sekali melihatnya lelap usai sebulan bekerja meninggalkan rumah, meninggalkan cinta hanya mengangkut jejak ke tanah rantau. Ia menggadaikan lelahnya demi kasih tak terhingga dalam hayat. Ia pelipur lara yang tertanam dalam ceruk-ceruk rindu. Ia penerang gulita saat malam terpeluk. Sesosok pria dewasa yang kini rebah di pembaringan. Ialah yang menggendong Fira kecil, penumpah cinta dalam jantung gadis lugu itu yang penuh.Sepaham Fira ayah tidak pernah marah. Ia selalu berbuat baik, terbukti ketika ayah pulang dari pekerjaannya, ia membawa banyak jajanan, esoknya mengajak Fira dan kedua adik jalan-jalan ke pasar, bahkan tak segan menuruti seluruh permintaan anak-anaknya. Ayah sosok ramah, setiap tetangga bahkan orang asing yang berpapasan dengannya akan mendapatkan lengkung pelangi di bibir dengan gratis. Ayah bukan orang pelit, jika ada pengamen dan pengemis, satu lembar entah seribu, atau lima ribu bahkan sepuluh ribuan diberikan cuma-cuma. Ayah buk
Tidur nyenyak Akhtar terganggu dering telpon. Pukul satu dini hari, ponselnya bergetar memohon perhatian. Ia acuh, membalik punggung dan menarik selimut. Malam telah larut, tidak logis orang menelpon di waktu istirahat seperti itu jika bukan hal mendesak. Sayangnya Akhtar tak berpikir panjang. Ia melanjutkan tidur, melipat mimpi-mimpinya dengan rapi. Membuang lelah ke dalam pejaman mata rapatnya. Memeluk dingin di balik selimut tebal. Hujan di luar menciptakan suasana tidur yang nikmat. Cicak bernyanyi mengiringi kegaduhan percik air yang jatuh menimpa asbes-asbes rumah. Dedaunan di luar basar kuyup, bunga mawar menggugurkan beberapa kelopak cantiknya sebab tak mampu menampung beban hujan dari langit. Angin berembus kencang. Orang tua Akhtar lelap saling peluk. Pembantu mendengkur.Ponsel Akhtar masih berdering, melantunkan lagu Westlife, Flying Without Wings. Kali ini Akhtar membuka selimut, membuang bantal guling ke lantai, dengan geram ia menggayuh pons
Ibu gesit meracik bumbu, memasukkan ke dalam wajan. Mengingat kekasih dalam setiap adukan. Membayangkan senyum menawan saat yang dicinta merasakan masakan. Peluh tak lagi dipikirkan, bau badan menjadi aroma yang menyempurnakan. Butiran keringat menetes di kening. Ia usap, lantas merapikan rambut yang berantakan. Hari ini ia ingin memberikan perhatian lebih kepada buah kasih sayangnya. Tak rela jika waktu terus memanjakannya hidup susah di sudut-sudut pasar, memohon receh dengan mengorbankan punggung menjadi bengkok. Ada waktu yang memang disenggangkan untuk beristirahat di rumah bersama anak-anak. Sebuah kebebasan direngkuh oleh Fira.Hari ini ibu tidak memanggul beban di pasar. Fira melonjat histeris. Gadis periang dua kali lebih senang. Esok, tak dipersibuk meracik sarapan. Ia juga cuti sejenak dari membersihkan badan Lala. Malam tak bangun menciderai raga dengan gigil. Ia beristirahat melototi jalanan menanti obor melintas. Layaknya seorang PNS ya
Aroma tanah menguar, menghantarkan perasaan-perasaan kelabu di bulan ini. Langit yang mengabu membuat tunggu menjadi membosankan. Bumi terasa basah, amat basah hingga membangunkan gigil pada sela-sela kebimbangan seorang gadis. Ia mengenakan pakaian rapi, sebuah kemeja sewarna melati dengan stelan rok panjang berwarna hitam, poninya diombang-ambingkan tanpa arah oleh angin. Hujan dan menunggu seperti paket setia di pertengahan tahun. Dan gadis itu terus menunggu ponselnya berdering meski hujan melambai-lambai riang.Waktu tidak tenang, ia gusar, khawatir acaranya terpaksa ditinggalkan, bukan tersebab hujan turun mendayu-dayu membuat pedagang asongan meringkuk di bawah atap-atap ruko, menghalangi pejalan kaki menuju tempat terdekat, membiarkan lampu merah diterobos laju mobil-mobil mewah, mengacuhkan riak air yang menggenang di jalan berlubang, hujan tetaplah menjadi momen menyenangkan baginya meski perasaannya gelisah, ia tidak marah hujan turun bukan pada waktu senggan
Ibu menangis sesenggukan mendapati rumah kosong. Selendangnya langsung dilempar sembarang, jajan kesayangan Fira menggelinding di lantai, kawan tentu kau masih ingat buah kesukaan Fira, apel merah! Ya! Apel-apel itu baru dipinang ibu dari pasar sebagai oleh-oleh terbaiknya, ia membayangkan teriakan kegembiraan Fira dan kedua adik ketika mengetahui ada buah kesukaan mereka. Sayang takdir tak mau memperindah keadaan, justru semuanya terbalik tiga puluh derajat.Ibu tergopoh-gopoh lari menuju rumah kakek. Perasaannya hancur lebur diburai kesengsaraan, khawatir jika jangan-jangan suaminya lepas, lantas kembali mengamuk, mencari tiga gadis buah biologisnya dan mengombang-ambingkan di jalan. Ibu panik, panik mengerikan!Pagi tadi, paman masuk membawa sepiring sarapan. Ia tidak tahu jika tiga bocah bersembunyi di balik tumpukan rumput, Fira membungkam mulut Lala agar tidak menciptakan suara. Dengan mata kepala mereka masing-masing, mereka menya
Ia meringkuk. Tangan dikaitkan di hadapan lutut. Bersandar pada dinding ruangan. Dagunya terangguk-angguk. Tulangnya dihajar gigil. Angin malam berembus liar. Gumintang bertebaran sembarang. Langit cerah, awan hitam tak membuat resah. Dedaunan semuanya menghitam, sinar rembulan jatuh pada permukaan alam yang lelap, ia pun mengusap ubun seorang bocah. Giginya bergemeletuk. Pandangannya sayu, ia masih dijaga oleh malaikat pemberi kantuk. Tak ada potret keriangan si mungil kala itu, dirinya ditampar nyanyian lembah pedesaan yang membekukan. Angin bersatu padu mendekapnya dari segala penjuru arah. Melahab kehangatan dengan khidmat.“Fira! Lihatin jalan ya? Nanti jika teman ibu sudah berangkat, panggil, ibu!”“Iya, Bu.” Suaranya serak.Wanita itu menyiapkan segala peralatan. Selendang senjatanya. Sebotol mineral amunisi dahaganya. Mengemas bekal nasi. Kemudian menyisihkan waktu untuk bersujud memohon restu k
Lantas kotak yang dibawa Akhtar ia sembunyikan, ia kulum senyum sembari memandang wajah Fira. Pemuda yang dianggap tampan oleh bening embun tersebut berusaha tegar meski ada sedikit gelenyar perih yang mengendap di dadany—gadis yang diam-diam ia cintai dan ingin dimiliki—sudah disematkan cincin indah di jari manisnya—lantas berkenan untuk dijadikan putri, rupanya memikirkan laki-laki lain. Akhtar memacu kendaraannya menuju Yogyakarta, ke tempat yang dipenuhi dengan kenangan emosinya mengenai Fira. Bayangan saat dirinya memukul tubuh Aldi yang mabuk kembali terpampang. Amarahnya yang saat itu sungguh tidak mampu dibendung masih terasa kental dalam ingatan. Lantas detik itulah ia sadar bahwa Fira adalah gadis yang ingin ia jaga. "Terima kasih kau sudah banyak membuat Caca berkembang," kata Fira memulai obrolan. Di hadapan mereka bangunan ruko-ruko menjulang tinggi. Lampu-lampu kendaraan menyala terang-benderang. Senja menyelinap di ufuk timur, terlihat anggun dan mengagumkan serupa l
Waktu cepat berlalu, pergerakan detik pada dinding berputar sangat cepat. Fira merasa Lukisan-lukisan Caca banyak yang memesan, meski potretnya hanya gambar sketsa perempuan dan pemandangan. Semula ia ingin fokus pada kegiatan baru mengurus butik pakaian bersama Mamak dan Fira, tetapi saudata perempuannya melarang. "Mimpimu harus tetap berkembang, Ca! Jangan menderita karena diriku," kata Fira di suatu senja ketika mereka menyesap teh hangat di balkon rumah. "Kau tidak suka aku melukis, kan, Kak?" "Mulanya begitu, tetapi sekarang aku tidak bisa memungkiri kemampuanmu yang hebat, orang-orang akan sedih jika kau berhenti menjadi seniman. Berkembang biaklah dengan menjadi Caca yang utuh, jangan jadikan aku alasan dirimu melukis atau menghentikan lukisanmu," ucap Fira lagi sambil menepuk bahunya. "Hmm, akan aku pertimbangkan jika kau tidak keras kepala lagi, Kak." Lalu mereka tertawa berdua. Tetiba ada bening yang singgah di wajah Fira, ada perasaan haru tak tanggung-tanggung. Ia hend
Cairan bening asin dan getir dimuntahkan. Wajahnya lesu. Ia tidak berselera makan. Jika diibaratkan sebagai bunga, maka kali itu dirinya adalah kelopak berguguran. Fira putus asa, ia tak tahu bagaimana lagi membuat Caca bicara apalagi sampai mau mendengarkannya. Adiknya berubah menjadi sosok tak tahu diri, egois, bahkan enggan mendengar nasihatnya untuk tidak pulang larut malam. Ia stres, sampai lupa makan sehari kemarin. Sudah bisa ditebak, maagnya kambuh.Mengapa kenyataan sering berjalan tidak seimbang? Ketika perasaan manusia siap menerima takdir yang diberikan, yang diharap malah bertolak belakang, akhirnya— menggerutu lagi, lupa bersyukur, bahkan sampai menyerah pada titik terendah. Buat apa semangat? Jika kehidupan tidak pernah berubah? Fira merasa hari-harinya berada di titik koordinat sebelah kiri, berhenti pada angka nol, jarang maju ke angka satu, lebih sering mundur menjadi minus! Ya! Perasaan bahagianya semakin berkurang seiring bertambahnya detik.&nb
Caca kali ini menyadari keikhlasan kakaknya yang amat suci. Setelah tahu Fira susah payah hilir mudik dari kampung ke kecamatan, ke pusat kota, browsing sana sini, namun tak menemukan pekerjaan cocok dengannya. Ia tak tahan melihat kemurungan Fira memandang langit dengan gerakan bibir putus asa menghitung bintang-bintang sementara telunjuknya diarahkan ke angkasa, lalu pelan bulir-bulir diterpa cahaya rembulan. Malam merekam sesok gadis berambut panjang duduk bersandar tembok di balkon rumah, tangan kirinya dipangku di atas lutut sementara satunya bergerak ke kanan ke kiri di udara."Ibu, keahlian apa yang harus kubeli agar punggungmu berhenti bekerja?" ceracaunya sambil menyeka air mata sendiri.Caca mengintip dan menguping dari balik jendela. Ibu dan Lala telah pergi ke tanah mimpi untuk mengubur kepingan lelah yang dipanen sewaktu terang. Caca ingat betul ucapan terima kasih bertumpuk-tumpuk terbubuhi peluh dan ungkapan maaf ketika dirinya menyampaikan u
Kisah ini akan usai, seperti pengalaman kerja Fira yang berhenti tanpa diminati. Ia anggap semua ini terjadi sudah sesuai porsi takdir. Menyesalinya? Mustahil, toh dirinya memang berbuat salah, pantas diundurkan. Ia akan berpisah dengan kamar kos, meninggalkan ballroom, dan tentunya tak akan sentuh botol miras serta setumpuk lembar rupiah di kasir. Paling akhir, ia akan menjadikan Aldi beserta rekan kerja lain sebagai kenangan."Jangan pernah main ke sini lagi!" kata Aldi terdengar seperti sebuah ancaman padahal suaranya keluar begitu lembut. Fira ditemani membereskan kamarnya. Ibu kos mengijinkan pria masuk ke tempat Fira karena ditemani Caca juga Akhtar. Barang-barang Fira dikeluarkan semua, kecuali kasur dan bantal.Caca menyeret koper baju, sementara Akhtar membawa boneka beruang dan beberapa buku bacaan. Mereka semua bergantian memasukkan ke dalam mobil. Aldi dan Fira melangkah pelan-pelan di belakang menikmati hari-hari akhir."Kenapa? Be
Hari ini sabtu, anak-anak berseragam cokelat melipat kesenangan mereka di dada. Wajah diluruskan demi menatap gerik bibir Caca menjelaskan. Ada sebuah kanvas di depan papan tulis, Caca memberi coretan sketsa sungai dan rumput, kemudian bibir dan tangannya bekerjasama menuntun para siswa. Kuas bergerak ragu-ragu. Ruang kelas disorot cahaya pagi melalui gorden jendela.Sepekan lalu ada surat datang ke rumah, sebuah permohonan pengajar ekstrakurikuler seni lukis di sebuah SMA swasta, sekali dalam satu pekan itu ia setujui. Karir Caca melonjak. Ia tidak sempat membaca komentar netizen di dunia maya. Sengaja melupakan tragedi malam pameran. Bahkan jika mampu menghapus maka akan dihapus secepat kilat. Caca tahu banyak makian dan umpatan ditujukan kepada Fira, ia hanya meyakini umpatan mereka sebentar lagi sirna. Sekali lagi ia tidak pendam amarah, hanya saja ada hal ganjil yang membuatnya belum siap menemui Fira. Entah apa itu—'Ca, kau harus bertemu kakakm
ATM dimasukkan ke mesin, ia pencet sandi kemudian menentukan nominal yang akan ditransfer ke rekening Caca. Ia tak mau berspekulasi apa-apa mengenai ibu, yang mendadak membutuhkan uang. Ibu tidak suka berbohong, Fira yakin ibu tidak melakukan tindakan memalukan tersebut. Sungguh ibu dalam kesusahan. Ada hal terbesit dalam keningnya, mengapa Caca yang notobenenya sedang berlimpah uang tidak tahu masalah ibu?Fira tak sadar berapa jam lamanya ia menyiksa kedua mata Akhtar. Pemuda itu semalaman menemani perasaan nanar bercampur tangisnya, puluhan kilometer dihabiskan berkawan angin dan kesunyian jalan. Fira memohon dirinya untuk mengantar ke ATM setibanya di kos-kosan. Harusnya Fira pulang ke kampung halaman, namun ia menutup hati, raut mukanya belum siap dipertemukan dengan Caca.Ketika media masa sibuk membicarakan kelancangan tangan Fira menampar seorang seniman, Akhtar justru lelap bersaksikan setir mobil. Rambut awut-awutan, dua kancing kemeja yang lepas,
Aldi seumpama bohlam lampu di atas kepala Fira, sinarnya menyinari seluruh wajah namun tak mudah digapai. Begitu karakternya belakangan ini, meski setiap hari bertemu namun ia jarang memberi sapa. Senyumnya seolah baru dicuri hantu, rautnya sedingin es apalagi jika Fira mengajaknya bicara. Ada pagar yang membatasi pergaulan Aldi, entah itu apa. Siapa pun yang mengajaknya bicara, responnya hanya deheman atau anggukan kepala, bahkan ia tak lagi seramah dahulu tatkala menyambut tamu. Aldi kehilangan harta paling berharga, meski ia sendiri buta dengan yang diharga."Apa aku membuat kesalahan?" Fira menerka-nerka sambil meletakkan nampan di meja. Ia baru selesai mengantarkan pesanan. Hari ini hari terakhir dirinya menjalani hukuman, pekan depan kembali menjadi kasir."Kau malas bicara padaku?"Aldi diam, ia menenggak mineral lalu meninggalkan Fira. Maka yang bisa gadis itu lakukan hanyalah mengutus kedua langkahnya untuk mengejar sampai ke ruang wai
Ibu orang jujur dan selalu menerima apa adanya. Ia tak pernah protes sekalipun jasanya lupa belum diupahi. Senyumnya juga senantiasa subur, walaupun ucapan pahit dari teman-teman seperjuangannya menciptakan kemarau panjang di dada. Orang-orang melunasi lelah malam mereka dengan menjalankan aktivitas pagi seperti biasa.Lidi bergesekan dengan tanah, permukaan genting mengepulkan asap-asap dapur, anak-anak kecil berlomba menuju sekolah dan kaki lima menyiapkan dagangan dalam gerobak, sementara kucing tetangga malas-malasan dengan tidur di bangku teras.Ketika semua orang menjelmakan cinta dalam kesibukan, Ibu justru mondar-mandir pendam gelisah. Usai menyibak gorden jendela ia mengintip kamar Caca. Memperhatikan setiap gerik jari-jari putrinya menuangkan cat dalam kanvas. Sudah beberapa hari ini Caca bangun sebelum fajar bernapas untuk menyapa kanvas-kanvas kosongnya yang tergeletak di sebelah dipan.Kamar Caca lebih layak disebut gudang lukisan