Nyonya Liz langsung meledak, "Apa? Ayahmu pergi memohon ke dia? Ayahmu itu pamannya, lebih tua pula!"Tia menghela napas."Hah, apa gunanya lebih tua? Reina aja nggak menganggapmu sebagai neneknya?"Nyonya Liz terdiam oleh ucapan ini.Tia menatap Nyonya Liz dengan hati-hati, dia pikir Nyonya Liz itu akan membuat perhitungan dengan Reina, tapi ternyata dia malah ikut terdiam."Nenek, kamu nggak akan membiarkan Reina kabur gitu aja, 'kan?"Tia memang minta maaf pada Reina, tapi dia masih cemburu dan berharap Reina akan tertimpa kesialan.Setelah terdiam cukup lama, Nyonya Liz berkata, "Hahh, sudahlah lupakan. Sekarang, kita nggak boleh sampai menyinggung Reina."Tia tercengang."Nenek! Sejak kapan Nenek jadi pengecut gini?""Kamu tuh nggak ngerti apa-apa! Ayahmu sudah bilang aku nggak boleh cari masalah lagi. Bahkan Diego aja nyuruh aku minta maaf sama Reina." Nyonya Liz sangat mendengarkan kedua putranya dan Diego.Tia tahu Nyonya Liz pilih kasih, tapi tidak menyangka akan separah ini.
Setelah Reina mendengar jawaban Nita, dia kembali bertanya, "Sekarang kamu sudah lulus kuliah, 'kan?""Yah, baru lulus," jawab Nita."Jadi, kamu sudah dapat kerja?" Reina bertanya.Hening sesaat sebelum Nita di ujung telepon menjawab dengan tergagap, "Be ... belum. O ... orangtuaku berencana menikahkanku ...."Nita menambahkan kalimat lain."Kak Nana, aku ... aku nggak mau menikah."Masalahnya, pria yang dijodohkan orangtuanya padanya adalah duda atau pria yang sudah tua bangka.Tanpa perlu bertanya, Reina sudah bisa membaca kondisi Nita. "Nita, hidup kita di dunia ini susah. Jadi, kita harus mikirin diri sendiri. Kalau kamu nggak mau menikah, ya nggak usah diiyakan. Jangan sampai kamu terkekang oleh keputusan siapa pun.""Tapi ... mereka orangtuaku ...." Nita merasa tidak berdaya.Nita yang sekarang persis seperti Reina yang dulu.Reina tahu betapa besar pengaruh keluarga pada pribadi seseorang dan hal ini tidak bisa diubah, jadi Reina hanya bisa menasihati dan membujuknya."Nita, kit
Tia selalu suka mengancam Nita dan Nita selalu patuh, tidak berani menolaknya.Tapi hari ini, Nita menarik napas dalam-dalam dan menjawab dengan tergagap, "O ... oke, laporin aja. Aku nggak takut."Tia tertegun. Dia tidak menyangka sepupunya yang gagap, yang dulunya begitu patuh padanya, sekarang begitu berani padanya."Nita, berani ya kamu sekarang? Lancang banget kamu ngomong kayak gitu ke aku? Aku datengin lho kamu, kasih kamu pelajaran!"Nita sebenarnya masih merasa takut dengan bentakan Tia.Tapi begitu teringat ucapan Reina, dia merasa dirinya tidak bisa menjadi pengecut seumur hidup."Oke, sini aja. Aku sudah bukan adik sepupu yang bisa kamu tindas kayak dulu. Kalau kamu mau memberiku pelajaran, aku temani kapan pun."Setelah itu, Nita langsung menutup telepon.Tia mematung di tempat, mendengar dering telepon putus di ponselnya.Dia benar-benar tidak menyangka Nita yang tadinya baik-baik saja akan menjadi seperti ini.Awalnya Tia mau mengeluh pada orangtua Nita, tetapi ketika he
Padahal Reina merasa Deron tidak terlihat seperti orang yang tidak bertanggung jawab, kenapa ini bisa terjadi?"Kamu mau aku bantu cari tahu?" tanya Reina.Kali ini, Sisil menolak, "Jangan. Kalau dia tahu, dia pasti marah, pasti mikirnya aku diam-diam menyelidikinya."Sisil sangat menyukai Deron, meski tahu hubungannya dengan Deron ini tidak normal, Sisil tidak berkeluh kesah pada Deron dan terus melanjutkan hubungan ini.Reina pun tidak mengungkit lagi.Sore itu Deron pulang, namun alih-alih mencari Sisil, dia malah datang ke kantor Reina.Dia memberi tahu Reina, "Aku ada urusan di rumah dan nggak bisa jadi pengawalmu lagi. Aku sudah melatih sekelompok pengawal yang baik, mulai sekarang biar mereka yang melindungimu."Reina membelalak tidak percaya, "Kok kamu pergi tiba-tiba? Ada apa?"Reina bertanya secara naluriah karena prihatin, bukan bermaksud ikut campur urusan orang lain.Deron tidak menjawab, "Ini cuma masalah kecil, bukan masalah besar."Reina pun sungkan dan tidak bertanya l
Suasana di ruangan Sisil hening dan mencekam, meski begitu di luar angin dingin menderu-deru dan hujan turun lebat.Setelah sekian lama, Deron bicara, "Kalau kamu setuju, kita putus aja."Ternyata benar ....Sisil mengepalkan tangannya erat-erat dan terlihat sangat pilu, "Apa maksudmu kalau aku setuju? Kalau aku nggak setuju?"Deron terdiam lagi dan tidak bicara.Sisil menarik balik isak tangisnya, berusaha untuk tidak menangis dan mempermalukan dirinya."Kalau mau putusin aku, kamu harus ngasih aku alasan yang masuk akal. Kamu pikir hubungan kita ini apa. Masa kamu putusin aku karena mau pulang ngurus urusan keluarga?"Deron terdiam, dia tidak tahu harus memberikan jawaban apa.Tingkah laku Deron membuat Sisil semakin marah.Sisil berdiri, berjalan ke arah Deron dan menatapnya, "Kenapa kamu diam aja?"Deron akhirnya bicara."Kalau kamu nggak mau putus, kamu harus nunggu aku."Sisil menjadi semakin bingung, "Kenapa? Sebenarnya kamu ngapain sih? Terus aku harus nunggu berapa lama?"Sisi
Diego merasa lega dan menutup telepon.Sekarang Diego sudah jauh lebih dewasa dan bijaksana.Diego tahu Reina tidak mau membantunya bukan karena Reina tidak punya uang, tapi karena Reina tidak mau membantunya tanpa syarat.Apalagi sebenarnya mereka bukan saudara kandung. Diego juga sudah berutang banyak pada Reina, mana mungkin dia berani memohon pada Reina seperti dulu?Setelah Diego pulang kerja, dia membawa pulang dua porsi sate yang dibelinya.Sophia baru pulang setelah mengunjungi orangtuanya, tapi Sophia tetap hanya makan mi rebus tanpa tambahan lauk sedikit pun.Waktu Diego pulang dan melihat makanan Sophia, dia langsung mengernyit kesal."Bukannya aku sudah beli daging? Kan ada di kulkas, kok kamu nggak masak? Nggak ada gizinya lah kalau makan mi tiap hari."Sophia tidak peduli, "Aku pulang telat, jadi nggak punya waktu buat masak. Masak mi paling cepat buat ngisi perut kosongku."Diego tahu ini hanya alasan Sophia semata, sebenarnya Sophia tidak mau makan makanan yang dibeliny
Diego terdiam.Melihat ekspresi Diego, Sophia pun menghela napas, "Sekarang kamu menyesal, 'kan? Mulai sekarang, kamu harus memperlakukan kakakmu itu sebaik mungkin.""Ya." Diego mengangguk sungguh-sungguh, "Dulu aku terlalu hidup enak. Sekarang aku sudah ngerti dan nggak akan menyakiti dia lagi."Sayang sekali Diego baru sadar semua sekarang.Dia menatap Sophia dengan rasa terima kasih, "Kamu benar-benar mengajariku banyak hal."Sophia tersenyum malu-malu."Jangan ngomong gitu. Aku nggak hebat, jadi kamu harus memahaminya sendiri."Diego menatap Sophia dengan tatapan kasih sayang, bahkan Diego sendiri pun tidak sadar."Coba aku ketemu sama kamu lebih cepat."Diego pun merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil, lalu memberikannya pada SophiaSophia terlihat bingung, "Apa ini?""Buka, lihat saja."Sophia membuka kotak itu di bawah tatapan mata Diego dan melihat sepasang anting-anting indah di dalamnya."Ini ....""Aku beli. Kulihat kamu punya lubang tindik tapi nggak pakai ant
Saat Sophia mendengar ucapan Diego, dia menjawab perlahan, "Semua karena terpaksa, aku putri tunggal, kalau bukan aku, siapa yang ngurus?"Kalau bisa, Sophia juga ingin jadi anak yang tidak bertanggung jawab dan tidak berbakti yang tidak peduli dengan hidup mati orangtuanya.Jika menjadi anak yang tidak berbakti, setidaknya dia tidak perlu terlalu lelah.Tapi, hal ini bertentangan dengan kata hatinya. Sophia merasa alasan dia bisa bertahan dalam cobaan yang begitu berat ini adalah karena dia sayang pada orangtuanya.Jika orangtuanya benar-benar meninggalkan dunia ini, dia tidak punya alasan untuk terus hidup."Ya." Diego mengangguk.Sophia hendak masuk ke rumah saat dia sadar, dari tadi Diego menggandengnya.Sophia menarik diri dengan malu-malu, lalu bertanya pada Diego dengan penuh arti, "Diego, kok tiba-tiba kamu ngasih aku sesuatu? Kamu ... nggak jatuh cinta sama aku, 'kan?"Wajah Diego langsung terasa panas seperti terbakar.Dia langsung menjawab dengan gugup, "Kamu bercanda? Mana
Jess membuka pintu rumah barunya bersama Erik dan mendapati di dalamnya kosong.Dia pikir Erik benar-benar pergi bekerja, jadi dia tidak menelepon Erik untuk bertanya.Dia duduk di sofa, mengeluarkan kartu yang diberikan oleh Morgan dan dengan hati-hati meletakkannya di lapisan paling dalam tasnya.Kemudian Jess mengirim pesan pada Erik, "Aku sudah ketemu Morgan. Dia baik-baik saja. Aku sudah pulang."Setelah memberi tahu Morgan kegiatannya hari ini, Jess merasa tidak ada kerjaan. Jadi dia menyapu dan membersihkan seluruh rumah, lalu istirahat sebentar dan mulai masak.Jess memasak makan malam dan menunggu Erik kembali untuk makan, tapi waktu berlalu dan ternyata Erik tidak kunjung pulang.Melihat makanan di atas meja sudah dingin, Jess pun khawatir dan menelepon Erik.Di sisi lain, Erik baru saja sampai dan melihat telepon dari Jess.Dia sudah melihat pesan teks yang dikirim oleh Jess sebelumnya dan merasa sangat bersalah, jadi dia tidak membalas Jess.Sekarang saat melihat Jess menel
"Ambil." Morgan berkata lagi, dengan nada yang tidak bisa ditolak.Namun, Jess tetap menolak menerimanya.Morgan tidak berdaya, "Bisa nggak kamu dengerin aku sekali saja?"Jess menunduk, "Tuan Morgan, aku nggak melakukan apa-apa buatmu, aku nggak bisa ambil uang ini. Lagian waktu aku mengundurkan diri, departemen keuangan sudah kasih bonus buatku. Aku nggak bisa terima uang ini."Setelah Jess selesai bicara, keduanya terdiam lama.Morgan menyesap tehnya, lalu entah mengapa dia bertanya dengan nada aneh, "Kalau misal terjadi sesuatu sama aku, gimana?""Hah?" Jess sangat terkejut, "Tuan Morgan, apa maksudmu?""Jangan panik gitu. Aku kan bilang 'misal'. Misalnya terjadi sesuatu sama aku, aku 'kan nggak punya teman, cuma kamu seorang. Nggak masalah 'kan kalau aku ngasih sebagian harta aku buatmu?" ucap Morgan.Jess merasa takut, "Tuan Morgan, jangan ngomong sembarangan, kamu akan baik-baik saja. Lagian, kamu masih punya orangtua dan kakak. Suatu hari nanti juga akan dapat teman.""Nggak. K
"Baik. Erik sangat baik sama aku. Tadinya dia nemenin aku buat nyari kamu, tapi karena sudah ke beberapa tempat kami nggak menemukanmu, dia pergi kerja dulu."Jess berkata seperti ini karena dia mau Morgan dan Erik mengesampingkan perseteruan mereka.Morgan merasa tidak nyaman dan berkata, "Selama dia memperlakukanmu dengan baik, itu bagus.""Ya."Jess tidak berkomentar lebih lanjut dan undur diri, "Kalau begitu aku pergi dulu."Dia juga mau memberi tahu Erik kalau dia sudah menemukan Morgan.Tapi Morgan tidak mau Jess pergi begitu saja, "Kita sudah lama lho nggak ngobrol. Makan bareng baru balik?"Jess menggeleng dan menolak."Nggak usah, Erik masih nunggu aku pulang.""Bukannya kamu bilang dia pergi bekerja?" Morgan langsung mengungkap kebohongan Jess, "Jangan khawatir, ini cuma makan dan ngobrol, nggak ada yang lain."Jess tidak bisa menolaknya lagi dan mengangguk setuju.Keduanya pergi ke restoran terdekat untuk makan bersama.Jess sengaja mencari tempat yang lebih mencolok di deka
"Aku juga nggak tahu ... Temanku nggak tahu seberapa besar rasa cintanya sama istrinya. Tapi yang jelas kalau dia melepaskannya sekarang, dia pasti akan menyesal dan sangat tersiksa," jawab Erik.Erik tahu betul, dia sudah jatuh cinta pada wanita tidak biasa.Dia tidak bisa mengatakan Jess adalah cinta sejatinya, tapi yang jelas dia tidak bisa terima kalau putus sekarang.Itu sebabnya dia menyela jawaban Jess tadi.Mungkin saat kita memang menyukai seseorang, kita menjadi rendah hati."Ya sudah, teruskan saja." Revin berkata, "Bersama jauh lebih baik daripada nggak bersama."Seperti Revin, dia bahkan tidak punya kesempatan untuk bersama Reina.Erik justru menunggu kata-kata ini."Oke, kalau gitu terus bareng sampai bosan sendiri."Erik merasa kalau dia terus menyukai Jess, ada waktunya di mana dia akan merasa muak sendiri.Dia pernah jatuh cinta, apalagi pada cinta pertamanya yang sangat tidak terlupakan. Tapi baginya sekarang, semua itu hanya sekadar cerita masa lalu.Erik menutup tel
Jess langsung menggeleng, "Nggak, aku harus menemukannya, kalau nggak, aku nggak akan tenang."Melihat Jess begitu keras kepala dan gelisah dalam beberapa hari terakhir, Erik pun bertanya."Jess, kamu masih suka dia ya?"Jess tercengang.Dia hanya menatap ke bawah dan tidak berani menatap mata Erik.Erik langsung paham.Padahal Jess jelas-jelas sudah menjelaskan ketika dia setuju untuk bersama Erik, tapi Erik masih merasa tidak nyaman sekarang.Jess mengepalkan tangannya dan hendak membuka mulut untuk bicara.Erik langsung berkata, "Jangan marah, aku cuma tanya, nggak perlu dijawab."Suasana hati Erik menjadi semakin tertekan, namun dia tidak berani menunjukkannya.Meski Jess bukan tipe wanita yang peka dan sensitif, dia menyadari perubahan emosi Erik.Jess perlahan mengangkat kepalanya dan menatap Erik dengan tatapan yang rumit, "Erik, maaf."Erik tersenyum pahit, "Kok kamu minta maaf? Kamu 'kan nggak salah."Tenggorokan Jess rasanya tersumbatMelihat Jess kesulitan, Erik pun menggant
Reina yang tahu pun terkejut. Dia mendatangi Maxime untuk bertanya."Kok kamu bisa membuat Morgan setuju?"Padahal kemarin Morgan tidak setuju meski Reina sudah berusaha membujuknya.Tentu saja, Maxime tidak memberi tahu Reina bahwa dia sudah memohon agar Morgan menyetujuinya."Mungkin karena dia masih punya hati nurani, kemarin aku ngasih tahu dia, kalau Sisca itu baik banget sama Talitha."Reina menghela napas lega, "Semoga dia bisa berubah jadi orang yang lebih baik.""Ya."Maxime mengangguk.Meski begitu, Maxime sangat mengkhawatirkan Morgan.Dia merasa Morgan tidak bisa berubah segampang itu apalagi dalam lingkungan seperti ini tanpa ditemani siapa-siapa. Morgan jadi menutup diri....Di dalam vila pribadi Morgan, ponsel Morgan terus bergetar.Morgan tidak pernah mengangkat telepon, juga tidak melihat siapa yang meneleponnya.Sebenarnya orang yang meneleponnya adalah Jess.Jess sudah menelepon beberapa kali, tetapi tidak ada yang menjawab.Dia jadi khawatir, "Kok masih nggak angka
Tidak ada cahaya sama sekali di vila pribadi yang gelap itu.Pria yang ada dalam kamar itu sedang duduk di antara tumpukan botol anggur, bersandar di dinding dan terlihat lesu.Tiba-tiba pintu yang tertutup itu pun terbuka dari luar dan cahaya masuk secara perlahan.Morgan langsung mengulurkan tangannya untuk menghalangi cahaya di depannya. Setelah beradaptasi, barulah dia menurunkan tangannya.Morgan membuka matanya dan melihat seorang pria berjalan ke arahnya selangkah demi selangkah dengan sepatu kulit mengkilap karena melawan cahaya.Maxime masuk ke kamar itu, menyalakan lampu dan melihat Morgan terbaring di antara tumpukan botol anggur.Maxime mengernyit dan berjalan di antara tumpukan botol anggur."Kamu berencana hidup seperti ini selama sisa hidupmu?" Maxime bertanya.Morgan mengangkat matanya dan menatapnya, "Kamu datang buat menertawakanku?"Maxime mencari kursi dan duduk, menoleh ke arah Morgan dengan tatapan menghina."Dengan rupamu yang seperti ini, kamu pantas aku hina?"
Maxime mengangguk.Dia berkata, "Tapi kalau ke depannya dia hubungin kamu, kamu harus kasih tahu aku ya apa pun yang terjadi. Jangan sembunyiin dariku.""Oke."Reina langsung setuju, lalu menggandeng tangan Maxime yang ada di wajahnya sambil berkata, "Ayo pulang."Dengan bergandengan tangan, Maxime merasa sangat nyaman.Sekarang berbeda dari masa lalu. Dia sangat takut Reina akan meninggalkannya atau Reina direbut orang lain."Nana, kamu cinta nggak sih sama aku?"Sambil berjalan, Maxime tiba-tiba bertanya.Sekarang Reina benar-benar merasa Maxime ini aneh, dia berhenti melangkah dan menjawab, "Ya ampun kita sudah menikah berapa tahun, punya empat anak pula. Kamu kekanak-kanakan banget, ngapain nanya kayak gini?"Maxime menggenggam tangan Reina erat-erat."Jadi, kamu cinta nggak sama aku?" Dia menatap Reina dengan serius.Tangan Reina terasa sakit karena genggaman yang begitu erat. Reina hendak menjawab saat tiba-tiba Riki berlari ke arah mereka berdua."Mama, kalian dari mana?""Habis
Setelah Reina menutup telepon, dia bersiap memberi tahu Sisil.Namun tiba-tiba Maxime masuk.Maxime bisa melihat Reina yang gelisah, dia bertanya, "Kenapa? Barusan kamu telepon siapa? Kok kayak panik gitu?""Nggak ada, aku mau ketemu Sisil."Reina berjalan melewati Maxime dan buru-buru ke tempat Sisil.Reina yakin Sisil sangat khawatir karena sekarang Deron sendirian.Maxime melihat Reina meninggalkan ponselnya di atas meja. Jadi, Maxime hendak mengantarkannya pada Reina."Ting!"Ponsel Reina berdering, sebuah pesan muncul di layar ponsel Reina.Pesan yang masuk adalah dari Revin, "Nana, kamu harus jaga diri ya. Kalau ada apa-apa, harus kasih tahu aku. Kalau Maxime jahatin kamu, kamu juga harus ngasih tahu aku, pokoknya aku akan selalu siap di belakangmu."Maxime memicingkan mata.Maxime ingin membuka ponsel Reina, tapi kata sandinya sudah diubah.Pikiran Maxime langsung kacau. Setelah ragu-ragu untuk waktu yang lama, dia mematikan ponsel Reina dan hendak mengantarkannya.Reina sudah s