Diego merasa lega dan menutup telepon.Sekarang Diego sudah jauh lebih dewasa dan bijaksana.Diego tahu Reina tidak mau membantunya bukan karena Reina tidak punya uang, tapi karena Reina tidak mau membantunya tanpa syarat.Apalagi sebenarnya mereka bukan saudara kandung. Diego juga sudah berutang banyak pada Reina, mana mungkin dia berani memohon pada Reina seperti dulu?Setelah Diego pulang kerja, dia membawa pulang dua porsi sate yang dibelinya.Sophia baru pulang setelah mengunjungi orangtuanya, tapi Sophia tetap hanya makan mi rebus tanpa tambahan lauk sedikit pun.Waktu Diego pulang dan melihat makanan Sophia, dia langsung mengernyit kesal."Bukannya aku sudah beli daging? Kan ada di kulkas, kok kamu nggak masak? Nggak ada gizinya lah kalau makan mi tiap hari."Sophia tidak peduli, "Aku pulang telat, jadi nggak punya waktu buat masak. Masak mi paling cepat buat ngisi perut kosongku."Diego tahu ini hanya alasan Sophia semata, sebenarnya Sophia tidak mau makan makanan yang dibeliny
Diego terdiam.Melihat ekspresi Diego, Sophia pun menghela napas, "Sekarang kamu menyesal, 'kan? Mulai sekarang, kamu harus memperlakukan kakakmu itu sebaik mungkin.""Ya." Diego mengangguk sungguh-sungguh, "Dulu aku terlalu hidup enak. Sekarang aku sudah ngerti dan nggak akan menyakiti dia lagi."Sayang sekali Diego baru sadar semua sekarang.Dia menatap Sophia dengan rasa terima kasih, "Kamu benar-benar mengajariku banyak hal."Sophia tersenyum malu-malu."Jangan ngomong gitu. Aku nggak hebat, jadi kamu harus memahaminya sendiri."Diego menatap Sophia dengan tatapan kasih sayang, bahkan Diego sendiri pun tidak sadar."Coba aku ketemu sama kamu lebih cepat."Diego pun merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil, lalu memberikannya pada SophiaSophia terlihat bingung, "Apa ini?""Buka, lihat saja."Sophia membuka kotak itu di bawah tatapan mata Diego dan melihat sepasang anting-anting indah di dalamnya."Ini ....""Aku beli. Kulihat kamu punya lubang tindik tapi nggak pakai ant
Saat Sophia mendengar ucapan Diego, dia menjawab perlahan, "Semua karena terpaksa, aku putri tunggal, kalau bukan aku, siapa yang ngurus?"Kalau bisa, Sophia juga ingin jadi anak yang tidak bertanggung jawab dan tidak berbakti yang tidak peduli dengan hidup mati orangtuanya.Jika menjadi anak yang tidak berbakti, setidaknya dia tidak perlu terlalu lelah.Tapi, hal ini bertentangan dengan kata hatinya. Sophia merasa alasan dia bisa bertahan dalam cobaan yang begitu berat ini adalah karena dia sayang pada orangtuanya.Jika orangtuanya benar-benar meninggalkan dunia ini, dia tidak punya alasan untuk terus hidup."Ya." Diego mengangguk.Sophia hendak masuk ke rumah saat dia sadar, dari tadi Diego menggandengnya.Sophia menarik diri dengan malu-malu, lalu bertanya pada Diego dengan penuh arti, "Diego, kok tiba-tiba kamu ngasih aku sesuatu? Kamu ... nggak jatuh cinta sama aku, 'kan?"Wajah Diego langsung terasa panas seperti terbakar.Dia langsung menjawab dengan gugup, "Kamu bercanda? Mana
Meski Joanna tidak harus mengelola perusahaan, dia harus mengurus semua urusan internal Keluarga Sunandar.Selain itu, dia juga perlu menjalin hubungan baik dengan para nyonya dari perusahaan besar lain supaya usaha suaminya lancar.Dan untuk keperluan itu, ada kalanya Joanna harus menyuap beberapa orang demi bisa menyenangkan para nyonya kaya itu.Jadi, pelayan itu pun membela Joanna dan berkata, "Tuan, yang kamu lakukan sekarang itu yang dulu dilakukan Nyonya."Daniel yang duduk terkulai di sofa langsung membuka matanya saat mendengar ucapan ini.Pelayan itu ketakutan dengan tatapan Daniel dan mundur selangkah, tapi tidak minta maaf.Daniel tidak pandai dalam hal lain, tapi dia adalah pria baik hati dan tidak mudah marah."Ini sudah tugasnya sebagai menantu Keluarga Sunandar.""Tapi sekarang 'kan Nyonya sudah bercerai," tambah pelayan itu.Daniel benar-benar terdiam.Dia mengubah topik pembicaraan, "Sebentar lagi tahun baru. Sudah waktunya bersiap buat perkumpulan tahunan keluarga. K
Daniel mematung di tempat waktu Liam lepas dari pelukannya."Leo, Liam, ini Kakek."Daniel menatap Leo dan hendak menggendongnya, tapi Leo langsung menghindar dan berlari.Joanna langsung mencibir saat melihat kejadian ini, "Kamu ketemu mereka aja bisa dihitung jari, sekarang tiba-tiba main peluk. Kamu meremehkan mereka ya? Di mata mereka, kamu itu orang asing."Daniel berjongkok dan tidak bisa menyangkal ucapan Joanna.Daniel pun mengepalkan kedua tangannya, "Aku itu pria, mana mungkin bisa ngurus dua anak?""Oh, jadi kamu pikir itu kewajiban wanita?"Joanna sangat marah, dia terus mencibir, "Kalau kamu nggak mau ngurus anak? Kalau gitu kamu pernah tanggung jawab sebagai ayah nggak? Coba lihat Max, Morgan, siapa dari mereka yang nggak aku besarkan? Terus Grup Sunandar, kalau dulu bukan aku yang putar otak menjalankan perusahaan, perusahaan keluargamu itu sudah bangkrut!"Melihat Joanna akan berdebat dengannya, Daniel langsung mengganti topik pembicaraan."Oke, sudah cukup."Dia menghe
Daniel tentu langsung setuju."Oke, kita sekeluarga memang harus menjaga hubungan dan harus harmonis.""Harusnya memang gitu. Kali ini aku mau ngomong baik-baik sama Max dan minta maaf sama dia." Aarav berkata dengan sangat tulus."Kita semua 'kan satu keluarga. Kamu itu paman Max, lagian semua itu sudah masa lalu."Daniel adalah orangtua yang baik, dia hanya memikirkan keharmonisan keluarganya dan tidak menganggap kakaknya sudah keterlaluan."Kuharap Max juga berpikir begitu."Aarav menghela napas dan tampak sedih.Daniel menyadarinya dan bertanya, "Kak, apa terjadi sesuatu? Kok kamu kelihatan gelisah?""Nggak apa-apa sih, cuma perusahaanku belakangan ini mengalami masalah. Tapi jangan khawatir, meski aku makin tua, aku masih bisa bertahan." Aarav berpura-pura baik-baik saja.Daniel pun bertanya, "Apa yang terjadi? Kamu bisa cerita sama aku, kita bisa duduk dan diskusi bareng."Aarav kemudian memberi tahu Daniel tentang kondisi perusahaan yang buruk belakangan ini dan menuduh ini semu
Tommy langsung tersenyum berseri-seri, menatap pelayan dengan sinis, lalu berkata pada Daniel sambil tersenyum, "Terima kasih, Kakek.""Sama-sama."Daniel menatapnya penuh dengan kasih sayang sampai tidak sadar kalau Maxime sekeluarga sudah datang.Maxime tidak menyangka Aarav sekeluarga akan datang.Riki dan Riko kebetulan mendengar percakapan Daniel dan Tommy tadi. Ternyata kakeknya bisa memberikan hadiah yang sengaja disiapkan untuk mereka pada orang lain begitu mudahnya.Sejak kembali ke Keluarga Sunandar, Joanna sangat menyayangi Riki dan Riko. Riki pun membela neneknya yang sudah bercerai, berpura-pura menjadi anak pada umumnya dan berlari ke depan Tommy."Balikin! Ini punyaku!"Riki merebut mainan itu dari tangan Tommy.Tommy langsung tercengang.Daniel buru-buru menasihati, "Riki, nanti Kakek beliin mainan lain. Mainan ini kamu kasih Tommy dulu ya."Riki tidak menyerah begitu saja. Dia langsung cemberut dan menyahut, "Kakek, bukannya tadi Kakek bilang Kakek sengaja beliin maina
Maxime bahkan terlalu malas untuk menatap Daniel."Aku nggak bisa bantu." Kemudian, Maxime menatap Aarav, "Paman, dalam bisnis, Paman sebagai bos harusnya tahu nggak bisa mengabaikan kepentingan perusahaan demi keegoisan pribadi."Aarav jadi terlihat malu. Dia menyesap anggurnya, berdeham dan mengangguk, "Max benar. Daniel, sudah jangan nyusahin Max. Meski kita satu keluarga, tapi tetap aja di antara saudara harus ada hitungan yang jelas."Daniel tidak menyangka Maxime akan terang-terangan membantahnya.Daniel mengernyit dan sebagai kepala keluarga, dia berkata pada Maxime lagi."Max, kita ini satu keluarga besar. Kamu nggak bisa diam saja melihat bisnis pamanmu semakin terpuruk."Maxime tahu ayahnya adalah pria yang baik.Namun, Maxime langsung menyahut, "Ayah, bukannya aku nggak mandang saudara. Gini aja, aku punya manajer yang sangat hebat dan berbakat, aku taruh dia di perusahaan paman buat bantu dia di sana, gimana?"Jawaban ini membuat semua orang tercengang.Terutama Aarav sekel
Jess membuka pintu rumah barunya bersama Erik dan mendapati di dalamnya kosong.Dia pikir Erik benar-benar pergi bekerja, jadi dia tidak menelepon Erik untuk bertanya.Dia duduk di sofa, mengeluarkan kartu yang diberikan oleh Morgan dan dengan hati-hati meletakkannya di lapisan paling dalam tasnya.Kemudian Jess mengirim pesan pada Erik, "Aku sudah ketemu Morgan. Dia baik-baik saja. Aku sudah pulang."Setelah memberi tahu Morgan kegiatannya hari ini, Jess merasa tidak ada kerjaan. Jadi dia menyapu dan membersihkan seluruh rumah, lalu istirahat sebentar dan mulai masak.Jess memasak makan malam dan menunggu Erik kembali untuk makan, tapi waktu berlalu dan ternyata Erik tidak kunjung pulang.Melihat makanan di atas meja sudah dingin, Jess pun khawatir dan menelepon Erik.Di sisi lain, Erik baru saja sampai dan melihat telepon dari Jess.Dia sudah melihat pesan teks yang dikirim oleh Jess sebelumnya dan merasa sangat bersalah, jadi dia tidak membalas Jess.Sekarang saat melihat Jess menel
"Ambil." Morgan berkata lagi, dengan nada yang tidak bisa ditolak.Namun, Jess tetap menolak menerimanya.Morgan tidak berdaya, "Bisa nggak kamu dengerin aku sekali saja?"Jess menunduk, "Tuan Morgan, aku nggak melakukan apa-apa buatmu, aku nggak bisa ambil uang ini. Lagian waktu aku mengundurkan diri, departemen keuangan sudah kasih bonus buatku. Aku nggak bisa terima uang ini."Setelah Jess selesai bicara, keduanya terdiam lama.Morgan menyesap tehnya, lalu entah mengapa dia bertanya dengan nada aneh, "Kalau misal terjadi sesuatu sama aku, gimana?""Hah?" Jess sangat terkejut, "Tuan Morgan, apa maksudmu?""Jangan panik gitu. Aku kan bilang 'misal'. Misalnya terjadi sesuatu sama aku, aku 'kan nggak punya teman, cuma kamu seorang. Nggak masalah 'kan kalau aku ngasih sebagian harta aku buatmu?" ucap Morgan.Jess merasa takut, "Tuan Morgan, jangan ngomong sembarangan, kamu akan baik-baik saja. Lagian, kamu masih punya orangtua dan kakak. Suatu hari nanti juga akan dapat teman.""Nggak. K
"Baik. Erik sangat baik sama aku. Tadinya dia nemenin aku buat nyari kamu, tapi karena sudah ke beberapa tempat kami nggak menemukanmu, dia pergi kerja dulu."Jess berkata seperti ini karena dia mau Morgan dan Erik mengesampingkan perseteruan mereka.Morgan merasa tidak nyaman dan berkata, "Selama dia memperlakukanmu dengan baik, itu bagus.""Ya."Jess tidak berkomentar lebih lanjut dan undur diri, "Kalau begitu aku pergi dulu."Dia juga mau memberi tahu Erik kalau dia sudah menemukan Morgan.Tapi Morgan tidak mau Jess pergi begitu saja, "Kita sudah lama lho nggak ngobrol. Makan bareng baru balik?"Jess menggeleng dan menolak."Nggak usah, Erik masih nunggu aku pulang.""Bukannya kamu bilang dia pergi bekerja?" Morgan langsung mengungkap kebohongan Jess, "Jangan khawatir, ini cuma makan dan ngobrol, nggak ada yang lain."Jess tidak bisa menolaknya lagi dan mengangguk setuju.Keduanya pergi ke restoran terdekat untuk makan bersama.Jess sengaja mencari tempat yang lebih mencolok di deka
"Aku juga nggak tahu ... Temanku nggak tahu seberapa besar rasa cintanya sama istrinya. Tapi yang jelas kalau dia melepaskannya sekarang, dia pasti akan menyesal dan sangat tersiksa," jawab Erik.Erik tahu betul, dia sudah jatuh cinta pada wanita tidak biasa.Dia tidak bisa mengatakan Jess adalah cinta sejatinya, tapi yang jelas dia tidak bisa terima kalau putus sekarang.Itu sebabnya dia menyela jawaban Jess tadi.Mungkin saat kita memang menyukai seseorang, kita menjadi rendah hati."Ya sudah, teruskan saja." Revin berkata, "Bersama jauh lebih baik daripada nggak bersama."Seperti Revin, dia bahkan tidak punya kesempatan untuk bersama Reina.Erik justru menunggu kata-kata ini."Oke, kalau gitu terus bareng sampai bosan sendiri."Erik merasa kalau dia terus menyukai Jess, ada waktunya di mana dia akan merasa muak sendiri.Dia pernah jatuh cinta, apalagi pada cinta pertamanya yang sangat tidak terlupakan. Tapi baginya sekarang, semua itu hanya sekadar cerita masa lalu.Erik menutup tel
Jess langsung menggeleng, "Nggak, aku harus menemukannya, kalau nggak, aku nggak akan tenang."Melihat Jess begitu keras kepala dan gelisah dalam beberapa hari terakhir, Erik pun bertanya."Jess, kamu masih suka dia ya?"Jess tercengang.Dia hanya menatap ke bawah dan tidak berani menatap mata Erik.Erik langsung paham.Padahal Jess jelas-jelas sudah menjelaskan ketika dia setuju untuk bersama Erik, tapi Erik masih merasa tidak nyaman sekarang.Jess mengepalkan tangannya dan hendak membuka mulut untuk bicara.Erik langsung berkata, "Jangan marah, aku cuma tanya, nggak perlu dijawab."Suasana hati Erik menjadi semakin tertekan, namun dia tidak berani menunjukkannya.Meski Jess bukan tipe wanita yang peka dan sensitif, dia menyadari perubahan emosi Erik.Jess perlahan mengangkat kepalanya dan menatap Erik dengan tatapan yang rumit, "Erik, maaf."Erik tersenyum pahit, "Kok kamu minta maaf? Kamu 'kan nggak salah."Tenggorokan Jess rasanya tersumbatMelihat Jess kesulitan, Erik pun menggant
Reina yang tahu pun terkejut. Dia mendatangi Maxime untuk bertanya."Kok kamu bisa membuat Morgan setuju?"Padahal kemarin Morgan tidak setuju meski Reina sudah berusaha membujuknya.Tentu saja, Maxime tidak memberi tahu Reina bahwa dia sudah memohon agar Morgan menyetujuinya."Mungkin karena dia masih punya hati nurani, kemarin aku ngasih tahu dia, kalau Sisca itu baik banget sama Talitha."Reina menghela napas lega, "Semoga dia bisa berubah jadi orang yang lebih baik.""Ya."Maxime mengangguk.Meski begitu, Maxime sangat mengkhawatirkan Morgan.Dia merasa Morgan tidak bisa berubah segampang itu apalagi dalam lingkungan seperti ini tanpa ditemani siapa-siapa. Morgan jadi menutup diri....Di dalam vila pribadi Morgan, ponsel Morgan terus bergetar.Morgan tidak pernah mengangkat telepon, juga tidak melihat siapa yang meneleponnya.Sebenarnya orang yang meneleponnya adalah Jess.Jess sudah menelepon beberapa kali, tetapi tidak ada yang menjawab.Dia jadi khawatir, "Kok masih nggak angka
Tidak ada cahaya sama sekali di vila pribadi yang gelap itu.Pria yang ada dalam kamar itu sedang duduk di antara tumpukan botol anggur, bersandar di dinding dan terlihat lesu.Tiba-tiba pintu yang tertutup itu pun terbuka dari luar dan cahaya masuk secara perlahan.Morgan langsung mengulurkan tangannya untuk menghalangi cahaya di depannya. Setelah beradaptasi, barulah dia menurunkan tangannya.Morgan membuka matanya dan melihat seorang pria berjalan ke arahnya selangkah demi selangkah dengan sepatu kulit mengkilap karena melawan cahaya.Maxime masuk ke kamar itu, menyalakan lampu dan melihat Morgan terbaring di antara tumpukan botol anggur.Maxime mengernyit dan berjalan di antara tumpukan botol anggur."Kamu berencana hidup seperti ini selama sisa hidupmu?" Maxime bertanya.Morgan mengangkat matanya dan menatapnya, "Kamu datang buat menertawakanku?"Maxime mencari kursi dan duduk, menoleh ke arah Morgan dengan tatapan menghina."Dengan rupamu yang seperti ini, kamu pantas aku hina?"
Maxime mengangguk.Dia berkata, "Tapi kalau ke depannya dia hubungin kamu, kamu harus kasih tahu aku ya apa pun yang terjadi. Jangan sembunyiin dariku.""Oke."Reina langsung setuju, lalu menggandeng tangan Maxime yang ada di wajahnya sambil berkata, "Ayo pulang."Dengan bergandengan tangan, Maxime merasa sangat nyaman.Sekarang berbeda dari masa lalu. Dia sangat takut Reina akan meninggalkannya atau Reina direbut orang lain."Nana, kamu cinta nggak sih sama aku?"Sambil berjalan, Maxime tiba-tiba bertanya.Sekarang Reina benar-benar merasa Maxime ini aneh, dia berhenti melangkah dan menjawab, "Ya ampun kita sudah menikah berapa tahun, punya empat anak pula. Kamu kekanak-kanakan banget, ngapain nanya kayak gini?"Maxime menggenggam tangan Reina erat-erat."Jadi, kamu cinta nggak sama aku?" Dia menatap Reina dengan serius.Tangan Reina terasa sakit karena genggaman yang begitu erat. Reina hendak menjawab saat tiba-tiba Riki berlari ke arah mereka berdua."Mama, kalian dari mana?""Habis
Setelah Reina menutup telepon, dia bersiap memberi tahu Sisil.Namun tiba-tiba Maxime masuk.Maxime bisa melihat Reina yang gelisah, dia bertanya, "Kenapa? Barusan kamu telepon siapa? Kok kayak panik gitu?""Nggak ada, aku mau ketemu Sisil."Reina berjalan melewati Maxime dan buru-buru ke tempat Sisil.Reina yakin Sisil sangat khawatir karena sekarang Deron sendirian.Maxime melihat Reina meninggalkan ponselnya di atas meja. Jadi, Maxime hendak mengantarkannya pada Reina."Ting!"Ponsel Reina berdering, sebuah pesan muncul di layar ponsel Reina.Pesan yang masuk adalah dari Revin, "Nana, kamu harus jaga diri ya. Kalau ada apa-apa, harus kasih tahu aku. Kalau Maxime jahatin kamu, kamu juga harus ngasih tahu aku, pokoknya aku akan selalu siap di belakangmu."Maxime memicingkan mata.Maxime ingin membuka ponsel Reina, tapi kata sandinya sudah diubah.Pikiran Maxime langsung kacau. Setelah ragu-ragu untuk waktu yang lama, dia mematikan ponsel Reina dan hendak mengantarkannya.Reina sudah s