Meski Joanna tidak harus mengelola perusahaan, dia harus mengurus semua urusan internal Keluarga Sunandar.Selain itu, dia juga perlu menjalin hubungan baik dengan para nyonya dari perusahaan besar lain supaya usaha suaminya lancar.Dan untuk keperluan itu, ada kalanya Joanna harus menyuap beberapa orang demi bisa menyenangkan para nyonya kaya itu.Jadi, pelayan itu pun membela Joanna dan berkata, "Tuan, yang kamu lakukan sekarang itu yang dulu dilakukan Nyonya."Daniel yang duduk terkulai di sofa langsung membuka matanya saat mendengar ucapan ini.Pelayan itu ketakutan dengan tatapan Daniel dan mundur selangkah, tapi tidak minta maaf.Daniel tidak pandai dalam hal lain, tapi dia adalah pria baik hati dan tidak mudah marah."Ini sudah tugasnya sebagai menantu Keluarga Sunandar.""Tapi sekarang 'kan Nyonya sudah bercerai," tambah pelayan itu.Daniel benar-benar terdiam.Dia mengubah topik pembicaraan, "Sebentar lagi tahun baru. Sudah waktunya bersiap buat perkumpulan tahunan keluarga. K
Daniel mematung di tempat waktu Liam lepas dari pelukannya."Leo, Liam, ini Kakek."Daniel menatap Leo dan hendak menggendongnya, tapi Leo langsung menghindar dan berlari.Joanna langsung mencibir saat melihat kejadian ini, "Kamu ketemu mereka aja bisa dihitung jari, sekarang tiba-tiba main peluk. Kamu meremehkan mereka ya? Di mata mereka, kamu itu orang asing."Daniel berjongkok dan tidak bisa menyangkal ucapan Joanna.Daniel pun mengepalkan kedua tangannya, "Aku itu pria, mana mungkin bisa ngurus dua anak?""Oh, jadi kamu pikir itu kewajiban wanita?"Joanna sangat marah, dia terus mencibir, "Kalau kamu nggak mau ngurus anak? Kalau gitu kamu pernah tanggung jawab sebagai ayah nggak? Coba lihat Max, Morgan, siapa dari mereka yang nggak aku besarkan? Terus Grup Sunandar, kalau dulu bukan aku yang putar otak menjalankan perusahaan, perusahaan keluargamu itu sudah bangkrut!"Melihat Joanna akan berdebat dengannya, Daniel langsung mengganti topik pembicaraan."Oke, sudah cukup."Dia menghe
Daniel tentu langsung setuju."Oke, kita sekeluarga memang harus menjaga hubungan dan harus harmonis.""Harusnya memang gitu. Kali ini aku mau ngomong baik-baik sama Max dan minta maaf sama dia." Aarav berkata dengan sangat tulus."Kita semua 'kan satu keluarga. Kamu itu paman Max, lagian semua itu sudah masa lalu."Daniel adalah orangtua yang baik, dia hanya memikirkan keharmonisan keluarganya dan tidak menganggap kakaknya sudah keterlaluan."Kuharap Max juga berpikir begitu."Aarav menghela napas dan tampak sedih.Daniel menyadarinya dan bertanya, "Kak, apa terjadi sesuatu? Kok kamu kelihatan gelisah?""Nggak apa-apa sih, cuma perusahaanku belakangan ini mengalami masalah. Tapi jangan khawatir, meski aku makin tua, aku masih bisa bertahan." Aarav berpura-pura baik-baik saja.Daniel pun bertanya, "Apa yang terjadi? Kamu bisa cerita sama aku, kita bisa duduk dan diskusi bareng."Aarav kemudian memberi tahu Daniel tentang kondisi perusahaan yang buruk belakangan ini dan menuduh ini semu
Tommy langsung tersenyum berseri-seri, menatap pelayan dengan sinis, lalu berkata pada Daniel sambil tersenyum, "Terima kasih, Kakek.""Sama-sama."Daniel menatapnya penuh dengan kasih sayang sampai tidak sadar kalau Maxime sekeluarga sudah datang.Maxime tidak menyangka Aarav sekeluarga akan datang.Riki dan Riko kebetulan mendengar percakapan Daniel dan Tommy tadi. Ternyata kakeknya bisa memberikan hadiah yang sengaja disiapkan untuk mereka pada orang lain begitu mudahnya.Sejak kembali ke Keluarga Sunandar, Joanna sangat menyayangi Riki dan Riko. Riki pun membela neneknya yang sudah bercerai, berpura-pura menjadi anak pada umumnya dan berlari ke depan Tommy."Balikin! Ini punyaku!"Riki merebut mainan itu dari tangan Tommy.Tommy langsung tercengang.Daniel buru-buru menasihati, "Riki, nanti Kakek beliin mainan lain. Mainan ini kamu kasih Tommy dulu ya."Riki tidak menyerah begitu saja. Dia langsung cemberut dan menyahut, "Kakek, bukannya tadi Kakek bilang Kakek sengaja beliin maina
Maxime bahkan terlalu malas untuk menatap Daniel."Aku nggak bisa bantu." Kemudian, Maxime menatap Aarav, "Paman, dalam bisnis, Paman sebagai bos harusnya tahu nggak bisa mengabaikan kepentingan perusahaan demi keegoisan pribadi."Aarav jadi terlihat malu. Dia menyesap anggurnya, berdeham dan mengangguk, "Max benar. Daniel, sudah jangan nyusahin Max. Meski kita satu keluarga, tapi tetap aja di antara saudara harus ada hitungan yang jelas."Daniel tidak menyangka Maxime akan terang-terangan membantahnya.Daniel mengernyit dan sebagai kepala keluarga, dia berkata pada Maxime lagi."Max, kita ini satu keluarga besar. Kamu nggak bisa diam saja melihat bisnis pamanmu semakin terpuruk."Maxime tahu ayahnya adalah pria yang baik.Namun, Maxime langsung menyahut, "Ayah, bukannya aku nggak mandang saudara. Gini aja, aku punya manajer yang sangat hebat dan berbakat, aku taruh dia di perusahaan paman buat bantu dia di sana, gimana?"Jawaban ini membuat semua orang tercengang.Terutama Aarav sekel
Ekspresi Melisha langsung tidak enak dilihat dan dia tidak jadi minta Rendy mengambilkan makanan untuknya.Spontan, dia pun melirik Reina dan Maxime. Bahagia sekali Reina, meski piring lauk ada di depan piring Reina, Maxime tetap menyendokkan lauk itu ke piring Reina.Bahkan saat Reina melirik sebuah lauk, Maxime akan langsung mengambilkan untuknya.Melisha merasa masam. Kenapa suaminya tidak cakap dan seperhatian suami orang lain?Melisha jadi makin tidak puas, dia berharap bisa langsung menceraikan Rendy detik ini juga.Sayangnya seluruh harta Keluarga Sunandar kini berada di tangan ayah mertuanya, Aarav."Nana, kamu pasti bahagia ya."Reina menatap Melisha dan tersenyum, "Kak Melisha, memangnya kamu nggak bahagia? Atau Kak Rendy memperlakukanmu dengan buruk?"Melisha tercekat.Aarav langsung mengernyit dan berkata, "Melisha, ada hal kamu nggak puas dari Rendy?"Melisha buru-buru menggeleng, "Ah nggak, aku cuma ngomong aja kok. Aku Cuma bilang Nana pasti bahagia, tapi bukan berarti a
"Max itu anakku. Kamu bisa aja nggak kasihan sama dia, tapi aku sebagai ibu nggak bisa. Kalau kamu terlalu dekat sama Aarav, kamu bakal nyakitin anakmu sendiri!" Joanna menambahkan.Karena Maxime dan Reina masih di sana, Daniel merasa sangat malu.Dia mengibaskan tangannya, "Iya, aku ngerti. Masih ada anak-anak di sini, sudah nggak usah bikin keributan."Daniel menambahkan."Dulu kamu nggak kayak gini, kok sekarang makin nggak jelas."Joanna tercengang bukan main.Kalau bukan karena ada Maxime sekeluarga, dia akan benar-benar membuat perhitungan dengan Daniel.Maxime akhirnya angkat bicara, "Ayah, omongan ibu itu benar. Lain kali kalau keluarga paman datang, jangan panggil kami ke sini."Daniel tidak menyangka putranya akan memihak Joanna, jadi apa lagi yang mau dia katakan.Maxime melanjutkan, "Ayah dan ibu sudah bercerai, jadi Ayah tetap harus berhati-hati dengan ucapanmu."Perkataan Maxime membuat Joanna yang sedih langsung merasa lega.Matanya memerah dan hatinya tersentuh.Ternyat
Dalam perjalanan pulang, Maxime dan Reina membicarakan tentang Joanna dan Daniel."Ucapan ayah sangat menyakitkan, pantas saja ibu maksa buat cerai," kata Reina.Sebagai seorang wanita, Reina bisa berempati dengan semua yang dialami Joanna.Maxime menggenggam tangan Reina dan berkata, "Suatu hari ayah pasti akan menyesal."Selama ini kontribusi Joanna terhadap Keluarga Sunandar terlihat nyata bagi semua orang, tetapi Daniel hanya fokus pada kesenangannya sendiri dan tidak melihat kontribusi istrinya."Yah, kuharap begitu."Reina mengangguk, "Semoga ayah bisa cepat sadar, jadi usaha ibu nggak sia-sia."Tidak terasa, mereka sudah sampai di kediaman Keluarga Andara.Mereka sekeluarga turun mobil bersama.Hari ini Riko juga dibawa pulang, tujuannya untuk menemani Liane.Di dalam rumah, Sisil menemani Liane di balkon dan bersama mengagumi pemandangan malam.Liane menjadi lebih bersemangat saat melihat Reina sekeluarga sudah pulang. Matanya berbinar, "Nana."Reina buru-buru menghampirinya, "
"Masa selama itu?" tanya Jovan sambil menggaruk kepalanya.Paling hanya sepuluh menit dari dia keluar, menelepon, lalu kembali masuk, 'kan?"Menurutmu? Kayaknya kamu sudah nggak perlu makan lagi," sahut Tuan Besar Jacob dengan dingin.Jovan menyadari kakeknya sedang marah. Dia pun mengerjapkan matanya pada Alana untuk bertanya apa yang sedang terjadi.Alana memperhatikan kode dari Jovan, tetapi dia berpura-pura tidak melihatnya. Dia menundukkan kepalanya dan melanjutkan makan sambil berkata, "Kakek, makanan hari ini enak juga.""Makanlah lebih banyak kalau enak," jawab Tuan Besar Jacob dengan lembut dan ramah, nada bicaranya dengan Alana bertolak belakang sekali saat dengan Jovan.Jovan berjalan, duduk untuk makan dan berkata sambil tersenyum, "Keterampilan memasakku lumayan juga, 'kan? Aku sudah bisa masak delapan macam hidangan sekarang."Namun, tidak ada yang memberikannya tanggapan apa pun sehingga Jovan terdiam kikuk.Alana dan Tuan Besar Jacob sibuk makan dan terus mengabaikan Jo
Jovan sontak terkejut. Marshanda sudah gila, ya?Dia ternyata masih berpura-pura gila!"Oke."Jovan pun melangkah maju dan mengambil ponselnya, "Kalian makan duluan saja, nanti kususul. Aku mau telepon balik dulu buat menanyakan detail situasinya."Jovan pun berjalan keluar sambil membawa ponselnya.Alana membantu Tuan Besar Jacob duduk di sebelah meja makan sambil bergumam, "Memangnya itu sesuatu yang nggak bisa kamu bicarakan di rumah? Masa iya harus pergi ke luar segala?"Tuan Besar Jacob menyadari Alana terlihat kesal, jadi setelah duduk pun dia bertanya, "Kenapa sih si Marshanda itu selalu menghantui Jovan?"Dia paling membenci wanita seperti Marshanda."Entahlah," jawab Alana dengan jujur."Kakek kenal Marshanda juga?" tanya Alana dengan penasaran."Mana mungkin nggak? Dia nyaris membuat Jovan kehilangan akal sehatnya beberapa tahun yang lalu. Setelah itu Jovan tersadar, jadi berhenti berinteraksi dengannya.""Ternyata dia malah menghubungi Jovan lagi," kata Tuan Besar Jacob samb
Tuan Besar Jacob buru-buru mengacak-acak bidak caturnya, "Aduh, penglihatan Kakek sudah nggak bagus, Kakek salah lihat. Ayo main lagi."Alana refleks menghela napas, "Kakek, ini sih namanya Kakek sengaja.""Ya ampun, Kakek bilang 'kan mata Kakek sudah nggak bagus. Begini cara Kakek dan Riko main catur."Alana benar-benar tidak menyangka Tuan Besar Jacob hanyalah seorang pria tua yang nakal, bahkan Riko terpaksa menyenangkan hatinya.Masalahnya, Riko belum pulang dan sekarang permainan diulang.Jovan bergegas keluar begitu mendengar perdebatan mereka berdua."Sudahlah, Kakek, Alana 'kan lagi hamil. Biarkan saja dia."Baru pada saat itulah Tuan Besar Jacob teringat.Dia buru-buru berkata, "Oh, ya, ya. Ya ampun, ingatanku ini.""Alana, kali ini kamu yang menang," kata Tuan Besar Jacob dengan segera.Dia sebenarnya merasa takut.Sebenarnya, barusan Tuan Besar Jacob bukannya sengaja, dia memang lupa.Seiring bertambahnya usia, ingatannya sudah tidak sekuat dulu. Dia bisa mengingat banyak ha
Reina membungkuk, meraih dagu Marshanda dengan satu tangan dan mengangkat wajahnya.Saat ini, wajah Marshanda dipenuhi berbagai goresan, seperti kucing besar. Ia kehilangan pesona sebelumnya dan terlihat sangat menakutkan.Ini seharusnya menjadi mahakarya kesabarannya."Marshanda, kamu bilang kamu adalah teman baikku, jadi biar kutanya, kamu pernah merebut suami temanmu? Apa kamu pernah merebut prestasi temanmu? Kamu pernah menyakiti anak temanmu?"Air mata Marshanda mengalir, "Nana .... Bu Reina, aku salah. Aku menyesal banget sekarang, tolong bebaskan aku."Setelah dikirim ke sini, dia mencoba pergi secara diam-diam, tetapi ditangkap beberapa kali.Reina merasa sangat senang melihatnya menjadi seperti ini.Sambil mengibaskan wajah Marshanda, mata Reina dipenuhi dengan ketidakpedulian."Menurutku sih kamu belum sembuh, jadi kamu harus lanjut dirawat."Marshanda merasa seperti disambar petir di siang bolong.Matanya membelalak dan dia menggeleng, "Nggak! Jangan, Bu Reina, tolong jangan
Kali ini Reina datang bersama Gilbert."Paman, tolong buatkan surat keterangan. Kuharap hukuman Rizki lebih ringan.""Oke."Keduanya masuk ke dalam mobil.Reina bersandar di kursi dan memejamkan matanya yang terasa lelah untuk beristirahat.Entah beberapa saat kemudian, dia terbangun oleh dering ponsel. Reina mengangkat ponselnya, ternyata si direktur rumah sakit jiwa yang meneleponnya."Halo, Pak Direktur? Ada apa?""Bu Reina, ada pasien bernama Marshanda yang meminta bertemu denganmu. Kami harus bagaimana?"Reina pun tersenyum dingin."Dia masih berpura-pura menjadi pasien jiwa?""Sekarang sih terlihat lebih normal, harusnya sudah nggak pura-pura lagi," jawab si direktur rumah sakit."Oh, baiklah."Reina pikir Marshanda bisa terus berpura-pura, tetapi sandiwara Marshanda ternyata hanya berlangsung sesingkat ini. Tampaknya kehidupan orang yang sakit jiwa bukanlah sesuatu yang enak.Dia berkata kepada si sopir, "Ke rumah sakit jiwa."Reina mau bertemu Marshanda.Mereka berdua memiliki
Meski Reina kaya, dia tetap harus menjaga anak menantunya.Sama seperti Joanna yang membantunya merawat kedua anaknya.Reina jadi membayangkan apabila masing-masing menantunya melahirkan dua orang anak, itu berarti dia punya delapan orang cucu ....Bagaimana jika nanti terjadi perebutan harta warisan?Reina merasa pusing.Sementara Riki di sampingnya juga sedang membayangkan saat dia besar nanti, dia akan menikahi gadis yang berperilaku baik dan bijaksana seperti Talitha, sehingga seluruh keluarga akan bahagia.Keduanya berdiri di depan pintu dan tenggelam dalam imajinasi masing-masing tentang masa depan.Mereka sampai tidak sadar kalau Maxime berdiri di belakang mereka, "Ngapain kalian berdua terus berdiri di depan pintu? Bukannya di luar dingin?"Suaranya langsung membuat Reina dan Riki tersadar dari lamunan."Ya. Untungnya, ini nggak terlalu dingin."Riki menjawab dengan sendu, "Aku kesepian. Ma, kapan bisa minta Talitha datang main lagi?"Riko yang sedari tadi di ruang kerja pun ke
Di kediaman utama Keluarga Andara.Hari ini Sisca datang bersama Talitha dan mengobrol dengan Reina.Talitha baru berusia lebih dari satu tahun dan sudah sangat peka. Dia memperhatikan emosi orang dewasa dan bahkan memberi Reina buah untuk dimakan untuk menyenangkannya.Sisca hanya bisa menghela napas, "Kasihan sekali, anak sekecil ini sudah begitu bijaksana.""Ya."Reina juga merasa kasihan pada Talitha.Reina juga tidak paham kenapa Syena, ibu kandung Talitha bisa begitu acuh pada Talitha.Setelah bermain sebentar, Talitha merasa mengantuk. Supaya tidak mengganggu orang lain, dia berbaring di sofa empuk sendirian dan tertidur.Seorang pelayan yang baik hati langsung menggendong Talitha dan hendak membaringkannya di kasur. Namun, Talitha langsung terbangun. Dia melihat sekeliling dengan gugup dan ketakutan sampai akhirnya matanya tertuju pada Sisca.Sisca langsung berdiri dan memeluknya dari pelukan pelayan."Nggak apa-apa, kita ada di rumah Tante Nana, Mama juga ada di sini." Sisca m
Jess membuka pintu rumah barunya bersama Erik dan mendapati di dalamnya kosong.Dia pikir Erik benar-benar pergi bekerja, jadi dia tidak menelepon Erik untuk bertanya.Dia duduk di sofa, mengeluarkan kartu yang diberikan oleh Morgan dan dengan hati-hati meletakkannya di lapisan paling dalam tasnya.Kemudian Jess mengirim pesan pada Erik, "Aku sudah ketemu Morgan. Dia baik-baik saja. Aku sudah pulang."Setelah memberi tahu Morgan kegiatannya hari ini, Jess merasa tidak ada kerjaan. Jadi dia menyapu dan membersihkan seluruh rumah, lalu istirahat sebentar dan mulai masak.Jess memasak makan malam dan menunggu Erik kembali untuk makan, tapi waktu berlalu dan ternyata Erik tidak kunjung pulang.Melihat makanan di atas meja sudah dingin, Jess pun khawatir dan menelepon Erik.Di sisi lain, Erik baru saja sampai dan melihat telepon dari Jess.Dia sudah melihat pesan teks yang dikirim oleh Jess sebelumnya dan merasa sangat bersalah, jadi dia tidak membalas Jess.Sekarang saat melihat Jess menel
"Ambil." Morgan berkata lagi, dengan nada yang tidak bisa ditolak.Namun, Jess tetap menolak menerimanya.Morgan tidak berdaya, "Bisa nggak kamu dengerin aku sekali saja?"Jess menunduk, "Tuan Morgan, aku nggak melakukan apa-apa buatmu, aku nggak bisa ambil uang ini. Lagian waktu aku mengundurkan diri, departemen keuangan sudah kasih bonus buatku. Aku nggak bisa terima uang ini."Setelah Jess selesai bicara, keduanya terdiam lama.Morgan menyesap tehnya, lalu entah mengapa dia bertanya dengan nada aneh, "Kalau misal terjadi sesuatu sama aku, gimana?""Hah?" Jess sangat terkejut, "Tuan Morgan, apa maksudmu?""Jangan panik gitu. Aku kan bilang 'misal'. Misalnya terjadi sesuatu sama aku, aku 'kan nggak punya teman, cuma kamu seorang. Nggak masalah 'kan kalau aku ngasih sebagian harta aku buatmu?" ucap Morgan.Jess merasa takut, "Tuan Morgan, jangan ngomong sembarangan, kamu akan baik-baik saja. Lagian, kamu masih punya orangtua dan kakak. Suatu hari nanti juga akan dapat teman.""Nggak. K