“Permisi, paket....”
Seorang perempuan muda berhijab lebar sampai ke pinggang keluar dari gerai makanan waralaba. Ia terlihat seperti banyak pembeli yang akan tersenyum saat paket yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Ia bisa saja menerima paket dari balik booth makanannya, tapi perempuan itu lebih memilih keluar. Sebuah hal kecil yang membuat kurir seperti Wira merasa dihargai.
“Atas nama Aisya, betul?” tanya Wira meminta konfirmasi.
“Betul, Mas.”
Wira menyerahkan paket kepada perempuan muda itu sembari mengakses aplikasi kamera di gawainya. Jaman sekarang semua sudah serba daring dan digital. Laporan pengiriman bisa di kirim saat itu juga di manapun kurir berada. Para pemilik paket pun sudah paham, kurir pasti akan mengambil gambar mereka sebagai dokumentasi pengiriman.
“Terima kasih, Mas....” ujar perempuan itu sambil memastikan bahwa paket yang ia terima memang benar miliknya.
“Sama-sama, Mbak,” jawab Wira. Ia tutup form pengiriman atas nama Aisya di aplikasi kurir miliknya. “Mmm ... Mbak ini, Mbak Aisya ya?” tanya Wira.
“Iya, betul. Kenapa ya, Mas?” tanya Aisya, ia berbalik kembali lagi setelah hampir masuk ke dalam outletnya.
“Mbak dulu pernah ngajar ngaji di Mushola Nurul Iman kan?” tanya Wira lagi.
“Betul, kok Masnya tau?”
“Saya dulu ngaji di situ, Mbak.”
“Lho, saya kan ngajar akhwat, kok Mas bisa tau saya?”
Aisya mulai memperhatikan wajah Wira, ciri-cirinya. Lalu ia coba cocokkan dengan memori belasan tahun lalu. Tentang wajah-wajah anak laki-laki yang mengaji di Mushola Nurul Iman. Tapi percuma karena ikhwan dan akhwat dipisahkan oleh tabir kain putih sekaligus pembatas jamaah sholat. Ia tak memiliki memori tentang itu.
“Mmm ... anu, Mbak ... saya kaya pernah lihat aja wajah Mbaknya. Makanya saya beraniin tanya tadi,” kilah Wira.
Wajah Wira memerah, untung ia mengenakan helm. Kalau tidak ia tentu tak bisa lagi menyembunyikan rasa malunya. Kini ia tertunduk, berpura-pura memeriksa gawai dan tumpukan paket di atas pijakan kaki sepeda motor maticnya. Sesekali ia melirik ke arah Aisya yang seolah menanti jawaban masuk akal dari mulut Wira.
“Ya sudah, makasih ya, Mbak. Saya lanjut antar paket dulu....”
Aisya mengangguk sambil tersenyum. Wira hanya sesekali mencuri pandang tak ingin melewatkan senyum manis perempuan yang lima tahun lebih tua darinya itu. Ia menjalankan sepeda motornya, namun masih dapat melihat Aisya yang beranjak masuk ke dalam gerainya dari kaca spion. Bibir Wira berdecak kagum. Sama seperti dua belas tahun lalu saat ia lihat Aisya dari balik tabir yang tersingkap oleh hembusan kipas angin mushola.
Ah, tentu masih ada kesempatan untuk bertemu lagi dengan Aisya. Dia menjaga gerai makanan, mungkin juga ia pemiliknya. Lain waktu Wira akan mampir untuk membeli. Sambil mencari peluang, apa Aisya masih sendiri atau sudah berkeluarga. Angan-angan masa kecil dulu bisa saja menjadi nyata. Wira tersenyum sendiri, setitik air di tengah gurun. Ia lihat lagi tumpukan paket dalam kantung besar yang menanti diantarkan.
Masih ada dua belas rumah lagi yang harus dikunjungi. Ini sudah pukul lima sore. Biasanya Wira sudah mengantar semua paket tugasnya. Berkisar dua puluh sampai tiga puluh lima paket sehari. Ia beredar di dua kecamatan yang bersebelahan dengan empat zona. Namun hanya di sebelah utara saja, karena akan cukup jauh dan memerlukan waktu lama untuk berkendara dari batas wilayah satu ke wilayah lain.
Wira meraih catatan alamat paket yang sudah ia urutkan sesuai jarak di lapangan. Rata-rata hanya berjarak tak lebih dari lima ratus meter antar rumah, meski harus memasuki gang-gang berliku. Lelaki bertubuh kurus itu terus mencoba meyakinkan diri ia bisa menyelesaikan tugasnya. Meski harus pulang hingga lebih dari pukul sembilan malam. Itu lebih baik dari pada insentifnya hari ini tidak dibayarkan karena gagal memenuhi target.
Rintik gerimis membasahi wajah Wira. Cuaca yang dibenci banyak kurir karena harus memberikan usaha ekstra untuk melindungi paket-paket yang ia bawa. Ia kemudikan sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Meski hanya titik hujan, rasanya cukup sakit apalagi bila mengenai kelopak mata. Ia berhenti dan menekan bel di pagar rumah berwarna hitam dengan atap kecil di atas gerbangnya.
“Permisi! Pakeeet!” teriak Wira.
Lampu di carport tiba-tiba menyala. Meski belum malam, tapi mendung membuat kondisi carport menjadi gelap. Terdengar anak kunci diputar dua kali. Pintu rumah tipe kupu-kupu dengan dua daun pintu itu terbuka. Seorang lelaki mengenakan sarung dan kopiah keluar dan langsung menghampiri Wira. Ia tersenyum dan menggeser sedikit pagar rumahnya.
“Permisi ... paket, Pak.”
“Untuk siapa, Mas?” tanya lelaki itu.
“Atas nama Indira, Pak,” jawab Wira sambil memperhatikan nama penerima di kemasan paket.
“Oh, iya itu istri saya, Mas.”
Wira menyerahkan paket untuk Indira kepada lelaki itu. Ia lalu meminta ijin untuk mengambil gambar penerima paket. Lelaki itu tampak tersenyum sambil menunjukkan paket dan ibu jari tangan kirinya. Wira mengernyitkan kening, Lelaki itu terlihat berbeda di aplikasi kameranya.
“Kenapa, Mas?” tanya lelaki itu setelah Wira tak kunjung selesai mengambil gambarnya.
Wira tak menjawab. Ia memperhatikan lelaki itu bergantian dengan bayangannya di aplikasi kamera beberapa kali. Lelaki itu melongokkan wajahnya ke arah Wira. Wira menatap wajah itu. Tiba-tiba pandangan Wira meredup seperti televisi yang kehilangan signal, kelabu dengan titik-titik hitam yang hilang muncul bergantian.
Perlahan warna kelabu dan titik-titik hitam itu seolah berputar. Semakin lama semakin cepat, dan terbuka di tengah-tengah seiring dengan penglihatan Wira yang kembali. Namun mengapa yang ia lihat amat berbeda dengan sebelum penglihatannya hilang tadi? Ia tak bisa menemukan warna di penglihatannya. Pagar rumah berwarna hitam itu hilang. Bahkan rumah itu tak lagi sama.
“Mas? Sehat?” lelaki itu melambai-lambaikan tangannya di depan mata Wira.
Wira memperhatikan lelaki itu lekat-lekat. Sarung dan kopiah tak lagi ia kenakan. Ia hanya mengenakan celana pendek dan kaus putih berlumuran darah. Wajahnya tampak lebih muda, namun lebih lusuh. Kesedihan terlihat sekali dari raut wajahnya. Wira mengusap-usap matanya beberapa kali.
“Mas? Udah ambil fotonya?”
“Maaf ... sudah, Pak,” jawab Wira gugup setelah mengecek foto lelaki itu ada di gawainya.
Wira tertegun, Ia masih tak bisa percaya dengan penglihatannya. Lelaki yang menerima paket atas nama Indira sudah masuk kembali ke dalam rumah. Wira masih bisa mendengar suara pintu rumah ditutup dan anak kunci yang diputar. Ia naik lagi ke atas jok sepeda motornya. Ada apa dengan dirinya? Hal ini baru pertama kali ia alami.
Wira menjalankan sepeda motornya perlahan, ia pegang paket berikutnya yang akan diantarkan. Dengan nama jalan yang sama namun berbeda nomor rumah seharusnya mudah untuk menemukan. Wira menoleh ke kanan dan kiri, mencari rumah dengan nomor 88. Lalu ia fokus pada deretan rumah sebelah kiri, nomor genap ada di sana.
Wira menghentikan kendaraannya di depan rumah nomor 90. Ia mundur lagi beberapa meter. Tertera jelas di pagar rumah, sebelum rumah bernomor 90 adalah 86. Beberapa kali dipastikan, memang benar tidak ada rumah bernomor 88 di sini. Wira memeriksa lagi alamat dalam bungkus paket. Ia lalu berinisiatif untuk menghubungi nomor telepon yang tertera.
Suara panggilan tersambung terdengar jelas di telinga Wira. Ia menyelipkan gawainya diantara helm dan telinga kiri. Tidak ada jawaban. Wira mencobanya kembali.
“Halo, selamat sore,” sapa Wira.
“Selamat sore,” jawab seorang perempuan dari seberang.
“Mbak, saya mau antarkan paket atas nama Melati. Jl. Pemuda nomor 88, betul ya?”
“Betul, aku Melati.”
“Begini, Mbak. Saya sudah di depan rumah nomor 90, tapi sebelum rumah nomor 90 kok 86 ya? Nggak ada rumah nomor 88 lho,” terang Wira.
“Ah, masa? Ya udah aku keluar dulu, Mas.” Sambungan telepon terputus.
Wira mengusap kedua matanya. Memang benar tidak ada nomor 88. Ia menoleh ke seberang jalan, di sana hanya ada deretan nomor ganjil. Tak mungkin nomor 88 terselip diantara nomor ganjil lain. Lagi pula kompleks ini adalah perumahan, biasanya pengembanglah yang memberikan nomor pada tiap kavling yang dikelola.
“Mas!” seseorang menepuk bahu kiri Wira, dari suaranya perempuan.
Wira menoleh, di hadapannya berdiri seorang perempuan mengenakan gaun putih sepanjang lutut tersenyum menatapnya. Sudah lama Wira tidak melihat model gaun seperti itu. Perempuan itu tampak cantik meski gaun dan model rambutnya seperti tak berasal dari masa kini. Ia mengulurkan tangan bersiap menerima paket dari tangan Wira.
“Mbak Melati ya?” tanya Wira.
“Iya,” jawab Melati singkat. Ia tersenyum lagi dan menggamit paketnya di tangan kiri. “Wah, akhirnya paket ini sampe juga.” Melati kembali tersenyum. Wira mengambil gambar perempuan itu di aplikasi kamera gawainya.
“Emang udah berapa lama nggak sampe-sampe, Mbak?” tanya Wira iseng saja.
“Huh, udah lama banget, Mas.”
“Mungkin karena nggak ketemu alamatnya, Mbak. Itu nomor 88 di paketnya, saya cari dari tadi nggak ada nomor....”
Kata-kata Wira terhenti. Rumah berpagar putih dengan nomor 88 terbuat dari kayu berada tepat di belakang Melati. Wira seperti tak percaya, ia mengusap matanya beberapa kali. Padahal tadi ia tak bisa menemukannya. Tiba-tiba tampak jelas ada rumah lain dintara rumah nomor 86 dan 90. Ia tak bisa menemukan alasan logis untuk hal ini.
“Mas, bengong aja! Makasih ya,”“Oh, iya, Mbak. Sama-sama,” balas Wira, ia masih menyimpan rasa tak percaya di benaknya.“Mas, mas ... ini, makasih udah anter paketku ya.”“Lho, ini apa, Mbak?” tanya Wira sesaat sebelum menerima sebuah kotak kecil berwarna hitam.“Hadiah, Mas. Semoga bermanfaat buat Mas-nya,” ujar Melati. Ia tampak tersipu dan segera berbalik kembali masuk ke rumah berpagar putih itu.Wira melanjutkan perjalanan begitu Melati menghilang di balik pintu rumah nomor 88. Ia simpan hadiah dari perempuan itu di sling bag-nya. Pemberian seperti ini amat jarang terjadi. Wira seperti baru saja memenangkan sebuah penghargaan semisal Kurir Award. Dalam hati sebenarnya ia penasaran apa isi kotak itu. Tapi tugasnya masih banyak dan harus segera diselesaikan.Rasa penasaran Wira juga masih ada tentang keberadaan rumah yang Melati tinggali. Ia yakin betu
Wira membuka matanya, lampu di ruang tempatnya berbaring begitu menyilaukan mata. Ia masih begitu lemah. Ingin sekali ia mengusap mata, namun kedua tangannya menolak untuk bergerak. Pemuda itu hanya mampu menggerakkan bola mata. Sedikit ke kiri, kanan dan ke bawah. Ke atas tak mungkin karena sinar lampu tadi. Ke kiri dan kanan ia hanya melihat tirai hijau, ke bawah yang ia liat hanya selimut putih menutupi tubuh.Tirai di sebelah kirinya terbuka, beberapa orang pun masuk, semuanya perempuan. Seorang paling depan menggantungkan stetoskop di lehernya. Seorang berpakaian serba putih dengan sedikit aksen hijau membawa berkas yang dijepit pada papan ujian. Seorang lagi berpakaian serupa datang terakhir mendorong semacam troli berisi banyak peralatan dan obat-obatan. Orang pertama tampak menanyakan sesuatu pada orang kedua. Percakapan mereka tak bisa Wira dengar.“Mas? Sudah sadar? Bisa dengar saya?” tanya orang pertama sembari mencondongkan wajahnya ke arah Wira
Wira kini sudah bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Energinya sudah terasa terisi ulang. Anehnya melihat Mamak muda tidak menguras energinya. Beda dengan tiga penglihatannya terakhir yang menguras habis energi dalam tubuhnya. Wira meraih gawainya di atas meja, tadi ia minta Mamak untuk mengisi ulang baterainya. Jemari tangan kanannya berusaha untuk melepaskan charger dari port-nya di bagian bawah gawai. Tangan kirinya hendak membantu tapi tak sampai karena infus masih terpasang. Gawai itu tak bisa ia lepaskan dari charger. Sedang kabelnya tak cukup panjang sampai ke tempat Wira berbaring. Tiba-tiba Wira teringat Melati. Perempuan dengan tampilan jadul yang memberinya hadiah dalam kotak kecil warna hitam. Kotak itu ia simpan dalam sling bag yang kini ia tak tahu ada dimana. Mamak sedang keluar membeli makan siang, tak ada yang bisa ia minta tolong mencari sling bag-nya. “Selamat siang....” Seorang perempuan
Mamak menarik kursi plastik dan ia dekatkan pada tempat tidur Wira. Ia tinggalkan makan siang nasi padang lauk rendang yang baru ia kunyah beberapa suap. Matanya nanar memandang arloji dalam genggaman tangannya. Wanita paruh baya itu duduk, beberapa kali bolak balik bola matanya beralih dari arloji ke anak semata wayangnya itu. Ada banyak hal yang tampaknya sudah seharusnya Wira tahu.“Ini beneran punya Bapak, Mak?” tanya Wira. Ia meraih rantai arloji namun Mamak menahan Arloji dalam genggamannya.“Benar, Wir. Kamu dapat dari mana?” tanya Mamak datar. Wira menyadari ada yang tak beres dengan ibunya.“Dari orang yang aku anter paketnya, Mak. Namanya Melati, dia seneng banget katanya paketnya udah lama nggak sampe. Makanya begitu aku anterin, dia kasih aku hadiah arloji ini,” tutur Wira.“Melati katamu?”“Iya, Mak. Kenapa ya?”Mamak mengusap keningnya, beberapa anak rambut yang menjun
Jaka keluar dari ruang Officer sambil menggerutu. Ia remas-remas selembar kertas di tangannya dan ia lemparkan ke sudut kantor tempat biasa ada kotak sampah. Ia berjalan cepat keluar menghampiri sepeda motornya yang belum selesai memuat paket-paket yang harus diantarkan hari ini. Ario memperhatikannya dari sisi pagar sambil berjongkong menghisap sebatang rokok. “Kenapa Lu, Bro?” Ario setengah berteriak. Jaka menoleh sekilas, ia meletakkan begitu saja paket tanggung jawabnya di tanah. “Ada lagi nggak?” tanya Jaka menempelkan dua jarinya di bibir. Ario membuka resleting jaket dan meraih sebungkus rokok. Melihat gelagat dan mimik muka Jaka, ia pasti tengah menjalani hari yang tak menyenangkan. Jaka lelaki periang, ia baru saja dikaruniai seorang anak laki-laki dari istrinya yang seorang janda. Dari pernikahan pertama ia punya satu anak perempuan. Belakangan mungkin itu yang membebani pikiran Jaka, karena tentu kebutuhan keluarganya bertambah. “Satu aja .
Bilik pojok yang Wira huni mendadak sepi setelah Jaka dan Ario pamit pulang. Pasien sebelah mungkin sudah bernapas lega sekarang. Beberapa kali Wira mengucapkan permintaan maaf namun tak ada jawaban. Mungkin pasien beliau sudah beristirahat. Atau justru meminta pindah bilik agar tidak terlalu berisik.Kehadirian dua sahabatnya tadi cukup mengusir sejenak kejenuhan Wira. Ia merasa sudah lama rebah di tempat tidur ini. Kini tenaganya sudah mulai pulih. Ia sudah tak bersandar, punggungnya sudah dapat ditegakkan. Beberapa kebutuhannya sudah dapat ia lakukan sendiri.“Udah pulang temanmu, Wir?” Mamak muncul dari balik tirai hijau.“Udah, Mak. Kasian tuh pasien sebelah kebrisikan. Becanda mulu tu Jaka Ario,” ujar Wira.“Pasien sebelah mana?”“Ya ini sebelah kita. Kenapa, Mak?” Wira penasaran, ekspresi Mamak seketika berubah.“Kosong sebelah kita, Wir. Dia meninggal sebelum kamu sadar!”
“Apa maksud Mbak Niken?” Wira menegakkan kepalanya.“Ayolah, Mas. Saya butuh pertolongan Mas Wira. Tolong lihat dimana anak saya sekarang!” Niken mulai memohon.“Kenapa Mbak Niken yakin saya bisa menolong?” tanya Wira. Ia ingin mengetahui dari mana Niken tahu tentang kemampuannya.“Melati bilang begitu.”“Melati? Mbak kenal Melati?” tanya Wira setengah histeris.“Nggak. Tapi jauh sebelum Mas Wira dirawat disini, perempuan itu datang beberapa kali di mimpi saya. Dia bilang akan datang orang yang bisa membantu saya menemukan Yura, anak saya.” Mata Niken mulai berkaca-kaca.“Terus kenapa Mbak yakin kalo orang itu saya?”“Mas sendiri tadi yang tanya soal anak saya kan? Tolong saya, Mas....” Niken mulai terisak. Kedua telapak tangannya terkatup di depan dada. Ia mendekat ke arah Wira.Kurang ajar sekali Melati. Memupuk harapan pada seoran
Wajah Niken memerah, kedua pipi yang basah semakin meranumkan wajahnya. Ia lepaskan pelukan di leher Wira. Tak ada yang dilakukannya, hanya mundur satu langkah yang justru semakin memperlihatkan wajah yang dirundung malu itu. Kini ia tak berani menatap wajah Wira. Ia takut melihat reaksinya, terlebih kalau pasien yang ia rawat ini dapat lebih banyak mendapatkan bayangan masa lalunya.Wira tak kalah salah tingkahnya. Tentu sebuah hal yang tak disangka-sangka Niken memeluknya seperti itu. Setengah hatinya merasa begitu malu, namun setengahnya lagi merasa beruntung. Untung saja hanya sebentar. Kalau tidak memang ia tak kehilangan tenaga mendeteksi Yura, tapi justru kehabisan napas karna dipeluk perawat cantik ini.“Mbak, semoga segera bertemu Yura ya?” ujar Wira mencairkan suasana.“Iya, Mas. Sekali lagi terima kasih. Saya nggak tau gimana cara bales pertolongan Mas Wira.”“Duh, Mbak. Jangan gitu dong ngomongnya, saya ini ikhlas
“Menikah? Besok? Gimana mungkin?” cecar Wira via sambungan telepon. Bukannya tak mau, tapi menikah dalam kondisi seperti ini benar-benar tak ideal. Dua hari lalu baru saja ia selesai diinterogasi sebagai saksi. Lalu ia harus wajib lapor. Membujuk Mamak agar mau mendonorkan darah untuk Firman. Dan besok harus menikah.Pemuda itu mengangguk beberapa kali dan menggumam. Semuanya sudah diatur Aisya. Pernikahan secara siri akan dilakukan di rumah sakit, di ruang Pak Aziz dirawat. Padahal pria itu dalam kondisi baik. Wira tak mengerti mengapa pernikahan harus segera dilakukan secepatnya. Bahkan bisa-bisanya Aisya sudah berdiskusi dengan Mamak dan Mamak menyetujuinya.Wira tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Perdebatan dengan Aisya kemarin tentu saja dimenangkan oleh perempuan cantik itu. Ya, siapa yang menyangka hidupnya berubah secepat ini. Seorang yatim tak pernah dekat dengan perempuan, tapi kini seolah dikejar untuk menikah perempuan cantik solihah.“Saya terima nikahnya Aisya
Ruang serba putih itu begitu sepi. Hanya ada suara alat deteksi detak jantung dan gerakan detik jam dinding. Hembusan pendingin ruangan sesekali menggerakkan tirai yang sebagian terbuka. Setelah mengaku sebagai keluarga, Mamak dapat dengan mudah masuk ke ruangan ini. Ruang yang dijaga setidaknya dua orang polisi bergantian setiap waktu.Mamak sampai di ujung ranjang. Seorang pria mengenakan masker oksigen terpejam di sana. Cairan infus menggantung di sisi kanannya. Dan beberapa kabel yang terhubung pada alat-alat yang Mamak tak tahu apa namanya. Semuanya penopang hidup Firman saat ini.“Sebenarnya aku merasa berdosa, Firman,” lirih Mamak seraya melangkah dan sampai di sisi kanan tubuh pria itu.Perempuan paruh baya menatap lekat wajah tak berdaya pria yang dahulu pernah meminta cintanya. Pria yang terus berupaya menjauhkannya dari Barata. Juga dalang dibalik pembunuhan suaminya itu.“Darahku kini mengalir di tubuhmu. Sungguh aku tak sudi kalau bukan dengan alasan memberatkan hukuman S
“Peluru jika ditembakkan dalam jarak sedekat ini, besar kemungkinan tembus! Jarak Wira denganmu terlalu dekat!” ucap Suryo begitu pongah.Pak Aziz terperangah memegangi dada kirinya. Sekali ia melihat telapak tangannya yang sudah berwarna merah. Pria itu panik setengah mati. Ia tak tahu mengapa tak segera merasakan timah panas itu. Tubuhnya kini terasa lemah. Napasnya mulai tersengal. Pria itu luruh ke lantai tepat di sebelah calon menantunya yang berlumuran darah.“Lagi pula kamar semewah ini sudah pasti kedap suara,” sambung pria tambun itu.Suryo melangkah mendekat. Bukan untuk memberikan tembakan lanjutan. Namun untuk mengambil gawai Pak Aziz yang masih terpasang di tripod. Rekaman video ia hentikan, lalu beberapa detik menggores-goreskan jemari pada layar pipih 6 inchi itu.“Begini kalau hidupmu penuh keteraturan!” desis Suryo seraya meninggalkan gawai Pak Aziz beserta tripodnya. Ia lalu menghampiri Wira, menyepak beberapa kali wajah pemuda yang telungkup tak berdaya.“Masih ada
Seorang pria tambun mengenakan tongkat berjalan diapit oleh dua orang berbadan besar. Di belakangnya seorang berpakaian safari berambut ikal mengikuti langkahnya dengan menenteng sebuah tas hitam. Ia berhenti dan mengetuk pintu dengan nomor A001.“Anda Pak Suryo?” tanya Pak Aziz, seorang yang membukakan pintu.“Benar, dengan Bapak Abdul Aziz?” tanya Suryo ramah. Hal yang tak biasa ia lakukan entah sudah berapa lama.“Selamat datang, Pak. Maaf mengubah tempat pertemuan. Tiba-tiba saya merasa sedikit lelah. Mari, silahkan masuk!” sambut Pak Aziz dengan santun.Suryo membalas keramahan Pak Aziz dengan segera membuka kacamata hitam yang selalu ia kenakan. Kamar president suite itu tampak luas dan mewah. Didominasi warna gading, Suryo diarahkan untuk duduk di sofa tepat di sebelah kiri pintu.“Maaf, Pak, apa boleh hanya kita berdua atau dengan orang kepercayaan Bapak saja?” pinta Pak Aziz setelah dua pria bertubuh besar itu turut serta masuk.“Tentu saja boleh, Pak,” jawab Suryo singkat. I
Permadi hanya bisa menuruti apa perintah pemuda di hadapannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, meski panik ia masih bisa menyembunyikannya. Ia justru tertawa sinis setelah file yang diminta Wira terbuka.“Pak Wira, ini adalah file mentah. Data yang saya paparkan tadi adalah data yang sudah diolah dan dilakukan revisi dan penyesuaian,” kilah Permadi.“Revisi? Penyesuaian?” tanya Pak Aziz mulai menangkap adanya kejanggalan.“Maksud saya, ini file mentah yang masih harus diperiksa dan direvisi apa bila ada kekeliruan,” kilah Permadi lagi.“Lalu mengapa file mentah ini sudah mendapatkan approval?” potong Wira.“Approval?” Permadi tertawa mendengar pertanyaan Wira. “Pak Wira, bagaimana mungkin Anda mengetahui bahwa file ini sudah disetujui sedang ini hanya lah soft file?”“Saya tidak sedang membicarakan soft file ini, Pak. Tapi dokumen hard copy yang disimpan oleh Sekretaris Bapak!” tandas Wira.“Sekretaris?”“Ya, lelaki yang menyambut kami tadi, Sekretaris Bapak, bukan?” desak Wira.“
Pukul 08:50 Pak Aziz dan Wira sudah sampai di Hotel Nusantara. Pak Aziz segera menghampiri receptionist untuk menanyakan letak ruang meeting yang dimaksud. Setelahnya pria paruh baya itu segera berjalan menuju lift untuk naik ke lantai delapan. Wira hanya mengekori calon mertuanya itu saja.“Seorang pemimpin tak berjalan menunduk, Wira,” ucap Pak Aziz memecahkan keheningan dalam lift yang bergerak naik itu.“Gimana, Pak?” tanya Wira tak mengerti. Pak Aziz mendekat dan membenarkan posisi kemeja slim fit yang dikenakan Wira.“Untuk dihormati kau harus membangun kesan lebih dahulu. Setelah penampilan, tentu perilaku. Tampilanmu sudah baik, Aisya sudah memilihkan pakaian yang tepat. Tapi harus kamu dukung juga dengan bahasa tubuh yang baik,” terang Pak Aziz sambil terus tersenyum.“Saya mengerti, Pak. Aisya sudah suruh saya ikut kelas kepemimpinan,” jawab Wira ragu. Pak Aziz tersenyum lalu mengangkat wajah pemuda di hadapannya dengan mendorong dagu.“Mulai sekarang kamu nggak boleh lihati
Wira tentu saja terkejut. Orang yang tadi ia hindari adalah calon mertuanya dan juga aktor dibalik kehidupan baru dan segala fasilitas yang ia dapat dua bulan ini. Pemuda itu merendahkan tubuhnya dan berjalan menyongsong pria yang bangkit dari duduknya.“Oh, ini yang namanya Wira? Saya Aziz, Abdul Aziz,” ucap pria itu sembari meggenggam tangan Wira dengan kuat.“Saya Wira, Om. Maaf, saya menghindar tadi. Soalnya....”“Aisya sudah cerita banyak ke saya. Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba. Kebetulan ada yang sedang saya urus di sini. Sekalian mampir dan bertemu kamu dan Bu Ayu,” terang Pak Aziz sembari tersenyum. Mata di balik kacamata itu menatap dalam wajah Wira yang datar.Wira diam. Ia memang tengah memandang mata Pak Aziz, namun yang ia lihat adalah masa lalu pria 50 tahun itu. Pak Aziz tampak heran, namun segera tersenyum setelah melihat senyum putrinya. Seolah memberi isyarat bahwa pemuda di hadapannya sedang berkelana ke masa lalu.“Wira?” sapa Pak Aziz. Namun Wira tetap diam.
Penglihatan masa lalu itu terus berlanjut dan berganti. Semuanya berupa potongan-potongan peristiwa yang bertentangan dengan anggapan dan asumsi yang Firman dan ibunya yakini terkait Barata dan keluarganya selama ini. Hal yang membuat alasan-alasan dibalik kesanggupan Firman bekerja sama dengan Suryo untuk membunuh Barata menjadi bias.Bukan seperti yang disangkakan oleh ibunya. Barata rupanya lebih dulu melamar Ayu sebelum mendapatkan pekerjaan. Juga bukan Barata yang membuatnya disangka sebagai penggelap uang perusahaan. Bahkan Barata pula yang membantunya mendapatkan pekerjaan di PT. Franz Williams Indonesia. Mulanya sebagai Staff General Affair, lalu dimutasi menjadi asisten sekaligus driver Suryo.Barata juga tidak merebut Ayu darinya. Ayu sendiri yang meminta Barata untuk melamarnya. Semua karena omongan sinis Bu Lasmi. Ibunya itu yang sudah membakar amarah dan api cemburu. Bahkan mungkin saja mengarang cerita terkait pemilihan pewaris kerajaan kuno yang jatuh ke kakeknya Barata
Seorang perempuan baya keluar dari balik tirai yang membatasi ruangan itu dengan ruang belakang. Ia membawa nampan yang berisi minuman berwarna coklat terang. Sepertinya teh panas, tampak dari asap yang masih mengepul di atasnya. Perempuan itu tersenyum manis kepada beberapa orang yang duduk di sudut ruangan itu. Entah dari mana datangnya, di awal sama sekali tak terlihat kehadiran mereka.“Silahkan diminum,” ucap perempuan itu ramah.Anggukan dan senyuman masing-masing tamu yang kebanyakan lelaki mengiringi perempuan itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi single paling kanan. Tamu perempuan hendak berucap sesuatu namun pria di sebelah kiri menghalanginya.“Ayu sedang keluar dengan temannya. Mungkin sebentar lagi kembali,” ucap perempuan itu membuka pembicaraan.“Maaf, Bu Rahmi, apa Ayu pergi bersama Barata?” tanya pria di sebelah kiri. Dia pula yang mencegah perempuan di sebelahnya bicara tadi.“Benar, bagaimana Pak Dahlan bisa tahu?” tanya Rahmi, ibunda Ayu.“Barata itu masih kemen