Bilik pojok yang Wira huni mendadak sepi setelah Jaka dan Ario pamit pulang. Pasien sebelah mungkin sudah bernapas lega sekarang. Beberapa kali Wira mengucapkan permintaan maaf namun tak ada jawaban. Mungkin pasien beliau sudah beristirahat. Atau justru meminta pindah bilik agar tidak terlalu berisik.
Kehadirian dua sahabatnya tadi cukup mengusir sejenak kejenuhan Wira. Ia merasa sudah lama rebah di tempat tidur ini. Kini tenaganya sudah mulai pulih. Ia sudah tak bersandar, punggungnya sudah dapat ditegakkan. Beberapa kebutuhannya sudah dapat ia lakukan sendiri.
“Udah pulang temanmu, Wir?” Mamak muncul dari balik tirai hijau.
“Udah, Mak. Kasian tuh pasien sebelah kebrisikan. Becanda mulu tu Jaka Ario,” ujar Wira.
“Pasien sebelah mana?”
“Ya ini sebelah kita. Kenapa, Mak?” Wira penasaran, ekspresi Mamak seketika berubah.
“Kosong sebelah kita, Wir. Dia meninggal sebelum kamu sadar!”
“Serius, Mak? Tadi aku denger suaranya kok. Kalo kami berisik, dia mukul-mukul rangka ranjang lho. Aku kira kode biar kami diem,” seru Wira. Ia masih terkejut dengan apa yang terjadi.
Mamak terdiam, matanya terbelalak. Ia menjadi tegang, entah dari mana tiba-tiba keningnya sudah dipenuhi keringat. Ia melangkah mendekat ke tirai hijau batas dengan bilik sebelah. Perlahan ia dekatkan telinga dengan hati-hati. Wajahnya diliputi ketegangan dan ketakutan. Kalau saja mendadak ada suara, Mamak pasti otomatis teriak.
“Coba diliat, Mak.”
“Mamak takut lah, Wir....”
“Yaelah, Mak. Mamak keluar dulu, kalo biliknya kosong kan tirainya pasti kebuka,” bujuk Wira.
“Oh iya ya,” Mamak tersenyum. Namun tetap saja ragu untuk memeriksa bilik sebelah. “Ah, nggak berani ah....” Mamak kembali lagi.
“Lah, tadi kan Mamak pas mau ke sini lewat situ dulu. Kebuka nggak tirainya?”
“Nggak perhatiin, Wir.”
“Ya udah, Mak kalo nggak berani. Nanti kalo ada perawat aku tanyain aja. Mamak jadi mau pulang? Aku nggak apa kok ditinggal dulu,” sambung Wira.
“Iya, Mamak mau ambil baju-baju sekalian cuci yang kotor ini,” jawab Mamak. Ia lalu mulai membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang.
Wanita ini jadi begitu mandiri sejak suaminya meninggal. Sebagai orang tua tunggal berbagai macam profesi dan usaha pernah ia jalani. Berbekal keahlian menjahit hasil kursus singkat selama tiga bulan, Mamak membuka usaha jahit pakaian. Hasil usaha inilah yang membiayai hidup mereka berdua sejak Wira berusia tujuh tahun.
Sebagai seorang Utility Manager di perusahaan agribisnis, Bapak banyak melakukan perjalanan ke luar daerah bahkan luar negeri. Hidup Mamak dan Wira kecil makmur dan serba berkecukupan. Setelah Bapak meninggal barulah kehidupan mereka mengalami penurunan drastis. Mereka pun terpaksa menjual aset dan membeli rumah sederhana di pinggiran kota.
“Mamak pulang ya, Wir? Kamu mau dibawain apa nanti?” pamit Mamak.
“Bawa ini, Mak. Mamak pasti butuh. PIN-nya tanggal lahirku.” Wira menyodorkan kartu ATM miliknya.
“Nggak usah, Wir. Mamak ada kok uang. Simpan saja itu.”
“Mak ... Aku tahu, uang yang Mamak pegang itu sebenarnya buat beli bahan jahitan kan? Ayolah, Mak ... terima saja, ini kan buat kebutuhanku juga,” bujuk Wira.
Mamak menerima kartu ATM dari tangan Wira. Kalau tidak sedang terdesak, ia tak ingin menerima uang dari anaknya ini. Mamak merasa belum memberikan yang terbaik untuk Wira sampai ia dewasa. Hak-haknya menerima kehidupan yang layak tercabut paksa pasca tragedi itu. Sekarang pun ia banyak dibantu Wira untuk memenuhi kebutuhannya.
“Mamak pulang dulu ya,”
“Iya, Mak. Hati-hati.”
Mamak menghilang di balik tirai. Sayup terdengar langkah cepat Mamak bahkan setengah berlari. Ia pasti takut melewati bilik sebelah. Wira tersenyum, Mamak memang penakut. Nanti pasti ia akan berusaha kembali ke rumah sakit sebelum malam karena takut sendirian di rumah.
Wira memiringkan tubuhnya ke kanan menghadap dinding. Ia bersandar lagi pada tempat tidur yang masih tegak, ditegakkan oleh perawat Niken tadi. Selain pegal, tubuh bagian bawahnya terasa gerah karena terus menerus menempel pada tempat tidur. Ia buka gawai dan mulai berselancar di dunia maya.
“Mas....” suara seorang perempuan memanggil Wira. Ia juga merasakan pundaknya di tepuk. Perlahan Wira membalikkan lagi tubuhnya.
“Loh? Kamu ... Melati kan?” Wira terkejut. Bagaimana bisa perempuan ini tahu ia sedang di rawat di rumah sakit ini?
“Gimana kondisimu? Sudah baikan?” tanya Melati. Ia tersenyum manis, sama seperti senyumnya saat menyerahkan arloji kuno dalam kotak hitam.
“Mmm ... sudah lebih baik. Kok kamu bisa tahu saya ada di sini?” tanya Wira. Ia lalu mengambil arloji kuno pemberian Melati yang ia sembunyikan di bawah selimut. “Oh iya, makasih ya hadiahnya. Kata Mamak ini mahal lho.”
Melati hanya tersenyum. Ia melangkah mendekati jendela. Ia buka tirainya, cukup lama ia berdiri di sana memandang sesuatu di luar jendela. Sepertinya kendaraan yang lalu lalang di bawah. Wira juga baru menyadari ternyata dia tidak berada di lantai dasar.
“Sudah paham kelebihanmu?” tanya Melati, ia kembali menghadap ke arah Wira.
“Kamu tahu?” tanya Wira kembali.
“Tentu saja, aku tahu semua hal yang terjadi padamu. Dan Arloji itu, penghubung antara aku dan kau,” terang Melati, tatapannya kini tak seramah tadi.
“Apa maksudnya? Sebenarnya kamu siapa?” Wira menegakkan lagi tubuhnya.
Tak seperti yang terjadi pada Mamak, Niken, Jaka dan Ario, Wira tak bisa melihat masa lalu Melati meski tadi mereka sempat bertemu pandang. Memang seperti ada jeda di penglihatannya. Ada fase dimana penglihatannya itu akan berubah tak berwarna, namun seketika kembali ke bentuk semula seiring Melati menajamkan tatapannya. Melati seperti dapat melawan proses pergantian penglihatan masa kini dan masa lalu.
“Aku beruntung, ternyata Barata punya anak yang kuat sepertimu. Kau mudah memahami sesuatu,” kata Melati lagi.
“Kamu ngomong apa sih? Kamu kenal Bapakku?” Melati tak menjawab. Ia bersedekap di depan jendela, pandangannya ia lemparkan lagi ke luar.
“Kau akan tahu banyak hal dengan kemampuanmu itu. Aku harap kau bisa lebih bijak menggunakannya. Kalau tidak kau akan kehabisan tenaga seperti kemarin lusa.”
“Kamu dari mana sih? Bahasanya resmi amat kaya ujian bahasa Indonesia? Mana pertanyaanku nggak ada yang dijawab!” protes Wira.
Melati tersenyum simpul. Gaun putih selutut yang ia gunakan seperti berpendar terkena cahaya matahari. Ia sungguh menjadi orang yang berbeda dibanding tempo hari saat ia memberikan arloji ini pada Wira. Kini ia tampak acuh dan dingin. Tapi dia seolah tahu segalanya.
“Permisi, Mas....” Dua orang perawat masuk ke dalam bilik. Niken dan seorang temannya. “Lho, Mas Wira ngomong sama siapa?” tanya Niken.
“Itu....” Wira tertegun, telunjuknya masih menunjuk ke arah jendela. Namun tak ada siapa-siapa di sana. Melati tiba-tiba saja lenyap, menguap. Tak mungkin ia bisa menyublim. “Lho, kemana tu orang?”
“Orang yang mana, Mas? Nggak ada siapa-siapa di situ,” terang Niken. Wira masih terdiam, rambut-rambut halus di tangannya berdiri. Pori-porinya terbuka lebar.
“Oh, ada apa ya, Mbak Niken?”
“Ini, kami mau ganti shift ya, Mas. Kalau perlu apa-apa sama perawat Shinta, atau telpon aja di 110,” terang Niken sembari menunjuk pada pesawat telepon di atas lemari.
“Oke, Mbak.”
“Saya pamit ya, Mas. Terima kasih,” Shinta meninggalkan bilik Wira. Namun tidak dengan Niken.
“Lho, Mbak Niken nggak pulang?”
“Mmm ... begini, Mas. Saya boleh nggak tanya sesuatu?” Niken agak ragu. Namun ia memberanikan dirinya, toh jam kerjanya sudah selesai. Ia kemudian duduk di kursi penunggu pasien.
“Tanya apa, Mbak?”
“Saya rasa Mas Wira punya suatu kelebihan, betul kan?” tanya Niken, tatapannya penuh curiga.
“Maksud Mbak apa?”
Niken menatap mata Wira lekat-lekat. Beberapa kali Wira berusaha mengalihkan pandangannya. Namun mata Niken seperti memiliki daya tarik tersendiri. Seperti tadi, penglihatan hitam putih Wira memperlihatkan seorang anak perempuan yang terlihat begitu sedih. Tidak ada air mata yang meleleh di pipi. Atau rengekan anak kecil seusianya. Matanya hanya berkaca-kaca. Ia memeluk boneka teddy bear sambil melambaikan tangan pada Niken.
Niken mengendarai sepeda motor, seperti berangkat menuju rumah sakit. Ia mengenakan seragam dinas kebanggannya. Anak perempuan itu masih memandang punggung ibunya yang perlahan menghilang. Sebuah tangan kekar lalu menuntun anak itu masuk ke dalam rumah.
“Apa Mas lihat anak saya?”
“Apa maksud Mbak Niken?” Wira menegakkan kepalanya.“Ayolah, Mas. Saya butuh pertolongan Mas Wira. Tolong lihat dimana anak saya sekarang!” Niken mulai memohon.“Kenapa Mbak Niken yakin saya bisa menolong?” tanya Wira. Ia ingin mengetahui dari mana Niken tahu tentang kemampuannya.“Melati bilang begitu.”“Melati? Mbak kenal Melati?” tanya Wira setengah histeris.“Nggak. Tapi jauh sebelum Mas Wira dirawat disini, perempuan itu datang beberapa kali di mimpi saya. Dia bilang akan datang orang yang bisa membantu saya menemukan Yura, anak saya.” Mata Niken mulai berkaca-kaca.“Terus kenapa Mbak yakin kalo orang itu saya?”“Mas sendiri tadi yang tanya soal anak saya kan? Tolong saya, Mas....” Niken mulai terisak. Kedua telapak tangannya terkatup di depan dada. Ia mendekat ke arah Wira.Kurang ajar sekali Melati. Memupuk harapan pada seoran
Wajah Niken memerah, kedua pipi yang basah semakin meranumkan wajahnya. Ia lepaskan pelukan di leher Wira. Tak ada yang dilakukannya, hanya mundur satu langkah yang justru semakin memperlihatkan wajah yang dirundung malu itu. Kini ia tak berani menatap wajah Wira. Ia takut melihat reaksinya, terlebih kalau pasien yang ia rawat ini dapat lebih banyak mendapatkan bayangan masa lalunya.Wira tak kalah salah tingkahnya. Tentu sebuah hal yang tak disangka-sangka Niken memeluknya seperti itu. Setengah hatinya merasa begitu malu, namun setengahnya lagi merasa beruntung. Untung saja hanya sebentar. Kalau tidak memang ia tak kehilangan tenaga mendeteksi Yura, tapi justru kehabisan napas karna dipeluk perawat cantik ini.“Mbak, semoga segera bertemu Yura ya?” ujar Wira mencairkan suasana.“Iya, Mas. Sekali lagi terima kasih. Saya nggak tau gimana cara bales pertolongan Mas Wira.”“Duh, Mbak. Jangan gitu dong ngomongnya, saya ini ikhlas
“Nih,” Mamak menyerahkan kacamata hitam pesanan Wira.“Wih, keren juga, Mak. Berapaan ini?” tanya Wira.Wira memperhatikan kacamata hitam itu. Ia berharap bisa sedikit menurunkan penglihatan masa lalu orang-orang yang beradu pandang dengannya. Ia takut tak bisa fokus dengan real time karena terlalu terpaku pada masa lalu orang lain. Jika sekali lagi bertemu Melati, ia akan menanyakan banyak hal terkait kemampuannya ini. Dan tentu saja hubungannya dengan Bapaknya, juga dengan Niken.“Lima belas ribu, kaya pesenanmu lah,” jawab Mamak sambil mengenakan tas ransel di punggungnya. “Yakin mau bawa motor, Wir?” tanya Mamak tak yakin.“Iya, Mak. Aku udah sehat kok,” jawab Wira.Ia kenakan kacamata hitam tadi. Tas ransel berisi pakaian selama dirawat ia kenakan di depan. Sedang barang-barang lain dalam beberapa kantung plastik ia gantung di depan sepeda motor maticnya. Ia lalu naik dan men
Wira melemparkan ransel yang ia gendong di depan tubuh ke lantai kamarnya. Ia sudah tak kuasa lagi melepas jaket atau mengganti pakaian yang lebih ringan. Ia rebahkan tubuhnya di tempat tidur. Wira merasa begitu lelah, ia pejamkan mata berkemampuan khusus ini. Bau debu begitu tercium, kamar ini sudah beberapa hari tak berpenghuni.“Kamu nggak apa, Wir? Ini minum dulu,” ujar Mamak membawakan segelas air.“Makasih, Mak. Aku nggak apa kok, cuma pengen tidur aja. Capek banget rasanya,” keluh Wira. Ia meraih dan meneguk segelas air yang diberikan Mamak.“Ya, abis ini istirahat yang banyak, Wir. Nggak usah kemana-mana dulu biar kamu nggak lihat macem-macem. Kamu kan lagi pemulihan,” ujar Mamak lagi.“Iya, Mak.”Wira mengembalikan gelas kosong kepada Mamak. Perempuan paruh baya itu memastikan anaknya kembali rebah dan baru meninggalkannya. Sama seperti suaminya dulu, Wira masih butuh banyak penyesuaian denga
Wira bangkit dari tempat tidurnya. Ia buka jaket dan juga kausnya. Arloji itu benar-benar hilang seperti meresap ke dalam dadanya. Tak ada bekas, kulit dadanya tidak ada tanda-tanda kekerasan atau efek karena suatu kejadian. Padahal rasa sakitnya sungguh luar biasa. Tak puas, Wira melihat bayangannya di cermin. Sama sekali tak berbekas, sungguh aneh.Lelaki bertubuh kurus itu mengenakan kembali kausnya. Segera setelah arloji itu lenyap, ia merasa begitu sehat dan bugar. Ia sudah tak sabar untuk mencoba apakah benar apa kata Melati, ia bisa mengendalikan waktu. Apa yang dimaksud dengan pengendalian di sini? Apakah Wira dapat menghentikan atau mempercepat waktu? Wira tersenyum, sepertinya akan seru jika itu benar-benar terjadi.“Mau kemana, Wir? Memangnya udah sehat?” tanya Mamak melihat Wira keluar dari kamarnya.“Keluar sebentar, Mak. Bosen tiduran melulu,” jawab Wira.Mamak memandang Wira perlahan dari ujung kaki hingga kepala. Ia
“Mas Wira kenapa? Kok matanya basah?” tanya Aisya.“Eh, nggak, Mbak. Makasih ya, Mbak,” jawab Wira gugup.Aisya beranjak meninggalkan Wira. Ia kembali ke balik booth tempat biasa ia duduk dengan setia menanti pembeli. Ia matikan kompor yang digunakan untuk membuat burger pesanan Wira. Perempuan itu mengarahkan kipas angin mini di atas booth ke wajahnya. Siang ini terasa begitu terik. Biasanya banyak yang membeli minuman di gerainya.Wira dengan cepat menghabiskan burgernya dan melangkah ke lemari pendingin di sidut gerai. Ia raih sebotol teh dingin dan meminumnya sambil memainkan gawai. Sebenarnya gawai ini hanyalah pengalih perhatian. Ia masih fokus pada masa lalu Aisya yang baru saja ia lihat. Sepertinya ia masih perlu banyak informasi tentang perempuan ini. Mungkin foto bisa membantu.Lelaki berambut ikal itu lalu memikirkan sebuah cara agar dapat mengambil foto Aisya yang menghadap ke kamera. Ia buka aplikasi
Jaka hanya tersenyum kecil merasakan cengkraman Wira di lehernya dan himpitan tubuh pada dinding gardu poskamling. Kesadarannya tak sempurna. Tubuhnya terasa ringan, namun tiba-tiba bisa menjadi begitu berat.“Udah gila, Lu! Anak Lu masih bayi merah, Lu malah teler!” hardik Wira, ia menghempaskan tubuh Jaka ke lantai kayu. Jaka hanya meringis, lalu perlahan tertawa.“Kok Lu tau sih, Wir? Kan gue nggak pernah cerita,” tanya Jaka sambil mencoba bangkit.“Orang bego juga tau, tampang Lu begini!” tandas Wira.“Oh, Lu udah pinter sekarang? Hah? Udah ngerasa hebat?” tiba-tiba Jaka melotot dan mendorong tubuh Wira. Ia memang tak lagi Jaka yang sama.“Bini Lu protes kan? Uang belanja hasil Lu ngurir dia bilang nggak cukup?”“Kenapa Lu bahas rumah tangga gue?” hardik Jaka.“Buat beli popok, susu, belum biaya sekolah anak-anak tiri Lu. Anak Lu yang bayi juga belum di
Pria itu menjatuhkan sapunya di lantai. Ia duduk bersandar pada tiang di teras Masjid. Matanya dipenuhi perasaan bersalah dan dosa. Kini Wira jadi paham mengapa Marbot seperti dia memilki banyak tato di lengan dan juga bekas luka memanjang di pipi kirinya itu. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan pria ini semua dapat Wira lihat dengan jelas.“Maafkan saya, jadi kamu anaknya Barata?” tanya pria itu.“Betul, Bang,” sahut Wira singkat.“Panggil saya Om saja. Nama saya Darman. Saya lah yang memberitahu keberadaan Barata saat orang-orang itu mencarinya,” terang Darman. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian belasan tahun lalu.“Orang-orang siapa, Om?” tanya Wira penasaran.“Orang-orang itu tadinya teman-teman saya melakukan kejahatan. Kami dulu satu perkumpulan, macam geng kalo sekarang. Kami sering menerima bayaran atas kejahatan yang kami lakukan. Termasuk menghilangkan nyawa seseorang.”W
“Menikah? Besok? Gimana mungkin?” cecar Wira via sambungan telepon. Bukannya tak mau, tapi menikah dalam kondisi seperti ini benar-benar tak ideal. Dua hari lalu baru saja ia selesai diinterogasi sebagai saksi. Lalu ia harus wajib lapor. Membujuk Mamak agar mau mendonorkan darah untuk Firman. Dan besok harus menikah.Pemuda itu mengangguk beberapa kali dan menggumam. Semuanya sudah diatur Aisya. Pernikahan secara siri akan dilakukan di rumah sakit, di ruang Pak Aziz dirawat. Padahal pria itu dalam kondisi baik. Wira tak mengerti mengapa pernikahan harus segera dilakukan secepatnya. Bahkan bisa-bisanya Aisya sudah berdiskusi dengan Mamak dan Mamak menyetujuinya.Wira tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Perdebatan dengan Aisya kemarin tentu saja dimenangkan oleh perempuan cantik itu. Ya, siapa yang menyangka hidupnya berubah secepat ini. Seorang yatim tak pernah dekat dengan perempuan, tapi kini seolah dikejar untuk menikah perempuan cantik solihah.“Saya terima nikahnya Aisya
Ruang serba putih itu begitu sepi. Hanya ada suara alat deteksi detak jantung dan gerakan detik jam dinding. Hembusan pendingin ruangan sesekali menggerakkan tirai yang sebagian terbuka. Setelah mengaku sebagai keluarga, Mamak dapat dengan mudah masuk ke ruangan ini. Ruang yang dijaga setidaknya dua orang polisi bergantian setiap waktu.Mamak sampai di ujung ranjang. Seorang pria mengenakan masker oksigen terpejam di sana. Cairan infus menggantung di sisi kanannya. Dan beberapa kabel yang terhubung pada alat-alat yang Mamak tak tahu apa namanya. Semuanya penopang hidup Firman saat ini.“Sebenarnya aku merasa berdosa, Firman,” lirih Mamak seraya melangkah dan sampai di sisi kanan tubuh pria itu.Perempuan paruh baya menatap lekat wajah tak berdaya pria yang dahulu pernah meminta cintanya. Pria yang terus berupaya menjauhkannya dari Barata. Juga dalang dibalik pembunuhan suaminya itu.“Darahku kini mengalir di tubuhmu. Sungguh aku tak sudi kalau bukan dengan alasan memberatkan hukuman S
“Peluru jika ditembakkan dalam jarak sedekat ini, besar kemungkinan tembus! Jarak Wira denganmu terlalu dekat!” ucap Suryo begitu pongah.Pak Aziz terperangah memegangi dada kirinya. Sekali ia melihat telapak tangannya yang sudah berwarna merah. Pria itu panik setengah mati. Ia tak tahu mengapa tak segera merasakan timah panas itu. Tubuhnya kini terasa lemah. Napasnya mulai tersengal. Pria itu luruh ke lantai tepat di sebelah calon menantunya yang berlumuran darah.“Lagi pula kamar semewah ini sudah pasti kedap suara,” sambung pria tambun itu.Suryo melangkah mendekat. Bukan untuk memberikan tembakan lanjutan. Namun untuk mengambil gawai Pak Aziz yang masih terpasang di tripod. Rekaman video ia hentikan, lalu beberapa detik menggores-goreskan jemari pada layar pipih 6 inchi itu.“Begini kalau hidupmu penuh keteraturan!” desis Suryo seraya meninggalkan gawai Pak Aziz beserta tripodnya. Ia lalu menghampiri Wira, menyepak beberapa kali wajah pemuda yang telungkup tak berdaya.“Masih ada
Seorang pria tambun mengenakan tongkat berjalan diapit oleh dua orang berbadan besar. Di belakangnya seorang berpakaian safari berambut ikal mengikuti langkahnya dengan menenteng sebuah tas hitam. Ia berhenti dan mengetuk pintu dengan nomor A001.“Anda Pak Suryo?” tanya Pak Aziz, seorang yang membukakan pintu.“Benar, dengan Bapak Abdul Aziz?” tanya Suryo ramah. Hal yang tak biasa ia lakukan entah sudah berapa lama.“Selamat datang, Pak. Maaf mengubah tempat pertemuan. Tiba-tiba saya merasa sedikit lelah. Mari, silahkan masuk!” sambut Pak Aziz dengan santun.Suryo membalas keramahan Pak Aziz dengan segera membuka kacamata hitam yang selalu ia kenakan. Kamar president suite itu tampak luas dan mewah. Didominasi warna gading, Suryo diarahkan untuk duduk di sofa tepat di sebelah kiri pintu.“Maaf, Pak, apa boleh hanya kita berdua atau dengan orang kepercayaan Bapak saja?” pinta Pak Aziz setelah dua pria bertubuh besar itu turut serta masuk.“Tentu saja boleh, Pak,” jawab Suryo singkat. I
Permadi hanya bisa menuruti apa perintah pemuda di hadapannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, meski panik ia masih bisa menyembunyikannya. Ia justru tertawa sinis setelah file yang diminta Wira terbuka.“Pak Wira, ini adalah file mentah. Data yang saya paparkan tadi adalah data yang sudah diolah dan dilakukan revisi dan penyesuaian,” kilah Permadi.“Revisi? Penyesuaian?” tanya Pak Aziz mulai menangkap adanya kejanggalan.“Maksud saya, ini file mentah yang masih harus diperiksa dan direvisi apa bila ada kekeliruan,” kilah Permadi lagi.“Lalu mengapa file mentah ini sudah mendapatkan approval?” potong Wira.“Approval?” Permadi tertawa mendengar pertanyaan Wira. “Pak Wira, bagaimana mungkin Anda mengetahui bahwa file ini sudah disetujui sedang ini hanya lah soft file?”“Saya tidak sedang membicarakan soft file ini, Pak. Tapi dokumen hard copy yang disimpan oleh Sekretaris Bapak!” tandas Wira.“Sekretaris?”“Ya, lelaki yang menyambut kami tadi, Sekretaris Bapak, bukan?” desak Wira.“
Pukul 08:50 Pak Aziz dan Wira sudah sampai di Hotel Nusantara. Pak Aziz segera menghampiri receptionist untuk menanyakan letak ruang meeting yang dimaksud. Setelahnya pria paruh baya itu segera berjalan menuju lift untuk naik ke lantai delapan. Wira hanya mengekori calon mertuanya itu saja.“Seorang pemimpin tak berjalan menunduk, Wira,” ucap Pak Aziz memecahkan keheningan dalam lift yang bergerak naik itu.“Gimana, Pak?” tanya Wira tak mengerti. Pak Aziz mendekat dan membenarkan posisi kemeja slim fit yang dikenakan Wira.“Untuk dihormati kau harus membangun kesan lebih dahulu. Setelah penampilan, tentu perilaku. Tampilanmu sudah baik, Aisya sudah memilihkan pakaian yang tepat. Tapi harus kamu dukung juga dengan bahasa tubuh yang baik,” terang Pak Aziz sambil terus tersenyum.“Saya mengerti, Pak. Aisya sudah suruh saya ikut kelas kepemimpinan,” jawab Wira ragu. Pak Aziz tersenyum lalu mengangkat wajah pemuda di hadapannya dengan mendorong dagu.“Mulai sekarang kamu nggak boleh lihati
Wira tentu saja terkejut. Orang yang tadi ia hindari adalah calon mertuanya dan juga aktor dibalik kehidupan baru dan segala fasilitas yang ia dapat dua bulan ini. Pemuda itu merendahkan tubuhnya dan berjalan menyongsong pria yang bangkit dari duduknya.“Oh, ini yang namanya Wira? Saya Aziz, Abdul Aziz,” ucap pria itu sembari meggenggam tangan Wira dengan kuat.“Saya Wira, Om. Maaf, saya menghindar tadi. Soalnya....”“Aisya sudah cerita banyak ke saya. Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba. Kebetulan ada yang sedang saya urus di sini. Sekalian mampir dan bertemu kamu dan Bu Ayu,” terang Pak Aziz sembari tersenyum. Mata di balik kacamata itu menatap dalam wajah Wira yang datar.Wira diam. Ia memang tengah memandang mata Pak Aziz, namun yang ia lihat adalah masa lalu pria 50 tahun itu. Pak Aziz tampak heran, namun segera tersenyum setelah melihat senyum putrinya. Seolah memberi isyarat bahwa pemuda di hadapannya sedang berkelana ke masa lalu.“Wira?” sapa Pak Aziz. Namun Wira tetap diam.
Penglihatan masa lalu itu terus berlanjut dan berganti. Semuanya berupa potongan-potongan peristiwa yang bertentangan dengan anggapan dan asumsi yang Firman dan ibunya yakini terkait Barata dan keluarganya selama ini. Hal yang membuat alasan-alasan dibalik kesanggupan Firman bekerja sama dengan Suryo untuk membunuh Barata menjadi bias.Bukan seperti yang disangkakan oleh ibunya. Barata rupanya lebih dulu melamar Ayu sebelum mendapatkan pekerjaan. Juga bukan Barata yang membuatnya disangka sebagai penggelap uang perusahaan. Bahkan Barata pula yang membantunya mendapatkan pekerjaan di PT. Franz Williams Indonesia. Mulanya sebagai Staff General Affair, lalu dimutasi menjadi asisten sekaligus driver Suryo.Barata juga tidak merebut Ayu darinya. Ayu sendiri yang meminta Barata untuk melamarnya. Semua karena omongan sinis Bu Lasmi. Ibunya itu yang sudah membakar amarah dan api cemburu. Bahkan mungkin saja mengarang cerita terkait pemilihan pewaris kerajaan kuno yang jatuh ke kakeknya Barata
Seorang perempuan baya keluar dari balik tirai yang membatasi ruangan itu dengan ruang belakang. Ia membawa nampan yang berisi minuman berwarna coklat terang. Sepertinya teh panas, tampak dari asap yang masih mengepul di atasnya. Perempuan itu tersenyum manis kepada beberapa orang yang duduk di sudut ruangan itu. Entah dari mana datangnya, di awal sama sekali tak terlihat kehadiran mereka.“Silahkan diminum,” ucap perempuan itu ramah.Anggukan dan senyuman masing-masing tamu yang kebanyakan lelaki mengiringi perempuan itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi single paling kanan. Tamu perempuan hendak berucap sesuatu namun pria di sebelah kiri menghalanginya.“Ayu sedang keluar dengan temannya. Mungkin sebentar lagi kembali,” ucap perempuan itu membuka pembicaraan.“Maaf, Bu Rahmi, apa Ayu pergi bersama Barata?” tanya pria di sebelah kiri. Dia pula yang mencegah perempuan di sebelahnya bicara tadi.“Benar, bagaimana Pak Dahlan bisa tahu?” tanya Rahmi, ibunda Ayu.“Barata itu masih kemen