Jaka keluar dari ruang Officer sambil menggerutu. Ia remas-remas selembar kertas di tangannya dan ia lemparkan ke sudut kantor tempat biasa ada kotak sampah. Ia berjalan cepat keluar menghampiri sepeda motornya yang belum selesai memuat paket-paket yang harus diantarkan hari ini. Ario memperhatikannya dari sisi pagar sambil berjongkong menghisap sebatang rokok.
“Kenapa Lu, Bro?” Ario setengah berteriak. Jaka menoleh sekilas, ia meletakkan begitu saja paket tanggung jawabnya di tanah.
“Ada lagi nggak?” tanya Jaka menempelkan dua jarinya di bibir.
Ario membuka resleting jaket dan meraih sebungkus rokok. Melihat gelagat dan mimik muka Jaka, ia pasti tengah menjalani hari yang tak menyenangkan. Jaka lelaki periang, ia baru saja dikaruniai seorang anak laki-laki dari istrinya yang seorang janda. Dari pernikahan pertama ia punya satu anak perempuan. Belakangan mungkin itu yang membebani pikiran Jaka, karena tentu kebutuhan keluarganya bertambah.
“Satu aja ... sisanya balikin ke gue, jangan satu batang yang dibalikin. Kebiasaan!” seru Ario sesaat setelah Jaka menerima rokoknya.
“Iye iye ... Tar gue ganti.” Jaka langsung menjepit ujung rokok dengan bibirnya. “Kalo inget!” Jaka tertawa sembari mencari korek api di saku jaket ekspedisinya.
“Huh! Nggak ada juga koreknya?” tanya Ario. Ia masukkan kembali rokoknya di saku jaket bagian dalam. “Nih!” Ario menyodorkan koreknya.
“Nah, gitu dong....”
Jaka menyalakan korek dan membakar ujung rokok pemberian Ario. Ia kurang terbiasa karena rokoknya berbeda. Tapi dengan kondisi keuangan dan banding atas tak dibayarnya insentif tadi ditolak, ia harus pandai-pandai berhemat.
“Dih, kaya kenal nih korek!” ujar Jaka membolak balik korek milik Ario. Ia lalu berjongkok menjajari Ario.
“Enak aja, jangan bilang gue curanrek ya!” ketus Ario. Ia segera merebut korek apinya dari tangan Jaka.
“Apaan curanrek?”
“Pencurian korek.”
“Bisa aja Lu. Eh, Yo, bantuin gue ngapa?” pinta Jaka.
“Bantuin apaan?” Ario membuang puntung rokok dan menginjaknya.
“Tuh, kirimin paket punya Wira. Separo-separo deh, masa si Bos nyuruh gue semua yang anter. Mana lembur gue nggak ACC....” keluh Jaka.
“Lah, kok bisa? Lagian Lu kebanyakan nongkrong sih,”
“Sumpah gue nggak nongkrong. Tar Lu rasain deh kalo ada bayi di rumah. Begadang tiap malem, Bro. Jadi tiap gue istirahat ya akhirnya ketiduran,” Jaka mengusap matanya yang memerah.
“Pantesan Lu jadi lemes gini kaya tisu basah. Ya udah sini gue bantuin, emang ada berapa paket?”
“Nah, gitu dong. Ayok sini sekalian kita bagi aja,” ajak Jaka.
Mereka berdua menghampiri sepeda motor Jaka yang belum juga tersusun paketnya di tas motor. Jaka kemudian membagi dua dua belas paket yang seharusnya diantarkan Wira. Berarti masing-masing menerima tambahan enam paket.
“Buset, tu anak ngapain aja sampe magrib masih nyisa 12 paket,” keluh Ario.
“Tau nih, jadi kena sampahnya aja kita. Tapi lumayan bisa dibuat lembur ini, kan wilayah Wira lumayan jauh, Yo.”
“Lah, Lu doang lah yang dapet lembur. Kan delegasinya ke Lu,” keluh Ario.
“Dah, tar gue bagi rokok sebungkus dah....”
Pandangan hitam putih itu seketika lenyap. Wira kini mendapati dua teman kerjanya ini tengah berdiri di sampingnya. Jaka tampak tak mengerti mengapa Wira terdiam cukup lama. Sedang berdiri mematung menenteng kantung plastik putih yang berisi buah-buahan.
“Sehat, Wir?” seru Jaka.
“Ah, Lu berdua ... emang cukup waktu nanti buat nganter paket? Lagi banyak kan?” sambut Wira. Ia menyimpan gawai dan arloji di balik selimut putih rumah sakit.
“Dih, kelamaan rebahan ni bocah. Harbolnas udah lewat, Wir. Udah nggak banjir paket lagi kita,” seloroh Ario sembari menyerahkan kantung plastik putih yang ia bawa kepada Mamak. Mereka berdua menyalami Mamak, sedang Mamak kemudian memberikan tempat kepada mereka dan menyingkir sementara ke luar ruangan.
“Oh iya ya, makanya bisa mampir kemari Lu berdua bisa kemari. Jek, Lu kemaren yang nganter Mamak ke sini ya?”
“Iya, Mamak Lu cuma punya nomer gue. Orang yang nolongin Lu ngubungin kantor, untung aja tu jamaah masjid mau nganter Lu kemari,” terang Jaka.
“Makasih ya, Jek. Terus yang nganterin sisa paket gue siapa? Lu apa Ario?”
“Tuuuh....” Jaka memonyongkan bibirnya ke arah Ario.
“Iya, Wir. Soalnya Jaka nggak mau,” ujar Ario datar.
“Eh, ngomong apa, Lu?” Wira tertawa. Yang mereka berdua perbincangkan ia sudah mengerti semuanya.
“Makasih, Bro dah bantuin gue.”
“Oh iya, emang Lu kenapa, Wir bisa tiba-tiba pingsan katanya ya pas lagi sholat? Lagian tumben juga Lu sholat?” seloroh Jaka.
“Nah, iya ... kapan juga Lu pernah sholat? Badan Lu nggak kuat kali denger ayat Al-quran,” serobot Ario. Wira tertawa mendengar ejekan temannya.
“Sembarangan, bejat-bejat gini gue sholat lho. Mmm ... gue kecapekan doang kayanya, lupa makan. Soalnya bagus semua tuh hasil general check up gue,” terang Wira.
“Kok bisa ya? Lu yang begadang, Wira yang oleng?” tanya Ario pada Jaka disambut tawa tiga sahabat ini. Tawa mereka ternyata cukup keras dan mengganggu. Pasien sebelah terdengar memukul-mukul rangka tempat tidur besi sebagai kode agar mereka lebih tenang.
Seorang perempuan meminta ijin masuk ke dalam bilik untuk mengambil food tray makan siang. Perempuan itu terlihat berbeda dari pada petugas dapur rumah sakit pada umumnya. Ia tampak lebih bersih dan berpenampilan menarik. Di lihat dari parasnya, ia masih berusia muda. Mungkin usianya di bawah mereka bertiga. Setelah mengambil food tray, ia pun pamit.
“Yo, bengong aja kalo liat cewek!” hardik Jaka.
“Gue kaya kenal sama tu cewek, tapi siapa ya?” Ario menggaruk-garuk kepalanya mencoba mengingat-ingat sesuatu.
“Nggak usah pura-pura, dia kan mantan Lu. Yang mutusin Lu gara-gara Lu ketauan nyimpen b***p di hape kan?”
Seketika Wira menutup mulut dengan tangannya. Spontan ia mengatakan apa yang ia lihat setelah matanya dan perempuan itu beradu sepersekian detik. Ario terbelalak menghunuskan tatapan matanya ke arah Wira. Sedang Jaka memandang Ario dengan tatapan jijik bercampur tak percaya.
“Serius, Yo?” tanya Jaka. Ia mendorong bahu Ario dengan tatapan penuh kebahagiaan menemukan aib sahabatnya itu. Ia menahan tawanya, tak enak mengganggu pasien sebelah lagi.
“Iih, enggak, Jek. Masa iya Lu percaya omongan Wira. Ni anak belom sehat nih, asal ngomong ni pasti....” bela Ario. Namun mau membela diri macam apa pun ia tak akan dipercaya.
“Nggak usah bohong dah Lu, kalo nggak kejadian ngapain Lu panik? Hah?” desak Jaka. Ia kembali menahan tawanya. “Eh, tapi mantan Lu ajib, Bro ... bener sih putus, kasian nasibnya kalo beneran jadi sama Lu!” ejek Jaka. Ia kini tak bisa lagi menahan tawanya. Ia sampai berguling memegangi perutnya.
“Ah, Lu, Wir ... kok Lu bisa tau sih? Kan soal ini cuma gue sama dia yang tau,” ujar Ario memelas.
“Sorry, Yo. Gue spontan aja. Taunya beneran ya? Emang ngapain Lu nyimpen film gituan di hape sih? Buat referensi?” Kontan Wira dan Jaka kembali tertawa.
Dalam hati Wira heran dengan dirinya sendiri. Ia seperti mulai terbiasa dengan kemampuannya ini. Dalam waktu singkat ia bisa melihat masa lalu dengan begitu detail. Dan kini ia juga bisa mendengar apa yang dikatakan orang di masa lalu. Seperti saat melihat pembagian paketnya oleh Jaka dan Ario. Dan lagi, ia merasa tak memerlukan energi yang banyak untuk melihat itu semua.
Bilik pojok yang Wira huni mendadak sepi setelah Jaka dan Ario pamit pulang. Pasien sebelah mungkin sudah bernapas lega sekarang. Beberapa kali Wira mengucapkan permintaan maaf namun tak ada jawaban. Mungkin pasien beliau sudah beristirahat. Atau justru meminta pindah bilik agar tidak terlalu berisik.Kehadirian dua sahabatnya tadi cukup mengusir sejenak kejenuhan Wira. Ia merasa sudah lama rebah di tempat tidur ini. Kini tenaganya sudah mulai pulih. Ia sudah tak bersandar, punggungnya sudah dapat ditegakkan. Beberapa kebutuhannya sudah dapat ia lakukan sendiri.“Udah pulang temanmu, Wir?” Mamak muncul dari balik tirai hijau.“Udah, Mak. Kasian tuh pasien sebelah kebrisikan. Becanda mulu tu Jaka Ario,” ujar Wira.“Pasien sebelah mana?”“Ya ini sebelah kita. Kenapa, Mak?” Wira penasaran, ekspresi Mamak seketika berubah.“Kosong sebelah kita, Wir. Dia meninggal sebelum kamu sadar!”
“Apa maksud Mbak Niken?” Wira menegakkan kepalanya.“Ayolah, Mas. Saya butuh pertolongan Mas Wira. Tolong lihat dimana anak saya sekarang!” Niken mulai memohon.“Kenapa Mbak Niken yakin saya bisa menolong?” tanya Wira. Ia ingin mengetahui dari mana Niken tahu tentang kemampuannya.“Melati bilang begitu.”“Melati? Mbak kenal Melati?” tanya Wira setengah histeris.“Nggak. Tapi jauh sebelum Mas Wira dirawat disini, perempuan itu datang beberapa kali di mimpi saya. Dia bilang akan datang orang yang bisa membantu saya menemukan Yura, anak saya.” Mata Niken mulai berkaca-kaca.“Terus kenapa Mbak yakin kalo orang itu saya?”“Mas sendiri tadi yang tanya soal anak saya kan? Tolong saya, Mas....” Niken mulai terisak. Kedua telapak tangannya terkatup di depan dada. Ia mendekat ke arah Wira.Kurang ajar sekali Melati. Memupuk harapan pada seoran
Wajah Niken memerah, kedua pipi yang basah semakin meranumkan wajahnya. Ia lepaskan pelukan di leher Wira. Tak ada yang dilakukannya, hanya mundur satu langkah yang justru semakin memperlihatkan wajah yang dirundung malu itu. Kini ia tak berani menatap wajah Wira. Ia takut melihat reaksinya, terlebih kalau pasien yang ia rawat ini dapat lebih banyak mendapatkan bayangan masa lalunya.Wira tak kalah salah tingkahnya. Tentu sebuah hal yang tak disangka-sangka Niken memeluknya seperti itu. Setengah hatinya merasa begitu malu, namun setengahnya lagi merasa beruntung. Untung saja hanya sebentar. Kalau tidak memang ia tak kehilangan tenaga mendeteksi Yura, tapi justru kehabisan napas karna dipeluk perawat cantik ini.“Mbak, semoga segera bertemu Yura ya?” ujar Wira mencairkan suasana.“Iya, Mas. Sekali lagi terima kasih. Saya nggak tau gimana cara bales pertolongan Mas Wira.”“Duh, Mbak. Jangan gitu dong ngomongnya, saya ini ikhlas
“Nih,” Mamak menyerahkan kacamata hitam pesanan Wira.“Wih, keren juga, Mak. Berapaan ini?” tanya Wira.Wira memperhatikan kacamata hitam itu. Ia berharap bisa sedikit menurunkan penglihatan masa lalu orang-orang yang beradu pandang dengannya. Ia takut tak bisa fokus dengan real time karena terlalu terpaku pada masa lalu orang lain. Jika sekali lagi bertemu Melati, ia akan menanyakan banyak hal terkait kemampuannya ini. Dan tentu saja hubungannya dengan Bapaknya, juga dengan Niken.“Lima belas ribu, kaya pesenanmu lah,” jawab Mamak sambil mengenakan tas ransel di punggungnya. “Yakin mau bawa motor, Wir?” tanya Mamak tak yakin.“Iya, Mak. Aku udah sehat kok,” jawab Wira.Ia kenakan kacamata hitam tadi. Tas ransel berisi pakaian selama dirawat ia kenakan di depan. Sedang barang-barang lain dalam beberapa kantung plastik ia gantung di depan sepeda motor maticnya. Ia lalu naik dan men
Wira melemparkan ransel yang ia gendong di depan tubuh ke lantai kamarnya. Ia sudah tak kuasa lagi melepas jaket atau mengganti pakaian yang lebih ringan. Ia rebahkan tubuhnya di tempat tidur. Wira merasa begitu lelah, ia pejamkan mata berkemampuan khusus ini. Bau debu begitu tercium, kamar ini sudah beberapa hari tak berpenghuni.“Kamu nggak apa, Wir? Ini minum dulu,” ujar Mamak membawakan segelas air.“Makasih, Mak. Aku nggak apa kok, cuma pengen tidur aja. Capek banget rasanya,” keluh Wira. Ia meraih dan meneguk segelas air yang diberikan Mamak.“Ya, abis ini istirahat yang banyak, Wir. Nggak usah kemana-mana dulu biar kamu nggak lihat macem-macem. Kamu kan lagi pemulihan,” ujar Mamak lagi.“Iya, Mak.”Wira mengembalikan gelas kosong kepada Mamak. Perempuan paruh baya itu memastikan anaknya kembali rebah dan baru meninggalkannya. Sama seperti suaminya dulu, Wira masih butuh banyak penyesuaian denga
Wira bangkit dari tempat tidurnya. Ia buka jaket dan juga kausnya. Arloji itu benar-benar hilang seperti meresap ke dalam dadanya. Tak ada bekas, kulit dadanya tidak ada tanda-tanda kekerasan atau efek karena suatu kejadian. Padahal rasa sakitnya sungguh luar biasa. Tak puas, Wira melihat bayangannya di cermin. Sama sekali tak berbekas, sungguh aneh.Lelaki bertubuh kurus itu mengenakan kembali kausnya. Segera setelah arloji itu lenyap, ia merasa begitu sehat dan bugar. Ia sudah tak sabar untuk mencoba apakah benar apa kata Melati, ia bisa mengendalikan waktu. Apa yang dimaksud dengan pengendalian di sini? Apakah Wira dapat menghentikan atau mempercepat waktu? Wira tersenyum, sepertinya akan seru jika itu benar-benar terjadi.“Mau kemana, Wir? Memangnya udah sehat?” tanya Mamak melihat Wira keluar dari kamarnya.“Keluar sebentar, Mak. Bosen tiduran melulu,” jawab Wira.Mamak memandang Wira perlahan dari ujung kaki hingga kepala. Ia
“Mas Wira kenapa? Kok matanya basah?” tanya Aisya.“Eh, nggak, Mbak. Makasih ya, Mbak,” jawab Wira gugup.Aisya beranjak meninggalkan Wira. Ia kembali ke balik booth tempat biasa ia duduk dengan setia menanti pembeli. Ia matikan kompor yang digunakan untuk membuat burger pesanan Wira. Perempuan itu mengarahkan kipas angin mini di atas booth ke wajahnya. Siang ini terasa begitu terik. Biasanya banyak yang membeli minuman di gerainya.Wira dengan cepat menghabiskan burgernya dan melangkah ke lemari pendingin di sidut gerai. Ia raih sebotol teh dingin dan meminumnya sambil memainkan gawai. Sebenarnya gawai ini hanyalah pengalih perhatian. Ia masih fokus pada masa lalu Aisya yang baru saja ia lihat. Sepertinya ia masih perlu banyak informasi tentang perempuan ini. Mungkin foto bisa membantu.Lelaki berambut ikal itu lalu memikirkan sebuah cara agar dapat mengambil foto Aisya yang menghadap ke kamera. Ia buka aplikasi
Jaka hanya tersenyum kecil merasakan cengkraman Wira di lehernya dan himpitan tubuh pada dinding gardu poskamling. Kesadarannya tak sempurna. Tubuhnya terasa ringan, namun tiba-tiba bisa menjadi begitu berat.“Udah gila, Lu! Anak Lu masih bayi merah, Lu malah teler!” hardik Wira, ia menghempaskan tubuh Jaka ke lantai kayu. Jaka hanya meringis, lalu perlahan tertawa.“Kok Lu tau sih, Wir? Kan gue nggak pernah cerita,” tanya Jaka sambil mencoba bangkit.“Orang bego juga tau, tampang Lu begini!” tandas Wira.“Oh, Lu udah pinter sekarang? Hah? Udah ngerasa hebat?” tiba-tiba Jaka melotot dan mendorong tubuh Wira. Ia memang tak lagi Jaka yang sama.“Bini Lu protes kan? Uang belanja hasil Lu ngurir dia bilang nggak cukup?”“Kenapa Lu bahas rumah tangga gue?” hardik Jaka.“Buat beli popok, susu, belum biaya sekolah anak-anak tiri Lu. Anak Lu yang bayi juga belum di
“Menikah? Besok? Gimana mungkin?” cecar Wira via sambungan telepon. Bukannya tak mau, tapi menikah dalam kondisi seperti ini benar-benar tak ideal. Dua hari lalu baru saja ia selesai diinterogasi sebagai saksi. Lalu ia harus wajib lapor. Membujuk Mamak agar mau mendonorkan darah untuk Firman. Dan besok harus menikah.Pemuda itu mengangguk beberapa kali dan menggumam. Semuanya sudah diatur Aisya. Pernikahan secara siri akan dilakukan di rumah sakit, di ruang Pak Aziz dirawat. Padahal pria itu dalam kondisi baik. Wira tak mengerti mengapa pernikahan harus segera dilakukan secepatnya. Bahkan bisa-bisanya Aisya sudah berdiskusi dengan Mamak dan Mamak menyetujuinya.Wira tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Perdebatan dengan Aisya kemarin tentu saja dimenangkan oleh perempuan cantik itu. Ya, siapa yang menyangka hidupnya berubah secepat ini. Seorang yatim tak pernah dekat dengan perempuan, tapi kini seolah dikejar untuk menikah perempuan cantik solihah.“Saya terima nikahnya Aisya
Ruang serba putih itu begitu sepi. Hanya ada suara alat deteksi detak jantung dan gerakan detik jam dinding. Hembusan pendingin ruangan sesekali menggerakkan tirai yang sebagian terbuka. Setelah mengaku sebagai keluarga, Mamak dapat dengan mudah masuk ke ruangan ini. Ruang yang dijaga setidaknya dua orang polisi bergantian setiap waktu.Mamak sampai di ujung ranjang. Seorang pria mengenakan masker oksigen terpejam di sana. Cairan infus menggantung di sisi kanannya. Dan beberapa kabel yang terhubung pada alat-alat yang Mamak tak tahu apa namanya. Semuanya penopang hidup Firman saat ini.“Sebenarnya aku merasa berdosa, Firman,” lirih Mamak seraya melangkah dan sampai di sisi kanan tubuh pria itu.Perempuan paruh baya menatap lekat wajah tak berdaya pria yang dahulu pernah meminta cintanya. Pria yang terus berupaya menjauhkannya dari Barata. Juga dalang dibalik pembunuhan suaminya itu.“Darahku kini mengalir di tubuhmu. Sungguh aku tak sudi kalau bukan dengan alasan memberatkan hukuman S
“Peluru jika ditembakkan dalam jarak sedekat ini, besar kemungkinan tembus! Jarak Wira denganmu terlalu dekat!” ucap Suryo begitu pongah.Pak Aziz terperangah memegangi dada kirinya. Sekali ia melihat telapak tangannya yang sudah berwarna merah. Pria itu panik setengah mati. Ia tak tahu mengapa tak segera merasakan timah panas itu. Tubuhnya kini terasa lemah. Napasnya mulai tersengal. Pria itu luruh ke lantai tepat di sebelah calon menantunya yang berlumuran darah.“Lagi pula kamar semewah ini sudah pasti kedap suara,” sambung pria tambun itu.Suryo melangkah mendekat. Bukan untuk memberikan tembakan lanjutan. Namun untuk mengambil gawai Pak Aziz yang masih terpasang di tripod. Rekaman video ia hentikan, lalu beberapa detik menggores-goreskan jemari pada layar pipih 6 inchi itu.“Begini kalau hidupmu penuh keteraturan!” desis Suryo seraya meninggalkan gawai Pak Aziz beserta tripodnya. Ia lalu menghampiri Wira, menyepak beberapa kali wajah pemuda yang telungkup tak berdaya.“Masih ada
Seorang pria tambun mengenakan tongkat berjalan diapit oleh dua orang berbadan besar. Di belakangnya seorang berpakaian safari berambut ikal mengikuti langkahnya dengan menenteng sebuah tas hitam. Ia berhenti dan mengetuk pintu dengan nomor A001.“Anda Pak Suryo?” tanya Pak Aziz, seorang yang membukakan pintu.“Benar, dengan Bapak Abdul Aziz?” tanya Suryo ramah. Hal yang tak biasa ia lakukan entah sudah berapa lama.“Selamat datang, Pak. Maaf mengubah tempat pertemuan. Tiba-tiba saya merasa sedikit lelah. Mari, silahkan masuk!” sambut Pak Aziz dengan santun.Suryo membalas keramahan Pak Aziz dengan segera membuka kacamata hitam yang selalu ia kenakan. Kamar president suite itu tampak luas dan mewah. Didominasi warna gading, Suryo diarahkan untuk duduk di sofa tepat di sebelah kiri pintu.“Maaf, Pak, apa boleh hanya kita berdua atau dengan orang kepercayaan Bapak saja?” pinta Pak Aziz setelah dua pria bertubuh besar itu turut serta masuk.“Tentu saja boleh, Pak,” jawab Suryo singkat. I
Permadi hanya bisa menuruti apa perintah pemuda di hadapannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, meski panik ia masih bisa menyembunyikannya. Ia justru tertawa sinis setelah file yang diminta Wira terbuka.“Pak Wira, ini adalah file mentah. Data yang saya paparkan tadi adalah data yang sudah diolah dan dilakukan revisi dan penyesuaian,” kilah Permadi.“Revisi? Penyesuaian?” tanya Pak Aziz mulai menangkap adanya kejanggalan.“Maksud saya, ini file mentah yang masih harus diperiksa dan direvisi apa bila ada kekeliruan,” kilah Permadi lagi.“Lalu mengapa file mentah ini sudah mendapatkan approval?” potong Wira.“Approval?” Permadi tertawa mendengar pertanyaan Wira. “Pak Wira, bagaimana mungkin Anda mengetahui bahwa file ini sudah disetujui sedang ini hanya lah soft file?”“Saya tidak sedang membicarakan soft file ini, Pak. Tapi dokumen hard copy yang disimpan oleh Sekretaris Bapak!” tandas Wira.“Sekretaris?”“Ya, lelaki yang menyambut kami tadi, Sekretaris Bapak, bukan?” desak Wira.“
Pukul 08:50 Pak Aziz dan Wira sudah sampai di Hotel Nusantara. Pak Aziz segera menghampiri receptionist untuk menanyakan letak ruang meeting yang dimaksud. Setelahnya pria paruh baya itu segera berjalan menuju lift untuk naik ke lantai delapan. Wira hanya mengekori calon mertuanya itu saja.“Seorang pemimpin tak berjalan menunduk, Wira,” ucap Pak Aziz memecahkan keheningan dalam lift yang bergerak naik itu.“Gimana, Pak?” tanya Wira tak mengerti. Pak Aziz mendekat dan membenarkan posisi kemeja slim fit yang dikenakan Wira.“Untuk dihormati kau harus membangun kesan lebih dahulu. Setelah penampilan, tentu perilaku. Tampilanmu sudah baik, Aisya sudah memilihkan pakaian yang tepat. Tapi harus kamu dukung juga dengan bahasa tubuh yang baik,” terang Pak Aziz sambil terus tersenyum.“Saya mengerti, Pak. Aisya sudah suruh saya ikut kelas kepemimpinan,” jawab Wira ragu. Pak Aziz tersenyum lalu mengangkat wajah pemuda di hadapannya dengan mendorong dagu.“Mulai sekarang kamu nggak boleh lihati
Wira tentu saja terkejut. Orang yang tadi ia hindari adalah calon mertuanya dan juga aktor dibalik kehidupan baru dan segala fasilitas yang ia dapat dua bulan ini. Pemuda itu merendahkan tubuhnya dan berjalan menyongsong pria yang bangkit dari duduknya.“Oh, ini yang namanya Wira? Saya Aziz, Abdul Aziz,” ucap pria itu sembari meggenggam tangan Wira dengan kuat.“Saya Wira, Om. Maaf, saya menghindar tadi. Soalnya....”“Aisya sudah cerita banyak ke saya. Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba. Kebetulan ada yang sedang saya urus di sini. Sekalian mampir dan bertemu kamu dan Bu Ayu,” terang Pak Aziz sembari tersenyum. Mata di balik kacamata itu menatap dalam wajah Wira yang datar.Wira diam. Ia memang tengah memandang mata Pak Aziz, namun yang ia lihat adalah masa lalu pria 50 tahun itu. Pak Aziz tampak heran, namun segera tersenyum setelah melihat senyum putrinya. Seolah memberi isyarat bahwa pemuda di hadapannya sedang berkelana ke masa lalu.“Wira?” sapa Pak Aziz. Namun Wira tetap diam.
Penglihatan masa lalu itu terus berlanjut dan berganti. Semuanya berupa potongan-potongan peristiwa yang bertentangan dengan anggapan dan asumsi yang Firman dan ibunya yakini terkait Barata dan keluarganya selama ini. Hal yang membuat alasan-alasan dibalik kesanggupan Firman bekerja sama dengan Suryo untuk membunuh Barata menjadi bias.Bukan seperti yang disangkakan oleh ibunya. Barata rupanya lebih dulu melamar Ayu sebelum mendapatkan pekerjaan. Juga bukan Barata yang membuatnya disangka sebagai penggelap uang perusahaan. Bahkan Barata pula yang membantunya mendapatkan pekerjaan di PT. Franz Williams Indonesia. Mulanya sebagai Staff General Affair, lalu dimutasi menjadi asisten sekaligus driver Suryo.Barata juga tidak merebut Ayu darinya. Ayu sendiri yang meminta Barata untuk melamarnya. Semua karena omongan sinis Bu Lasmi. Ibunya itu yang sudah membakar amarah dan api cemburu. Bahkan mungkin saja mengarang cerita terkait pemilihan pewaris kerajaan kuno yang jatuh ke kakeknya Barata
Seorang perempuan baya keluar dari balik tirai yang membatasi ruangan itu dengan ruang belakang. Ia membawa nampan yang berisi minuman berwarna coklat terang. Sepertinya teh panas, tampak dari asap yang masih mengepul di atasnya. Perempuan itu tersenyum manis kepada beberapa orang yang duduk di sudut ruangan itu. Entah dari mana datangnya, di awal sama sekali tak terlihat kehadiran mereka.“Silahkan diminum,” ucap perempuan itu ramah.Anggukan dan senyuman masing-masing tamu yang kebanyakan lelaki mengiringi perempuan itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi single paling kanan. Tamu perempuan hendak berucap sesuatu namun pria di sebelah kiri menghalanginya.“Ayu sedang keluar dengan temannya. Mungkin sebentar lagi kembali,” ucap perempuan itu membuka pembicaraan.“Maaf, Bu Rahmi, apa Ayu pergi bersama Barata?” tanya pria di sebelah kiri. Dia pula yang mencegah perempuan di sebelahnya bicara tadi.“Benar, bagaimana Pak Dahlan bisa tahu?” tanya Rahmi, ibunda Ayu.“Barata itu masih kemen