Pria itu menjatuhkan sapunya di lantai. Ia duduk bersandar pada tiang di teras Masjid. Matanya dipenuhi perasaan bersalah dan dosa. Kini Wira jadi paham mengapa Marbot seperti dia memilki banyak tato di lengan dan juga bekas luka memanjang di pipi kirinya itu. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan pria ini semua dapat Wira lihat dengan jelas.
“Maafkan saya, jadi kamu anaknya Barata?” tanya pria itu.
“Betul, Bang,” sahut Wira singkat.
“Panggil saya Om saja. Nama saya Darman. Saya lah yang memberitahu keberadaan Barata saat orang-orang itu mencarinya,” terang Darman. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian belasan tahun lalu.
“Orang-orang siapa, Om?” tanya Wira penasaran.
“Orang-orang itu tadinya teman-teman saya melakukan kejahatan. Kami dulu satu perkumpulan, macam geng kalo sekarang. Kami sering menerima bayaran atas kejahatan yang kami lakukan. Termasuk menghilangkan nyawa seseorang.”
W
“Oi, udah sehat Lu, Wir?” seru Ario saat melihat Wira sedang memuat paket-paket di sepeda motornya.“Ya kali gue sakit terus! Seneng dong kalian dapat lembur?” seloroh Wira. Ario hanya menyeringai.Ario masuk ke dalam gudang penyimpanan. Tak lama ia muncul sambil membawa tumpukan paket yang menjadi tugasnya. Lalu ia kembali dan mengambil kembali beberapa paket di gudang. Ia tampak antusias ingin menanyakan sesuatu pada Wira.“Wir, tunggu sebentar kenapa?” cegah Ario yang melihat Wira sudah bersiap berangkat mengantarkan paket.“Kenapa sih?” tanya Wira, ia baru saja menyalakan sepeda motornya. Ario mendekat.“Gue mau tanya, apa bener kata Jaka Lu bisa liat masa lalu?”Wira tersenyum, ia mematikan dan mencabut kontak sepeda motornya. Rekannya ini pasti ada maksud tertentu sampai bertanya hal ini padahal ia sudah akan berangkat. Pasti Ario memiliki banyak hal yang tak terjawab.
Pukul dua belas dua puluh dua menit. Wira mengenakan lagi sepatunya setelah selesai menunaikan sholat dzuhur di Mushola Nurul Iman. Ya, Mushola penuh kenangan tempat pertama kali ia melihat wajah anggun Aisya. Saat itu usianya 10 tahun, sedang Aisya 15 tahun. Aura kecantikannya sudah amat tebal, padahal ia justru lebih sering bergaul dengan anak-anak di bawah usianya.Wira kini berdiri di sisi sepeda motornya. Ia menatap Mushola berjendela banyak itu. Tempat ini tak banyak berubah. Dari arah belakangnya muncul anak-anak yang saling mengejar, dengan mengenakan peci, menyampirkan sarung di pundak dan menenteng iqro’. Astaga, Wira tersenyum. Ia melihat Mushola di masa lalu. Karena kegiatan mengaji dilakukan selepas magrib, bukan lepas dzuhur seperti ini.Dari dalam Mushola, Wira melihat sosok yang tak asing di matanya. Sedang menyapu lantai dan membawa debu dan kotoran ke teras Mushola. Sesekali ia membersihkan debu yang menempel di tiang-tiang Mushola dan kursi pan
“Jadi begini, Wir. Aku kan selain jaga gerai, ada online shop juga. Jual pakaian anak-anak gitu lah. Terus aku rasa kok makan waktu kalau harus ke ekpedisi untuk kirim. Bisa nggak sih kalau barangku dijemput aja?” tanya Aisya serius. Perempuan cantik itu meletakkan lengannya di sisi lengan Wira. Salah satunya menopang dagu. Wira yang tak menyangka akan berada sedekat ini dengan Aisya segera menarik lengannya menjauh. Selain kikuk, ia merasakan perbedaan warna yang mencolok di punggung tangan mereka berdua. “Bisa dong, bisa banget!” seru Wira girang. Mulutnya mengunyah burger namun di luar dari kebiasaannya. Ia tentu tak ingin terlihat dan beradab buruk di depan perempuan cantik ini. Gigitannya begitu kecil hingga menyisakan banyak ruang di rongga mulutnya. “Wah, ada layanan itu di ekspedisi kamu? Kok aku nggak tahu ya?” ujar Aisya berbinar. Ia menatap mata lelaki yang terlihat serba salah di hadapannya. Wira sendiri merasa mendapat kejutan bes
Wira masih terus mengulum senyum di bibirnya. Sepanjang perjalanan pulang sampai kini sudah di rumah ia masih terus menampakkan giginya. Kali ini di depan benda pipih berukuran enam inci. Ia hanya mengucapkan salam pada Mamak yang tengah fokus di balik mesin jahitnya. Lalu mondar-mandir tanpa berkata-kata dengan handuk sudah melingkar di leher. “Girang amat, Wir? Tumben pulang senyum-senyum?” tanya Mamak sambil mengoperasikan lagi mesin jahitnya. Wira tak menjawab, baginya sia-sia menjawab bila mesin jahit Mamak masih bekerja. Lebih baik menunggu sampai mesin itu jeda. Ia duduk si kursi kayu ruang tamu dan mengambil satu kudapan yang ditata apik di piring atas meja. Matanya masih terus menatap gawainya. “Ah, Mak bisa aja,” jawab Wira singkat. Kue tradisional yang tadi ia ambil sudah amblas semua masuk ke rongga mulut. “Nggak pernah-pernahnya begini. Sampe rumah biasanya ngeluh,” sambung Mamak. Wanita itu lalu menunjukkan hasil jahitannya pada serang g
“Berangkat, Mas?” Seru Maya begitu berpapasan dengan Wira di depan pagar rumahnya. Lebih tepatnya menunggu Wira keluar baru ia pun keluar membawa sepeda motornya.“Eh, iya, Tante. Keren amat, Te, pake kacamata hitam segala. Ini kan masih pagi,” seru Wira sambil tersenyum lebar.“Ah, Mas Wira bisa aja.” Senyum Maya menggembang tak kalah lebar. Ia menutup pagar rumah dan menggemboknya.“Si Nadya udah berangkat, Te?” tanya Wira basa basi.“Nadya udah duluan. Kenapa kok cari Nadya? Apa saya kurang cantik? Hmm?” goda Maya sambil menyilangkan kedua lengan di dada.“Hah?” Wira bingung apa yang harus ia katakan.Sejurus kemudian Maya menyadari kekeliruan, ia masih terbiasa dengan perbincangan dengan para pria hidung belang. Perempuan dengan badan padat berisi itu seperti merutuk pada dirinya sendiri. Ia lalu buru-buru menaiki sepeda motornya.“Saya duluan ya, Mas Wi
Nadya menginjak pedal remnya. Mobil yang baru diberikan Firman sebagai akomodasi pengawasan terhadap Wira itu melaju pelan. Maya yang duduk di sebelahnya tak tenang memperhatikan kaca spion dengan seksama. Sungguh pekerjaan yang sulit, tak mudah untuk mereka berdua yang terbiasa bercengkrama dan merayu pria-pria haus kasih sayang untuk menjalaninya. Apa lagi bagi Maya yang sudah terbiasa menerima uang sekaligus kenikmatan selama hampir sepuluh tahun terakhir.“Nah, muncul juga tu orang,” gerutu Maya sekaligus jadi kode untuk Nadya menghentikan mobilnya sejenak. “Ni kerjaan kita cuma ngikutin dia nih, Nad?” lanjut Maya.“Lha, kan Lu denger sendiri begitu kata Om Firman. Dah Lu duduk anteng aja, yang nyetir kan gue. Harusnya upahnya nggak fifty-fifty,” celetuk Nadya. Ia memutar kemudinya ke kiri setelah mendorong tuas lampu sign.“Dih, Lu nggak inget yang ngenalin Om Firman ke Lu siapa? Kalau bukan gue ma
“Lho, katanya abis dzuhur ke sininya?” tanya Aisya. Ia terkejut namun entah mengapa begitu gembira Wira datang ke kedainya sepagi ini.Pemuda berhelm dan berjaket ekspedisi itu hanya tersenyum sambil menanti perempuan cantik itu keluar menghampirinya. Sesekali ia menggaruk kepala yang tidak gatal bahkan tak mengenai kulit kepala karena mengenakan helm. Ia begitu bahagia menemui pujaan hati dan Aisya juga terlihat senang.“Udah dianterin semua yang dekat-dekat sini. Tadinya memang mau siang, tapi sekalian aja diambil dulu paketmu,” Wira berbohong. Baginya pesan-pesan ramah yang sejak semalam ia baca dari Aisya sungguh seperti sebuah undangan untuk segera mendatangi makhluk cantik itu.“Oh ya? Duduk dulu, Wir, aku ambilin paketnya ya?” ujar Aisya dengan senyum ramah yang hampir selalu menghias wajahnya.Wira mengangguk, masih menyunggingkan senyum terbaiknya. Ia merasa bahwa ini adalah pagi terbaik seumur hidupnya. Setela
Nadya buru-buru menunduk dan mengenakan kacamata hitam yang ia letakkan di kening. Bisa berantakan pengintaiannya kalau sampai pemuda di sampingnya ini bisa melihat masa lalunya. Tentu Firman akan marah besar. Bisa-bisa mobil ini akan diambil dan imbalan serta fasilitas lain akan ditarik olehnya. “Overheat ya, Nad?” tanya Wira. Ia sama sekali tak menaruh curiga pada Nadya. Bahkan ia tak tahu bahwa ada Maya di dalam mobil. “Nggak tahu juga, Mas. Ini mobil teman, mungkin overheat. Aku lagi coba hubungi dia,” jawab Nadya gugup. Sekaligus mencari alasan untuk tidak berhadapan ke arah Wira lebih lama. Wira mengecek mesin mobil jenis sedan itu, meski ia tak tahu banyak. Kalau hanya overheat ringan, setahu dia tak perlu penanganan khusus. Hanya cukup penuhi kembali air radiatornya dan tunggu beberapa saat sampai mesinnya dingin. Wira menoleh ke arah Nadya yang menempelkan gawai di telinga kiri membelakanginya. Pemuda it
“Menikah? Besok? Gimana mungkin?” cecar Wira via sambungan telepon. Bukannya tak mau, tapi menikah dalam kondisi seperti ini benar-benar tak ideal. Dua hari lalu baru saja ia selesai diinterogasi sebagai saksi. Lalu ia harus wajib lapor. Membujuk Mamak agar mau mendonorkan darah untuk Firman. Dan besok harus menikah.Pemuda itu mengangguk beberapa kali dan menggumam. Semuanya sudah diatur Aisya. Pernikahan secara siri akan dilakukan di rumah sakit, di ruang Pak Aziz dirawat. Padahal pria itu dalam kondisi baik. Wira tak mengerti mengapa pernikahan harus segera dilakukan secepatnya. Bahkan bisa-bisanya Aisya sudah berdiskusi dengan Mamak dan Mamak menyetujuinya.Wira tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Perdebatan dengan Aisya kemarin tentu saja dimenangkan oleh perempuan cantik itu. Ya, siapa yang menyangka hidupnya berubah secepat ini. Seorang yatim tak pernah dekat dengan perempuan, tapi kini seolah dikejar untuk menikah perempuan cantik solihah.“Saya terima nikahnya Aisya
Ruang serba putih itu begitu sepi. Hanya ada suara alat deteksi detak jantung dan gerakan detik jam dinding. Hembusan pendingin ruangan sesekali menggerakkan tirai yang sebagian terbuka. Setelah mengaku sebagai keluarga, Mamak dapat dengan mudah masuk ke ruangan ini. Ruang yang dijaga setidaknya dua orang polisi bergantian setiap waktu.Mamak sampai di ujung ranjang. Seorang pria mengenakan masker oksigen terpejam di sana. Cairan infus menggantung di sisi kanannya. Dan beberapa kabel yang terhubung pada alat-alat yang Mamak tak tahu apa namanya. Semuanya penopang hidup Firman saat ini.“Sebenarnya aku merasa berdosa, Firman,” lirih Mamak seraya melangkah dan sampai di sisi kanan tubuh pria itu.Perempuan paruh baya menatap lekat wajah tak berdaya pria yang dahulu pernah meminta cintanya. Pria yang terus berupaya menjauhkannya dari Barata. Juga dalang dibalik pembunuhan suaminya itu.“Darahku kini mengalir di tubuhmu. Sungguh aku tak sudi kalau bukan dengan alasan memberatkan hukuman S
“Peluru jika ditembakkan dalam jarak sedekat ini, besar kemungkinan tembus! Jarak Wira denganmu terlalu dekat!” ucap Suryo begitu pongah.Pak Aziz terperangah memegangi dada kirinya. Sekali ia melihat telapak tangannya yang sudah berwarna merah. Pria itu panik setengah mati. Ia tak tahu mengapa tak segera merasakan timah panas itu. Tubuhnya kini terasa lemah. Napasnya mulai tersengal. Pria itu luruh ke lantai tepat di sebelah calon menantunya yang berlumuran darah.“Lagi pula kamar semewah ini sudah pasti kedap suara,” sambung pria tambun itu.Suryo melangkah mendekat. Bukan untuk memberikan tembakan lanjutan. Namun untuk mengambil gawai Pak Aziz yang masih terpasang di tripod. Rekaman video ia hentikan, lalu beberapa detik menggores-goreskan jemari pada layar pipih 6 inchi itu.“Begini kalau hidupmu penuh keteraturan!” desis Suryo seraya meninggalkan gawai Pak Aziz beserta tripodnya. Ia lalu menghampiri Wira, menyepak beberapa kali wajah pemuda yang telungkup tak berdaya.“Masih ada
Seorang pria tambun mengenakan tongkat berjalan diapit oleh dua orang berbadan besar. Di belakangnya seorang berpakaian safari berambut ikal mengikuti langkahnya dengan menenteng sebuah tas hitam. Ia berhenti dan mengetuk pintu dengan nomor A001.“Anda Pak Suryo?” tanya Pak Aziz, seorang yang membukakan pintu.“Benar, dengan Bapak Abdul Aziz?” tanya Suryo ramah. Hal yang tak biasa ia lakukan entah sudah berapa lama.“Selamat datang, Pak. Maaf mengubah tempat pertemuan. Tiba-tiba saya merasa sedikit lelah. Mari, silahkan masuk!” sambut Pak Aziz dengan santun.Suryo membalas keramahan Pak Aziz dengan segera membuka kacamata hitam yang selalu ia kenakan. Kamar president suite itu tampak luas dan mewah. Didominasi warna gading, Suryo diarahkan untuk duduk di sofa tepat di sebelah kiri pintu.“Maaf, Pak, apa boleh hanya kita berdua atau dengan orang kepercayaan Bapak saja?” pinta Pak Aziz setelah dua pria bertubuh besar itu turut serta masuk.“Tentu saja boleh, Pak,” jawab Suryo singkat. I
Permadi hanya bisa menuruti apa perintah pemuda di hadapannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, meski panik ia masih bisa menyembunyikannya. Ia justru tertawa sinis setelah file yang diminta Wira terbuka.“Pak Wira, ini adalah file mentah. Data yang saya paparkan tadi adalah data yang sudah diolah dan dilakukan revisi dan penyesuaian,” kilah Permadi.“Revisi? Penyesuaian?” tanya Pak Aziz mulai menangkap adanya kejanggalan.“Maksud saya, ini file mentah yang masih harus diperiksa dan direvisi apa bila ada kekeliruan,” kilah Permadi lagi.“Lalu mengapa file mentah ini sudah mendapatkan approval?” potong Wira.“Approval?” Permadi tertawa mendengar pertanyaan Wira. “Pak Wira, bagaimana mungkin Anda mengetahui bahwa file ini sudah disetujui sedang ini hanya lah soft file?”“Saya tidak sedang membicarakan soft file ini, Pak. Tapi dokumen hard copy yang disimpan oleh Sekretaris Bapak!” tandas Wira.“Sekretaris?”“Ya, lelaki yang menyambut kami tadi, Sekretaris Bapak, bukan?” desak Wira.“
Pukul 08:50 Pak Aziz dan Wira sudah sampai di Hotel Nusantara. Pak Aziz segera menghampiri receptionist untuk menanyakan letak ruang meeting yang dimaksud. Setelahnya pria paruh baya itu segera berjalan menuju lift untuk naik ke lantai delapan. Wira hanya mengekori calon mertuanya itu saja.“Seorang pemimpin tak berjalan menunduk, Wira,” ucap Pak Aziz memecahkan keheningan dalam lift yang bergerak naik itu.“Gimana, Pak?” tanya Wira tak mengerti. Pak Aziz mendekat dan membenarkan posisi kemeja slim fit yang dikenakan Wira.“Untuk dihormati kau harus membangun kesan lebih dahulu. Setelah penampilan, tentu perilaku. Tampilanmu sudah baik, Aisya sudah memilihkan pakaian yang tepat. Tapi harus kamu dukung juga dengan bahasa tubuh yang baik,” terang Pak Aziz sambil terus tersenyum.“Saya mengerti, Pak. Aisya sudah suruh saya ikut kelas kepemimpinan,” jawab Wira ragu. Pak Aziz tersenyum lalu mengangkat wajah pemuda di hadapannya dengan mendorong dagu.“Mulai sekarang kamu nggak boleh lihati
Wira tentu saja terkejut. Orang yang tadi ia hindari adalah calon mertuanya dan juga aktor dibalik kehidupan baru dan segala fasilitas yang ia dapat dua bulan ini. Pemuda itu merendahkan tubuhnya dan berjalan menyongsong pria yang bangkit dari duduknya.“Oh, ini yang namanya Wira? Saya Aziz, Abdul Aziz,” ucap pria itu sembari meggenggam tangan Wira dengan kuat.“Saya Wira, Om. Maaf, saya menghindar tadi. Soalnya....”“Aisya sudah cerita banyak ke saya. Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba. Kebetulan ada yang sedang saya urus di sini. Sekalian mampir dan bertemu kamu dan Bu Ayu,” terang Pak Aziz sembari tersenyum. Mata di balik kacamata itu menatap dalam wajah Wira yang datar.Wira diam. Ia memang tengah memandang mata Pak Aziz, namun yang ia lihat adalah masa lalu pria 50 tahun itu. Pak Aziz tampak heran, namun segera tersenyum setelah melihat senyum putrinya. Seolah memberi isyarat bahwa pemuda di hadapannya sedang berkelana ke masa lalu.“Wira?” sapa Pak Aziz. Namun Wira tetap diam.
Penglihatan masa lalu itu terus berlanjut dan berganti. Semuanya berupa potongan-potongan peristiwa yang bertentangan dengan anggapan dan asumsi yang Firman dan ibunya yakini terkait Barata dan keluarganya selama ini. Hal yang membuat alasan-alasan dibalik kesanggupan Firman bekerja sama dengan Suryo untuk membunuh Barata menjadi bias.Bukan seperti yang disangkakan oleh ibunya. Barata rupanya lebih dulu melamar Ayu sebelum mendapatkan pekerjaan. Juga bukan Barata yang membuatnya disangka sebagai penggelap uang perusahaan. Bahkan Barata pula yang membantunya mendapatkan pekerjaan di PT. Franz Williams Indonesia. Mulanya sebagai Staff General Affair, lalu dimutasi menjadi asisten sekaligus driver Suryo.Barata juga tidak merebut Ayu darinya. Ayu sendiri yang meminta Barata untuk melamarnya. Semua karena omongan sinis Bu Lasmi. Ibunya itu yang sudah membakar amarah dan api cemburu. Bahkan mungkin saja mengarang cerita terkait pemilihan pewaris kerajaan kuno yang jatuh ke kakeknya Barata
Seorang perempuan baya keluar dari balik tirai yang membatasi ruangan itu dengan ruang belakang. Ia membawa nampan yang berisi minuman berwarna coklat terang. Sepertinya teh panas, tampak dari asap yang masih mengepul di atasnya. Perempuan itu tersenyum manis kepada beberapa orang yang duduk di sudut ruangan itu. Entah dari mana datangnya, di awal sama sekali tak terlihat kehadiran mereka.“Silahkan diminum,” ucap perempuan itu ramah.Anggukan dan senyuman masing-masing tamu yang kebanyakan lelaki mengiringi perempuan itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi single paling kanan. Tamu perempuan hendak berucap sesuatu namun pria di sebelah kiri menghalanginya.“Ayu sedang keluar dengan temannya. Mungkin sebentar lagi kembali,” ucap perempuan itu membuka pembicaraan.“Maaf, Bu Rahmi, apa Ayu pergi bersama Barata?” tanya pria di sebelah kiri. Dia pula yang mencegah perempuan di sebelahnya bicara tadi.“Benar, bagaimana Pak Dahlan bisa tahu?” tanya Rahmi, ibunda Ayu.“Barata itu masih kemen