Share

Pemahaman Baru

last update Last Updated: 2021-08-22 18:36:58

Wira membuka matanya, lampu di ruang tempatnya berbaring begitu menyilaukan mata. Ia masih begitu lemah. Ingin sekali ia mengusap mata, namun kedua tangannya menolak untuk bergerak. Pemuda itu hanya mampu menggerakkan bola mata. Sedikit ke kiri, kanan dan ke bawah. Ke atas tak mungkin karena sinar lampu tadi. Ke kiri dan kanan ia hanya melihat tirai hijau, ke bawah yang ia liat hanya selimut putih menutupi tubuh.

Tirai di sebelah kirinya terbuka, beberapa orang pun masuk, semuanya perempuan. Seorang paling depan menggantungkan stetoskop di lehernya. Seorang berpakaian serba putih dengan sedikit aksen hijau membawa berkas yang dijepit pada papan ujian. Seorang lagi berpakaian serupa datang terakhir mendorong semacam troli berisi banyak peralatan dan obat-obatan. Orang pertama tampak menanyakan sesuatu pada orang kedua. Percakapan mereka tak bisa Wira dengar.

“Mas? Sudah sadar? Bisa dengar saya?” tanya orang pertama sembari mencondongkan wajahnya ke arah Wira.

Wira menggerakkan bola mata, menuju sumber suara. Sesungguhnya ia ingin bicara, tapi entah mengapa tak bisa ia lakukan. Perempuan itu kemudian mengecek botol infus yang menggantung di sisi kiri Wira. Wira pun menyadari kini ia sedang terbaring di rumah sakit. Perempuan itu memasang stetoskop di telinganya dan mulai menempelkan benda bulat yang terasa dingin di dada Wira. Ia tampak mengucapkan sesuatu ke kedua orang lain.

Perempuan yang mendorong troli tadi tampak mempersiapkan obat dalam sebuah suntikan. Wira tak tahu apa yang akan ia lakukan, ia tak bisa meliahatnya. Ia hanya merasakan nyeri di tangannya dan terus menjalar sampai mendekati ketiak. Ia lalu meninggalkan Wira dan menghilang di balik tirai. Namun sepertinya masih dekat, ada aktivitas lain di balik tirai hijau itu.

“Wir ... udah bangun, Nak?”

Sebuah sapaan yang tak asing terdengar di telinga Wira di susul dengan belaian di kepala. Belaian dan tangan yang amat Wira kenal. Sayang pemilik tangan ini tak dapat Wira lihat karena terpendar oleh sinar lampu di atasnya. Wira berusah untuk berbicara, menggerakkan sedikit bibirnya. Ia merasa ada benda yang melintang di atas bibirnya dan ada benda di lubang hidung yang terasa sungguh tak nyaman.

“Udah, Wir. Nggak usah dipaksa. Mamak udah seneng kamu udah bisa buka mata. Mamak takut, soalnya kamu nggak bangun-bangun udah dua hari.”

Apa? Dua hari? Apa yang terjadi? Wira hanya ingat ia sedang sholat isya di sebuah masjid dengan imam yang bacaannya mirip dengan imam di musholanya dulu. Lalu penglihatannya berubah. Astaga, penglihatan aneh itu. Mungkin itu penyebabnya ia sampai dua hari tak sadarkan diri. Penglihatan itu memang menguras tenaganya.

“Mak....”

“Iya, Wir?”

Wanita paruh baya itu cepat-cepat menghampiri anaknya. Ada binar bahagia di ujung matanya mendengar Wira bersuara. Ia membelai lagi anak semata wayangnya. Berharap ada kata-kata yang terucap dari dari bibir Wira.

“Kenapa, Wir? Kamu mau apa, Nak?” tanya Mamak lirih.

“Bi ... bisa tolong ambil yang di atas mulut ini? Hidungku sakit,” pinta Wira terbata.

Mamak sedikit bimbang. Ia takut terjadi apa-apa dengan Wira bila ia lepaskan selang oksigen seperti permintaan anaknya. Wira melenguh, ia kecewa Mamak tak berani melakukannya. Tapi untuk menjelaskan bahwa ia merasa tak membutuhkan bantuan pernapasan lagi tentu tak bisa. Untuk bicara pun ia butuh usaha keras dan waktu yang lama.

“Mmm ... iya Mamak lepas, tapi kalo ada dokter pasang lagi ya?” Wira memejamkan matanya tanda setuju.

Wira tersenyum kaku, ia ingin mengucapkan terima kasih. Napasnya kini menjadi lega tanpa ada alat itu di rongga hidungnya. Wajah Mamak masih ragu dan khawatir akan terjadi apa-apa pada Wira. Namun raut wajah Wira yang lebih tenang membuat kekhawatirannya sedikit berkurang.

“Mak ... boleh matiin lampunya?” pinta Wira.

Mamak tak menjawab, ia melangkah menuju saklar dan menekannya. Lampu yang menyilaukan itu padam dan Wira merasa matanya menjadi jauh lebih nyaman. Matanya mengikuti langkah orang tua tunggalnya itu menghampirinya. Mamak duduk di sebelahnya, menanti apa lagi yang dibutuhkan Wira.

“Kamu sebenarnya kenapa, Wir?”

Mamak mengernyitkan keningnya, menatap wajah lemah Wira yang ingin sekali berkomunikasi. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada anaknya itu. Untung saja ada orang baik yang bersedia menolong Wira dan membawanya ke rumah sakit. Setelah semalaman cemas karena tak ada kabar, Mamak dijemput dengan teman kerja Wira dan diantar ke rumah sakit.

“Mamak percaya kan sama Wira?” Mamak semakin tak mengerti.

“Ini soal apa, Wir? Iya lah Mamak percaya, tapi apa?” tanya Mamak.

“Mamak percaya ada orang yang bisa lihat masa lalu?”

“Apa maksudmu, Wir?”

Mamak tertegun, ia tak percaya dengan kenyataan. Dulu suaminya sempat bercerita bahwa ia bisa melihat masa lalu. Baik itu kejadian yang dialami oleh seseorang, atau pun suatu tempat. Tentu Mamak tak mempercayainya. Sebelum Bapaknya Wira itu ditemukan tak bernyawa mengambang di sungai seminggu kemudian. Suaminya adalah perenang handal, Ia pendiri club renang di perusahaan tempanya bekerja. Tak mungkin ia meninggal karena tenggelam. Tapi tak ada bekas luka di tubuhnya. Sampai sekarang Mamak masih menyimpan kecurigaan atas kematian suaminya itu.

“Aku rasa aku bisa, Mak.”

“Jangan main-main, Wir. Kemampuan itu bahaya!” larang Mamak. Ia merasa takut akan kehilangan anaknya ini dengan cara yang sama.

“Mamak tau soal ini?”

Mamak terdiam, tak jadi melanjutkan larangannya. Ia ragu apakah sudah waktunya menceritakan tentang suaminya kepada Wira. Tapi ia juga tak ingin Wira mengalami hal serupa bapaknya. Anaknya iru masih lemah, belum pulih. Ia bahkan baru saja bisa bicara. Mamak tak mau membebani pikiran Wira yang mungkin nanti berpotensi memperlambat proses penyembuhannya.

“Mak? Mamak tau sesuatu?”

“Nggak, Wir. Mendingan kamu istirahat saja, jangan ngomongin yang aneh-aneh! Kamu butuh apa? Mau makan?” Mamak mencoba mengalihkan pembicaraan.

Wira menangkap ada hal yang disembunyikan oleh Mamaknya. Tapi untuk berdebat dan memaksa Mamak untuk bicara adalah pekerjaan yang rumit. Ia tak mau menghabiskan energinya yang baru akan dikumpulkan. Wira terpejam, ia mulai memahami sesuatu. Terakhir ia mengantarkan paket adalah di seputaran Jl. Pemuda. Menurut cerita orang-orang dulu, dinamakan Pemuda karena pada jaman penjajahan dulu banyak pemuda di daerah itu berjuang dan gugur melawan Belanda.

Wira mulai mengaitkan cerita-cerita itu dengan apa yang di lihatnya waktu itu. Pria berlumuran darah, pemuda yang memeluk bungkusan kain dikejar tentara dan desa yang dibakar. Apa mungkin yang ia lihat adalah gambaran kejadian di masa lampau. Jika benar alasan dinamakan jalan pemuda itu, bisa jadi ia benar-benar memiliki kemampuan melihat masa lalu. Seperti yang ia katakan pada Mamak tadi, padahal ia hanya asal sebut saja.

“Mak ... boleh minta minum?”

“Oh iya, udah dua hari kamu nggak minum ya?”

Mamak menghampiri Wira dengan membawa air mineral kemasan gelas yang sudah ditusuk sedotan. Mamak mendekatkan gelas air mineral itu ke bibir Wira. Wira meminum air mineral itu sampai habis tak bersisa. Tenggorokannya terasa amat kering tadi.

“Makasih, Mak.”

“Haus banget ya, Wir?”

Mamak berbalik dan meletakkan gelas kosong itu ke dalam kantung plastik hitam yang digunakan sebagai tempat sampah sementara. Wanita itu kembali lagi bersiaga jika Wira memerlukan bantuannya lagi. Wira memandang wajah mamaknya. Ia mengernyitkan keningnya, sedikit menyipitkan kedua mata. Ia berkedip, dan pandangannya menjadi tak berwarna lagi. Mamaknya tampak kembali muda. Dengan wajah tanpa riasan, wanita itu terlihat begitu cantik dan natural. Wira tersenyum, ia paham apa yang tengah terjadi.

“Mak....”

“Ya?”

“Mamak cantik juga ya....”

“Apa?”

Related chapters

  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   Arloji Kuno

    Wira kini sudah bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Energinya sudah terasa terisi ulang. Anehnya melihat Mamak muda tidak menguras energinya. Beda dengan tiga penglihatannya terakhir yang menguras habis energi dalam tubuhnya. Wira meraih gawainya di atas meja, tadi ia minta Mamak untuk mengisi ulang baterainya. Jemari tangan kanannya berusaha untuk melepaskan charger dari port-nya di bagian bawah gawai. Tangan kirinya hendak membantu tapi tak sampai karena infus masih terpasang. Gawai itu tak bisa ia lepaskan dari charger. Sedang kabelnya tak cukup panjang sampai ke tempat Wira berbaring. Tiba-tiba Wira teringat Melati. Perempuan dengan tampilan jadul yang memberinya hadiah dalam kotak kecil warna hitam. Kotak itu ia simpan dalam sling bag yang kini ia tak tahu ada dimana. Mamak sedang keluar membeli makan siang, tak ada yang bisa ia minta tolong mencari sling bag-nya. “Selamat siang....” Seorang perempuan

    Last Updated : 2021-08-23
  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   Pesan Mamak

    Mamak menarik kursi plastik dan ia dekatkan pada tempat tidur Wira. Ia tinggalkan makan siang nasi padang lauk rendang yang baru ia kunyah beberapa suap. Matanya nanar memandang arloji dalam genggaman tangannya. Wanita paruh baya itu duduk, beberapa kali bolak balik bola matanya beralih dari arloji ke anak semata wayangnya itu. Ada banyak hal yang tampaknya sudah seharusnya Wira tahu.“Ini beneran punya Bapak, Mak?” tanya Wira. Ia meraih rantai arloji namun Mamak menahan Arloji dalam genggamannya.“Benar, Wir. Kamu dapat dari mana?” tanya Mamak datar. Wira menyadari ada yang tak beres dengan ibunya.“Dari orang yang aku anter paketnya, Mak. Namanya Melati, dia seneng banget katanya paketnya udah lama nggak sampe. Makanya begitu aku anterin, dia kasih aku hadiah arloji ini,” tutur Wira.“Melati katamu?”“Iya, Mak. Kenapa ya?”Mamak mengusap keningnya, beberapa anak rambut yang menjun

    Last Updated : 2021-08-26
  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   Upgrade

    Jaka keluar dari ruang Officer sambil menggerutu. Ia remas-remas selembar kertas di tangannya dan ia lemparkan ke sudut kantor tempat biasa ada kotak sampah. Ia berjalan cepat keluar menghampiri sepeda motornya yang belum selesai memuat paket-paket yang harus diantarkan hari ini. Ario memperhatikannya dari sisi pagar sambil berjongkong menghisap sebatang rokok. “Kenapa Lu, Bro?” Ario setengah berteriak. Jaka menoleh sekilas, ia meletakkan begitu saja paket tanggung jawabnya di tanah. “Ada lagi nggak?” tanya Jaka menempelkan dua jarinya di bibir. Ario membuka resleting jaket dan meraih sebungkus rokok. Melihat gelagat dan mimik muka Jaka, ia pasti tengah menjalani hari yang tak menyenangkan. Jaka lelaki periang, ia baru saja dikaruniai seorang anak laki-laki dari istrinya yang seorang janda. Dari pernikahan pertama ia punya satu anak perempuan. Belakangan mungkin itu yang membebani pikiran Jaka, karena tentu kebutuhan keluarganya bertambah. “Satu aja .

    Last Updated : 2021-08-29
  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   Melati

    Bilik pojok yang Wira huni mendadak sepi setelah Jaka dan Ario pamit pulang. Pasien sebelah mungkin sudah bernapas lega sekarang. Beberapa kali Wira mengucapkan permintaan maaf namun tak ada jawaban. Mungkin pasien beliau sudah beristirahat. Atau justru meminta pindah bilik agar tidak terlalu berisik.Kehadirian dua sahabatnya tadi cukup mengusir sejenak kejenuhan Wira. Ia merasa sudah lama rebah di tempat tidur ini. Kini tenaganya sudah mulai pulih. Ia sudah tak bersandar, punggungnya sudah dapat ditegakkan. Beberapa kebutuhannya sudah dapat ia lakukan sendiri.“Udah pulang temanmu, Wir?” Mamak muncul dari balik tirai hijau.“Udah, Mak. Kasian tuh pasien sebelah kebrisikan. Becanda mulu tu Jaka Ario,” ujar Wira.“Pasien sebelah mana?”“Ya ini sebelah kita. Kenapa, Mak?” Wira penasaran, ekspresi Mamak seketika berubah.“Kosong sebelah kita, Wir. Dia meninggal sebelum kamu sadar!”

    Last Updated : 2021-08-30
  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   Mendeteksi Yura

    “Apa maksud Mbak Niken?” Wira menegakkan kepalanya.“Ayolah, Mas. Saya butuh pertolongan Mas Wira. Tolong lihat dimana anak saya sekarang!” Niken mulai memohon.“Kenapa Mbak Niken yakin saya bisa menolong?” tanya Wira. Ia ingin mengetahui dari mana Niken tahu tentang kemampuannya.“Melati bilang begitu.”“Melati? Mbak kenal Melati?” tanya Wira setengah histeris.“Nggak. Tapi jauh sebelum Mas Wira dirawat disini, perempuan itu datang beberapa kali di mimpi saya. Dia bilang akan datang orang yang bisa membantu saya menemukan Yura, anak saya.” Mata Niken mulai berkaca-kaca.“Terus kenapa Mbak yakin kalo orang itu saya?”“Mas sendiri tadi yang tanya soal anak saya kan? Tolong saya, Mas....” Niken mulai terisak. Kedua telapak tangannya terkatup di depan dada. Ia mendekat ke arah Wira.Kurang ajar sekali Melati. Memupuk harapan pada seoran

    Last Updated : 2021-08-31
  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   Sensitivitas

    Wajah Niken memerah, kedua pipi yang basah semakin meranumkan wajahnya. Ia lepaskan pelukan di leher Wira. Tak ada yang dilakukannya, hanya mundur satu langkah yang justru semakin memperlihatkan wajah yang dirundung malu itu. Kini ia tak berani menatap wajah Wira. Ia takut melihat reaksinya, terlebih kalau pasien yang ia rawat ini dapat lebih banyak mendapatkan bayangan masa lalunya.Wira tak kalah salah tingkahnya. Tentu sebuah hal yang tak disangka-sangka Niken memeluknya seperti itu. Setengah hatinya merasa begitu malu, namun setengahnya lagi merasa beruntung. Untung saja hanya sebentar. Kalau tidak memang ia tak kehilangan tenaga mendeteksi Yura, tapi justru kehabisan napas karna dipeluk perawat cantik ini.“Mbak, semoga segera bertemu Yura ya?” ujar Wira mencairkan suasana.“Iya, Mas. Sekali lagi terima kasih. Saya nggak tau gimana cara bales pertolongan Mas Wira.”“Duh, Mbak. Jangan gitu dong ngomongnya, saya ini ikhlas

    Last Updated : 2021-09-04
  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   Masa Lalu Suatu Tempat

    “Nih,” Mamak menyerahkan kacamata hitam pesanan Wira.“Wih, keren juga, Mak. Berapaan ini?” tanya Wira.Wira memperhatikan kacamata hitam itu. Ia berharap bisa sedikit menurunkan penglihatan masa lalu orang-orang yang beradu pandang dengannya. Ia takut tak bisa fokus dengan real time karena terlalu terpaku pada masa lalu orang lain. Jika sekali lagi bertemu Melati, ia akan menanyakan banyak hal terkait kemampuannya ini. Dan tentu saja hubungannya dengan Bapaknya, juga dengan Niken.“Lima belas ribu, kaya pesenanmu lah,” jawab Mamak sambil mengenakan tas ransel di punggungnya. “Yakin mau bawa motor, Wir?” tanya Mamak tak yakin.“Iya, Mak. Aku udah sehat kok,” jawab Wira.Ia kenakan kacamata hitam tadi. Tas ransel berisi pakaian selama dirawat ia kenakan di depan. Sedang barang-barang lain dalam beberapa kantung plastik ia gantung di depan sepeda motor maticnya. Ia lalu naik dan men

    Last Updated : 2021-09-06
  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   Mengendalikan Waktu

    Wira melemparkan ransel yang ia gendong di depan tubuh ke lantai kamarnya. Ia sudah tak kuasa lagi melepas jaket atau mengganti pakaian yang lebih ringan. Ia rebahkan tubuhnya di tempat tidur. Wira merasa begitu lelah, ia pejamkan mata berkemampuan khusus ini. Bau debu begitu tercium, kamar ini sudah beberapa hari tak berpenghuni.“Kamu nggak apa, Wir? Ini minum dulu,” ujar Mamak membawakan segelas air.“Makasih, Mak. Aku nggak apa kok, cuma pengen tidur aja. Capek banget rasanya,” keluh Wira. Ia meraih dan meneguk segelas air yang diberikan Mamak.“Ya, abis ini istirahat yang banyak, Wir. Nggak usah kemana-mana dulu biar kamu nggak lihat macem-macem. Kamu kan lagi pemulihan,” ujar Mamak lagi.“Iya, Mak.”Wira mengembalikan gelas kosong kepada Mamak. Perempuan paruh baya itu memastikan anaknya kembali rebah dan baru meninggalkannya. Sama seperti suaminya dulu, Wira masih butuh banyak penyesuaian denga

    Last Updated : 2021-09-07

Latest chapter

  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   98. Akhir

    “Menikah? Besok? Gimana mungkin?” cecar Wira via sambungan telepon. Bukannya tak mau, tapi menikah dalam kondisi seperti ini benar-benar tak ideal. Dua hari lalu baru saja ia selesai diinterogasi sebagai saksi. Lalu ia harus wajib lapor. Membujuk Mamak agar mau mendonorkan darah untuk Firman. Dan besok harus menikah.Pemuda itu mengangguk beberapa kali dan menggumam. Semuanya sudah diatur Aisya. Pernikahan secara siri akan dilakukan di rumah sakit, di ruang Pak Aziz dirawat. Padahal pria itu dalam kondisi baik. Wira tak mengerti mengapa pernikahan harus segera dilakukan secepatnya. Bahkan bisa-bisanya Aisya sudah berdiskusi dengan Mamak dan Mamak menyetujuinya.Wira tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Perdebatan dengan Aisya kemarin tentu saja dimenangkan oleh perempuan cantik itu. Ya, siapa yang menyangka hidupnya berubah secepat ini. Seorang yatim tak pernah dekat dengan perempuan, tapi kini seolah dikejar untuk menikah perempuan cantik solihah.“Saya terima nikahnya Aisya

  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   97. Menikah Lah

    Ruang serba putih itu begitu sepi. Hanya ada suara alat deteksi detak jantung dan gerakan detik jam dinding. Hembusan pendingin ruangan sesekali menggerakkan tirai yang sebagian terbuka. Setelah mengaku sebagai keluarga, Mamak dapat dengan mudah masuk ke ruangan ini. Ruang yang dijaga setidaknya dua orang polisi bergantian setiap waktu.Mamak sampai di ujung ranjang. Seorang pria mengenakan masker oksigen terpejam di sana. Cairan infus menggantung di sisi kanannya. Dan beberapa kabel yang terhubung pada alat-alat yang Mamak tak tahu apa namanya. Semuanya penopang hidup Firman saat ini.“Sebenarnya aku merasa berdosa, Firman,” lirih Mamak seraya melangkah dan sampai di sisi kanan tubuh pria itu.Perempuan paruh baya menatap lekat wajah tak berdaya pria yang dahulu pernah meminta cintanya. Pria yang terus berupaya menjauhkannya dari Barata. Juga dalang dibalik pembunuhan suaminya itu.“Darahku kini mengalir di tubuhmu. Sungguh aku tak sudi kalau bukan dengan alasan memberatkan hukuman S

  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   96. Akhir

    “Peluru jika ditembakkan dalam jarak sedekat ini, besar kemungkinan tembus! Jarak Wira denganmu terlalu dekat!” ucap Suryo begitu pongah.Pak Aziz terperangah memegangi dada kirinya. Sekali ia melihat telapak tangannya yang sudah berwarna merah. Pria itu panik setengah mati. Ia tak tahu mengapa tak segera merasakan timah panas itu. Tubuhnya kini terasa lemah. Napasnya mulai tersengal. Pria itu luruh ke lantai tepat di sebelah calon menantunya yang berlumuran darah.“Lagi pula kamar semewah ini sudah pasti kedap suara,” sambung pria tambun itu.Suryo melangkah mendekat. Bukan untuk memberikan tembakan lanjutan. Namun untuk mengambil gawai Pak Aziz yang masih terpasang di tripod. Rekaman video ia hentikan, lalu beberapa detik menggores-goreskan jemari pada layar pipih 6 inchi itu.“Begini kalau hidupmu penuh keteraturan!” desis Suryo seraya meninggalkan gawai Pak Aziz beserta tripodnya. Ia lalu menghampiri Wira, menyepak beberapa kali wajah pemuda yang telungkup tak berdaya.“Masih ada

  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   95. Bertemu Suryo

    Seorang pria tambun mengenakan tongkat berjalan diapit oleh dua orang berbadan besar. Di belakangnya seorang berpakaian safari berambut ikal mengikuti langkahnya dengan menenteng sebuah tas hitam. Ia berhenti dan mengetuk pintu dengan nomor A001.“Anda Pak Suryo?” tanya Pak Aziz, seorang yang membukakan pintu.“Benar, dengan Bapak Abdul Aziz?” tanya Suryo ramah. Hal yang tak biasa ia lakukan entah sudah berapa lama.“Selamat datang, Pak. Maaf mengubah tempat pertemuan. Tiba-tiba saya merasa sedikit lelah. Mari, silahkan masuk!” sambut Pak Aziz dengan santun.Suryo membalas keramahan Pak Aziz dengan segera membuka kacamata hitam yang selalu ia kenakan. Kamar president suite itu tampak luas dan mewah. Didominasi warna gading, Suryo diarahkan untuk duduk di sofa tepat di sebelah kiri pintu.“Maaf, Pak, apa boleh hanya kita berdua atau dengan orang kepercayaan Bapak saja?” pinta Pak Aziz setelah dua pria bertubuh besar itu turut serta masuk.“Tentu saja boleh, Pak,” jawab Suryo singkat. I

  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   94. Rencana Untuk Suryo

    Permadi hanya bisa menuruti apa perintah pemuda di hadapannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, meski panik ia masih bisa menyembunyikannya. Ia justru tertawa sinis setelah file yang diminta Wira terbuka.“Pak Wira, ini adalah file mentah. Data yang saya paparkan tadi adalah data yang sudah diolah dan dilakukan revisi dan penyesuaian,” kilah Permadi.“Revisi? Penyesuaian?” tanya Pak Aziz mulai menangkap adanya kejanggalan.“Maksud saya, ini file mentah yang masih harus diperiksa dan direvisi apa bila ada kekeliruan,” kilah Permadi lagi.“Lalu mengapa file mentah ini sudah mendapatkan approval?” potong Wira.“Approval?” Permadi tertawa mendengar pertanyaan Wira. “Pak Wira, bagaimana mungkin Anda mengetahui bahwa file ini sudah disetujui sedang ini hanya lah soft file?”“Saya tidak sedang membicarakan soft file ini, Pak. Tapi dokumen hard copy yang disimpan oleh Sekretaris Bapak!” tandas Wira.“Sekretaris?”“Ya, lelaki yang menyambut kami tadi, Sekretaris Bapak, bukan?” desak Wira.“

  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   93. Laporan Palsu

    Pukul 08:50 Pak Aziz dan Wira sudah sampai di Hotel Nusantara. Pak Aziz segera menghampiri receptionist untuk menanyakan letak ruang meeting yang dimaksud. Setelahnya pria paruh baya itu segera berjalan menuju lift untuk naik ke lantai delapan. Wira hanya mengekori calon mertuanya itu saja.“Seorang pemimpin tak berjalan menunduk, Wira,” ucap Pak Aziz memecahkan keheningan dalam lift yang bergerak naik itu.“Gimana, Pak?” tanya Wira tak mengerti. Pak Aziz mendekat dan membenarkan posisi kemeja slim fit yang dikenakan Wira.“Untuk dihormati kau harus membangun kesan lebih dahulu. Setelah penampilan, tentu perilaku. Tampilanmu sudah baik, Aisya sudah memilihkan pakaian yang tepat. Tapi harus kamu dukung juga dengan bahasa tubuh yang baik,” terang Pak Aziz sambil terus tersenyum.“Saya mengerti, Pak. Aisya sudah suruh saya ikut kelas kepemimpinan,” jawab Wira ragu. Pak Aziz tersenyum lalu mengangkat wajah pemuda di hadapannya dengan mendorong dagu.“Mulai sekarang kamu nggak boleh lihati

  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   93. Calon Mertua

    Wira tentu saja terkejut. Orang yang tadi ia hindari adalah calon mertuanya dan juga aktor dibalik kehidupan baru dan segala fasilitas yang ia dapat dua bulan ini. Pemuda itu merendahkan tubuhnya dan berjalan menyongsong pria yang bangkit dari duduknya.“Oh, ini yang namanya Wira? Saya Aziz, Abdul Aziz,” ucap pria itu sembari meggenggam tangan Wira dengan kuat.“Saya Wira, Om. Maaf, saya menghindar tadi. Soalnya....”“Aisya sudah cerita banyak ke saya. Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba. Kebetulan ada yang sedang saya urus di sini. Sekalian mampir dan bertemu kamu dan Bu Ayu,” terang Pak Aziz sembari tersenyum. Mata di balik kacamata itu menatap dalam wajah Wira yang datar.Wira diam. Ia memang tengah memandang mata Pak Aziz, namun yang ia lihat adalah masa lalu pria 50 tahun itu. Pak Aziz tampak heran, namun segera tersenyum setelah melihat senyum putrinya. Seolah memberi isyarat bahwa pemuda di hadapannya sedang berkelana ke masa lalu.“Wira?” sapa Pak Aziz. Namun Wira tetap diam.

  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   91. Janji Firman

    Penglihatan masa lalu itu terus berlanjut dan berganti. Semuanya berupa potongan-potongan peristiwa yang bertentangan dengan anggapan dan asumsi yang Firman dan ibunya yakini terkait Barata dan keluarganya selama ini. Hal yang membuat alasan-alasan dibalik kesanggupan Firman bekerja sama dengan Suryo untuk membunuh Barata menjadi bias.Bukan seperti yang disangkakan oleh ibunya. Barata rupanya lebih dulu melamar Ayu sebelum mendapatkan pekerjaan. Juga bukan Barata yang membuatnya disangka sebagai penggelap uang perusahaan. Bahkan Barata pula yang membantunya mendapatkan pekerjaan di PT. Franz Williams Indonesia. Mulanya sebagai Staff General Affair, lalu dimutasi menjadi asisten sekaligus driver Suryo.Barata juga tidak merebut Ayu darinya. Ayu sendiri yang meminta Barata untuk melamarnya. Semua karena omongan sinis Bu Lasmi. Ibunya itu yang sudah membakar amarah dan api cemburu. Bahkan mungkin saja mengarang cerita terkait pemilihan pewaris kerajaan kuno yang jatuh ke kakeknya Barata

  • Retrocognition (Melihat Masa Lalu)   90. Ayu, Barata dan Firman

    Seorang perempuan baya keluar dari balik tirai yang membatasi ruangan itu dengan ruang belakang. Ia membawa nampan yang berisi minuman berwarna coklat terang. Sepertinya teh panas, tampak dari asap yang masih mengepul di atasnya. Perempuan itu tersenyum manis kepada beberapa orang yang duduk di sudut ruangan itu. Entah dari mana datangnya, di awal sama sekali tak terlihat kehadiran mereka.“Silahkan diminum,” ucap perempuan itu ramah.Anggukan dan senyuman masing-masing tamu yang kebanyakan lelaki mengiringi perempuan itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi single paling kanan. Tamu perempuan hendak berucap sesuatu namun pria di sebelah kiri menghalanginya.“Ayu sedang keluar dengan temannya. Mungkin sebentar lagi kembali,” ucap perempuan itu membuka pembicaraan.“Maaf, Bu Rahmi, apa Ayu pergi bersama Barata?” tanya pria di sebelah kiri. Dia pula yang mencegah perempuan di sebelahnya bicara tadi.“Benar, bagaimana Pak Dahlan bisa tahu?” tanya Rahmi, ibunda Ayu.“Barata itu masih kemen

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status